Aku berlari menuju kamar mandi yang sebenarnya bukan tujuanku. Aku hanya salah tingkah dengan kenyataan aku mendapat kiriman paket dari Hendi.
Setengah hati aku senang. Selebihnya aku takut mas Radit salah paham. Beberapa menit aku berdiam, sampai akhirnya memberanikan diri kembali duduk dengan ibu dan mas Radit.
****
Di ruang tengah ibu terlihat memilah beberapa undangan. Mengumpulkannya berdasarkan alamat. Tapi tak terlihat mas Radit bersamanya.
"Mas Radit mana bu?" Tanyaku
"Ada di teras Nay, katanya mau cari angin" jawab ibu dengan senyum
Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih sibuk. Ku lihat mas Radit duduk di lantai dengan kaki menyilang. Di depannya nampak bungkusan plastik hitam.
"Ah aku lupa dengan paket itu" gumamku
"Lagi ngapain mas?" Tanyaku basa-basi
"Lagi nunggu kamu buka ini. Aku penasaran apa yang dikirimkan seorang laki-laki pada mantan kekasihnya" terangnya dengan wajah masam
Aku hanya meringis.
"Nggak ding. Aku mau pulang tapi nunggu kamu dari kamar mandi" lanjutnya
Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Perkataannya barusan tak lantas membuatku lega. Karena dari sorot matanya terlihat jelas kekesalan yang sebenarnya ingin diungkapkan.
"Ya udah, hati-hati dijalan kalo pulang. Jangan ngebut" jawabku
Mas Radit mengambil helmnya sambil berpamitan dengan ibu. Sedang aku masih menunggu di teras. Tak lama ia keluar dan segera menaiki motornya tanpa banyak basa basi seperti biasanya. Ia hanya tersenyum dari balik kaca helm dengan tangan kanan melambai, selebihnya dia berlalu.
****
Aku penasaran dengan isi dari bungkusan yang dikirimkan Hendi. Kuputuskan membukanya setelah beberapa lama berpikir.
"Jaket?" Gumamku
Jaket berwarna coklat muda dengan desain yang simple tapi manis. Aku tersipu sendiri. Tiba-tiba ada perasaan bahagia yang seharusnya tak muncul.
TINNGG !!!
Notifikasi handphone membuyarkan lamunanku.
"Sudah diterima paketnya, nona?"
Sebuah pesan dari aplikasi menambah girang perasaanku. Ya Hendi mengirimiku pesan. Sebenarnya aku bingung dengan perasaanku. Satu sisi aku membenci Hendi. Tapi dari sisi lain aku bahagia dia kembali menghubungiku. Seperti ada kerinduan yang sedikit terobati.
Tapi pikiranku kembali pada Mas Radit. Aku tak boleh membalas pesannya. Terlepas Hendi masih menghubungiku atau tidak. Toh aku tak menghiraukannya.
****
Sementara itu, jalanan kota tampak lengang. Mungkin karena bukan akhir pekan jadi jalanan sepi nyaris tanpa kendaraan.
Seorang pemuda tampak menepikan kendaraannya. Ia duduk di sebuah taman yang kali ini ada beberapa orang yang tengah berada di sana.
Pandangannya mencari-cari sesuatu.
Seseorang lagi tampak melambai, hingga keduanya kini berada pada satu bangku yang sama.
"Baru sampai Mas Radit?" Tanya seseorang
"Tak perlu basa basi. Apa maksud anda mengirimkan hadiah untuk Nayra?!" Tanya Radit setengah membentak
"Loh memangnya salah kalau saya mengirim hadiah untuk mantan kekasih saya?" Tanya balik pemuda itu
"Tapi Nayra itu calon isteri saya!! Anda hanya mantan yang sebenarnya tidak perlu hadir dikehidupannya lagi!!" Radit meradang
Hendi tersenyum meledek.
"Jangan terlalu emosi Mas. Calon isteri itu belum jadi isteri"
"Sebenarnya apa mau kamu?" Tanya Radit
"saya tidak ingin apa apa dari anda. Saya hanya ingin memastikan kalau Nayra tidak bersama orang yang salah" jawab Hendi
"Kurang ajar !!!" Radut mengepalkan telapak tangannya. Tapi masih terkendali.
"yang terlihat baik belum tentu baik, dan yang jahat belum tentu jahat" ucap Hendi meninggalkan Radit yang masih bergelut dengan emosinya.
Radit pulang dengan hati sangat kesal. Ia merasa diremehkan oleng Hendi. Beberapa pesan dari Nayra pun tak dihiraukannua. Bahkan beberapa panggilanpun tak menarik perhatiannya.
****
Di Rumah, aku merasa bimbang. Berjalan mondar mandir dengan memegangi ponselnya.
"Kenapa si Nay bolak balik gitu?" Tanya ibu
"Ini mah, mas Radit kok nggak ngabarin aku ya. Dia udah sampai apa belum?" Aku khawatir
"Radit pasti cemburu Nay. Lagian kamu kenapa sih masih berhubungan dengan Hendi? Kamu tau sebentar lagi kamu menikah kan?"
"Iya bu, tapi kan aku nggak pernah nanggepin Hendi bu. Kenapa mas Radit harus cemburu?" Tanyaku kembali
"Hemms sudahlah. Besok kalo ketemu kamu jelasin ke Radit ya" terang ibu
"Makasih ya bu" jawabku sambil memeluk ibu
****
Siang ini, aku dan mas Radit berniat menemui beberapa keluarga sembari mengantarkan undangan dan meminta ijin.
"masih pukul 8 pagi, mas Radit ngajak ke rumah bu dhe jam 2 siang huuft" aku mengeluh kecil
Yah, semenjak tidak bekerja aku merasa sangat bosan di rumah yang nyaris tak ada kegiatan. Ilma pun sudah hampir melahirkan jadi tak mungkin mengajaknya bepergian.
"Nay !!! Liat sini siapa yang datang!!" Teriak ibu dari ruang tamu
"Bentar bu" sahutku malas
"Cepetan!!!" Teriaknya kali ini lebih keras
Aku penasaran siapa yang datang hingga membuat ibu segirang itu. Pelan-pelan aku menuju ruang tamu. Pelan-pelan kukenali sosok yang mendatangiku. Mulutku spontan tersenyum melihatnya.
"Dia masih sama, masih seperti dulu" gumamku
Aku merindukannya
S
Siapa yaa kira kira yang dateng? Hendi, Radit atau siapa?
"Hen, besok kamu bisa nganterin Nay....""yuk bu, kita pulang. Lagian Mei sudah ijab qobul" potongku"nganterin kemana tan?" tanya Hendi"eh anu nggak kemana-mana. Mungkin maksud ibu, nganterin pulang sekarang. Tapi aku mau pulang sama ibu aja. ya kan bu?" Aku mengedip-ngedipkan mataku sebagai kode. Rupanya ibu baru sadar ia baru saja hampir keceplosan."e-iya Hen, tadinya tante mau minta tolong anterin Nayra pulang. Tapi nggak usah deh, biar pulang sama tante aja naik taksi online" jelas ibuAku menghela nafas lega. Tapi, Hendi seolah tak percaya dengan alasan ibu. Sorot matanya penuh keingintahuan, gerak-geriknya penuh rasa penasaran. Bahkan aku sempat melihat ia membuntuti kami hingga masuk ke dalam taksi online. Aku memergokinya dari balik pantulan kaca mobil.[tan, maaf. Saya pulang dulu ya. Ada urusan yang harus saya selesaikan][iya, Nay nggak papa. Maaf ya tadi nggak sempet nemenin kamu sama ibu]Aku menutup sambungan telephon, dan mobil mulai melaju. Dari arah depan, ku liha
Mas Radit, benar saja aku seperti mengenali suaranya. Ia meraih tanganku yang tengah membersihkan jas.nya. Jarak kami begitu dekat membuat jantungku berdegup kencang. Aku mengatur ulang nafasku, agar tak segugup ini."eh maaf mas, jasmu jadi kotor" tegurku seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya.Tapi sialnya, entah kenapa ujung jilbabku tersangkut dijam tangannya. Pandangan kami saling tertaut, seperti terjebak pada satu titik. Hingga beberapa detik kami saling memandang kosong satu sama lain."maaf, jilbabku tersangkut" kataku membuyarkan fokusnya"bentar, pelan-pelan aja Nay nanti jilbabmu sobek kalo dipaksa"Aku menurut saja, tangannya segera mengambil alih berusaha melepas jilbabku. Tapi, dari adah lain Dini datang. Dan...kreekkk!!!Ia menggunting jilbabku,"gitu aja kok repot, nggak usah dilama-lamain biar bisa ambil kesempatan deketin suami orang!" ucapnya keras.'ya Alloh, jilbab kesayanganku pemberian Ilma' batinku"nggak perlu cari-cari alasan biar bisa deket sama m
"nggak papa kok mah" jawab Mei tersenyumAku sendiri telah paham kenapa sahabatku ini tak mau aku mendampinginya . Aku bahkan tidak keberatan ataupun merasa tersinggung, justru aku senang karena aku bisa leluasa menyembunyikan diriku jika saja ada tamu yang tak ingin ku temui.*****Akhirnya hari pernikahan Mei dan Rifki tiba, beberapa orang sudah mulai mendatangi lokasi."Nay, kok mukanya sedih? aku nikah sama Rifki loh, kita bertiga bakal tetep temenan. Kita tetep bisa pergi bareng-bareng"Mei menggenggam tanganku erat, seperti paham dengan apa yang aku rasakan. "janji ya Mei, sekarang temenku cuma kamu" ucapkuMei menatapku lekat, matanya yang sudah penuh riasan hampir meneteskan air mata. Cepat-cepat tangannya mengelap dengan tisu sebelum berhambur jatuh kepipi. Kami berpelukan sambil menahan tangis masing-maning. Aku menghela nafas, mencoba melonggarkan dada agar tak sesak oleh perasaan sedih. Mei pergi meninggalkan meja rias, ia bersiap ketempat akad. Wajahnya begitu ayu dengan
Siang hari terasa menyengat dari biasanya. Seseorang wanita paruh baya terlihat tengah menjemur beberapa lembar pakaian, tangannya nampak kesulitan."MasyaAlloh bu, biar saya bantu""biarin Den, ini tinggal satu aja kok"Deni meraih selembar pakaian yang masih dalam genggaman bu Nani."biar ibu aja Den" cegah sang mertuaDeni mendorong kursi roda bu Nani kedalam rumah. Lalu, ia duduk menekuk setengah lutut dihadapannya, Tangannya menggenggam jari sang mertua."bu, ibu nggak usah ngerjain kerjaan rumah kayak tadi ya. Saya takut ibu kecapean" terang Deni"tapi, ibu nggak enak Den, masa ibu cuma makan tidur aja. Lagian kan cuma beres-beres rumah""kalo ibu ngrasa nggak enak ke saya berarti ibu nganggep saya sebagai orang lain"Bu Nani terdiam, tangannya mengusap peluh di dahinya. "Bu, saat ini saya nggak lagi nganggep ibu sebagai mertua tapi sudah menjadi ibu bagi saya. Ibu adalah keluarga saya satu-satunya disini. Cuma ibu sama pakdhe Narto yang saya punya" Deni masih menatapnya dalam,
Akhirnya hari ini aku diharuskan datang kepernikahan mas Radit dengan Dini. Walau aku sudah tak punya perasaan apapun pada mas Radit, tetap saja bayang-bayang penghianatannya masih menyisakan sakit. Aku memaksa diriku untuk kuat hanya sekedar mengucapkan selamat, daripada Dini akan mengecapku sebagai orang yang masih mengharapkan suaminya itu."selamat ya Din" ucapkuDini menarik badanku, memelukku. Alih-alih sikapnya seperti sahabat, ia justru membisikkan sesuatu."pernikahanmu batal ya? yang sabar ya" ucapnya lirih tapi cukup didengar beberapa orang disekitar kamiAku menelan ludah, menarik nafas panjang sembari menekan emosiku."selamat ya mas" Aku ngeluyur dari hadapan Dini, bahkan aku mengabaikan mas Radit yang sudah mengulurkan tangan.Dihari bahagianya pun ia masih sempat meledek nasibku. "Andai Mei, Rifki atau minimal Hendi disini, mungkin mereka tidak akan membiarkan Dini mengucapkan pertanyaan itu" gumamkuSeorang kerabat Dini mempersilahkan aku mengambil hidangan. Karena
Sebuah toko tampak mulai berbenah, karena memang sudah mulai larut."iya deh calon manten, seharian semangat banget kerjanya" ledek HendiRifki hanya tertawa kecil."makaya nikah dong Hen, eh lupa jomblo" ledek Rifki"sialan. Liat aja ntar kalo aku nikah kamu bakal kaget" jawab Hendi percaya diri"udahlah aku mau pulang" lanjut HendiIa melangkah, tapi tak langsung memacu motornya. Ia duduk diemperan toko membuka Ponselnya yang sedari tadi didalam tas.Tangannya membuka aplikasi biru, wajahnya seketika muram. Melihat sebuah foto dalam aplikasi."kamu wanita baik, cantik. Tapi, kenapa laki-laki selalu bermain-main dengan perasaanmu" batinnyaHendi terus menatapi gambar Nayra. Gambar yang manis dengan balutan senyum yang sederhana. Tapi senyum itu tak seceria dulu. Baru dua menit foto itu diposting, dia segera meninggalkan jempolnya di foto Nayra. Seperti itu setiap hari, Hendi memastikan keadaan Nayra dari media sosial. Seperti dulu."kenapa sih kamu nggak jujur aja sama Nayra?" "eh k