Keesokan harinya, Nadha sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa, Frans memperhatikannya dengan tatapan penuh cemas. Tapi kali ini, ia menyiapkan sesuatu yang berbeda.
Di depan rumah, seorang perempuan berambut pendek dengan sorot mata tajam sudah berdiri tegak. Dia mengenakan setelan hitam rapi, aura dinginnya membuat suasana terasa mencekam. “Sayang, ini Gina. Mulai hari ini dia yang akan menjagamu,” ujar Frans serius. “Menjaga? Aku bisa jaga diri sendiri kok,” jawab Nadha ragu. Frans mendekat, memegang bahu Nadha erat. “Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Tolong jangan menolak. Kamu terlalu berharga buatku.” Nadha terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah… makasih, sayang.” Frans terpaku. Kata sayang itu seperti obat bagi hatinya yang gelisah. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun di balik senyum itu, ada kekhawatiran yang tak pernah reda. Sementara itu, di kediaman keluarga Gunawan, suasana panas. Viola membanting tasnya ke sofa, matanya melotot ke arah ayahnya. “Ayah! Kenapa uang jajan Viola dikurangin? Bukannya Nadha udah enggak tinggal di sini? Harusnya uang jajan Viola malah ditambah, kan?!” bentak Viola dengan nada manja yang menyebalkan. Pak Gunawan menarik napas berat. “Viola, dengarkan Ayah. Sekarang keuangan keluarga kita sedang kacau. Ayah harus ganti kerugian satu miliar karena ulah ibumu.” Viola melotot tak percaya. “Satu miliar?! Astaga… Mama ngapain lagi?” Bu Yeni duduk santai di kursi rias, memoles kuku sambil tersenyum dingin. “Kemarin Ibu enggak sengaja nabrak mobil seseorang. Jadi ya… ganti rugi, lah.” “Mama! Kalau enggak bisa nyetir, jangan sok-sokan bawa mobil. Bikin repot aja!” teriak Viola, lalu dengan kesal ia pergi meninggalkan rumah. Di sekolah, pemandangan tak terduga membuat langkah Viola terhenti. Dari sebuah mobil mewah yang baru berhenti di gerbang, Nadha turun dengan anggun. Yang lebih membuatnya syok, seorang bodyguard membuka pintu untuknya, memperlakukannya bak seorang putri. “Enggak mungkin…” Viola berbisik, matanya penuh api iri. “Dia harusnya menderita, bukan hidup seperti ini. Aku enggak akan biarin dia bahagia.” Dengan wajah dingin, Viola melangkah cepat menghampiri Nadha. “Eh, Nadha… ternyata lo masih berani juga ya nongol di sekolah ini,” sindirnya dengan senyum sinis. Nadha menoleh sebentar, lalu melangkah tanpa menggubris. “Kamu mau ke mana?! Aku belum selesai ngomong!” bentak Viola sambil menarik tangan Nadha kasar. Namun secepat kilat, Gina menepis tangan Viola. Tatapan matanya menusuk, membuat Viola seketika terdiam. “Jaga sikapmu. Jangan sentuh tuan putri saya,” ucap Gina dingin. Nadha menatap Viola, matanya berkilat penuh luka. “Maaf, kita tidak kenal. Anda siapa?” Wajah Viola memerah, gengsinya terluka. “Kamu… jangan asal ngomong, Nadha!” Nadha tersenyum tipis, tapi matanya dingin. “Aku tidak asal. Bukankah Ayah lebih memilihmu? Rela mengusir anak kandungnya sendiri demi anak tiri yang tidak jelas sepertimu?” Viola membeku, wajahnya pucat menahan malu sekaligus marah. Dan pada saat itu, tanpa ada yang sadar, di balik kerumunan murid-murid yang berbisik-bisik, ada seseorang yang memperhatikan Nadha dari jauh. Sosok itu bersembunyi di balik pohon besar dekat gerbang sekolah. Sepasang matanya yang hitam pekat tak pernah lepas dari Nadha, seolah menunggu saat yang tepat untuk bergerak. Saat bel berbunyi, riuh murid-murid baru saja masuk kelas. Dinda menoleh ke pintu dan matanya langsung berbinar. “Nadha!” serunya bahagia, lalu berlari menyambut sahabatnya yang sudah lama tidak datang. “Dinda…” jawab Nadha, memeluknya erat seolah tak ingin lepas. “Kamu dari mana saja, Nad? Beberapa hari ini kamu menghilang. Aku khawatir banget,” tanya Dinda cepat-cepat. Nadha menunduk. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Aku… diusir dari rumah.” Dinda terkejut. “Apa? Diusir? Kok bisa?” Nadha menarik napas panjang, menahan sesak di dadanya. “Ayah lebih sayang sama anak tirinya. Dia percaya semua fitnah yang dilontarkan Viola… sampai akhirnya aku dianggap sampah di rumah sendiri.” Dinda mengepalkan tangan. “Viola benar-benar keterlaluan. Di depan ayahmu dia bisa sok manis, tapi di belakang… dia seperti iblis yang paling rajin menyiksamu.” Nadha menggeleng lemah. “Sudahlah, Din. Aku sudah muak dengan mereka. Aku hanya ingin membuka lembaran baru. Hidupku tak lagi membutuhkan bayangan ayah atau keluarga itu.” Ia tersenyum hambar, lalu mengajak Dinda masuk ke kelas. Hari itu semua siswa diwajibkan mengumpulkan tugas. Untung saja semalam Nadha sempat diberi tahu oleh Dinda, sehingga ia bisa mengerjakan dengan serius, bahkan dibantu oleh suaminya yang selalu setia. Sementara itu, di sudut kelas, Viola menggigit bibirnya gelisah. “Gawat… aku lupa ngerjain PR Matematika,” gumamnya. “Kalau Bu Monica tahu, aku bisa dihukum habis-habisan.” Senyum licik tiba-tiba merekah di wajahnya. Ia berjalan ke bangku Nadha, lalu tanpa basa-basi merampas buku yang sedang dipegang sahabat tirinya itu. “Sini! Buku kamu.” Viola menarik paksa. “Viola! Apa-apaan sih? Itu bukuku! Jangan seenaknya rebut barang orang!” protes Nadha keras. “Heh! Jangan lupa, aku saudaramu. Kalau aku sampai dihukum, nama keluarga kita juga jelek. Jadi kamu harus ngalah!” bentak Viola. “Aku tidak peduli! Itu salahmu sendiri. Siapa suruh malas ngerjain tugas!” Nadha melawan, merebut kembali bukunya dengan mata berapi-api. Viola mendekatkan wajahnya, berbisik tajam. “Kamu berani melawanku, Nad? Apa kamu belum cukup dengan semua hukuman yang Ayah kasih?” “Itu ayahmu, bukan ayahku. Kau boleh merebut kasih sayangnya, tapi sekarang aku tak akan membiarkanmu merebut apapun lagi dariku,” balas Nadha dingin, lalu melangkah ke depan kelas menyerahkan tugasnya. Wajah Viola memerah menahan amarah. Dahulu Nadha hanyalah bonekanya, selalu pasrah saat dipermainkan. Tapi sekarang… Nadha berbeda. Nadha berani melawan. “Viola, mana tugasmu?” tanya Bu Monica di depan kelas. “Buku saya… dicuri Nadha, Bu. Buku yang dia bawa itu sebenarnya milik saya,” ucap Viola lantang, penuh kepura-puraan. Seketika satu kelas riuh. Hampir semua murid percaya. Bagi mereka, Viola yang cantik dan populer lebih mudah dipercaya ketimbang Nadha yang sederhana. “Nadha, apa benar yang dikatakan Viola?” tanya Bu Monica dengan tatapan tajam. “Silakan Ibu periksa. Di buku itu jelas tertulis namaku,” jawab Nadha tegas. “Bohong, Bu! Dia baru menulis namanya sebelum dikumpulkan!” sahut Viola cepat, lalu melirik Tiara. Tiara,sahabat bayaran Viola.mengangguk setuju. “Iya, Bu. Aku saksi. Nadha memang mencuri.” Nadha tersenyum miring, menatap mereka dengan dingin. “Hebat ya, kalian berdua. Aktingnya pantas dapat penghargaan. Sayang, Tuhan memberi umur panjang pada orang-orang licik.” BRAKKK! Meja depan dihantam telapak Bu Monica. “Cukup! Nadha, keluar! Keliling lapangan sepuluh kali!” bentaknya. “Oke. Akan kulaksanakan,” jawab Nadha, meski hatinya perih. Ia melangkah keluar dengan kepala tegak, menahan harga diri. Sementara itu, Viola duduk kembali dengan senyum puas, lalu berpura-pura meneteskan air mata di hadapan guru. “Maaf ya, Bu… semoga ke depannya tidak ada keributan lagi. Entah kenapa, padahal aku hanya saudara tirinya, tapi Nadha selalu membenciku.” “Kasihan sekali Viola. Ternyata Nadha setega itu…” bisik beberapa murid, mulai ikut menilai Nadha tanpa tahu kebenarannya. Dan sekali lagi, kebenaran terkubur oleh kepalsuan.Di dalam mobil yang melaju pelan, Nadha tertidur dengan damai. Wajahnya tampak tenang, seakan seluruh beban dunia lenyap dalam lelapnya. Frans melirik sekilas, lalu tersenyum hangat. Setibanya di rumah, ia turun dan dengan hati-hati menggendong sang istri ke kamar.“Semenjak ada Nona Nadha, Tuan Frans tampak jauh lebih bahagia,” ucap Bi Ina dengan mata berbinar.“Iya, Mbak. Aku pun merasakan hal yang sama. Nona Nadha baik, dan Tuan Frans sekarang jauh lebih ramah,” timpal salah seorang pembantu.“Semoga kebahagiaan ini tidak cepat berlalu… dan semoga Nona Nadha selalu diberi kesehatan,” tambah Bi Ina pelan, seolah sedang berdoa.Frans hanya tersenyum samar, lalu menutup pintu kamar. Dengan penuh kasih ia membaringkan Nadha di ranjang. Tangannya bergerak lembut, menata selimut, lalu membantunya berganti pakaian. Ia menunduk, menempelkan ciuman hangat di kening sang istri sambil berbisik,“Good night, honey…”Namun di tempat lain, suasana berbanding terbalik.Viola mengamuk hebat di kam
Frans mengajak Nadha berkunjung ke kediaman keluarga Aditama. Mobil itu melaju menembus malam, menyisakan deru angin dan detak jantung Nadha yang berdegup kencang. Ada sesuatu yang berat di dadanya.campuran antara takut, cemas, dan harapan. Malam ini akan menjadi pertama kalinya ia bertemu keluarga dari ibunya. “Apa kamu takut?” suara Frans memecah sunyi. Nadha menoleh pelan, matanya redup. “Hemmm… apa mereka akan menyakitiku juga? Aku takut semuanya akan terulang lagi…” suaranya nyaris tenggelam, seolah ada luka lama yang kembali menganga. Frans menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalanan. “Tidak. Selama aku ada di sini, tidak akan ada satu orang pun yang bisa menyakitimu.” Nadha hanya mengangguk kecil. Namun rasa waswas itu tidak hilang. Semakin dekat dengan gerbang besar yang dijaga puluhan pria berjas hitam, bulu kuduknya semakin berdiri. Lampu-lampu sorot menyoraki mobil mereka seakan menelanjangi siapa pun yang datang
Nadha duduk di samping Frans, wajahnya pucat dan matanya masih bergetar. Frans menatap dingin ke arah para guru yang hanya bisa menunduk. Suaranya keluar pelan tapi tajam, seperti pisau yang siap mengiris.“Aku beri kalian satu kesempatan terakhir,” ucap Frans dengan tekanan di setiap kata. “Kalau sekali lagi kalian berani menyentuh keponakanku, aku pastikan nama kalian hilang dari dunia pendidikan. Kalian akan diblacklist dari semua sekolah di kota ini.”Tak ada yang berani menatap balik. Beberapa guru bahkan terlihat menelan ludah, wajah mereka pucat pasi.“Baik, Tuan Frans… kami mengerti,” jawab mereka serempak, suaranya lirih penuh ketakutan.Frans tidak menunggu reaksi lain. Ia langsung menggenggam tangan Nadha, menariknya keluar dari ruangan dengan langkah tegas yang bergema di koridor.Di parkiran, Nadha masih berusaha menenangkan napasnya. Frans berhenti, lalu menatapnya lembut.“Sayang, kamu aman sekarang. Mereka tak aka
Pagi itu, suasana kediaman keluarga besar Aditama terasa hening. Pertemuan khusus sedang berlangsung. Tidak ada satupun orang luar yang diizinkan masuk,bahkan bodyguard pribadi pun diperintahkan untuk menunggu di luar gerbang.Frans melangkah masuk dengan wajah serius. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan, sesuatu yang bisa mengguncang seluruh keluarga Aditama.“Selamat pagi, Tuan Aditama,” sapa Frans sambil sedikit menunduk.“Pagi, Frans. Tumben sekali kamu datang berkunjung. Ada apa sebenarnya?” tanya Pak Aditama dengan dahi berkerut.“Kebetulan keluarga besar Bapak sedang berkumpul. Saya datang membawa sebuah informasi penting,” jawab Frans tenang namun tegas.“Informasi apa?” sahut Pak Bugi penasaran.“Ini… tentang Bu Nina.”Sekejap, ruangan itu sunyi. Semua anggota keluarga saling pandang dengan wajah terkejut.Nina adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Aditama. Dulu, ketika keluarga ini berada di puncak kejayaan, Gunawan begitu menghargainya. Namun, setelah kabar bangkru
Keesokan harinya, Nadha sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa, Frans memperhatikannya dengan tatapan penuh cemas. Tapi kali ini, ia menyiapkan sesuatu yang berbeda.Di depan rumah, seorang perempuan berambut pendek dengan sorot mata tajam sudah berdiri tegak. Dia mengenakan setelan hitam rapi, aura dinginnya membuat suasana terasa mencekam.“Sayang, ini Gina. Mulai hari ini dia yang akan menjagamu,” ujar Frans serius.“Menjaga? Aku bisa jaga diri sendiri kok,” jawab Nadha ragu.Frans mendekat, memegang bahu Nadha erat. “Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Tolong jangan menolak. Kamu terlalu berharga buatku.”Nadha terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah… makasih, sayang.”Frans terpaku. Kata sayang itu seperti obat bagi hatinya yang gelisah. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun di balik senyum itu, ada kekhawatiran yang tak pernah reda.Sementara itu, di kediaman keluarga Gunawan, suasana panas. Viola membanting tasnya ke sofa, matanya melotot ke arah ayah
Malam itu, suasana di meja makan kediaman Frans berbeda dari biasanya. Meja panjang yang biasanya hanya diisi Frans dan beberapa orang terdekat, malam ini penuh sesak oleh para ART dan bodyguard. Semuanya berkumpul untuk merayakan pernikahan tuan mereka. Tawa kecil, bisik-bisik kagum, dan rasa penasaran menyelimuti ruangan.Frans meletakkan sendoknya, lalu menatap semua orang dengan sorot mata yang tegas.“Kalian semua dengarkan baik-baik. Mulai hari ini, Nadha adalah istriku. Tugas kalian bukan hanya menjagaku, tapi juga mengawasinya. Jangan biarkan ada satu pun hal buruk menimpa dirinya. Dan satu hal lagi…” suaranya menurun, namun tegas. “Tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke rumah ini tanpa izin dariku.”Semua serempak menjawab, “Mengerti, Tuan!!!”Frans kembali menyandarkan tubuhnya di kursi, namun beberapa detik kemudian ia menambahkan, “Oh, hampir lupa. Pernikahan ini harus dirahasiakan. Aku tidak ingin sekolah Nadha terganggu gara-gara kabar ini. Jadi, mulut kalian harus te