Sepulang dari butik mbak Reni, kami memutuskan untuk terlebih dulu singgah di sebuah cafe untuk sekedar duduk berbincang sembari menikmati kudapan khas di tempat itu.
"Mau pesan apa mbak?" Tanya seorang pelayan
"Emm" aku berpikir sejenak
"Teh tawar sama choco brown cake mozarella" jawab mas Radit cekatan pas dengan yang hendak ku katakan.
Mas Radit tau persis kesukaanku. Pelayan laki-laki di depan kami mencatat pesanan mas Radit dan kemudian berlalu setelah meminta kami menunggu pesanan.
Kami tak banyak bicara saat itu. Kami sibuk dengan hidangan yang tengah dinikmati. Hanya saja, mas Radit terlihat sering sekali melirik ke arahku. Aku melihatnya dari balik pantulan gelas di meja. Sikapnya membuatku salah tingkah. Wajah gugupku tak dapat ku tutupi.
"Udah makannya Nay?" Tanya mas Radit
"Udah mas" jawabku singkat
"Kita langsung pulang saja ya. Sudah mendung soalnya." Lanjutnya
Aku mengangguk. Kakiku segera mengikuti langkah mas Radit yang lebih dulu berjalan menuju kasir. Membayar beberapa makanan yang kami pesan tadi.
Aku melaju menuju pintu keluar. Mas Radit dengan cepat menyusul di belakangku. Tangannya lantas mencari jemariku, menggandeng mesra dengan raut muka datar menatap ke depan. Aku tersipu sendiri dengan kelakuan laki-laki ini.
Aku sudah berada di plataran cafe dengan mas Radit yang sudah siap menyalakan motornya. Akupun telah membonceng di belakang dengan posisi menghadap sisi kiri karena saat itu aku mengenakan rok sepan panjang. Motor mulai melaju pelan, tiba-tiba lagi lagi tangan mas Radit mencari-cari tanganku kemudian melingkarkan di pinggangnya. Dengan tangan kanan tetap memegang gas, sedang tangan kiri masih menggenggam jemariku di perutnya. Kulirik wajahnya dari kaca spion. Tampak berbeda rautnya, seperti menahan sedih atau marah.
"Tetap bertahan denganku ya Nay. Apapun dan siapapun yang datang, aku harap kamu tetap yakin dengan hubungan kita" katanya tiba-tiba
"InsyaAlloh mas. Kok kamu tiba-tiba ngomong gitu?" Tanyaku
"Nggak papa, aku cuma baru sadar" jawabnya singkat
"Sadar kenapa?" Aku penasaran
"Sadar, kalo ternyata kamu cantik" jawabnya lagi
Kucubit perut mas Radit.
"Aww,,, sakit Nay!!" Protesnya dibarengi gelak tawa kami
Tiba-tiba hujan turun, saat kami masih asyik menikmati perjalanan. Kami lantas meneduh disebuah emperan toko.
"Kopi mas?" Tanya seorang bapak penjual minuman
"Dua ya pak, yang ini" jawab mas Radit menunjuk salah satu kemasan kopi yang berderet
"Baik mas, ditunggu ya" jawab sang bapak
Tak lama dua cangkir kopi susu telah tersanding dihadapan kami. Tergeletak di meja kecil dengan suasana hangat. Pas sekali momen ini, pikirku.
"Mas, kamu kenapa? Kok hari ini kaya beda?" Tanyaku membuka percakapan
"Sebenarnya aku takut Nay. Hari pernikahan kita semakin dekat. Tapi, kenapa orang-orang dari masalalu kamu malah muncul? Aku takut kamu akan..." mas Radit tak melanjutkan kata-katanya
"Heemmss" aku menghela nafas
Kutatap wajah calon suamiku. Ekspresinya tampak memelas. Ada rasa geli melihat kelakuannya. Bagaimana mungkin dia berpikir sejauh itu. Bagaimana mungkin ia ketakutan aku akan jatuh cinta kembali pada Hendi. Jelas-jelas kisah kami hanya sekedar cinta monyet. Itupun kisah yang membekaskan luka.
"Kita sudah sejauh ini mas, bukan hanya kita. Tapi, keluarga kita pun punya andil besar dalam hubungan kita. Masa iya aku semudah itu berpaling?" Jelasku
"Nggak tau lah Nay, nggak tau kenapa aku takut Hendi akan kembali mengganggu kamu. Dari caranya menghubungiku, jelas sekali kalo dia bakal datang lagi dikehidupan kamu"
Mas hendi mengambil gelas yang dari tadi ditatapnya. Lalu meletakannya kembali tanpa meminum isinya. Ia menatapku dalam, kubalas tatapannya dan kuraih tangan mas Radit.
"Pulang yuk mas" ajakku
"Masih hujan Nay, nanti masuk angin loh" jawabnya
Tanpa mendengarkannya aku berdiri dengan menyerahkan beberapa lembar uang pada bapak penjual minuman. Kutarik tangan mas Radit. Ia hanya nurut dengan permintaanku, lantas menyalakan motornya.
Kami mulai meninggalkan tempat itu. Tak butuh waktu lama, pakaian kami telah kuyup karena derasnya hujan siang itu. Tak banyak kendaraan yang melintas saat itu. Sepertinya hanya kami yang berkendara tanpa jas hujan.
"Nay kamu ngapain Nay, Nanti jatuh gimana?" Tanya mas Radit panik saat aku berusaha berdiri dengan berpegangan pundaknya yang bidang.
"I loveee youuu mas Radiittt!!!!!" Teriakku keras tanpa rasa malu
"Nay,, malu Nayy" mas Radit semakin panik dengan tingkah konyolku
Kulirik wajahnya dari spion, terlihat senyumnya mengembang. Aku tertawa sendiri melihat beberapa pengendara melihat kelakuanku. Wanita macam apa yang merayu pasangannya dengan cara demikian, pikirku.
Mas Radit meraih tanganku lagi dan tak melepasnya. Mungkin ia takut aku melakukan hal aneh lagi. Rasanya tak memikirkan badan yang mungkin saja masuk angin diterpa hujan sederas ini. Momen seperti ini mungkin tidak akan kembali, jadi mari kita nikmati saja.
*****
"Assalamu'alaikum"
"W*'alaikum sallam" jawab seseorang sembari membuka pintu
"MasyaAlloh, apa-apaan kalian? Udah tau hujan malah hujan-hujanan. Emangnya kalian anak kecil?!" Kata ibu setengah marah
Kami hanya tersenyum dengan wajah saling tatap.
"Ayo masuk, ganti pakaian kalian. Radit bisa pake baju di kamar tamu. Kebetulan di sana ada beberapa stel kaos laki-laki" lanjut ibu
Ibu memang sengaja menyimpan beberapa lembar pakaian laki-laki kalau kalau ada keponakan yang menginap.
Aku bergegas menuju kamar mandi yang ternyata sudah ada mas Radit di dalamnya. Aku menunggunya beberapa saat sembari sesekali meneriakinya agar bergegas.
Beberapa menit mas Radit membuka pintu kamar mandi dengan tangan mengusap-usap handuk di kepalanya.
"Lama banget sii, dingin tau" keluhku dengan wajah cemberut manja
Aku berlari menuju ruang kecil didepanku. Tapi belum sempat memasukinya ....
BRUUKKK !!!
Kakiku tak sengaja menendang meja kecil di samping pintu kamar mandi. Seketika mas Rdit menangkap tubuhku yang nyaris rubuh. Beberapa detik kami diam dengan posisi setengah berpelukan.
Tubuhku seketika lemas. Detak jantungku tak beraturan saat pandangan mas Radit tepat jatuh pada mataku. Tatapannya semakin dalam, bahkan wajahnya perlahan mendekat. Otakku seperti berhenti bekerja, tak sempat berpikir apa yang harus aku lakukan.
Semakin dekat wajah mas Radit, nafasku semakin tak terkendali. Aku mematung bahkan saat ujung hidung kami menempel.
"Ee anu mas itu ada ibu" kataku sigap membuyarkan pandangan mas Radit.
Mas Radit spontan melepas pelukannya. Kepalanya menoleh kebeberapa sisi yang ternyata tak ada ibu di sana. Seketika aku berdiri memperbaiki posisiku. Mataku mengawasi sekitar dengan sesekali melirik laki-laki didepanku. Wajahnya kecewa, tapi biarlah aku bergegas ke kamar mandi.
Ku dengar langkah kakinya mengjauhi kamar mandi.
"Huufftt hampir saja" aku menghela nafas lega.
Memang selama aku dan mas Radit pacaran hingga hampir menikah, tak sekalipun kami berciuman. Sejauh itu kami hanya berpegangan tangan. Dan selama itu pula dia tak pernah mengeluhkan hal itu.
*****
Di ruang makan, mas Radit terlihat berbincang dengan ibu. Terlihat sangat serius.
"Ngobrolin apa sih? Serius banget" tanyaku seraya mendekati mereka berdua
"Ini Nay, besok kalian harus mulai kirim undangan loh" jawab ibu
"Iya Nay, kan tinggal 20 hari lagi. Kita sekalian silaturrahmi ke keluarga sekalian antar undangan. Kamu bisa kan?" Sambung mas Radit
Aku hanya mengangguk dengan tangan menyambar potongan kue di piring. Ditengah perbincangan kami,
Tookk took tookk
Terdengar ketukan pintu dari luar. Aku bergegas membukanya. Kudapati bapak parih baya dengan jaket orange berdiri tepat di depan pintu dengan tangan memegang sebuah bungkusan.
"Selamat siang, mbak Nayra ya?" Tanyanya ramah
"Iya, saya pak" jawabku
"Ini ada paket mba" jawabnya singkat sembari memegang handpone, memotretku sebagai bukti penerimaan paket
"Makasih ya pak" jawabku lagi
Aku kembali ke dalam rumah setelah bapak kurir itu pergi.
"Ibu pesen apa? Ini ada paket!" Kataku setengah berteriak
Ku berikan bungkusan itu pada ibu. Wajahnya tampak kebingungan.
"Ini bukan buat ibu Nay, tapi buat kamu. Dari...." kata-ibu terhenti
Ibu menatapku, lalu melihat arah mas Radit.
"Hendi" lanjut ibu
Wajah mas Radit seketika berubah datar. Beberapa kali terdengar menghela nafas.
"Apa ini? Darimana Hendi tau alamat baruku? Pasti mas Radit berpikir aku yang memberitahunya. Atau bahkan dia mengira aku masih berhubungan dengan Hendi" gumamku dalam hati.
Pikiranku berkecamuk apa yang Hendi kirimkan? Apa tujuannya? Dan kenapa?
Aku berlari menuju kamar mandi
Apa yaa kira-kira yang dikirimkan Hendi untuk Nayra? Apa tujuannya? Dan bagaimana dia bisa tau rumah Nayra?
Aku berlari menuju kamar mandi yang sebenarnya bukan tujuanku. Aku hanya salah tingkah dengan kenyataan aku mendapat kiriman paket dari Hendi. Setengah hati aku senang. Selebihnya aku takut mas Radit salah paham. Beberapa menit aku berdiam, sampai akhirnya memberanikan diri kembali duduk dengan ibu dan mas Radit. **** Di ruang tengah ibu terlihat memilah beberapa undangan. Mengumpulkannya berdasarkan alamat. Tapi tak terlihat mas Radit bersamanya. "Mas Radit mana bu?" Tanyaku "Ada di teras Nay, katanya mau cari angin" jawab ibu dengan senyum Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih sibuk. Ku lihat mas Radit duduk di lantai dengan kaki menyilang. Di depannya nampak bungkusan plastik hitam. "Ah aku lupa dengan paket itu" gumamku "Lagi ngapain mas?" Tanyaku basa-basi "Lagi nunggu kamu buka ini. Aku penasaran apa yang dikirimkan seorang laki-laki pada mantan kekasihnya" terangnya dengan wajah masam
Aku menuju ruang tamu. Kudapati seorang pria dengan kemeja kotak-kotak tengah duduk di sana. Pandangannya tertuju pada beberapa gambar yang tertempel di dinding. Aku duduk di sofa tepat di hadapannya. Tatapanku sangat teliti pada penampilannya. Dari atas kepala hingga ujung kaki kuperhatikan. Pria itu membalas tatapanku "Rifkiiii" teriakku "Apakabar Nay? Sepertinya sangat sehat?" Sapanya usil melihat aku yang sekarang sudah tak sekurus dulu. "Aku mengembang bersama usia ki" jawabku dengan tawa "Kapan kamu pulang ki? Udah mau wisuda ya?" Sambungku "Aku udah lulus dari beberapa tahun lalu Nay, ini udah enam tahun loh masa kamu masih mikir aku belum lulus" jawabnya cemberut "Hehehe kali aja. Oh iya, jadi kamu sekarang kegiatannya ngapain? Kerja atau lanjut S2?" Tanyaku "Lagi mengunjungi calon isteri Nay" jawabnya "Calon isteri? Siapa? Kenalin dong?" Aku penasaran Dia tak menjawab. Ia menatapku dalam
Mencari tau tentang Nayra adalah kebahagiaan tersendiri bagi Hendi. Baginya ada sesuatu yang belum selesai diantara mereka. Mereka terpisah saat kita masih sama-sama suka. Tapi bagi Hendi biarlah seperti ini saja, asal Nayra bersama orang yang tepat.Hendi mengawasi dua orang yang tengah berjalan beriringan. Mereka terlihat sangat behagia. Bersenda gurau ditengah keramaian. Tak sadar, Hendi pun turut senyum melihat tingkah mereka.Nayra sepertinya tak menyadari Hendi berada di sana dan tengah mengawasinya. Hendi memang sengaja meminta tolong Rifki agar bagaimana caranya dia bisa melihat Nayra."Tingkahnya masih sama, keceriaannya masih sama yang berbeda hanya kini dia bersama orang lain" begitu pikirnyaBanyak sekali yang ingin Hendi katakan. Tapi terpaksa dia tahan karena tak ingin melihatnya kecewa. Melihat tawa Nayra saja sudah sangat membuatnya bahagia.Hendi mengambil ponsel dari saku jaket."Sudah cukup Rif. Makasih ya" pesanku singkat
Suara sirine memecah keramaian jalanan. Lalu lalang kendaraan seolah tersibak tatkala mobil putih itu melintas.Di dalam, Deni tengah memegang erat tangan isterinya yang sedang merasakan sakit luar biasa. Sementara Mei turut tersedu melihat wajah temannya pucat pasi tak berdaya. Ilma mengatur nafas sebisanya."Bertahan ya sayang, kamu kuat. Sebentar lagi kita sampai" bisik Deni dengan suara bergetarLima belas menit waktu yang ditempuh. Mereka sampai di Rumah sakit. Petugas segera membawa Ilma. Dokter Rani yang sebelumnya sudah ditelfon pun sudah siaga siap menangani pasiennya."Bapak, ibu mohon tunggu di luar ya" pinta seorang perawat sambil menutup pintu UGD.Deni bolak-balik di depan pintu dimana isterinya ditangani. Mulutnya tak berhenti mengucap dzikir. Beberapa waktu kemudian, Dokter memanggilnya ke sebuah ruangan.“Saya sudah mengingatkan sebelumnya ya pak, kalau ibu Ilma harus operasi dan tindakan tersebut dilakukan sebelum terasa ko
Duniaku hancur, satu sahabatku pergi. Aku merasa seorang diri.“Sabar Nay, ikhlaskan Ilma ya sayang. Dia sudah bahagia” kata-kata lembut itu membangunkankuAku memeluk sosok itu. Entah dari kapan ibu sudah berada di sini. Dibangku tempatku tergeletak.“Ilma bu, Ilma. Kenapa harus Ilma bu??!” Aku semakin histeris“Ssttt sudah sudah” ibu memelukkuMas Deni sedang ikut mengurus jenazah Ilma. Sementara aku tak tega jika harus melihat sahabatku sudah dalam keadaan dingin. Tiba-tiba emosiku mencuat, ku pandang Mei yang masih saja duduk.“Seneng kamu? Kamu mau tertawa? Kalo kamu dulu nggak egois Ilma nggak akan kaya gini. Bu dhe nggak akan kena strok. Ilma tidak harus pontang panting kerja disaat hamil karena harus menutup hutang ibunya” gerutuku“Nay, aku nggak tau kalo kehidupan Ilma berubah drastis setelah bu dhe tidak bekerja di tempat papa” bela Mei“Karena kamu tida
Tiga hari kepergian Ilma rasanya masih seperti mimpi bagiku. Aku masih di rumah sakit menunggu si kecil dengan bolak-balik pulang untuk mengurus keperluan pernikahanku. Mas Radit selalu menemaniku di rumah sakit. Hari ini kami berencana mengantar undangan. Memang ada beberapa undangan yang sengaja kami antar sendiri karena kami pun harus meminta do’a restu kepada yang bersangkutan.Sebenarnya aku agak canggung saat bertemu beberapa rekan dari calon mertuaku. Tapi kusampingkan perasaan itu.“Oh ini calonnya Radit ya? Wah cantik sekali. selamat ya, tante do’akan acaranya lancar” kata tante Asri saat kami berkunjungSesekali aku melirik sekitar, dekorasi rumah semi eropa seolah menggambarkan kalau sang pemilik dari golongan menengah ke atas. Beberapa pajangan mewah pun tampak berderet di sebuah lemari pajangan.“Hen, sini nak bentar!” teriak tante Asri“Mungkin nama anaknya Heni” benakku“ada apa tan” tanya seorang oemud
Motor mas Radit berhenti tepat di depan rumah Ilma. Aku mengajaknya masuk namun ia menolak dengan alasan pekerjaan. “Eehh ada tante Nay!!” teriak seseorang dari arah pintu rumah. Orang itu duduk diatas kursi roda dengan memangku bayi kecil. “Aaaa Tiara sayaaang!!!” teriakku berlari menyambut sang bayi Mas Radit pergi, bahkan tanpa menyalami ibu Ilma. Rasanya tak enak hati melihat tingkah laku mas Radit. Ia yang berwibawa dan sangat sopan santun seakan menjadi orang lain yang tak peduli pada sekitarnya. Ia kini menjadi pria dingin dan murung entah apa yang membuatnya berubah. aku melambai pada calon suamiku dan masuk kedalam rumah mas Deni.Di dalam rumah, masih terpajang foto-foto almarhum Ilma. senyumnya masih hangat mewarnai ruangan. hanya saja, rasanya wajahnya terlalu menyakitkan untuk aku tatap."huuuft" aku menghelaTerdengar suara tangis Tiara dari kamar belakang. aku bergegas menemuinya."ututuuu ana
aku pergi, menjauh sebisaku. aku bingung apa yang harus aku lakukan. Entah kepada siapa aku menceritakan dan keputusan seperti apa yang harus aku ambil.Lututku terasa nyeri. Aku tak ingat seberapa jauh aku berlari. Langkahku terhenti di sebuah taman dengan hamparan danau ditengahnya. kubasuh mukaku sembari menghela nafas. Perasaan kecewa masih menggelayutiku. "keringkan mukamu!" seseorang menyerahkan selembar tisuAku menoleh kearah tangan di sebelahku."Hendi? kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan nada masih terisak"lah, kan emang aku ngikutin kamu dari depan komplek rumah mas Deni" jawab Hendi entengAku tak menjawab lagi. Rasanya Banyak sekali hal yang ingin kuceritakan padanya. Banyak hal yang akan ku adukan. Tapi aku harus mulai dari mana? hingga hanya air mata yang lebih dahulu keluar sebelum aku mengucapkan apapun."Mas Deni itu orang baik, baik sekali menurutku. Dia akan menyayangi dan membimbingmu. Ilma