"Di dalam tas ini ada baju-baju, ijazah dan surat-surat penting lainnya Nduk. Nanti malam Bu Lely menunggumu di persimpangan jalan, tepat pukul 10 malam. Kamu harus kejar cita-cita kamu" ujar Bu Tuti, kepada Kanaya putrinya, yang baru lulus SMA.
"Tapi Ibu dan adik bagaimana?" tanya Kanaya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, hendak menangis."Jangan pikirkan Ibu Nduk, yang terpenting sekarang itu kamu" ucap bu Tuti, membingkai wajah putrinya, menatap manik hitam putrinya, yang mulai merebakkan air matanya."Ibu tidak rela, anak gadis ibu di nikahkan dengan Juragan tua, yang lebih pantas menjadi kakekmu itu " ucap bu Tuti lagi, segera melanjutkan mengemas barang-barang milik putri semata wayangnya itu.Seminggu yang lalu, ayah Kanaya memang sudah mengungkapkan rencananya itu kepada sang istri."Kita tidak ada pilihan lagi Bune, Juragan Sugito akan merampas rumah ini jika kita tidak segera membayar hutang hutang kita" ucap Slamet, ayah Kanaya."Apa Kang?? hutang kita?? itu semua adalah hutangmu sendiri, bukan hutang kita!!" jawab bu Tuti tampak meradang."Andai Sampean tidak suka main judi, dan minum tuak, tidak mungkin hutang itu ada!! jadi jangan pernah libatkan aku, apalagi anak- anak, hanya untuk melunasi hutang- hutangmu itu, terhadap rentenir tua bangka itu!!" seru bu Tuti, dengan dada naik turun."Tapi Juragan Gito, mau membebaskan semua hutangku, kalau Kanaya mau menjadi istrinya Bune!!" seru Slamet, mulai emosi, melihat istrinya yang tidak mau di ajak bekerja sama itu."Sampai mati, aku tidak akan pernah menyerahkan Kanaya, sebagai penebus hutangmu Kang!!! Aku membesarkannya dengan susah payah, setiap hari panas-panasan keliling desa berjualan pecel, demi menyekolahkannya supaya jadi sarjana, agar tidak menjadi seperti kedua orang tuanya yang bodoh ini!" ucap bu Tuti, mulai menangis.Kanaya dan adik lelakinya yang masih berusia 9 tahun, tampak bersembunyi di kamar, mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya itu."Alah!!! mimpi kamu itu ketinggian Bune, kita itu hanya orang desa, buat apa jadi sarjana?!!" ketus pak Slamet tertawa sinis, mendengar keinginan istrinya itu."Sampean bisa bilang seperti itu, karena Sampean tidak ikut membesarkan anak-anak selama ini!! aku pontang-panting sendirian mencari makan, dan biaya sekolah anak-anak.Sedangkan sampean, setiap hari tahunya cuma judi dan mabuk-mabukan! !! mana tanggung jawab kamu sebagai kepala rumah tangga Kang!!!" teriak bu Tuti geram.Merasa tersentil harga dirinya, dengan ucapan sang istri, yang seakan menjatuhkan harga dirinya itu, Slamet mulai meradang, dan memukuli istrinya dengan beringas. "Kurang ajar!! aku ini suami kamu! berani-beraninya merendahkan ku, dan menentang ku!!! Aku tidak mau tahu ya Bune, minggu depan Kanaya akan aku kawinkan dengan Juragan Gito" ucap Slamet, kemudian segera keluar rumah sambil membanting pintu dengan keras.Begitu Bapaknya keluar rumah, Kanaya dan adiknya, segera berlari keluar kamar, dan menghampiri ibunya."Ibukkk" teriak mereka, langsung memeluk tubuh bu Tuti, yang masih terduduk di lantai semén rumahnya."Bapak jahat!!" seru Bayu, anak bungsu bu Tuti menangis, sambil memeluk tubuh ibunya.Setelah kejadian itu, pagi harinya Pak Slamet membawa banyak belanjaan ke rumahnya. "Bune, ini ada titipan dari calon menantu kita" ucap nya dengan wajah sumringah, sambil menurunkan sembako dan banyak belanjaan yang lainnya.Kanaya yang sedang bersiap untuk pergi ke acara perpisahan di sekolahnya, tampak heran melihat begitu banyak belanjaan di lantai ruang tamunya."Apa ini Kang?" tanya bu Tuti, yang baru saja selesai menjemur cucian di belakang. "Nih lihat! ini dari Juragan Gito, untuk keperluan acara lamaran Kanaya minggu depan" ujar Pak Slamet tertawa lebar.Kanaya dan bu Tuti tampak shock mendengar itu."Apa ini Kang?" tanya bu Tuti, yang baru saja selesai menjemur cucian di belakang. "Nih lihat! ini dari Juragan Gito, untuk keperluan acara lamaran Kanaya minggu depan" ujar Pak Slamet tertawa lebar.Kanaya dan bu Tuti tampak shock mendengar itu."Masya Allah Kang!!! aku kan sudah bilang malam itu, kalau aku tidak akan pernah menikahkan anakku kepadanya!! apalagi Kanaya mau di jadikan istri yang ke empat! sampai mati pun, aku tidak akan pernah rela Kang!!" seru bu Tuti marah."Arghh, aku ora perduli, pokoknya minggu depan Kanaya akan menikah, titik!!! Nih uang buat belanja keperluan minggu depan !!" pak Slamet melemparkan segepok uang ke wajah istrinya dengan kesal."Masak yang enak, jangan sampai kita mengecewakan calon menantu kita yang kaya raya itu!" ujar pak Slamet, kemudian masuk ke kamar, untuk beristirahat. Bu Tuti tampak sangat gusar, dia menatap wajah Ayu putrinya, dengan perasaan yang tak karuan.Sungguh dia tak rela, putrinya yang cerdas dan pintar itu, harus berakhir me
"Rencananya, kamu mau kuliah di mana Nduk? biar besok pagi, setelah selesai kulakan, Ibu antar ke sana" ujar bu Lely, kepada Kanaya."Naya juga belum tahu Bu, semuanya begitu mendadak. Naya juga tidak tahu, Ibu membawakan uang berapa untuk Naya" jawab Kanaya, dengan wajah yang murung.Bu Lely tampak iba, dengan anak langganan pecelnya itu. Bu Lely memang sering kali membeli pecel, yang sering di jajakan secara keliling oleh bu Tuti. Karena hampir setiap hari, bu Tuti pasti akan lewat di depan tokonya.Dari situlah akhirnya bu Tuti tahu, kalau setiap dua minggu sekali, bu Lely akan pergi ke kota, untuk mengantarkan sayuran, dan berbelanja kebutuhan tokonya.Setelah berpikir matang-matang, bu Tuti akhirnya memberanikan diri, untuk meminta tolong kepada bu Lely, untuk menitipkan putrinya saat pergi ke kota, yang memang sangat jauh, dari desanya yang cukup pelosok."Ya sudah, biar besok ibu juga tanya-tanya dulu ya Nduk, kata Ibumu, kamu itu adalah gadis yang cerdas dan pintar, makanya i
"Ya Allah, jagalah putri hamba di luar sana, pertemukan lah dia dengan orang-orang baik, yang mau membantunya.. Lancarkan lah setiap langkahnya dalam meraih cita-cita nya ya Robby..." doa bu Tuti, terus melantunkan doa-doa nya, untuk Putri tercintanya.Hingga larut malam, suaminya belum juga pulang. Bayu putranya sudah tertidur di kamarnya, setelah mulai tadi bersedih dan menangis dalam diam, karena berpisah dari kakaknya."Jangan kamu tangisi kakakmu Le, tapi doakan dia, agar menjadi orang yang berhasil di kemudian hari, kamupun kelak juga harus bisa sekolah setinggi mungkin" ucap bu Tuti, mengusap punggung putra bungsunya itu.Bayu memeluk ibunya erat, dan terisak."Bayu janji akan selalu jaga Ibu, seperti yang diminta oleh Mbak Naya" ucap Bayu, membuat bu Tuti merasa terharu."Jadikan anak-anak hamba sebagai orang yang berguna kelak ya Allah... Kanaya, Bayu, berikanlah kebahagian dan keberuntungan untuk mereka, di dunia maupun di akhirat...." Bu Tuti setiap hari, tak pernah lupa
Pagi harinya, bu Tuti sudah sibuk menyiangi sayuran, untuk membuat pecel seperti biasanya.Perempuan paruh baya itu, jadi teringat dengan putrinya, biasanya Kanaya lah yang akan membantunya membersihkan sayuran, dan mengulek bumbu kacangnya.Lagi-lagi netra nya mulai berair, teringat dengan putrinya itu.'Aku tidak boleh menangisinya, aku harus kuat' gumam bu Tuti lirih.Slamet suaminya masih belum bangun, seperti biasanya, lelaki itu akan bangun ketika matahari sudah tepat berada di atas kepala.Bayu juga baru saja selesai menyapu halaman rumah, yang selalu kotor, karena guguran daun pohon nangka dan rambutan, yang tumbuh rindang di pekarangan nya."Mandi dulu Le, setelah itu sarapan" perintah bu Tuti, kepada putranya itu.Tanpa menjawab, bocah lelaki berusia 9 tahun itu, segera meraih handuk yang tergantung di dekat kamar mandi, dan langsung masuk untuk mandi.Setelah selesai mengenakan seragam sekolah nya, anak itu segera memakan sarapan nasi goreng dengan telur ceplok kesukaannya,
Kanaya akhirnya mendapatkan sebuah tempat kost yang berjarak sekitar 10 menit saja jika berjalan kaki, dari kampus di tempat itu. Tempat kostnya sederhana, hanya terdiri kamar yang berderet-deret memanjang, sekitar 50 kamar single.Kamar berukuran kecil itu, hanya ada kasur busa tipis di dalamnya, dengan sebuah lemari plastik susun 3 baris."Perbulannya 350rb ya dek Kanaya, semoga dek Kanaya betah di sini" ucap Rani sembari tersenyum."Terimakasih Mbak .." jawab Kanaya."Ya sudah, Mbak ndak bisa lama-lama, soalnya setelah ini mau masuk" ucap Rani, berpamitan."Ya Mbak, sekali lagi terima kasih" ucap Kanaya, tulus.Setelah kepergian Rani, Kanaya segera membereskan barang bawaannya.Untuk satu bulan ini, dia bisa tenang, karena sudah membayar sewa kost nya.Dia hitung kembali lembaran-lembaran lusuh, yang di bawakan ibunya tadi malam, sebagai bekal hidupnya, di tempat asing ini."Dua juta lima ratus, kira-kira untuk mendaftar kuliah, habisnya berapa ya??" gumamnya, sambil memandangi t
"Jadi paling tidak harus punya 7 juta ya, untuk daftar dan lain-lainnya?" ulang Kanaya, kepada seorang perempuan muda, bernama Wati, yang kuliah di semester 3 dan juga penghuni kosan itu.Perempuan itu mengangguk."Tidak hanya itu saja lo Nay, waktu kerjakan tugas, dan yang lainnya, itu satu bulannya, aku bisa habis 3 jutaan, itu pun aku sudah super ngirit" ucap Wati, teman baru Kanaya, di kosan.Kanaya tampak terdiam, uang yang sekarang ada di tangannya, takkan cukup untuk membayar, bahkan untuk uang pangkalnya sekalipun."Kalau mau ajukan beasiswa bagaimana Mbak caranya?"tanya Kanaya, menatap ragu, wajah lawan bicaranya."Bisa saja sih Nay, tapi tidak akan semudah itu. Kebanyakan, orang yang ambil beasiswa, ada orang dalam yang membantu, atau dari pihak gurunya dulu, waktu masih di sekolah. Kamu kira-kira ada tidak, orang yang bisa kamu pintai tolong?" tanya perempuan itu lagi, sambil menyampirkan handuk, di pundaknya, bersiap untuk ambil antri mandi. Kanaya menggeleng lemah, "Tid
"Ya mau bagaimana lagi! makanya kamu suruh pulang itu, si Kanaya! supaya kita bisa terbebas dari jerat hutang ini." ucap Pak Slamet, dengan wajah memerah, karena masih sangat marah."Pokoknya aku tidak rela, rumahku ini menjadi pembayar hutang-hutangmu Kang!! jangan pernah libatkan kami, itu semua adalah hutangmu sendiri, bukan hutang kami!!" seru bu Tuti, dengan dada kembang kempis, menahan murka. Sungguh dirinya telah kecolongan, rupanya suami pemabuknya itu, telah menjadikan rumahnya, sebagai jaminan."Dimana sekarang surat rumah ini Kang??" tanya bu Tuti, menarik pakaian suaminya."Hhhss minggir! surat itu sudah ada di tangan juragan Gito. Makanya, kalau tidak mau kehilangan rumah ini, cepat kamu suruh pulang si Kanaya." ucap Pak Slamet, mendorong tubuh istrinya, sebelum kemudian pergi, sambil mengendarai motor bututnya. Bu Tuti menangis terisak, dengan kelakuan suaminya itu, yang telah lancang, mengambil surat rumah miliknya, untuk di jadikan jaminan hutang-hutangnya."Jangan m
Waktu terus berlalu, seminggu sudah Kanaya berada di kota, demi menggapai asa nya.Gadis berwajah manis dan ayu itu, mulai menjalankan rencananya, demi mengumpulkan pundi-pundi tabungannya, guna melaksanakan keinginan ibunya, yang ingin dirinya menjadi orang sukses, dan berkuliah. Pagi-pagi sekali, Kanaya sudah sibuk menyiangi sayur mayur, yang ia beli subuh tadi, di pasar terdekat.Walau harga sayuran dikota, tak semurah di desa, namun gadis itu tetap bersemangat dan yakin, jika dia pasti akan sukses."Sayangnya, aku tidak bisa masak nasi nya, di tungku seperti Ibu" gumam nya, sambil menyalakan mesin penanak nasi, di kamarnya, yang baru ia beli, sebagai modal awal ia berdagang.Dengan cekatan, Kanaya mengulek bumbu kacang, untuk bumbu pecel nya nanti.Setelah dirasa, rasanya sama dengan buatan sang ibu, gadis dengan tubuh ramping itu, segera memasukkan bumbu tadi ke dalam wadah toples plastik."Alhamdulillah, akhirnya sudah siap. Mudah-mudahan laku, supaya aku bisa segera pindah ke