Share

Gadis Penantang Takdir
Gadis Penantang Takdir
Penulis: Miumi601

1. Luka Hati

Seorang gadis remaja berusia 15 tahun terlihat mengerjapkan matanya perlahan. Hari masih begitu gelap. Namun, keributan sudah mulai terdengar. Ini bukan satu hal asing lagi untuknya. Segala keributan, pertengkaran serta kekacauan sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya.

Memutar bola matanya malas, gadis itu menyingkap selimut yang membalut tubuh bagian bawahnya. "Apa mereka tidak lelah setiap hari selalu saja bertengkar seperti ini?" gumam gadis itu meraup wajahnya kasar. "Aku saja lelah mendengarnya. Rasanya, telingaku seperti akan pecah," lanjutnya lagi mengusap kedua telinga.

Kaki mungil itu kemudian turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar berniat ingin menghentikan aksi kedua orang tuanya yang bertengkar di tengah malam seperti ini.

Bahkan saat rumah manusia lain tengah aman dan damai sebab para penghuni yang masih berkutat dengan selimut, tenggelam dalam mimpi indah mereka, rumah gadis itu malah gaduh dan ramai oleh suara-suara pertengkaran serta benda-benda yang berjatuhan.

 Prang!

Gadis itu tersentak kaget dan mundur beberapa langkah kala suara benda kaca yang dihantam di atas lantai terdengar diiringi dengan pecahan-pecahan kaca yang berserakan kemana-mana. Beberapa bahkan ada yang tertancap di kakinya.

"Teruskan! Banting semua benda yang ada di rumah ini sampai habis tak bersisa!" ucap wanita berusia 38 tahun dengan mata yang menyorot tajam. Setitik bening terlihat mengalir membasahi pipi mulus wanita itu.

"Bahkan, jika saya mau, mungkin kamu pun bisa saya banting hingga hancur seperti pecahan kaca itu!" sahut sang pria menunjuk pecahan beling yang berserakan. Matanya tak kalah tajam menyorot sang wanita.

Kedua manusia yang saling beradu mulut itu adalah Tari dan Bagas. Mereka tak lain adalah kedua orang tua Agni—sang gadis kecil berusia 15 tahun yang kini tengah menyaksikan pertengkaran mereka di ujung tangga.

"Banting dan bunuh saja aku sekalian agar hidupmu puas! Agar tidak ada lagi wanita yang menurutmu cerewet sepertiku. Agar kau bisa bebas bersenang-senang dengan para jalang di luaran sana!" teriak Tari dengan dada yang kembang kempis. Wajahnya merah padam bak kepiting rebus.

"Bunuh saja aku sekalian, Brengsek! Untuk apa kau pertahankan aku jika untuk terus kau hina serta kau siksa batin dan raganya seperti ini!" lanjutnya lagi dengan suara yang bergetar. Emosi dalam dirinya sudah tak mampu lagi ia bendung.

"Kurang ajar! Berani kau menjawab ucapanku?! Baik jika ini yang kau minta ...!"

"Stop!" Agni berteriak kencang, menghentikan sang ayah yang tengah melayangkan tangannya ke atas hendak memukul ibunya. Keduanya kini mengalihkan pandangan ke arah sang gadis yang tengah berdiri tak jauh dari mereka. "Jangan sentuh dan sakiti ibuku!" lanjut gadis kecil itu lagi.

Bagas tersenyum miring dan menunjuk ke arah Tari. "Dia yang memulainya terlebih dahulu! Bertanya ini dan itu dengan cerewet hingga telingaku sakit mendengarnya."

"Aku takkan seperti ini jika bukan karena kamu yang berulah. Selalu pulang malam di luar urusan pekerjaan, minum-minuman keras, berkencan sana-sini dengan berbagai macam perempuan. Dasar tidak tahu malu!"

 Plak!

Wajah Tari terdorong ke samping kala tamparan keras mendarat di pipinya.

"Berhenti!" teriak Agni lagi untuk yang kedua kalinya. Ia mulai melangkah mendekat. Sakit pada telapak kakinya yang bahkan kini mulai mengeluarkan darah sama sekali tidak ia hiraukan.

"Kalian berdua sama saja! Apa kalian tidak malu selalu saja ribut dan bertengkar seperti ini? Aku saja lelah dan malu sekali mendengarnya. Tidur malamku selalu saja terganggu karena kalian!"

"Diam kamu anak kecil! Tutup saja telingamu atau pergi dari sini jika kamu merasa terganggu! Persetan dengan segala rasa malu!" sahut Bagas dengan sorot  mata yang menatap tajam. Warna merah tergambar nyata di wajahnya.

"Jangan ikut campur sebab kamu tidak mengerti apa-apa! Kami seperti ini juga sebab ulahmu, dasar gadis pembawa sial! Andai saja delapan tahun yang lalu kamu tidak kecelakaan hingga menghabiskan banyak biaya, mungkin saja saat ini ekonomi kita akan baik-baik saja. Aku tak perlu pontang-panting bekerja siang malam hingga berakhir dituduh macam-macam seperti ini bahkan oleh istriku sendiri," imbuh Bagas dengan telunjuk yang terus mengarah ke arah sang gadis kecil.

 Boom!

Ucapan sang ayah bagai sebuah bom yang dilemparkan tepat ke arah dadanya hingga mengakibatkan ledakan yang amat dahsyat. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia terluka oleh ucapan orang yang seringkali dianggap sebagai cinta pertama oleh anak perempuan lain di luaran sana. Namun, tidak untuknya.

Delapan tahun yang lalu, Agni memang mengalami kecelakaan mobil kala ia tengah berangkat ke sekolah bersama Aarav—sepupunya, hingga membuat ia koma beberapa waktu dan harus mengalami pengobatan yang cukup panjang. Sedangkan Aarav, ia dinyatakan meninggal di tempat dan si penabrak kabur entah ke mana rimbanya.

Bukan itu sebenarnya landasan utama sang ayah membencinya. Sedari kecil, bahkan sejak ia dilahirkan, kehadirannya tak pernah dianggap oleh keluarga Yudistira—keluarga sang ayah.

Bahkan, oleh ayahnya sendiripun ia tidak dianggap. Sebab, Bagas serta seluruh keluarga besar Yudistira hanya menginginkan kelahiran seorang putra untuk generasi penerus. Namun kenyataannya, Tari malah melahirkan seorang putri.

Meninggalnya Aarav sebagai penerus pertama serta satu-satunya keluarga Yudistira yang meninggal akibat kecelakaan bersama Agni menambah kadar kebencian seluruh keluarga pada gadis itu. Mereka menganggap hadirnya Agni memang membawa malapetaka, kesialan, serta kehancuran keluarga Yudistira.

Hanya ada satu dari keluarga Yudistira yang tidak membencinya. Dia adalah Yudistira, sang kakek. Hanya dia yang bisa memperlakukan Agni sebagai manusia setelah ibunya sendiri.

"Aku bukan menuduhmu. Aku hanya berbicara fakta! Kamu hanya beralasan kerja padahal aslinya kamu bermain dengan para pelacur yang mengobral lubang," ucap Tari berang.

"Lihat?! Lihatlah bagaimana ibumu ini selalu menuduhku dengan berbagai tuduhan?! Seharusnya kamu tahu kalau kamulah penyebab dari semua ini! Ini semua karena ulahmu, Bangsat! Kamu pengacau! Kamu biang kerok! Dasar anak sialan!" racau Bagas melangkah maju beberapa langkah. Tangannya siap mencekik sang gadis kecil yang kini mulai meneteskan air mata.

"Mati saja kamu, Bangsat! Mati saja! Kenapa pula Tuhan tak mencabut nyawamu delapan tahun silam. Kenapa malah Aarav yang meinggal? Kenapa bukan kamu saja? Kenapa?!" ucap Bagas terus mencekik leher sang putri.

Tari berusaha melepas tangan suaminya yang mencekik leher Agni. Tangisnya pecah.

"Lepas! Kamu tidak punya hak apapun untuk membunuhnya!"

"Aku punya hak sebab aku ayahnya!"

"Ayah mana yang dengan sadar tega membunuh anaknya sendiri?"

Tari masih terus berusaha melepas cekalan tangan kekar suaminya yang melingkar di leher Agni.

Sedangkan Agni, ia hanya pasrah. Tak sedikitpun ia berniat membantu sang ibu untuk melepas tangan Bagas yang mencekik lehernya. Ia sudah amat lelah merasakan sakit hati akibat perbuatan dan perkataan sang ayah. Lelah harus hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak harmonis. Telinganya jengah setiap hari mendengar pertengkaran yang terjadi di dalam rumah.

Maka, Agni hanya memejamkan matanya. Pasrah. Berharap kematian menjemputnya kali ini.

"Dia bukan anakku! Aku tak punya anak berjenis kelamin perempuan yang selalu saja menyusahkan!"

"Tapi dia anakku, Brengsek! Lepas!"

"Jangan harap aku melepasnya sebelum ia mati!" ujar Bagas makin mempererat cekikan pada leher gadis berusia 15 tahun itu.

Tari kemudian berlari menuju ke arah meja ruang makan yang tak jauh dari tempatnya berdiri, mengambil ponsel dan mengacungkannya kepada Bagas.

"Aku akan telpon Papa sekarang. Akan aku adukan kamu yang berusaha membunuh cucu wanita kesayangannya!"

Ancaman Tari berhasil membuat Bagas melepaskan genggaman tangannya pada leher Agni.

Setelahnya, Bagas berlalu begitu saja dengan wajah yang masih menahan emosi. Sedangkan Tari langsung berlari menghampiri buah hatinya yang kini terduduk lemas dengan bersandar pada dinding tangga. Ia terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang memerah.

"Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Tari mengecek kondisi buah hatinya dan menemukan bekas tancapan kuku Bagas di leher Agni.

"Pasti cekikan Ayahmu sangat kuat tadi ya, Nak, sampai lehermu tertancap kuku dan berdarah seperti ini." Tari mengusap-usap leher Agni dengan lembut.

Ditariknya Agni ke dalam dekapan hangatnya. "Maafkan Ibu ya, Nak. Maaf ...," ucap Tari.

Air mata langsung luruh membasahi wajah cantik ibu dari satu orang anak itu. Tidak tega melihat anak sekecil itu harus ikut menanggung dan merasakan kesakitan dari kehancuran rumah tangga orang tuanya. Menjadi anak yang tidak diharapkan, serta mengalami berbagai tekanan batin serta fisik dari ayah dan seluruh keluarga ayahnya.

"Ag-ni ti-dak apa-apa ... Bu. Ja-ngan kha-watir," ucap sang gadis kecil itu tersengal-sengal sembari menghapus air mata di wajah sang ibunda.

Semakin dihapus, malah semakin basah pipi Tari sebab air mata yang mengalir semakin deras.

"Ayo kita ke atas. Kita kemasi barang-barang kita dan pergi dari sini, Nak!" ucap Tari menghapus air matanya dan membantu Agni untuk berdiri.

Bagas yang saat itu kembali melangkah hendak keluar rumah seketika menolehkan wajahnya ke arah ke dua wanita di ruang makan.

"Selangkah saja kalian pergi dari rumah ini tanpa berniat kembali, maka akan kupastikan salah satu dari kalian akan menemukan mayat masing-masing. Entah Agni yang akan menemukan mayat ibunya atau malah sang ibu yang akan menemukan mayat sang anak," ucap Bagas dengan ekspresi datarnya.

"Kalian tahu, aku tak pernah main-main dengan ucapanku. Jadi, jangan berani-beraninya kalian mencoba atau ...." Bagas menggerakkan tangannya membentuk garis horizontal lantas melangkah pergi begitu saja meninggalkan Agni dan Tari yang menatap berang pada sosok pria yang perlahan menghilang di balik pintu.

"Ayo, Bu. Kita pergi saja. Aku sudah tidak tahan melihat ibu diperlakukan seperti ini terus oleh Ayah," ujar Agni memohon pada sang ibunda.

Sedangkan Tari, ia hanya diam menatap pintu dengan pandangan mata yang kosong. Bimbang. Apakah ia harus pergi atau menetap. Pandangannya kemudian beralih pada sang putri. Ia teringat oleh janji Yudistira yang akan diberikan jika saja ia bertahan bersama Bagas hingga Agni berusia 25 tahun.

———

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bianca Aulia
sedih banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status