Nadha duduk di samping Frans, wajahnya pucat dan matanya masih bergetar. Frans menatap dingin ke arah para guru yang hanya bisa menunduk. Suaranya keluar pelan tapi tajam, seperti pisau yang siap mengiris.
“Aku beri kalian satu kesempatan terakhir,” ucap Frans dengan tekanan di setiap kata. “Kalau sekali lagi kalian berani menyentuh keponakanku, aku pastikan nama kalian hilang dari dunia pendidikan. Kalian akan diblacklist dari semua sekolah di kota ini.” Tak ada yang berani menatap balik. Beberapa guru bahkan terlihat menelan ludah, wajah mereka pucat pasi. “Baik, Tuan Frans… kami mengerti,” jawab mereka serempak, suaranya lirih penuh ketakutan. Frans tidak menunggu reaksi lain. Ia langsung menggenggam tangan Nadha, menariknya keluar dari ruangan dengan langkah tegas yang bergema di koridor. Di parkiran, Nadha masih berusaha menenangkan napasnya. Frans berhenti, lalu menatapnya lembut. “Sayang, kamu aman sekarang. Mereka tak akan berani lagi. Semua sudah selesai.” Nadha menggigit bibirnya, masih sulit percaya. Frans mengusap bahunya pelan. “Mulai hari ini, kamu bisa makan di kantin tanpa bayar sepeser pun. Sekolah ini milikku. Dan saat acara ulang tahun sekolah, aku akan katakan di depan semua orang kalau kamu keponakanku. Bukan istriku. Aku tak mau reputasimu hancur karena gosip.” Air mata Nadha menetes tanpa bisa ditahan. “Terima kasih, Sayang… aku benar-benar beruntung punya kamu.” Frans tersenyum tipis, lalu berbisik, “Sekarang kembali belajar. Aku ada rapat di kantor. Jangan takut lagi. Selama aku ada, tak seorang pun bisa menyakitimu.” Nadha hanya mengangguk, meski dalam hatinya masih ada rasa waswas. Pelajaran kedua dimulai. Suasana kelas seakan biasa saja, tapi bagi Viola, kehadiran Nadha adalah duri yang menusuk. Ia melangkah ke bangku Nadha, menunduk sedikit sambil berbisik sinis. “Gimana hukuman tadi pagi? Enak, kan?” Nadha menoleh, senyumnya tipis tapi penuh tantangan. “Lumayan. Hitung saja olahraga gratis.” Senyum Viola langsung pudar. “Jangan coba-coba meremehkanku. Itu akibatnya karena kamu tak mau nurut.” Nadha menatapnya tajam, suaranya tenang namun menusuk. “Atas dasar apa aku harus nurut? Kamu siapa, hah?” Viola mengangkat dagunya dengan angkuh. “Aku kakakmu. Jangan lupa itu.” Nadha terbahak kecil. “Kakak? Jangan bermimpi. Aku bukan keluarga Gunawan lagi. Jadi, kamu tak punya hak sedikit pun atas hidupku.” Wajah Viola memerah, matanya berkilat penuh amarah. Dalam hati ia bergumam, Kamu mungkin bisa melawanku kemarin, tapi kali ini kamu tak akan lolos. Semua guru ada di pihakku. Suasana kelas mendadak hening ketika pintu terbuka. Bu Lely masuk dengan wajah serius. Semua murid langsung kembali ke bangku masing-masing. “Anak-anak,” suaranya tegas, “hari ini Ibu akan memilih tim dance yang akan mewakili sekolah ke lomba nasional. Minggu depan, hanya tim terbaik yang akan berdiri membawa nama sekolah ini.” Tiara menyikut Viola sambil berbisik, “Tenang, pasti tim kita. Tahun lalu aja kita yang dipilih.” Nadha mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia teringat bagaimana tahun lalu ia harus mengalah karena ancaman Viola. Tidak lagi. Kali ini ia akan melawan, apapun risikonya. “Bu, siapa yang mewakili sekolah kita?” tanya Bella penasaran. Tiara langsung menimpali, nada suaranya sengaja dibuat keras. “Jelas tim Viola lah. Viola kan paling jago. Beda sama yang di sebelah.” Ia melirik tajam ke arah Nadha, senyum sinis tersungging di bibirnya. Namun, jawaban Bu Lely membuat seisi kelas terdiam. “Bukan. Tahun ini, yang mewakili sekolah adalah… tim Nadha.” Detik itu juga, Viola tersentak. Tubuhnya bergetar, lalu ia menghantam meja dengan keras. BRAKK! “APA?! Kenapa timnya Nadha, Bu? Tahun lalu tim akulah yang mewakili sekolah!” teriaknya dengan suara bergetar antara marah dan tak percaya. Tatapan Bu Lely tajam menembus mata Viola. “Viola, kamu pikir Ibu tidak tahu? Tahun lalu kamu memaksa Nadha mengalah. Kamu kira Ibu juga tidak tahu kalau kamu mengancamnya dengan membawa nama ayahmu?” Mata Viola melebar. Ia membeku, seluruh kelas kini menatapnya tanpa berkedip. Rasa malu dan panik bercampur menjadi satu. Dan untuk pertama kalinya, sang ratu kelas itu terlihat rapuh. “Aku nggak terima, Bu!” suara Viola pecah di ruang latihan. Wajahnya memerah, dagunya terangkat angkuh. “Tim Nadha itu nggak pantas mewakili sekolah kita. Mereka kampungan, Bu! Bukannya bikin bangga, malah bikin malu!” Beberapa murid terkejut mendengar ucapan Viola. Suasana yang semula riuh mendadak hening. Bu Lely, guru tari yang dikenal disiplin, melipat tangan di dada. Sorot matanya tajam menusuk Viola. “Viola, jangan lancang. Tahun lalu justru tim kamu yang bikin malu sekolah ini. Kamu lupa? Gerakanmu kaku, ekspresimu kosong. Bukannya menawan, justru bikin penonton canggung. Bandingkan dengan Nadha.timnya luwes, solid, penuh percaya diri. Jadi berhenti merasa paling benar.” Kata-kata itu membuat wajah Viola panas. Namun sebelum ia sempat membalas, Bu Lely kembali bersuara. “Dua hari lagi, Alex akan datang ke sekolah ini. Dia akan melatih dan menilai kalian langsung. Dan tim yang Alex pilih,itulah yang akan mewakili sekolah. Keputusan ada di tangannya, bukan di mulutmu, Viola.” Begitu nama Alex disebut, murid-murid langsung berdesis kagum. Alex bukan hanya aktor populer, ia juga penari profesional dengan segudang prestasi internasional. Kehadirannya ibarat mimpi jadi nyata. Tiara, sahabat dekat Viola, cepat-cepat mendekat lalu berbisik, “Vio, ayahmu kan punya banyak koneksi. Pasti bisa bikin Alex lebih condong ke kita, kan?” “Betul,” sambung Janet sambil melirik kiri-kanan. “Kamu sendiri pernah bilang kalau ayahmu dekat sama Alex. Ini kesempatanmu, Vio.” Senyum tipis muncul di bibir Viola. Ia menyibakkan rambut panjangnya dengan angkuh. “Tenang saja. Urusan Alex gampang. Aku akan minta tolong Ayah. Kalian lihat saja, nanti tim kita yang dipilih.” Padahal, dalam hati, Viola tahu hubungannya dengan Alex hanyalah bualan. Ia bahkan belum pernah bicara langsung dengannya. Tapi demi harga diri dan gengsinya di sekolah, Viola rela melakukan apa saja. Sore itu, sepulang sekolah, Viola melangkah masuk ke kantor ayahnya. Masih mengenakan seragam putih abu-abu, ia langsung menerobos ruangan kerja mewah dengan dinding kaca tinggi. “Ayah!” serunya manja sambil langsung merangkul pria berkemeja rapi di balik meja kerja yang penuh dokumen. Pak Gunawan mendongak dari berkas-berkasnya, wajahnya letih. “Kamu ngapain ke sini, Viola? Bukannya seharusnya kamu di rumah?” tanyanya dengan nada datar. Viola duduk di kursi tamu tanpa diminta. Ia mencondongkan tubuh ke depan, sorot matanya penuh ambisi. “Ayah, sekolah akan kedatangan Alex untuk melatih tim dance. Aku harus lebih dulu bertemu dia. Aku butuh Ayah yang atur. Kalau aku terlihat akrab dengan Alex, semua murid akan menghormatiku. Nama Viola harus tetap bersinar.” Pak Gunawan terdiam lama. Ia melepas kacamatanya dan memijat pelipis yang terasa berat. “Viola… kamu pikir Alex itu siapa? Dia bukan orang yang bisa sembarangan diatur. Mengundangnya saja butuh biaya besar, sedangkan perusahaan kita sedang goyah. Ayah sedang berusaha menutup kerugian, bukan malah buang uang untuk ambisimu.” Mendengar itu, Viola mengetukkan jarinya di meja dengan gusar. “Aku nggak peduli! Yang jelas, aku harus bertemu Alex. Kalau aku gagal, semua orang akan menertawakanku. Ayah mau anaknya dipermalukan?” katanya dengan nada tinggi. Pak Gunawan menarik napas panjang, tatapannya campuran antara lelah dan iba. Ia tahu betul sifat putrinya yang keras kepala. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Ayah akan coba cari cara. Tapi jangan terlalu berharap. Alex bukan orang yang bisa dibeli semudah itu.” Mendengar jawaban itu, senyum puas kembali menghiasi wajah Viola. Ia merasa kemenangannya sudah di depan mata. Dalam hatinya, ia yakin dengan sedikit bantuan ayah, tim Nadha takkan punya kesempatan. Yang Viola tidak tahu, langkah yang ia ambil justru akan membuka pintu menuju masalah yang jauh lebih besar…Di dalam mobil yang melaju pelan, Nadha tertidur dengan damai. Wajahnya tampak tenang, seakan seluruh beban dunia lenyap dalam lelapnya. Frans melirik sekilas, lalu tersenyum hangat. Setibanya di rumah, ia turun dan dengan hati-hati menggendong sang istri ke kamar.“Semenjak ada Nona Nadha, Tuan Frans tampak jauh lebih bahagia,” ucap Bi Ina dengan mata berbinar.“Iya, Mbak. Aku pun merasakan hal yang sama. Nona Nadha baik, dan Tuan Frans sekarang jauh lebih ramah,” timpal salah seorang pembantu.“Semoga kebahagiaan ini tidak cepat berlalu… dan semoga Nona Nadha selalu diberi kesehatan,” tambah Bi Ina pelan, seolah sedang berdoa.Frans hanya tersenyum samar, lalu menutup pintu kamar. Dengan penuh kasih ia membaringkan Nadha di ranjang. Tangannya bergerak lembut, menata selimut, lalu membantunya berganti pakaian. Ia menunduk, menempelkan ciuman hangat di kening sang istri sambil berbisik,“Good night, honey…”Namun di tempat lain, suasana berbanding terbalik.Viola mengamuk hebat di kam
Frans mengajak Nadha berkunjung ke kediaman keluarga Aditama. Mobil itu melaju menembus malam, menyisakan deru angin dan detak jantung Nadha yang berdegup kencang. Ada sesuatu yang berat di dadanya.campuran antara takut, cemas, dan harapan. Malam ini akan menjadi pertama kalinya ia bertemu keluarga dari ibunya. “Apa kamu takut?” suara Frans memecah sunyi. Nadha menoleh pelan, matanya redup. “Hemmm… apa mereka akan menyakitiku juga? Aku takut semuanya akan terulang lagi…” suaranya nyaris tenggelam, seolah ada luka lama yang kembali menganga. Frans menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalanan. “Tidak. Selama aku ada di sini, tidak akan ada satu orang pun yang bisa menyakitimu.” Nadha hanya mengangguk kecil. Namun rasa waswas itu tidak hilang. Semakin dekat dengan gerbang besar yang dijaga puluhan pria berjas hitam, bulu kuduknya semakin berdiri. Lampu-lampu sorot menyoraki mobil mereka seakan menelanjangi siapa pun yang datang
Nadha duduk di samping Frans, wajahnya pucat dan matanya masih bergetar. Frans menatap dingin ke arah para guru yang hanya bisa menunduk. Suaranya keluar pelan tapi tajam, seperti pisau yang siap mengiris.“Aku beri kalian satu kesempatan terakhir,” ucap Frans dengan tekanan di setiap kata. “Kalau sekali lagi kalian berani menyentuh keponakanku, aku pastikan nama kalian hilang dari dunia pendidikan. Kalian akan diblacklist dari semua sekolah di kota ini.”Tak ada yang berani menatap balik. Beberapa guru bahkan terlihat menelan ludah, wajah mereka pucat pasi.“Baik, Tuan Frans… kami mengerti,” jawab mereka serempak, suaranya lirih penuh ketakutan.Frans tidak menunggu reaksi lain. Ia langsung menggenggam tangan Nadha, menariknya keluar dari ruangan dengan langkah tegas yang bergema di koridor.Di parkiran, Nadha masih berusaha menenangkan napasnya. Frans berhenti, lalu menatapnya lembut.“Sayang, kamu aman sekarang. Mereka tak aka
Pagi itu, suasana kediaman keluarga besar Aditama terasa hening. Pertemuan khusus sedang berlangsung. Tidak ada satupun orang luar yang diizinkan masuk,bahkan bodyguard pribadi pun diperintahkan untuk menunggu di luar gerbang.Frans melangkah masuk dengan wajah serius. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan, sesuatu yang bisa mengguncang seluruh keluarga Aditama.“Selamat pagi, Tuan Aditama,” sapa Frans sambil sedikit menunduk.“Pagi, Frans. Tumben sekali kamu datang berkunjung. Ada apa sebenarnya?” tanya Pak Aditama dengan dahi berkerut.“Kebetulan keluarga besar Bapak sedang berkumpul. Saya datang membawa sebuah informasi penting,” jawab Frans tenang namun tegas.“Informasi apa?” sahut Pak Bugi penasaran.“Ini… tentang Bu Nina.”Sekejap, ruangan itu sunyi. Semua anggota keluarga saling pandang dengan wajah terkejut.Nina adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Aditama. Dulu, ketika keluarga ini berada di puncak kejayaan, Gunawan begitu menghargainya. Namun, setelah kabar bangkru
Keesokan harinya, Nadha sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa, Frans memperhatikannya dengan tatapan penuh cemas. Tapi kali ini, ia menyiapkan sesuatu yang berbeda.Di depan rumah, seorang perempuan berambut pendek dengan sorot mata tajam sudah berdiri tegak. Dia mengenakan setelan hitam rapi, aura dinginnya membuat suasana terasa mencekam.“Sayang, ini Gina. Mulai hari ini dia yang akan menjagamu,” ujar Frans serius.“Menjaga? Aku bisa jaga diri sendiri kok,” jawab Nadha ragu.Frans mendekat, memegang bahu Nadha erat. “Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Tolong jangan menolak. Kamu terlalu berharga buatku.”Nadha terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah… makasih, sayang.”Frans terpaku. Kata sayang itu seperti obat bagi hatinya yang gelisah. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun di balik senyum itu, ada kekhawatiran yang tak pernah reda.Sementara itu, di kediaman keluarga Gunawan, suasana panas. Viola membanting tasnya ke sofa, matanya melotot ke arah ayah
Malam itu, suasana di meja makan kediaman Frans berbeda dari biasanya. Meja panjang yang biasanya hanya diisi Frans dan beberapa orang terdekat, malam ini penuh sesak oleh para ART dan bodyguard. Semuanya berkumpul untuk merayakan pernikahan tuan mereka. Tawa kecil, bisik-bisik kagum, dan rasa penasaran menyelimuti ruangan.Frans meletakkan sendoknya, lalu menatap semua orang dengan sorot mata yang tegas.“Kalian semua dengarkan baik-baik. Mulai hari ini, Nadha adalah istriku. Tugas kalian bukan hanya menjagaku, tapi juga mengawasinya. Jangan biarkan ada satu pun hal buruk menimpa dirinya. Dan satu hal lagi…” suaranya menurun, namun tegas. “Tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke rumah ini tanpa izin dariku.”Semua serempak menjawab, “Mengerti, Tuan!!!”Frans kembali menyandarkan tubuhnya di kursi, namun beberapa detik kemudian ia menambahkan, “Oh, hampir lupa. Pernikahan ini harus dirahasiakan. Aku tidak ingin sekolah Nadha terganggu gara-gara kabar ini. Jadi, mulut kalian harus te