Malam itu, suasana di meja makan kediaman Frans berbeda dari biasanya. Meja panjang yang biasanya hanya diisi Frans dan beberapa orang terdekat, malam ini penuh sesak oleh para ART dan bodyguard. Semuanya berkumpul untuk merayakan pernikahan tuan mereka. Tawa kecil, bisik-bisik kagum, dan rasa penasaran menyelimuti ruangan.
Frans meletakkan sendoknya, lalu menatap semua orang dengan sorot mata yang tegas. “Kalian semua dengarkan baik-baik. Mulai hari ini, Nadha adalah istriku. Tugas kalian bukan hanya menjagaku, tapi juga mengawasinya. Jangan biarkan ada satu pun hal buruk menimpa dirinya. Dan satu hal lagi…” suaranya menurun, namun tegas. “Tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke rumah ini tanpa izin dariku.” Semua serempak menjawab, “Mengerti, Tuan!!!” Frans kembali menyandarkan tubuhnya di kursi, namun beberapa detik kemudian ia menambahkan, “Oh, hampir lupa. Pernikahan ini harus dirahasiakan. Aku tidak ingin sekolah Nadha terganggu gara-gara kabar ini. Jadi, mulut kalian harus terkunci rapat.” “Baik, Tuan,” jawab mereka serempak, lalu suasana kembali riuh dengan bunyi piring dan sendok, menandakan semua mulai menikmati hidangan. Di sisi lain meja, Nadha hanya tersenyum. Senyum manis bercampur haru yang begitu tulus. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasakan cinta dan kasih sayang yang nyata, sesuatu yang dulu hanya ia impikan. Tak ingin hanya duduk diam, Nadha lalu berdiri dan berjalan ke arah meja para ART. Ia menarik kursi dan ikut bergabung makan bersama mereka. Seketika ruangan hening. Beberapa orang bahkan sampai saling pandang, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. “Nona… ngapain di sini? Sebaiknya Nona makan di sana saja. Ini tempat khusus ART, Nona. Kalau Tuan tahu, kita bisa dipecat,” bisik Bi Ina dengan wajah panik. Nadha terkekeh pelan, lalu menatap Bi Ina dengan tatapan lembut. “Bibi, gak usah khawatir. Kita semua sama-sama manusia, kan? Buat apa ada rasa takut atau gengsi? Status itu cuma label, bukan pembatas. Lagipula, makan bersama kayak gini justru bikin suasana lebih hangat dan nikmat.” Ucapan sederhana itu membuat semua yang duduk di meja ART tersenyum bangga. Mereka tidak pernah menyangka, gadis semanis Nadha memiliki hati yang begitu lembut dan rendah hati. Dari tempatnya duduk, Frans memperhatikan istrinya. Ia tahu Nadha sedang menyalahi kebiasaan rumah besar ini, namun bukannya marah, Frans justru tersenyum samar. Bagi dirinya, kebahagiaan Nadha jauh lebih penting daripada aturan yang kaku. Malam itu pun berubah menjadi malam yang penuh arti. Tawa, obrolan ringan, dan canda kecil terdengar memenuhi ruangan. Para ART merasa dihargai, para bodyguard merasa lebih dekat, dan yang paling mengejutkan, senyum Frans yang lama menghilang akhirnya kembali terlihat. Semua orang di rumah itu tahu, perubahan itu datang karena satu orang: Nadha. DI DALAM KAMAR Nadha tengah sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Pena di tangannya bergerak cepat, sesekali ia menunduk menatap catatan, lalu kembali menuliskan jawaban di buku. Semua informasi ia dapat dari Dinda, teman sebangkunya. “Kamu lagi ngapain?” suara Frans memecah kesunyian kamar itu. Nadha menoleh sekilas. “Aku lagi ngerjain tugas sekolah, besok kan aku udah masuk lagi,” jawabnya sambil tetap menulis. “Ya sudah, nanti kalau sudah selesai langsung tidur ya. Jangan begadang,” ucap Frans lembut. Tangannya terulur, membelai rambut panjang Nadha yang tergerai. “Siap, Om,” balas Nadha sambil tersenyum manis, meski pipinya merona. Frans menarik kursi dan duduk di sampingnya. Ia ikut memperhatikan soal-soal di hp Nadha, bahkan membantu menjelaskan. Nadha sempat bingung.bagaimana mungkin Frans begitu paham pelajaran sekolah? Ia tidak tahu, sekolah yang ditempatinya sekarang,SMA Nusa Bangsa,sebenarnya adalah milik Frans sendiri. “Wah, ternyata Om jago juga ya matematika,” sahut Nadha dengan mata berbinar. Frans terkekeh kecil. “Dulu aku selalu juara satu di sekolah. Matematika itu hal kecil bagiku.” “Padahal menurut Nadha, matematika itu pelajaran paling sulit dan… membosankan,” keluh Nadha. “Itu sulit kalau kamu menyerah sebelum mencoba. Kalau kamu berusaha, sesulit apa pun pasti bisa dihadapi. Itulah gunanya belajar,” jawab Frans dengan suara penuh keyakinan. Nadha terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat. “Makasih ya, Om. Berkat Om, aku jadi merasa lebih percaya diri.” Frans menatap senyum itu dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Perlahan, ia menunduk dan mengecup kening Nadha. Gadis itu langsung terdiam kaku, jantungnya berdebar tak karuan. “Kita sudah menikah, Nadha. Tidak pantas kalau kamu terus memanggilku ‘Om’,” bisik Frans. “Lalu… aku harus panggil apa?” tanya Nadha gugup. “Panggil aku… sayang,” jawab Frans sambil mendekatkan wajahnya. Nadha buru-buru menelan ludahnya. “I-iya…” Frans tersenyum tipis lalu berdiri. “Lanjutkan belajar. Aku harus menyelesaikan beberapa dokumen.” Saat pria itu berjalan menuju ranjang, Nadha menunduk menutupi wajahnya yang memerah. “Dasar om-om. Bisa-bisanya bikin jantungku hampir copot. Tapi… ganteng juga sih. Walau beda umur sepuluh tahun, tetap saja…” gumamnya lirih sambil tersenyum tipis. Frans duduk di tepi ranjang, membuka laptop, dan mulai mengetik. Baru sebentar, telepon dari Rendi masuk. Suaranya terdengar serius. “Tuan, ada hal penting yang harus kita bicarakan. Tapi sebaiknya di teras saja. Saya tidak enak kalau Nona Nadha sampai mendengar,” katanya. “Baik,” jawab Frans singkat. Di teras, udara malam cukup dingin. Rendi sudah menunggu dengan membawa beberapa lembar dokumen tebal. Wajahnya kaku. “Ada apa?” tanya Frans, suaranya tegas. “Jadi begini, Tuan… keluarga almarhumah ibu Nona Nadha ternyata masih hidup,” ucap Rendi sambil menyerahkan dokumen. Frans menatapnya tajam. “Apa maksudmu?” “Sampai saat ini keluarga Aditama tidak tahu kalau Bu Nina punya seorang anak. Semua disembunyikan oleh Pak Gunawan. Bahkan saat Bu Nina meninggal, keluarga itu tidak diizinkan datang ke pemakaman.” Frans mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. “Dan satu lagi, Tuan,” lanjut Rendi dengan suara lebih rendah. “Bu Nina… bukan meninggal karena melahirkan Nona Nadha. Ada indikasi kematiannya sengaja direncanakan.” Hening sejenak. Frans meraih dokumen itu, menggenggamnya erat seakan tak ingin lepas. Wajahnya berubah muram dan penuh amarah. “Selidiki lebih dalam. Besok aku sendiri yang akan menemui keluarga Aditama. Mereka harus tahu bahwa Nadha adalah cucu mereka. Dan keluarga Gunawan… akan mempertanggungjawabkan semua yang mereka lakukan pada Bu Nina maupun Nadha,” ucap Frans dingin. Rendi menunduk. “Baik, Tuan. Saya pamit.” Frans tetap berdiri di teras, menatap langit malam. Angin berhembus, membawa ketegangan yang mengikat di dadanya. “Kalau benar keluarga Gunawan tega melakukan semua itu… akan kupastikan mereka jatuh. Hancur. Bangkrut. Dan masuk penjara seumur hidup,” gumam Frans, suaranya penuh tekad. Keluarga Aditama adalah keluarga terkaya dan terpandang juga.mereka juga sangat akrab dengan Frans,bahkan mereka bekerja sama dalam membangun sebuah moll terbesar di kota itu.Di dalam mobil yang melaju pelan, Nadha tertidur dengan damai. Wajahnya tampak tenang, seakan seluruh beban dunia lenyap dalam lelapnya. Frans melirik sekilas, lalu tersenyum hangat. Setibanya di rumah, ia turun dan dengan hati-hati menggendong sang istri ke kamar.“Semenjak ada Nona Nadha, Tuan Frans tampak jauh lebih bahagia,” ucap Bi Ina dengan mata berbinar.“Iya, Mbak. Aku pun merasakan hal yang sama. Nona Nadha baik, dan Tuan Frans sekarang jauh lebih ramah,” timpal salah seorang pembantu.“Semoga kebahagiaan ini tidak cepat berlalu… dan semoga Nona Nadha selalu diberi kesehatan,” tambah Bi Ina pelan, seolah sedang berdoa.Frans hanya tersenyum samar, lalu menutup pintu kamar. Dengan penuh kasih ia membaringkan Nadha di ranjang. Tangannya bergerak lembut, menata selimut, lalu membantunya berganti pakaian. Ia menunduk, menempelkan ciuman hangat di kening sang istri sambil berbisik,“Good night, honey…”Namun di tempat lain, suasana berbanding terbalik.Viola mengamuk hebat di kam
Frans mengajak Nadha berkunjung ke kediaman keluarga Aditama. Mobil itu melaju menembus malam, menyisakan deru angin dan detak jantung Nadha yang berdegup kencang. Ada sesuatu yang berat di dadanya.campuran antara takut, cemas, dan harapan. Malam ini akan menjadi pertama kalinya ia bertemu keluarga dari ibunya. “Apa kamu takut?” suara Frans memecah sunyi. Nadha menoleh pelan, matanya redup. “Hemmm… apa mereka akan menyakitiku juga? Aku takut semuanya akan terulang lagi…” suaranya nyaris tenggelam, seolah ada luka lama yang kembali menganga. Frans menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalanan. “Tidak. Selama aku ada di sini, tidak akan ada satu orang pun yang bisa menyakitimu.” Nadha hanya mengangguk kecil. Namun rasa waswas itu tidak hilang. Semakin dekat dengan gerbang besar yang dijaga puluhan pria berjas hitam, bulu kuduknya semakin berdiri. Lampu-lampu sorot menyoraki mobil mereka seakan menelanjangi siapa pun yang datang
Nadha duduk di samping Frans, wajahnya pucat dan matanya masih bergetar. Frans menatap dingin ke arah para guru yang hanya bisa menunduk. Suaranya keluar pelan tapi tajam, seperti pisau yang siap mengiris.“Aku beri kalian satu kesempatan terakhir,” ucap Frans dengan tekanan di setiap kata. “Kalau sekali lagi kalian berani menyentuh keponakanku, aku pastikan nama kalian hilang dari dunia pendidikan. Kalian akan diblacklist dari semua sekolah di kota ini.”Tak ada yang berani menatap balik. Beberapa guru bahkan terlihat menelan ludah, wajah mereka pucat pasi.“Baik, Tuan Frans… kami mengerti,” jawab mereka serempak, suaranya lirih penuh ketakutan.Frans tidak menunggu reaksi lain. Ia langsung menggenggam tangan Nadha, menariknya keluar dari ruangan dengan langkah tegas yang bergema di koridor.Di parkiran, Nadha masih berusaha menenangkan napasnya. Frans berhenti, lalu menatapnya lembut.“Sayang, kamu aman sekarang. Mereka tak aka
Pagi itu, suasana kediaman keluarga besar Aditama terasa hening. Pertemuan khusus sedang berlangsung. Tidak ada satupun orang luar yang diizinkan masuk,bahkan bodyguard pribadi pun diperintahkan untuk menunggu di luar gerbang.Frans melangkah masuk dengan wajah serius. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan, sesuatu yang bisa mengguncang seluruh keluarga Aditama.“Selamat pagi, Tuan Aditama,” sapa Frans sambil sedikit menunduk.“Pagi, Frans. Tumben sekali kamu datang berkunjung. Ada apa sebenarnya?” tanya Pak Aditama dengan dahi berkerut.“Kebetulan keluarga besar Bapak sedang berkumpul. Saya datang membawa sebuah informasi penting,” jawab Frans tenang namun tegas.“Informasi apa?” sahut Pak Bugi penasaran.“Ini… tentang Bu Nina.”Sekejap, ruangan itu sunyi. Semua anggota keluarga saling pandang dengan wajah terkejut.Nina adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Aditama. Dulu, ketika keluarga ini berada di puncak kejayaan, Gunawan begitu menghargainya. Namun, setelah kabar bangkru
Keesokan harinya, Nadha sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa, Frans memperhatikannya dengan tatapan penuh cemas. Tapi kali ini, ia menyiapkan sesuatu yang berbeda.Di depan rumah, seorang perempuan berambut pendek dengan sorot mata tajam sudah berdiri tegak. Dia mengenakan setelan hitam rapi, aura dinginnya membuat suasana terasa mencekam.“Sayang, ini Gina. Mulai hari ini dia yang akan menjagamu,” ujar Frans serius.“Menjaga? Aku bisa jaga diri sendiri kok,” jawab Nadha ragu.Frans mendekat, memegang bahu Nadha erat. “Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Tolong jangan menolak. Kamu terlalu berharga buatku.”Nadha terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah… makasih, sayang.”Frans terpaku. Kata sayang itu seperti obat bagi hatinya yang gelisah. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun di balik senyum itu, ada kekhawatiran yang tak pernah reda.Sementara itu, di kediaman keluarga Gunawan, suasana panas. Viola membanting tasnya ke sofa, matanya melotot ke arah ayah
Malam itu, suasana di meja makan kediaman Frans berbeda dari biasanya. Meja panjang yang biasanya hanya diisi Frans dan beberapa orang terdekat, malam ini penuh sesak oleh para ART dan bodyguard. Semuanya berkumpul untuk merayakan pernikahan tuan mereka. Tawa kecil, bisik-bisik kagum, dan rasa penasaran menyelimuti ruangan.Frans meletakkan sendoknya, lalu menatap semua orang dengan sorot mata yang tegas.“Kalian semua dengarkan baik-baik. Mulai hari ini, Nadha adalah istriku. Tugas kalian bukan hanya menjagaku, tapi juga mengawasinya. Jangan biarkan ada satu pun hal buruk menimpa dirinya. Dan satu hal lagi…” suaranya menurun, namun tegas. “Tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke rumah ini tanpa izin dariku.”Semua serempak menjawab, “Mengerti, Tuan!!!”Frans kembali menyandarkan tubuhnya di kursi, namun beberapa detik kemudian ia menambahkan, “Oh, hampir lupa. Pernikahan ini harus dirahasiakan. Aku tidak ingin sekolah Nadha terganggu gara-gara kabar ini. Jadi, mulut kalian harus te