Share

Bba 4. Kena SP.

Apartmen Tanisha yang sederhana itu menjadi saksi kegelisahan Ansell ketika dia harus menunggu sampai empat jam lamanya. Seperti sengaja tidak memegang ponselnya, semua pesan dan panggilan yang Ansell kirim kepada gadis itu sama sekali tidak ada respon. Ansell geram, marah dan hampir saja melampiaskan emosi itu pada barang-barang yang sama sekali tidak bersalah. Apalagi jam estetik yang menggantung di tembok ruang tamu, yang selalu bergerak tak kenal lelah. Dia bagai mengolok-olok Ansell yang sejak tadi berharap Tanisha muncul di angka-angka tertentu yang ada di tubuh benda kecil itu.

Ya, walau akhirnya doanya terjawab saat tangan pendek benda sialan itu menunjuk ke angka sebelas dan tangan panjangnya di angka satu. Tepatnya jam sebelas malam lewat lima menit, suara berisik dari kuncian pintu pun terdengar. Ansell yang sejak tadi berbaring di atas sofa spontan berdiri. Darahnya langsung mendidih dan naik ke ubun-ubun.

Gadis yang biasanya sudah sampai di apartemen setiap jam tujuh malam itu akhirnya memperlihatkan batang hidungnya. Dan Tanisha cukup terkejut melihat Ansell yang masih terjaga. Biasanya jam sembilan malam sudah masuk kamar.

“Bukankah sudah kukatakan jangan kelayapan?” Pertanyaan pertama dengan nada sedang. Ansell masih bisa menguasai diri.

“Kenapa? Uang makanmu kurang?”

Oke, sebenarnya Tanisha sudah lelah dan ingin cepat-cepat masuk ke dalam kamar. Tapi pertanyaan itu seketika menyentil jiwanya yang sedang lelah. Arogansi Ansell yang bukan siapa-siapa di rumah ini membuat dia sedikit muak.

“Kamu tau ini bukan urusan uang, Tanisha.”

“Jadi tentang apa? Kasih tau aku.” Tanisha ikut-ikutan memeluk kedua tangannya di depan dada dan menantang Ansell untuk adu mulut. Wajahnya dingin tak bersahabat.

“Kamu bilang tadi masih di kantor. Tapi baru pulang jam segini. Kamu berbohong.”

“Trus, masalahnya apa?”

“Saya tidak suka dibohongi. Itu saja.”

“Terlepas dari aku bohong atau tidak, kamu harus ingat kalau kamu bukan siapa-siapa di sini. Ini apartemenku dan kamu nggak berhak mendikte ini dan itu. Selama kamu masih mau tinggal di sini, jangan bikin aku semakin pusing dengan sikap kamu yang nggak masuk akal. Paham?” Tanisha berbicara dengan menggebu-gebu. Dadanya sampai bergerak naik turun tak beraturan. Dia tidak pernah menegur seseorang seperti ini. Apalagi yang dia tau Ansell ini adalah seorang tunawisma yang sama sekali tidak mempunyai rumah, keluarga, uang. Sesungguhnya dia tidak sampai hati kalau harus marah-marah seperti ini.

Tapi menurutnya Ansell sudah melewati batas yang tidak seharusnya dia lewati. Sekalipun mereka sudah tinggal bersama selama satu bulan lamanya, bukan berarti mereka punya ikatan khusus yang membuat pria itu merasa berhak atas diri Tanisha.

Jika gadis itu terlihat sedang menggebu-gebu, sebaliknya Ansell sedang berusaha menguasai diri.

“Baiklah. Aku meminta maaf.” Hanya itu yang kemudian meluncur dari mulutnya, setelah bungkam selama sekian detik. Dan permintaan maaf itu diabaikan oleh Tanisha yang langsung berbalik pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.

***

Pagi keesokan harinya di BNC Furniture.

“Tanisha Gabriella Kusuma!”

Gadis yang sedang menatap layar komputer itu kaget ketika Kennedy keluar dari ruangan dan melangkah dengan terburu-buru ke arah kubikelnya. Pria bertubuh langsing itu sepertinya sedang marah. Tapi marah kenapa? Perasaan Tanisha tidak berbuat kesalahan apa-apa.

Tidak hanya Tanisha yang kaget, melainkan semua karyawan yang ada di dalam ruangan marketing tersebut. Anak sales maupun tele.

“Saya, Pak?” Tanisha menjawab dengan sopan.

“Mana report yang saya minta kemarin sore?!” Kennedy menghempas kedua telapak tangannya di atas meja Nisha dan menimbulkan bunyi gebuk yang cukup kencang.

“Sudah saya email, Pak. Ke email internal Pak Ken.”

Iya ‘kan? Semuanya juga lihat dia sudah mengirim email itu. Dan bahkan sudah ‘sent’ sebelum dia mematikan unit komputernya.

“Coba kamu cek. Ada atau tidak?”

“Harusnya ada, Pak. Saya sangat yakin kalau kemarin sudah mengirim ke Bapak.” Tanisha masih berusaha menjawab dengan tenang. Feeling-nya mengatakan kalau manajernya ini telah melewatkan email darinya.

“Jangan banyak bicara! Cek dulu saya bilang!”

“Baik, Pak.” Namun laki-laki itu tetap bersikeras ingin mengatakan kalau Tanisha belum mengirim apa pun. Gadis itu mau tidak mau mengecek email terkirim seperti yang Ken perintahkan.

Dan ...

“L—loh.”

“LOH? LOH?!!” Kennedy semakin mengamuk. Jelas sekali Tanisha pun baru sadar kalau dia belum mengirimkan email yang dia maksud.

“Tapi ... tapi ... kemarin sore, sa—“

“Saya tidak ingin mendengar alasan apa pun! Silakan minta surat SP dari HRD dan segera ke ruangan saya!”

Bak disambar geledek, Tanisha nyaris mati di tempat. Surat SP??

“Tapi Pak Ken, saya berani bersumpah kalau kemarin email yang saya kirim ke Bapak, statusnya sudah terkirim. Saya ... saya juga tidak tau kenapa di sini tiba-tiba hilang.” Tanisha jelas tidak akan menerima surat peringatan begitu saja.

“Kamu punya bukti apa? Malahan buktinya ada di email terkirim kamu. Tidak ada sama sekali ‘kan?”

“Maaf, Pak Ken.” Hana tiba-tiba mengangkat tangannya. “Saya saksinya Tanisha sudah mengirim email itu. Karena kita semua menunggu dia benar-benar selesai, sebelum meninggalkan ruangan ini.”

Ohh, Tanisha hampir saja menangis mendengar kesaksian dari Hana.

“Saya juga, Pak.” Keisha ikut mengangkat tangan.

“Saya juga melihanya, Pak.” Diikuti Jill.

“Saya juga, Pak Ken.” Dan Fransiska.

Demi apa pun, kedua mata Tanisha sudah berkaca-kaca. Tidak menyangka teman-temannya akan berani pasang badan untuk membela dirinya.

“Oh gitu? Jadi, kalian berempat mau di SP juga?”

Curang!! Jerit Tanisha dalam hati. Mana mungkin dia tega!!

“Nggak berani jawab??” Kennedy tertawa sinis karena para pembela Tanisha itu memilih bungkam seribu bahasa. Tidak ada yang berani menjawab.

“Saya akan ke ruangan HRD, Pak.” Tanisha berdiri. Dengan suka rela. Dia tidak akan pernah melibatkan siapa pun dalam permasalahan yang dia buat. Apalagi Keisya dan Fransisca yang bekerja demi membantu perekonomian keluarga kecil mereka. Mana lah Tanisha tega semuanya ikut terkena SP.

“Setelah itu, segera ke ruangan saya!”

“Baik, Pak.” Tanisha menundukkan kepalanya. Bergerak dari kursi setelah Ken pergi dan masuk ke dalam ruangannya sendiri. Tidak ada yang berani berkata apa pun saat dia beranjak meninggalkan ruangan.

Sesampainya di ruangan HRD, sepertinya staff yang stand by di sana sudah tau Tanisha akan datang. Mungkin pak Ken sudah menghubunginya via telepon dan memberi tahu apa keperluannya.

“Loh, tumben Mba Nisha dikasih SP? Ada masalah serius apa, Mba?” Pria berkisar usia tiga puluh itu bertanya sambil menyiapkan lembaran yang Tanisha butuhkan. Entah benaran penasaran atau hanya ingin menyindir, Tanisha tidak tau. Bodo amatlah.

“He-he-he, iya, Mas Gun. Ada sedikit masalah.” Gadis itu menjawab seadanya. Menjelaskan secara rinci hanya akan membuat perasaannya semakin tidak karuan.

“Ini, Mba. Nanti kalau sudah diisi jenis SP-nya, dan SP berapa, dan kalau sudah ditandatangani SPV atau manajer, kabarin aja, biar kita yang jemput ke ruangan beliau. Kasian Mba Nisha bolak-balik ke lantai dua.

Tanisha meraih secarik kertas dari pria tersebut dan membacanya sekilas. Di sana sudah tercantum nama dan nomor induk kepegawaian miliknya. Huftt. Selama tiga tahun bekerja di sini, dia belum pernah mendapat surat peringatan seperti ini.

“Baik, Mas Gun. Terima kasih, Mas. Saya pamit dulu.”

Tanisha kembali ke lantai lima. Saat memasuki ruangan marketing, kepalanya otomatis tertunduk lagi. Dia malu menunjukkan wajah yang sudah disemprot habis-habisan di depan umum. Rasanya seperti kehilangan harga diri. Cepat-cepat dia memasuki ruangan Kennedy untuk menyerahkan surat peringatan tersebut.

Hana, Keisya, Fransiska dan Jill hanya bisa saling bertukar pandang. Sejak tadi mereka sudah sibuk meramaikan grup chat pribadi member tele marketing dan meminta maaf kepada Tanisha karena tidak bisa membantu banyak. Dan tentu saja Nisha belum membacanya karena dia masih berurusan dengan seorang monster bernama Kennedy Valery.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status