Sebuah klakson mobil mengalihkan perhatian Akiko, gadis itu masih ada di jalan setelah membeli beberapa keperluan mendadak. Biasanya ada bus jam 9 malam tepat, tapi entah kenapa sampai saat ini belum ada tanda-tanda.
Akiko pikir klakson mobil hitam itu hanya iseng saja, tapi beberapa saat kemudian seorang pria keluar dari mobil dan berjalan mendekatinya. "Mengabaikan aku, Nona Eloise?" Akiko mendongakkan kepalanya, menatap sosok pria yang kini berdiri tepat di depannya. "Who are you?" bingung Akiko sambil waspada karena tidak kenal dengan pria di hadapannya. Pria itu terkekeh pelan, kemudian berjalan mendekat seolah menantang rasa waspada Akiko. "Kau punya ingatan yang buruk, ya?" ujarnya sambil tersenyum menyeringai. "Kita sudah bertemu 2 kali, tapi kau malah melupakanku begitu saja. Aku Glen Xander Mckenzie, Pemilikmu yang baru. Mr. Eloise sudah memberikan semua hak atas dirimu kepadaku di atas kontrak, jadi kau akan tinggal bersamaku mulai sekarang.” Akiko terdiam sebentar berusaha mengingat siapakah Glen ini, hingga beberapa saat kemudian barulah Akiko ingat kalau Glen pasti orang yang akan membawanya pergi. Tentu Akiko sudah paham apa yang harus dia lakukan, semuanya sudah tertata baik seperti permintaan papanya. Namun, anjingnya yang bernama Kouma masih ada di apartemen dan tidak mungkin dia tinggalkan begitu saja. "Masuk," titah Glen sambil membuka pintu mobilnya. "Aku harus mengambil anjingku terlebih dahulu, perlengkapanku juga masih ada di apartemen," Akiko menolak perintah Glen. "Aku tidak suka penolakan jadi lebih baik kau ikuti saja apa yang aku minta, kau pikir aku mau main-main untuk menunggumu begini? Sudah beruntung aku menjemputmu secara baik-baik," tegas Glen. "Aku tau, aku akan ikut, tapi aku harus mengambil anjingku dulu," tolak Akiko lagi. "Kau keras kepala juga, ya?" geram Glen sambil melangkah mendekati Akiko yang memundurkan diri walaupun pria itu masih belum berhenti sampai punggung Akiko menabrak tembok pembatas. "Masukkan nomor teleponmu," pinta Glen sambil memberikan ponsel hitamnya sehingga Akiko langsung mengetik nomornya di sana. "Jangan pernah abaikan pesan atau telepon dariku.” Akiko mengangguk paham, lalu berniat untuk segera pergi. Namun, baja melangkah tiba-tiba Glen menarik tangannya erat kemudian mencium bibirnya singkat tanpa aba-aba dan berbisik. "Kau adalah milikku, ingatlah itu baik-baik." Glen segera masuk ke dalam mobil setelah membiarkan gadisnya pergi, ia mengusap bibirnya sendiri sambil bergumam bingung. “Kenapa aku menciumnya? Ah … Tidak heran, tatapan acuhnya membuatku lebih bersemangat.” “Datanglah ke alamat ini besok jam 8 malam, jangan sampai telat atau aku akan memberimu pelajaran,” pesan baru masuk dari nomor asing, Akiko tau pasti Glen yang mengirim pesan. Gadis itu menghela nafas gusar, entah bagaimana nasibnya nanti setelah menyaksikan sendiri sikap arogan dari Glen Xander Mckenzie. Saat ingin pergi, sebuah telepon masuk mengalihkan perhatiannya. “Halo, Akiko, bisa bertemu sekarang?” “Ada apa, Kak?” sahut Akiko. “Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Di mana lokasimu sekarang? Akan aku jemput,” kata pria di sebelah telepon sana sehingga Akiko segera mengirimkan titik lokasinya. “Akiko, masuklah,” pria itu membukakan pintu, lalu membiarkan Akiko duduk terlebih dahulu. Pria itu bernama Vian, dokter berumur 25 tahun yang sudah menemani pengobatan Akiko selama beberapa bulan ini. “Aku sedang sibuk, Kak, bisa kita bicara di sini saja?” tanya Akiko. Dia khawatir Glen Xander masih ada di daerah itu untuk mengawasinya. “Tentu, kita bisa bicara di manapun kau mau. Maaf mengajakmu bertemu secara tiba-tiba, aku ingin membicarakan soal kelanjutan pengobatanmu. Ini, baca semua berkasnya baik-baik,” ujar Vian sambil memberikan berkas sehingga Akiko segera membacanya dengan seksama. “Apa ini akan sakit?” tanya Akiko sambil menunjukkan sebuah poin. “Iya, tapi rasa sakitnya akan berangsur hilang bersamaan dengan membaiknya kondisimu,” jelas Vian. “Oh iya, aku harus bertemu dengan orang tuamu untuk mendapatkan persetujuan karena umurmu masih di bawah 20 tahun. Tapi sepertinya kau tinggal sendirian, benarkah?” “Aku tidak punya keluarga, aku sendirian,” jawaban pasrah itu membuat Vian merasa sedih entah kenapa, wajah itu seolah menyembunyikan banyak masalah. Mungkin ada masalah keluarga yang tidak bisa Akiko ceritakan pada siapapun. “Tidak masalah, aku bisa menjadi wali untukmu kalau begitu,” kata Vian. “Benarkah?” tanya Akiko semangat. “Iya, aku sudah berusia 25 tahun. Walau umur kita tidak beda jauh, tapi menurut rumah sakit aku bisa saja menjadi wali untukmu,” sahut Vian. “Biar aku pikirkan lagi keputusan ini, aku akan menemui Kakak besok pagi di rumah sakit,” ucap Akiko. Akhirnya Vian hanya bisa pasrah karena semua keputusan pasti ada di tangan Akiko, sementara dia hanya jadi perantara. “Ayo, aku antarkan pulang,” ujar Vian. Sepanjang perjalanan keduanya hanya saling terdiam, Vian sangat khawatir tentang kesehatan Akiko yang sepertinya tidak peduli akan hal itu. Walaupun gadis itu hanya pasien biasa, tapi entah kenapa Vian sangat perhatian. Sesampainya di apartemen, Akiko segera mengemasi barang-barangnya karena besok pasti sudah tidak tinggal di apartemen ini. Glen Xander … Memikirkan namanya saja sudah membuat Akiko pusing. Pria itu sangat kasar dan arogan, jauh berbeda dengan Vian yang sifatnya sangat lembut. “Kouma, bisakah kita melewati semua ini bersama? Kau temanku satu-satunya, aku tidak ingin kita berpisah,” Akiko memeluk anjingnya erat. Mungkin jika dibandingkan dengan keluarganya, Kouma adalah sosok yang paling dekat dengannya selama 5 tahun ini. *** Pagi hari menyapa, Akiko berniat ingin menemui dokter di rumah sakit untuk membatalkan semua pengobatan. Setelah memikirkan nasibnya di tangan Glen Xander nantinya, Akiko tidak yakin bisa berbuat semaunya apalagi untuk berobat. Beruntung dia bertemu dengan Glen nanti jam 8 malam jadi pagi ini masih bisa mengurus beberapa hal. Namun, saat berada di sebuah toko untuk membeli sarapan tiba-tiba seorang gadis menarik wajahnya cepat. Saat itu juga tatapan keduanya terpaut, Akiko berdiri merasa tidak percaya dengan sosok yang dia lihat. “Kakak…,” lirih gadis berambut pendek itu dengan suara gemetaran. Sementara gadis di hadapannya langsung memeluk tanpa aba-aba dengan begitu erat. “Berapa lama … Berapa lama kau tidak mengubungi aku, hah?” suara itu terdengar sangat menyedihkan, tubuhnya yang gemetaran memeluk Akiko begitu erat. "Sorry," lirih Akiko. Keinara memeluk lumayan lama seolah melepaskan rasa rindu yang sudah tak terbendung, bahkan tanpa sadar Akiko juga membalas pelukan tersebut. Keinara mengusap lembut wajah gadis manis di depannya. Beruntung dia sering mencuri kesempatan untuk menyuruh pembantu rumah mengirim foto Akiko sehingga dia bisa mengenali adiknya setelah sekian lama tidak bertemu. “Kau sudah besar, ya?" air mata semakin menetes di pipi Keinara, tangannya yang gemetaran merapikan rambut pendek Akiko. Sementara gadis itu mengangkat pandangannya, lalu mengelap air mata Keinara. "Jangan menangis," pintanya. "Bagaimana bisa aku tidak menangis? Akhirnya aku bertemu denganmu, Adikku…," isaknya menatap Akiko dalam. Mendengar ucapan itu Akiko menghela nafas. "Seharusnya kita tidak perlu bertemu sampai kapan pun, Kak, papa akan marah jika tau hal ini." "Aku tau, aku tau dia pasti masih sama jahatnya seperti dulu. Kau pasti sangat tersiksa selama tinggal di rumah itu, iya, 'kan?" tanya Keinara. "Kenapa? Kenapa kau melakukannya? Kau bisa mati karena papa.” Keinara mengingat banyak hal yang Akiko lakukan demi melindunginya saat kecil. Walaupun saat ini dia tidak tahu bahwa adiknya itu akan menjadi tawanan demi melindunginya dan perusahaan. "Karena itu menyakitkan," jawab Akiko pelan. "Menyakitkan? Lalu kenapa tetap kau lakukan?" sahut Keinara. "Karena aku tidak mau Kakak juga merasakan rasa sakit yang sama, cukup aku saja yang merasakannya. Kakak adalah orang paling baik yang aku kenal sejak membuka mata. Aku tidak mau Papa memukulmu juga," penjelasan Akiko membuat air matanya semakin berderai. Keinara ingat persis bagaimana dulu tubuh kecil Akiko tersungkur di lantai yang dingin dengan penuh luka karena amarah papanya, padahal yang sudah merobek file penting itu adalah Keinara, tetapi dia terlalu takut untuk mengaku. Akhirnya, Akiko lah yang maju mengakui kesalahan kakaknya. Setelah kejadian itu, kakak beradik bermarga Eloise itu berpisah hingga 10 tahun lamanya. Keinara harus masuk ke asrama khusus karena dia adalah pewaris perusahaan keluarga walaupun dia sudah menolak karena tidak mau meninggalkan Adiknya. Namun, semua usaha penolakan Keinara justru hanya membuat sang papa semakin marah dan berkata bahwa bakat dan kepintaran Keinara akan terpengaruh buruk jika tinggal bersama Akiko. Sementara Akiko masih ada di tempat yang sama, di tempat yang penuh penderitaan. Dia bangun dari pingsan, lalu mengobati lukanya sendiri yang tidak kunjung sembuh karena terus bertambah hari demi hari. Hebatnya dia masih bertahan sampai saat ini walau sudah tidak punya semangat hidup. Pernahkah Akiko punya pikiran untuk bunuh diri? Tentu, tapi dia rasa bunuh diri bukanlah jalan kematiannya. Jadi Akiko hanya terus bertahan selama masih bisa bernafas. Sampai baru kali ini Keinara bertemu dengan adiknya kembali setelah sekian lama. Akhirnya, Keinara menghela nafas gusar. "Kau tau? sebenarnya kita bisa jadi lebih kuat jika mau mengikat satu sama lain, tapi … dulu aku sangat penakut, sedangkan kau selalu suka menyimpan segalanya sendiri. Padahal sebagai Kakak seharusnya aku berperan untuk menjagamu, bukan sebaliknya.” "Maaf … aku sudah menjadi Kakak yang buruk, aku bahkan tidak tahu makanan kesukaanmu sampai saat ini," lanjutnya. Melihat wajah sedih Keinara, Akiko menatap dalam. "Ice cream, aku suka ice cream," mendengar jawaban itu, Keinara tersenyum manis karena Akiko mau memberitahunya sedikit hal tentang dirinya. "Aku akan membelikan banyak ice cream untukmu," gurau Keinara membuat Akiko tersenyum tipis. Akhirnya, dia bisa melihat senyuman di wajah adiknya itu setelah sekian lama. Namun, di balik senyuman itu Akiko sedang menyembunyikan fakta bahwa dia sudah dijual oleh papanya demi perusahaan. Dia tidak ingin Kakaknya tau, dia ingin Kakaknya hidup dengan baik tanpa masalah apapun. Keinara memeluk erat tubuh kurus adiknya seolah menyalurkan kehangatan. Sejak kecil sampai sekarang, rasanya dia gagal melindungi Akiko. Tangisan kembali pecah apalagi saat melihat wajah menyedihkan Akiko yang menyimpan begitu banyak kesedihan. "Aku suka pelukan hangat Kakak," ucap Akiko pelan ketika mengingat dia hanya punya Keinara sebagai tempat ternyaman waktu kecil dulu, bahkan sampai sekarang Akiko ingin terus berada di pelukan itu. Namun, sayangnya dia tidak boleh membiarkan hal ini terjadi hanya demi keinginan sementara. “Aku akan terus memelukmu,” Keinara mencium puncak kepala Akiko, sementara gadis itu melepaskan pelukan untuk mengambil sesuatu di dalam tas yang ternyata sebuah gantungan kunci berbentuk kura-kura kecil. "Kura-kura?" bingung Keinara saat menerima barang tersebut. "Lucu, mirip denganmu." "Tidak, kura-kura tidak mirip denganku," sahut Akiko. "Kenapa?" tanya Keinara, tapi pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman tipis. "Aku ingin pulang," kata Akiko. "Sekarang? Boleh aku ikut? Papa bilang kau sudah tinggal di apartemen sendiri," hardik Keinara semangat, tapi dia justru mendapat tolakan mentah-mentah dari Akiko. "Aku akan pindah, mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi," mata Keinara terbelalak kaget mendengar ucapan itu, wajahnya langsung berubah marah seolah tidak terima dengan keputusan yang Akiko buat. “Kita baru saja bertemu, Akiko, tidak inginkah kau menghabiskan waktu bersamaku?” Keinara berusaha meyakinkan adiknya untuk tidak pergi lagi, mereka bisa kabur bersama jika Akiko takut pada papanya. "Aku hanya ingin istirahat, aku lelah. Papa tidak akan pernah membiarkan kita tinggal bersama, Kak, jadi menyerahlah. Aku tidak ingin ada masalah apapun," Akiko melepaskan genggaman tangan Kakaknya. Akhirnya Keinara hanya bisa menghela nafas pasrah ketika mendengar jawaban itu, dia juga paham kalau Akiko pasti tidak mau lagi ikut campur urusan keluarga. Jika papanya sampai tau mereka bertemu secara diam-diam maka dia pasti akan marah besar. "Jaga dirimu baik-baik, okay? Aku yakin kita pasti bertemu lagi cepat atau lambat. Aku akan membuatmu aman jadi kita bisa hidup bersama nanti," Keinara mengusap rambut Akiko pelan, sedangkan gadis itu hanya mengangguk, lalu pergi begitu saja bersama anjingnya. Keinara yang bingung menatap gantungan kura-kura di tangannya sambil bertanya-tanya. "Kura-kura tidak mirip denganku," gumamnya mengikuti ucapan Akiko beberapa waktu lalu. Karena penasaran, ia segera mencari tahu makna dari kura-kura. Ingin tau saja apa maksud dari simbol kura-kura sampai Akiko bilang kura-kura tidak mirip dengannya. Namun, gadis berambut panjang itu langsung terdiam kaget membaca makna yang tertulis. "Simbol kura-kura adalah berumur panjang, artinya …," lirih Keinara.Dengan perasaan gugup, senang, dan takut, Akiko duduk di sebuah gang sepi untuk menenangkan diri. Setelah bertemu dengan Kakaknya tadi, Akiko langsung pergi dan bersembunyi agar tidak mereka bertemu lagi. Menjaga jarak dengan Keinara adalah keputusan paling benar. Dia yakin, Keinara pasti langsung mencarinya sekarang apalagi dia lupa meminta nomor agar bisa saling menghubungi. “Kakak … Sebenarnya aku masih ingin merasakan pelukanmu,” lirih Akiko sambil mengusap wajahnya gusar. Kouma, anjing ras besar itu terlihat khawatir dan memberikan tatapan lembut sehingga Akiko memeluknya erat. “Terima kasih, Kouma,” ucapnya. Karena tidak ingin buang-buang waktu lagi, Akiko segera berdiri untuk menemui Vian di rumah sakit. Namun, seorang preman bertubuh besar tiba-tiba menghadangnya. “Apa yang kau lakukan di tempat sepi seperti ini, Nona Cantik?” tanyanya dengan senyuman menyeringai. Mengetahui ada bahaya, Kouma menggonggong sambil terus berusaha melindungi Akiko yang begitu waspada. Sayangn
“Kau telat 5 menit,” ucap Glen saat Akiko baru saja sampai di cafe dengan nafas terengah-engah. Lalu pandangan pria itu tertuju pada Ethan yang setia menggandeng tangan Akiko. "Aku tidak tahu kalau Mr. Eloise sudah memiliki cucu," kata Glen sambil terus mengunci pandangan pada Ethan karena sejak tadi anak itu menempel pada Akiko dengan manja, bahkan jelas-jelas memeluk Akiko erat seolah tidak mau dilepaskan. "Ini bukan anakku," tegas Akiko, lalu beranjak mengantar Ethan ke bangku lain agar Glen tidak merasa terganggu. Setelah memastikan Ethan mendapat makan dan minum yang dia pesan, barulah dia kembali ke hadapan Glen. "Nona Eloise, aku menyuruhmu datang ke sini bukan untuk buang-buang waktu," Glen menatap jengkel karena Akiko hanya memperhatikan Ethan saja, bahkan gadis itu sempat menyuapi Ethan dengan lembut tanpa memerdulikan Glen. "Sorry," ucap Akiko. "Siapa dia?" tanya Glen sambil melirik Ethan. "Ethan, dia tersesat jadi aku akanmengantarnya pulang setelah ini," menden
"Tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang menancap pada perut mama Ethan, lalu membuangnya ke sembarang arah bersamaan dengan tubuh wanita paruh baya yang ambruk dengan darah mengalir di lantai. "Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen baik dalam perusahaan atau dalam kehidupan pribadi. "Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. "Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Akiko merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Tanpa membuang waktu lagi dia segera menggendong Ethan, padahal tubuhnya sudah sangat sakit akibat dipukul berkali-kali. Namun, dia memiliki sifat baik sehingga masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. "Kalau kau mati, bagaimana
"Untuk apa kau ke rumah sakit?" tanya Glen saat Akiko baru saja sampai di depan gedung apartemen. Ternyata pria itu sudah menunggunya karena dia paham bahwa gadis itu pasti tidak tau password apartemen, sementara Akiko berpikir pasti Glen habis memata-matai sehingga bisa tau dia habis menemui laki-laki. "Kau yang menyakiti aku, kenapa malah bertanya?" sahutan ketus dari Akiko membuat Glen terkekeh pelan, ia tersenyum menyeringai sambil melingkarkan tangannya di pinggul Akiko agar berjalan mengikutinya. "Angkuh juga kau ternyata," gumam Glen berpikir mungkin semua keluarga Eloise memiliki sifat angkuh seperti Akiko, dia bahkan tidak bergeming sedikitpun ketika tangan kekar itu mengusap pinggulnya secara sensual. "Kau bertemu kekasihmu, iya, 'kan?" Glen merasa curiga pada Vian, dokter yang Akiko temui beberapa saat lalu. "Bukan," jawab Akiko seadanya. "Lalu siapa dia? Kenapa kalian terlihat sangat dekat?" tanya Glen lagi. "Dokter biasa," jawab Akiko lagi kali ini sambil mencu
"Glen!" teriakan seorang wanita membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan, awalnya mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Ternyata, dialah tamu penting yang dimaksud Glen tadi. Wanita itu memakai make up tebal bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen, padahal sebelumnya mereka hanya kenal sebagai rekan bisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak sehingga tentu membuat Glen geram, apalagi pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja sehingga wanita itu terjatuh ke lantai karena memakai sepatu high heels walau dorongan tidak terlalu kencang "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak pah
"Bagaimana, Akiko? mau pergi atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise, pria tua itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang berpikir putrinya itu mau ikut pulang. "Akiko … Papa ingin minta maaf, Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, aku tidak akan sehancur ini jika papa mengatakan itu sejak dulu. Andai Papa memperlakukan aku layaknya seorang anak, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan bicara begitu, Akiko. Pa
*1 hari yang lalu* "Jadi … kau benar-benar menjual Akiko?" tanya Keinara dengan tatapan tidak percaya. Malam ini Keinara memutuskan untuk pulang dan bertanya soal Akiko pada papanya, tapi papanya justru panik dan tidak mau menjawab kejadian sesungguhnya. Untung saja gadis itu punya ide, yaitu bertanya pada pelayan di rumah itu dengan sogokan uang agar bisa menjawab secara jujur. "Pantas saja Akiko mengatakan bahwa kami tidak akan pernah bertemu lagi," lanjut Keinara. "Jawab aku, Papa," tekan Keinara terus menerus sehingga papanya menjawab dengan anggukan pelan. "Kenapa kau begitu jahat pada Akiko? Kenapa?" "Papa tidak memaksanya, Kei, dia tidak menolak atau melawan permintaan Papa. Artinya, dia tidak masalah dengan semua itu," kata Mr. Eloise enteng. "Dari dulu Akiko memang seperti itu, Pa. Dia tidak melawan karena dia tau hasilnya akan sama saja, yaitu kemarahan Papa yang tidak ada ujungnya. Kenapa tidak aku saja? Kenapa Papa selalu memperlakukan Akiko semena-mena? Dia juga Pu
"Glen, aku minta maaf…," lirih Akiko sambil terus menggedor pintu pelan karena tubuhnya lemas. Untung saja beberapa saat kemudian Glen datang membuka pintu, dia menatap tajam tanpa menyadari bahwa Akiko membawa sweater penuh darah. "Aku minta maaf," ucap Akiko lagi. "Mandi dan temani aku duduk," titah Glen, tapi dia sengaja memasang kakinya saat Akiko melangkah sehingga gadis itu tersandung dan membentur ujung meja yang tajam di bagian dahi. Kepalanya terasa sangat pusing sampai ingin ambruk begitu saja, tetapi tetap dia tahan. Akiko masih berusaha bangkit dan berjalan tertatih menuju kamarnya. Dia mandi dan memakai pakaian panjang seperti biasa, kemudian datang ke ruang santai melihat Glen yang sudah menunggunya. "Kemari," Glen menarik tangan Akiko pelan sehingga gadis itu duduk di pangkuannya. "Aku tidak suka kau bicara dengan laki-laki lain. Kau adalah milikku," ucap Glen, mengusap tangan Akiko lalu menciumnya lembut. "Kenapa tanganmu sangat dingin?" Pertanyaan itu tidak
“Bukankah kau bilang Glen tidak suka warna yang mencolok?” tanya Eva sambil duduk di ruang makan. Acara makan malam bersama akan dimulai, kini ketiga orang itu duduk bersama, walaupun perhatian Glen tidak pernah lepas dari Akiko. “Iya, dia memang tidak suka,” jawab Akiko seadanya. “Lalu kenapa kau memakai dress dengan warna merah? Tidak inginkan kau membuatnya terkesan?” tanya Eva sambil tersenyum puas seperti menjelaskan bahwa dia menang satu poin karena memakai warna tidak mencolok. “Jika dia memang terkesan pada seseorang, dia tidak akan mengamati warna pakaian yang mencolok atau tidak,” Akiko menjawab dengan sangat tenang seperti biasa. Namun, hal tersebut membuat Eva menjadi lebih tertantang dan merasa Akiko sudah membuka jalan untuk persaingan mereka.“Tapi aku rasa warna dress itu terlalu terang. Kau setuju, Glen?” tanya Eva pada Glen yang masih menatap Akiko dengan tatapan tajamnya. “Ya, terlalu terang,” sahut Glen sambil tersenyum diam-diam. Eva tidak menyadari senyuman i
“Kau akan pindah?” tanya seorang wanita yang tengah duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas. Wanita itu adalah Eva, seorang dokter muda dengan kepribadian ramah. “Ya,” jawab Glen dengan yakin. “Kapan? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Eva lagi. “Mungkin beberapa hari lagi, sekarang aku sedang menyiapkan barang-barang,” sahut Glen. “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kita bisa bicara lebih lama. Tapi tidak masalah, aku bisa bicara dengan Akiko,” ucap Eva setelah menunduk sedih. “Apa maksudmu? Aiko pasti akan ikut bersamaku,” desis Glen sambil menatap tajam, sementara Akiko hanya duduk dengan tenang karena saat ini dia sedang tes tekanan darah. “Akiko ikut?” tanya Eva memastikan. “Tentu, apa kau pikir aku akan meninggalkannya sendirian di sini?” cibiran itu membuat Eva meneguk saliva kasar. Hatinya berdegup kencang karena takut, takut Glen semakin dekat dengan Akiko karena mereka berdua akan pergi bersama. “Kalau begitu aku juga harus ikut, kan? Aku harus memeriksa
Seorang pria sedang menatap seorang gadis yang duduk di taman bunga. Pria bertubuh kekar itu tersenyum, kemudian berjalan mendekat dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat. “Kau membuatku kaget,” ucap Akiko sembari memutar badannya untuk menatap Glen langsung. “Ini masih pagi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Glen. Pria itu suka sekali jika melihat wajah gadisnya saat bangun, tapi pagi ini Akiko justru bangun lebih cepat. “Aku ingin memetik bunga untuk hiasan kamar kita,” sahut Akiko seadanya, lalu melepaskan pelukan Glen untuk memetik bunga yang sudah dia rawat di taman rumah. Glen tersenyum melihat betapa manisnya Akiko dengan dress berwarna pink lembut itu, rasanya sangat cocok dengan kulit putih dan wajah polosnya. 2 tahun lebih sudah berlalu sejak awal mereka pindah di kota ini, Glen merasa kalau kehidupan mereka memang jadi lebih baik. Pria itu juga menepati janjinya untuk membawa Akiko tinggal di rumah yang nyaman, memiliki taman bunga, dan juga peternakan kecil.
“Keinara,” panggil Vian, seorang Dokter yang dulu merawat Akiko. Pria itu berjalan mendekati gadis yang tengah duduk di taman kota sambil menunduk dengan wajah sedih. “Vian … adikku sudah meninggal, dia sudah tidak ada,” ucapan Keinara tentu membuat Vian kaget bukan main sebab mereka masih belum bertemu dengan Akiko sekalipun. Keinara memberikan sebuah surat dari rumah sakit yang mengatakan bahwa Akiko Eloise meninggal karena Kanker 1 minggu yang lalu. “1 minggu yang lalu? Kenapa suratnya baru kau dapatkan sekarang?” bingung Vian terus aja menenangkan Keinara. Sebagai Dokter Vian tau sekali kalau surat kabar kematian seseorang pasti langsung dikirim hari itu juga. “Kei, sebenarnya Akiko menitipkan sesuatu padaku waktu terakhir kami bertemu,” Vian mengambil sesuatu dari tas, yaitu ponsel milik Akiko yang sudah dititipkan sejak lama. Gadis itu mengatakan ponsel ini hanya boleh diberikan jika dia sudah tidak ada, jadi Vian rasa inilah akak tu yang tepat. Tanpa basa-basi lagi Keinar
“Dulu aku adalah pria yang tidak punya rasa kemanusiaan, bahkan aku bisa menghabisi nyawa dengan mudah tanpa peduli rasa sakit orang lain. Namun, gadis itu datang dalam hidupku dan mengajarkan tentang bagaimana kehidupan yang sesungguhnya.” “Mungkin ini adalah Karma karena tidak bisa menghargai nyawa orang lain sehingga takdir seolah ingin selalu memisahkanku dengan Aiko. Sekarang aku selalu merasa takut akan kematian, aku selalu takut kehilangan Aiko, aku takut dia merasa sakit, dan aku takut dia pergi. “Rasa takutnya luar biasa sampai dadaku terasa sesak, aku tidak bisa berpikir ataupun tidur dengan nyenyak. Inikah rasa takut yang aku abaikan abaikan dulu? Aku benar-benar tersiksa dengan rasa takut ini, aku ingin Aiko kembali ke pelukanku seperti semula.” *** “Bagaimana keadaannya?” tanya Guston saat baru sampai di rumah sakit. Sudah 5 hari Akiko belum juga sadar, gadis itu seolah terlalu nyaman dalam mimpi dan tidak ingin melihat dunia lagi. “Masih sama,” jawab Glen dengan pa
“Sial! Aku tidak bisa menemukannya,” desis Glen frustasi karena belum juga menemukan keberadaan Akiko, sementara acara perayaan juga hampir selesai. Jika para tamu pergi maka Glen juga tidak bisa bertahan karena Mr. Eloise akan curiga dengan keberadaannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang pelayanan rumah yang kaget karena tidak pernah melihat Glen. Dia pikir Glen adalah tamu pesta yang tidak sengaja masuk ke dalam rumah. “Sudah berapa lama kau bekerja di rumah ini?” tanya Glen langsung pada inti. “Sudah lama, sejak nyonya Hinami masih ada,” jawabnya jujur. “Jadi kau tau soal Aiko? Di mana dia sekarang?” tanya Glen sehingga pelayanan itu terlihat kaget, lalu menjauh perlahan. “Aku tidak tahu—” “Jawab jujur, atau aku akan menembak kepalamu sekarang juga,” ancam pria berambut hitam itu. Awalnya pelayan masih terlihat ragu dan takut, tapi beberapa saat kemudian dia menghela nafas panjang dengan air mata menggenang. “Akhirnya kau datang, Tuan. Aku benar-benar tida
Suara ketukan pintu membuat lamunan Glen pudar. Sudah satu minggu sejak Akiko tidak tinggal di apartemen ini, rasanya sangat lama sampai hidupnya terasa hampa. Akiko memberitahu bahwa dia tidak boleh minum alkohol atau merokok, tapi bukannya lebih sehat kini pria itu terlihat stress dan murung. “Glen, ini Mommy,” ucap Harley dari luar pintu sehingga Glen segera membukanya. “Ada apa, Mom?” tanya Glen penasaran karena tak biasanya Harley datang seperti ini. “Tidak apa, Mommy hanya merindukanmu. Kau tidak pernah datang ke rumah sejak Akiko pindah,” jelas Harley. “Iya,” sahut Glen dengan pasrah lalu duduk di sofa sambil meminum sebotol air. “Kau terlihat lemas, Glen, apa kau sakit?” tanya Harley penasaran melihat wajah putranya yang pucat dengan kantung mata jelas. “Tidak, aku hanya terlalu banyak bekerja,” sahut Glen seadanya. “Bukan begini caranya jika kau ingin menghibur diri supaya tidak merindukan Akiko, kau tidak memperhatikan kesehatanmu sendiri,” ujar Harley. Mendenga
“Akiko,” Mr. Eloise langsung memeluk putrinya ketika baru saja sampai di rumah mewah itu. Glen baru saja sampai dengan hati yang sangat berat karena harus memulangkan gadisnya itu. Namun, Glen ngerasa Akiko akan selalu terluka jika tinggal bersamanya dengan sifat yang masih sangat egois dan kasar. Di posisi lain, Akiko masih terdiam seribu bahasa karena ini pertama kalinya dia dipeluk oleh papanya sendiri. Rasanya aneh, sedih, dan senang sekaligus. “Akhirnya kau kembali,” ucap Mr. Eloise sambil membelai rambut Akiko pelan. “Papa menyetujui permintaan Glen?” tanya Akiko memastikan. “Iya, tentu, Papa sudah berkali-kali bicara dengannya untuk melepaskanmu,” sahutnya. “Tapi … Papa tidak akan mengorbankan Kak Keinara untuk aku, ‘kan?” tanya Akiko lagi. “Aiko, aku sudah melepaskanmu dengan baik. Tidak akan ada lagi riwayat hutang antara aku atau Mr. Eloise, jadi tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” jelas Glen. “Kau ataupun kakakmu akan aman, kalian akan tinggal di sini bersama
Gadis itu tertidur lelap dengan tangan yang dingin terus gemetaran, walaupun Glen sudah menyelimuti seluruh tubuhnya. Sesekali ia terbatuk sambil merintih kesakitan, nafasnya begitu pelan sampai Glen sering memeriksanya karena khawatir. "Suhu tubuhnya naik," bingung Glen melihat Akiko kedinginan, tapi kepalanya panas sampai berkeringat. Dia terus mengusap kepala gadis itu, berusaha memberikan ketenangan agar bisa tidur dengan nyenyak. Namun, beberapa saat kemudian Akiko terbangun dari tidurnya karena terbatuk hebat. "Minumlah," ujar Glen sembari memberikan sebotol air, tapi tenggorokannya terasa begitu sakit saat minum hingga terbatuk kembali. "Kita akan ke rumah sakit nanti," ucap Glen sambil merapikan rambut pendek Akiko, tapi tangannya langsung terhenti ketika melihat banyaknya rambut rontok di sela-sela jarinya. "Jangan sentuh rambutku, tanganmu bisa kotor," ucap Akiko sambil membersihkan tangan Glen, gadis itu masih terlihat sangat tenang walau mati-matian menahan sakit.