Beberapa tahun berlalu. Nyatanya, ucapan Tari yang mengajak Agni pergi meninggalkan rumah hanyalah sebuah wacana semata. Karena nyatanya, sampai detik ini pun mereka masih bersama-sama tinggal satu atap di dalam gedung neraka yang diciptakan oleh Bagas.
Pertengkaran serta perselisihan masih terus saja terjadi. Entahlah, Agni sendiri pun bingung apa yang membuat sang ibunda masih saja bertahan selama ini dengan Bagas.
"Sebenarnya apa sih, Bu, yang bikin Ibu bertahan di sini?" tanya Agni untuk yang kesekian kalinya.
Wanita jelita yang tujuh tahun silam sempat dicekik oleh ayahnya itu sungguh bingung dan tak mengerti dengan jalan pemikiran sang bunda.
Ibunya itu sudah berkali-kali disakiti dan dihina. Namun, ia masih saja terus bertahan. Entah apa yang membuat Tari bertahan sehebat dan sekuat ini masih menjadi tanda tanya tersendiri untuk Agni.
Sedangkan Tari, ia hanya bergeming tanpa berniat sedikitpun menanggapi segala rasa penasaran yang berkelana di dalam benak putrinya. Ia membuang napas pelan dengan tatapan mata yang dialihkan ke arah lain, menghindari kontak mata dengan putri semata wayangnya yang kini tumbuh menjadi wanita dewasa yang amat cantik.
"Ibu nggak boleh egois dong, Bu! Agni juga jengah kayak gini terus! Agni capek, telinga Agni sakit harus selalu mendengar caci serta makian dari ayah. Ayah itu nggak menginginkan kita, Bu. Terus buat apa kita bertahan di sini?" protes Agni.
Lagi-lagi Tari hanya bergeming tanpa menjawab sepatah kata pun.
"Ibu jawab dong, Bu, jangan diem aja!" kesal Agni kala tidak mendapatkan respon apapun dari Tari. "Memangnya ibu nggak capek? Agni mah capek, Ibu. Agni lelah. Agni—"
"Diam!" seru Tari dengan tangan yang menggebrak meja. Ia kesal dengan putrinya yang selalu saja mengoceh menanyakan perihal masalah rumah tangganya yang sebenarnya ia sendiri pun sudah sangat muak.
Keinginan bertahan sudah tidak ada sedari dulu. Namun, semuanya ia lakukan hanya untuk Agni. Selain karena ia yang takut akan ancaman Bagas tujuh tahun silam, Tari juga takut hidup Agni akan berantakan jika ia memaksa membawa Agni keluar dari rumah ini tanpa berniat kembali.
Sentakan Tari berhasil membuat Agni sedikit terlonjak kaget.
"Kamu itu nggak tahu apapun, Agni! Diam dan bertahan saja dulu beberapa tahun lagi."
Tersenyum kecut, Agni menjawab ucapan Tari. "Berapa tahun lagi, Bu? Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? atau … selamanya? Sampai Agni dan Ibu mati baru kita akan pergi dari rumah ini, begitu? Bukan hanya dari rumah ini itu mah, Bu, namanya. Tetapi pergi dari dunia untuk pindah ke alam yang lain. Wafat!" Agni berucap kesal kemudian beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan sang ibunda yang masih duduk termenung di kursi meja dapur.
Tari mengamati punggung Agni yang perlahan menjauh. Ia menundukkan wajahnya kala dirasa air mata tiba-tiba saja menetes dari pelupuk mata.
"Maafkan, Ibu, Nak. Ibu pun sebenarnya lelah dengan semua ini. Namun, Ibu bisa apa? Ibu hanya ingin memperjuangkan hak untukmu. Atau setidaknya sampai kamu bertemu dengan sosok pria yang akan menjagamu. Sebab, Ibu takkan pernah bisa menjagamu dengan maksimal di luaran sana jika kamu hanya pergi berdua dengan ibumu yang lemah ini," gumam Tari tergugu dengan pundak yang naik turun.
***
Siang itu … suasana kantin di salah satu universitas kota Bandung terlihat dipenuhi oleh para mahasiswa yang sedang mengisi perut di jam istirahat mata kuliah mereka.
Di antara ramai serta bisingnya suasana kantin, ada satu sosok wanita yang sedari tadi cukup menyita perhatian Tirtha, pria tampan yang tengah duduk di dalam ruang khusus kafe tersebut. Ruangan itu dikelilingi oleh kaca. Dari dalam, dapat terlihat dengan jelas suasana di luar sedangkan yang berada di luar sana sekali tidak bisa melihat suasana di dalam ruangan tersebut.
Pikiran Tirtha melayang beberapa waktu lalu saat …
Bruk!
Dada bidangnya terasa berbenturan dengan suatu benda padat diiringi dengan bunyi buku-buku yang berjatuhan.
Matanya kemudian mengalihkan tatapan dari layar ponsel ke arah depan, ke arah gadis yang tengah berjongkok dengan tangan bergerak memunguti buku-buku yang jatuh. Sedangkan sang gadis, ia membawa tatap mata nya ke arah pria yang malah berdiri mematung di hadapannya.
"Hadeh … Agni, Agni … ketabrak kok sama pohon pisang. Lagian siapa sih yang bawa pohon pisang ke kampus begini?" ujar sang gadis yang ternyata adalah Agni. Ia membawa tatapannya kembali ke arah lantai, kembali membereskan buku-buku yang tergeletak di lantai.
"Enak aja pohon pisang. Saya manusia ya! Nggak lihat kamu kalau saya ganteng begini?"
Tertawa kecut dengan sedikit lirikan sinis, Agni kembali berucap. "Ohh … sorry. Gue pikir pohon pisang. Habisnya punya jantung tapi nggak punya hati. Udah tau salah, tapi malah diam mematung tanpa berniat membantu dan bertanggung jawab."
"Sembarangan! Saya punya hati ini woy! Saya hanya syok kamu tabrak. Lagian gimana saya mau bantu, wong udah mau beres gitu kok."
Masih dengan tawanya yang kecut, Agni ambil buku terakhir yang tergeletak tepat di depan sepatu pantofel mengkilap sang pria dengan sedikit kasar.
"Nggak mungkin orang yang punya hati ketika dia bersalah lantas diam aja mematung seperti batu!" ujarnya ketus dengan tangan yang mengacungkan buku terakhir yang baru saja ia pungut tepat dihadapan pria tersebut.
"Dan … apa tadi lu bilang? Gue yang nabrak lu? Hello .... Nggak salah tuh? Lu yang jalan seenak jidat dengan mata cuma fokus ke hp tanpa liat jalan yang akhirnya nabrak gue sampai buku-buku gue jatuh berserakan dan sekarang dengan entengnya lu nyalahin gue? Astaga ...." Agni menggeleng-gelengkan kepalanya pelan dengan netra yang menatap sengit ke arah Tirtha.
"Udah salah, nggak mau ngaku salah lagi. Ck!" lanjut Agni lalu melangkah pergi.
Namun, baru saja tiga langkah ia berjalan melewati sang pria, Agni kembali berhenti. "Satu pelajaran penting, Tuan gedebog pisang yang mengaku tampan, entah siapa namamu aku tak tahu dan tak berniat tahu," ucapnya mengacungkan jari telunjuk ke atas tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.
"Saat berjalan, kerjasama antara mata dan kaki itu sangat diperlukan. Percuma sekali kakimu berjalan tetapi matamu malah fokus ke sesuatu yang sama sekali tak mempermulus jalanmu. Kasihan ya, kakimu, berjalan sendiri tanpa bantuan mata untuk mengarahkan jalan. Ckckck! Kalau aku jadi Tuhan, mungkin sudah kucabut nikmat melihat dari dalam tubuhmu dan kuberikan pada si buta. Sebab, percuma ia berada di tubuhmu. Dipakai tapi tidak sesuai kebutuhan," lanjutnya lagi lalu kembali meneruskan langkahnya.
"Sialan!" gumam Tirtha pelan.
"Apa maksudmu berbicara seperti itu, gadis tengil?!" teriak Tirtha mengejar sang gadis.
"Hei! Apa maksudmu berbicara seperti itu?" ujarnya lagi memegang pergelangan tangan mulus wanita yang baru saja ia tabrak tadi.
Tatapan mata Tirtha seketika membelo kala melihat tanda berbentuk bintang tepat di samping jahitan panjang di atas siku Agni.
Sedangkan wanita yang dipegang tangannya langsung saja menghentakkan tangan membuat Tirtha melepaskan rengkuhannya pada pergelangan tangan Agni.
"Jangan sembarangan nyentuh gue!" seru Agni menatap sengit. Ia tidak terima tangannya dipegang oleh pria asing.
"Saya hanya meminta penjelasan dari ucapanmu tadi!"
"Apa kurang jelas perkataan gue tadi? Ini sebenernya lu yang bodoh apa ucapan gue yang belibet si? Heran gue!" kesal Agni mengusap-usap tangan yang baru saja dipegang oleh Tirtha ke baju yang dipakainya.
"Sialan! Apa lu nggak tau siapa gue? Seenaknya aja lu bilang gue bodoh!" ucap sang pria yang kini ikut terbawa emosi.
"Nggak tau dan nggak mau tau. Sekalipun lu pejabat tinggi, anak presiden ataupun artis papan triplek gue nggak peduli. Bodoamat!" sahut Agni masih dengan tatapannya yang sengit lalu kembali melangkah pergi.
"Kampret! Baru kali ini ada cewek berani banget begini sama gue!" Tirtha menggerutu kala mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. "Jadi penasaran gue sama tu cewek, siapa dia? Dan tanda bintang itu ... kok gue kayak pernah liat ya ...," lanjutnya lagi dengan bertanya-tanya.
Tatapan matanya masih saja ia arahkan pada wanita yang ia anggap gadis tengil pengacau yang kini terlihat duduk menyendiri sembari menyantap makanannya di salah satu kursi kantin.
Blam!
Pintu ruangan tertutup setelah dua orang pria tampan lainnya masuk dan ikut bergabung duduk di samping Tirtha–anak pemilik kampus yang sedari tadi duduk termenung sendirian memperhatikan seorang gadis di salah satu kursi kantin.
"Ada angin apa nih, CEO tampan kita datang ke kampus di hari Senin seperti ini?" kelakar pria berkemeja abu dengan rambut sebahu yang diikat separuh.
Dia adalah Bryan, sahabat Tirtha yang bekerja sebagai dosen di kampus milik ibunya Tirtha.
"Angin rindu … hahaha!" sahut pria satunya lagi bernama Haikal. Ia menggantikan peranan Tirtha di kampus tersebut sebab Tirtha yang lebih memilih menjadi CEO meneruskan bisnis ayahnya di bidang properti ketimbang mengurus kampus milik ibunya.
"Rindu pesona gue yang tampan deh kayaknya," ucap Bryan narsis.
"Huek .... Jadi pengen muntah gue," sahut Haikal pura-pura mual. Meski sebenarnya, Bryan memanglah tampan. Pesonanya dalam memikat hati wanita sudah tidak bisa diragukan lagi. Sebab itulah ia dikenal dengan sebutan playboy cap kapak yang mematikan.
Tirtha, Bryan serta Haikal merupakan sahabat karib sejak SMA. Menjadi incaran para wanita hingga mendapat julukan The Handsome City sebab ketampanan mereka yang di atas rata-rata.
"Gue jenuh, suntuk, kerjaan nggak ada abis-abisnya. Makanya gue lari ke sini. Tapi bukannya penat gue ilang malah makin stres gara-gara ulah satu manusia tengil!" sahut Tirtha asal. Matanya masih saja menatap si wanita yang berhasil merebut perhatiannya.
"Buset .... Gue becanda kali, Ta. Gitu amat lu, nggak seneng amat gue narsis," ucap Bryan yang mengira Tirtha makin stres sebab ulah dirinya yang tadi narsis.
"Hahaha .... Pusing 'kan lu … makanya, jadi dosen atau staf aja kaya kita. Paling pusing juga cuma mikirin urusan kampus. Abis itu have fun. Banyak waktu buat seneng-seneng," ucap Haikal menimpali.
"Betul itu. Nggak kayak elu. Dari pagi sampai malam hari masih aja sibuk berkutat dengan laptop dan tumpukan berkas-berkas," sahut Bryan meninju pelan lengan Tirtha.
Tirtha melirik ke arah dua pria di sisi kirinya dengan kesal. Setelahnya, ia kembali membawa pandangannya menatap sang wanita yang ternyata telah selesai makan.
"Buset .... Lirikannya badas, hahahaha ...," celoteh Bryan disusul dengan tawa Haikal yang renyah.
"Kalian kenal wanita itu?" tanya Tirtha tiba-tiba dengan tangan yang menunjuk ke arah gadis berambut hitam panjang yang terlihat masih duduk di kursinya.
Bryan serta Haikal kemudian membawa tatap matanya ke arah yang ditunjuk oleh Tirtha.
"Kenal lah. Itu 'kan Agni, anak didik gue. Kenapa?" sahut Bryan dengan kening yang berkerut. Pasalnya, Tirtha tak pernah bertanya tentang seorang wanita. Ini adalah kali pertamanya ia berani bertanya.
----
"Sial*n! Gila, ya, itu orang!" rutuk Agni setelah keluar dari sebuah ruangan yang berada tak jauh dari halte tempat ia tertidur semalam."Kamu yang gila," celetuk Tirtha menimpali.Setelah drama debat pagi tadi, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mendatangi tempat di mana Agni tertidur semalam. Menyelidiki di mana motor wanita itu berada. Tentunya semua terjadi atas paksaan dari seorang Agni Gantari.Beruntung, di area tersebut ada satu cctv. Meski tak sepenuhnya mengarah ke halte. Namun, itu cukup membantu mereka sebab ia bisa melihat siapa seseorang yang membawa motornya pergi meski area wajah sang pelaku tidak terlihat sempurna.Agni menghentikan langkahnya, memutar tubuh, menatap Tirtha dengan tatapan sengit."Kenapa? Mau protes?" tanya Tirtha balik menatap Agni. Pria itu kini mulai berani menentang setelah merasa bahwa dirinya berada satu langkah di depan sang wanita; sedikit merasa mampu mengendalikan, dan berharap ia mampu melunakkan kerasnya hati seorang Agni Gantari. "
Hari mulai larut. Jarum jam di pergelangan tangan milik Tirtha sudah mulai menunjukkan waktu dini hari. Namun, pria tampan itu masih berada di jalanan sebab baru saja menyelesaikan pertemuan dalam menjamu para klien dari luar negeri.Pertemuan di bar dengan minuman dan para wanita cantik di malam hari sudah menjadi satu hal lumrah di kalangan para pebisnis. Pria di balik kursi kemudi itu memijat tengkuknya perlahan, mencoba menetralkan rasa kaku dan letih yang mulai terasa di seluruh tubuhnya. "Berendam enak kali, ya," gumam Tirtha pelan.Netranya terus fokus mengemudi, menancap gas lebih cepat sebab sudah tak sabar rasanya ingin sampai di rumah untuk berendam air hangat lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk.Namun, di tengah perjalanan menuju pulang, netranya menyipit, fokusnya sedikit terbagi pada satu sosok manusia yang terbaring di jejeran kursi halte bus.Menurunkan kecepatan laju mobilnya, sedikit menepi, dan ...."Astaga, Agni!" pekiknya terkejut dengan mata terbe
Setelah menghembuskan napas berkali-kali, Agni kembali mencoba meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan terbaik yang memang harus ia pilih.Wanita itu lantas melangkah ke dalam, kembali ke mejanya dengan menggenggam satu keputusan final."Maaf membuat kalian lama menunggu," ucap Agni kembali duduk seraya tersenyum ramah ke arah semua orang. Ekspresinya berbanding terbalik dengan beberapa waktu sebelumnya di mana ia selalu menekuk wajah cantiknya itu dengan ketus."It's oke. Kami mengerti mungkin kamu terkejut dengan ini semua. Dan, ya ... Jika kamu membutuhkan waktu lebih untuk menjawabnya, kami bersedia memberikannya," ucap Lina—Mama Tirtha, mencoba untuk memahami."Tapi bukankah lebih cepat lebih baik, bukan begitu, Agni? Aku tak masalah jika kamu menolak perjodohan ini. Jangan membuang waktuku lebih lama dengan harus menunggu jawabanmu yang belum pasti itu," ucap Tirtha menimpali. Melipat kedua tangan di depan dada, bersandar santai di sandaran kursi yang didudukinya."Tirtha ..
Belum habis rasa dukanya, dunia seolah berniat kembali menguji seorang Agni Gantari.Hati yang selalu dipenuhi amarah semakin meluap-luap kala ia ditarik paksa oleh anak buah Yudistira. Didandani sedemikian rupa dan dipaksa menghadiri sebuah pertemuan di sebuah hotel dengan Yudistira beserta rekan bisnisnya untuk membahas sebuah perjodohan."Apa-apaan ini, Opa?!" protes Agni setelah berhasil membawa Yudistira menyingkir dari para keluarga di dalam. "Hanya kamu yang bisa membantu Opa, Nak.""Dengan cara seperti ini? Ya Tuhan, Opa!" keluh Agni tidak habis pikir dengan keluarganya sendiri yang seolah tiada henti memperalatnya. "Tidak! Agni tidak akan pernah mau dijodohkan. Agni tidak akan menikah sampai kapan pun, Opa!" tolak Agni pada Yudistira dengan kata-kata yang penuh penekanan.Keduanya tengah berada di balkon saat ini. Meninggalkan dua keluarga yang sedang asik berbincang di meja makan di restoran dalam hotel tersebut.Yudistira hanya mampu memijat keningnya, pening. Berbagai car
Sejak hari itu, Agni kembali pada kepribadiannya yang dulu, bahkan terkesan lebih parah dari sebelumnya.Ia yang beberapa waktu terakhir berhenti minum dan balapan liar sebab harus segera pulang ke rumah setelah rutinitasnya kuliah dan bekerja—demi menjaga sang bunda di rumah, kini hampir tak pernah lagi pulang ke rumahnya.Harinya kini hanya dihabiskan di jalanan luar. Mabuk, balap liar kembali menjadi rutinitas kesehariannya lagi.Pulang ke rumah hanya untuk tidur—meski tak jarang, ia lebih memilih tidur di jalanan. Hidupnya kembali berantakan, kuliahnya tak lagi dilanjutkan pun dengan pekerjaannya di kantor serta beberapa misi yang ia tinggalkan.Hanya satu misi yang gadis itu tanam dan lakukan dengan gencar, yaitu membalaskan dendamnya pada Bagas. Segala bukti sudah ia lampirkan untuk laporan ke pihak kepolisian. Namun, sayang ... Otak kasus pembunuhan sang bunda itu tengah melarikan diri saat ini. Berbagai prasangka buruk berlarian di otak Agni, mengira bahwa Yudistira yang mel
Selepas menjalani serangkaian proses serta berbagai prosedur untuk bukti pelaporan ke pihak kepolisian atas kasus pembunuhan sesuai permintaan langsung dari Agni, kini Tari akhirnya bisa dibawa pulang ke rumah duka untuk segera dimakamkan.Yudistira berada di samping Agni, terus berusaha mendampingi meski tak dihiraukan keberadaannya.Pun dengan Tirtha. Pria yang belum pulih betul dari luka tembak itu pun datang mengucap bela sungkawanya.Saat semua proses pemakaman telah berjalan lancar, David yang beberapa hari belakangan tidak terlihat batang hidungnya pun kembali muncul. Dengan setelan kemeja hitam serasi dengan celana bahannya yang juga berwarna hitam, ia memasuki pekarangan rumah Agni. Netranya langsung tertuju pada gadis cantik yang tengah terduduk dengan tatap mata yang memandang kosong. Garis sendu terlihat jelas di raut wajahnya yang pucat."Hai," sapa seorang pria yang langsung duduk berjongkok di hadapan Agni.Gadis itu terbelalak, cukup terkejut ketika melihat David yang