Share

Bab 3

last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-14 08:40:12

"Rencananya, kamu mau kuliah di mana Nduk? biar besok pagi, setelah selesai kulakan, Ibu antar ke sana" ujar bu Lely, kepada Kanaya.

"Naya juga belum tahu Bu, semuanya begitu mendadak. Naya juga tidak tahu, Ibu membawakan uang berapa untuk Naya" jawab Kanaya, dengan wajah yang murung.

Bu Lely tampak iba, dengan anak langganan pecelnya itu. Bu Lely memang sering kali membeli pecel, yang sering di jajakan secara keliling oleh bu Tuti. 

Karena hampir setiap hari, bu Tuti pasti akan lewat di depan tokonya.

Dari situlah akhirnya bu Tuti tahu, kalau setiap dua minggu sekali, bu Lely akan pergi ke kota, untuk mengantarkan sayuran, dan berbelanja kebutuhan tokonya.

Setelah berpikir matang-matang, bu Tuti akhirnya memberanikan diri, untuk meminta tolong kepada bu Lely, untuk menitipkan putrinya saat pergi ke kota, yang memang sangat jauh, dari desanya yang cukup pelosok.

"Ya sudah, biar besok ibu juga tanya-tanya dulu ya Nduk, kata Ibumu, kamu itu adalah gadis yang cerdas dan pintar, makanya ibumu sampai senekat ini, melepaskan mu sendirian di kota nanti" ucap bu Lely, kepada Kanaya. 

'Benarkah ibu berkata begitu kepada bu Lely?' batin Kanaya, yang kini mulai bersemangat, untuk mewujudkan mimpi ibunya, yang ingin agar dia bisa menjadi seorang sarjana yang sukses, untuk membuktikan kepada Bapaknya, walaupun dirinya perempuan, tapi dia pasti akan mampu.

Karena harus mampir-mampir dulu, perjalanan itu terasa begitu lama. Tepat pukul 3 pagi, mereka baru sampai di sebuah pasar besar, di kota Semarang.

Walaupun masih sepagi itu, tapi para pedagang sudah mulai menggelar dagangannya. 

Dengan cekatan bu Lely, mulai turut menurunkan barang-barang dagangannya. 

Kanaya juga tak berdiam diri, dia juga ikut membantu bu Lely, menata sayuran sayuran, yang di masukkan ke dalam karung itu, ke pinggiran pasar.

Disana, rupanya sudah ada orang yang menunggu sayuran dari bu Lely. Setelah melakukan pembayaran, bu Lely kemudian mengajak Kanaya, untuk membantu berbelanja kebutuhan tokonya. 

Sayup-sayup dari kejauhan, adzan subuh sudah mulai terdengar berkumandang.

"Setelah ini kita cari masjid terdekat, buat subuhan dulu ya Jo" ujar bu Lely, kepada sopir yang bernama Karjo, yang juga masih kerabat bu Lely sendiri.

"Nggih Bulik" jawab Karjo, patuh.

"Kita subuhan dulu ya Nduk" ucapnya, kepada Kanaya, kemudian mengeluarkan mukena dari plastik hitam, yang ia letakkan di bawak jok tempat duduk.

Setelah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, bu Lely kemudian mengajaknya mencari sarapan terlebih dahulu, di dekat masjid, yang memang ramai, dengan orang-orang yang berjualan sarapan.

Mereka kemudian duduk lesehan di sebuah warung, yang menyediakan aneka jenis sarapan dan penganan.

Ada gorengan tempe mendoan, arem-arem isi ayam dan sayuran, soto, nasi pecel, lalapan, dan masih banyak lagi.

"Kamu mau makan apa Nduk? pilih saja, nanti ibu yang bayar" ucap bu Lely ramah, kepada Kanaya.

Kanaya kemudian tampak mencari menu yang paling murah. Dia tidak mau aji mumpung, karena gratisan, lalu memilih makanan yang mahal.

Kanaya kemudian memilih nasi rames, dengan harga 12ribu, tapi sayur dan lauknya cukup komplit.

 

Merekapun kemudian makan, sambil sesekali bercakap-cakap ringan.

"Nduk, kata pedagang tadi, kampus terdekat disini, itu Universitas Diponegoro, kira-kira kamu mau endak kalau disana?" tanya bu Lely, kepada Kanaya. 

"Iya bu, tidak apa-apa, memang lebih baik cari yang paling dekat saja" jawab Kanaya... 

"Tapi kata Bapak-bapak tadi, ujian masuk ke sana, cukup sulit lo, kebetulan anak bapak itu, juga kuliah di sana. Tuh orangnya " ujar bu Lely, menunjuk pada seorang gadis yang sedang membantu ayahnya berjualan.

"Coba kamu tanya-tanya dulu saja sama anak itu" usul bu Lely, yang segera di angguki oleh Kanaya.

Setelah menyelesaikan sarapan nya, Kanaya segera mendekati gadis berkerudung instan itu, dan berkenalan dengan nya.

Gadis yang bernama Rani itu, tampak ramah. Dia menjelaskan semuanya kepada Kanaya, termasuk adanya program beasiswa bagi siswa berprestasi. 

"Apa saja persyaratan nya?" tanya Kanaya, seketika tertarik, dengan penjelasan Rani, yang baru saja di kenalnya itu.

"Ya surat-surat keluarga, kemudian nilai rapor kamu, dan nilai akhir ujian sekolahnya jangan sampai lupa" jelas Rani panjang lebar.

Kanaya tampak mengangguk angguk mengerti.

"Oh iya, disini tempat kost terdekat dengan kampus, di mana ya?" tanya Kanaya kepada gadis itu.

"Jadi kami serius, mau kuliah? " tanya Rani.

"Iya, demi Ibu, aku harus semangat" jawab Kanaya, tersenyum. 

"Ada banyak sih yang di dekat kampus, kalau kamu serius, aku bisa antar" ucap Rani lagi.

"Alhamdulillah, terimakasih ya Mbak Rani" ucap Kanaya senang.

Bersambung 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ainul Mardiana
bagus novelnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Gadis Penjual Pecel, Sukses jadi Miliarder   Bab 43

    Kanaya tampak menangis tersedu-sedu, memunggungi suaminya.Bimo sendiri jadi kebingungan, dan berusaha menenangkan istrinya itu.Usia Kanaya yang baru 21 tahun, membuat gadis itu tampak kekanakan, saat menangis seperti ini."Sayang, udah donk nangisnya." bujuk Bimo, mengusap usap punggung istrinya yang terbuka."Sakit Kak!!" seru gadis yang memiliki wajah mirip Intan Nuraini itu, ketus."Iya sayang, maafkan aku ya, gimana kalau sekarang aku tiup aja, supaya berkurang sakitnya?" ucap Bimo, sangking paniknya.Kanaya yang tengah berbaring menyamping itu, jadi tertawa di buatnya."Kok di tiup sih!!" protes gadis berwajah cantik itu, tampak geli, sekaligus dongkol."Ya kan katanya sakit sayang.." jawab Bimo, tanpa merasa bersalah."Auk ahh!!" seru Kanaya, kesal.Setelah beristirahat beberapa lamanya, Kanaya akhirnya tertidur.Bimo memeluk tubuh istrinya itu, dengan resah, karena tugasnya tadi, masih belum usai.Tubuh istrinya yang hanya tertutup selimut, membuatnya tergoda, untuk melakukan

  • Gadis Penjual Pecel, Sukses jadi Miliarder   Bab 42

    "Loh!!" seru mereka kompak."Jadi ini pernikahan Mas Bimo?" seru Niken, tampak tak percaya."Iya, kalian kok bisa barengan? terus keliatannya juga kompak banget." jawab Bimo, menelisik penampilan kedua pasangan di depannya. Kanaya juga tampak terheran-heran. "Kalian saling kenal?" tanya Aryan, yang mulai tadi hanya diam. Niken hanya tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaan Aryan. Sedangkan Bimo dan Kanaya hanya saling pandang."Selamat ya Nay. " ucap Aryan akhirnya, karena Niken terlihat tak nyaman, berdiri disitu. "Terimakasih Pak. Semoga Pak Aryan dan Mbak Niken bisa berjodoh." ucap gadis berlesung pipi itu, tersenyum tulus.Aryan hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Kanaya, kemudian segera turun, sesudah menyalami, dan berfoto bersama.Bu Yus tampak asyik duduk bersama bu Slavina, bu Tuti dan juga Mbok Sum, sambil menikmati hidangan, dan juga hiburan."Aku pergi duluan ya Mas." ucap Niken, yang hatinya masih begitu ringkih, jika bertemu dengan Bimo."Kenapa?" Aryan menatap

  • Gadis Penjual Pecel, Sukses jadi Miliarder   Bab 41

    Pak Slamet terus saja meracau, memanggil nama mantan istrinya itu, dan memohon ampun.Kanaya segera mendekati Bapaknya, dan mencium punggung tangannya, sambil menangis. "Apa yang terjadi Pak? kenapa bisa sampai seperti ini." ucapnya, terisak.Sedangkan Bayu hanya mematung, di dekat pintu, tak mau mendekat.Bocah yang masih beranjak remaja itu, masih menyimpan banyak sakit hati di dadanya, sehingga ia tak mau mendekat.Pak Slamet sudah tak dapat mengenali putrinya lagi.Lelaki yang berusia hampir setengah abad itu, terus saja meracau, dan merintih kesakitan.Bimo kemudian mendekat, dan menenangkan calon istrinya, yang terus menangis.Tapi tiba-tiba, saat Bimo tengah memeriksa kondisi Pak Slamet, lelaki paruh baya itu kejang-kejang, membuat Kanaya semakin histeris. Dengan dibantu oleh perawat dan dokter yang lain, Bimo berusaha menenangkan Pak Slamet yang kejang."Dokter!" seru perawat, terlihat panik saat melihat Pak Slamet mulai terkulai lemas.Bimo segera memeriksa denyut nadi di p

  • Gadis Penjual Pecel, Sukses jadi Miliarder   Bab 40

    "Bagus kan pemandangan nya?" ucap Aryan, yang kini menghentikan mobilnya, di dekat sungai besar, yang mengalirkan air, yang sangat jernih.Niken terlihat sangat senang, kemudian turun ke sungai yang penuh dengan batu besar, dan sangat dangkal."Kamu benar Mas, pikiranku jadi lebih tenang sekarang." ucapnya, tersenyum lebar. "Apa ku bilang, aku kalau sedang merasa sedih, sumpek, stres, aku paling suka kemari, dan bermain air disini.Bahkan biasanya aku membawa tenda, dan bermalam disini." ungkap Aryan, kepada Niken."Benarkah?? memangnya Mas tidak takut, bermalam disini sendirian?" tanya Niken, tampak tak percaya. Aryan terkekeh."Aku ini laki-laki Mbak, tentu saja aku berani." jawab Aryan, tertawa."Warga di sekitar sini juga sangat baik, asal kita tidak berbuat sembarangan, dan jaga kebersihan lingkungan, aku jamin aman meskipun bermalam sendirian." jawab Aryan lagi."Lihat, di seberang sungai ini, ada hutan pinus yang masih sangat alami, kapan-kapan kita main kesana." ajak Aryan,

  • Gadis Penjual Pecel, Sukses jadi Miliarder   Bab 39

    "Hari ini jadwal operasi untuk pasien yang terbakar itu, Dokter.." salah seorang perawat, memberitahu Bimo, pagi itu. Bimo mengangguk di meja ruangannya, sembari memeriksa beberapa jadwal yang harus ia lakukan hari ini."Pukul berapa Sus?" tanyanya. "Pukul 10 pagi ini Dokter.." jawab si perawat. Bimo hanya mengangguk, kemudian melanjutkan pekerjaannya."Jadwal kunjungan pasien hari ini, tolong segera letakkan di meja saya." ujar Bimo, kepada asistennya itu."Sudah dokter, mungkin tertumpuk dengan lembar yang lain.." Bimo segera memeriksa lembaran-lembaran itu, dan tersenyum tipis. "Oh iya..maaf." ucapnya terkekeh."Baiklah, kita lakukan kunjungan lebih awal saja, biar cepat selesai." ucapnya, segera beranjak dari tempat duduknya.Dua orang dokter magang, tampak sudah menunggu, untuk ikut menemaninya.****[Aku harap, pagi ini kamu sudah menjadi lebih baik, dan bersemangat.] Aryan menuliskan sebuah pesan pada ponselnya, dan segera mengirimnya, sembari tersenyum simpul.Seorang gad

  • Gadis Penjual Pecel, Sukses jadi Miliarder   Bab 38

    Bimo terus saja tersenyum-senyum, terbayang dengan calon istrinya tadi, saat mencoba beberapa gaun pengantinnya."Dia memang gadis yang cantik, sangat cantik.." gumamnya, kemudian memandangi foto Kanaya tadi, yang ia ambil secara diam-diam. Rasanya tak sabar lagi ingin segera menikah, dan bisa berkumpul terus, bersamanya....Saat sedang asyik melamunkan gadis pujaannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi."Niken??" gumam nya, sembari mengernyitkan dahinya. [Aku mohon jangan menikahi gadis itu Mas..aku sangat mencintaimu. Lebih baik aku mati saja, jika tidak bisa menikah dengan mu.]Bimo berdecak kesal, membaca pesan itu."Lebih baik aku abaikan saja, palingan ini hanyalah gertakannya saja, agar aku tak jadi menikah." gumam Bimo, kemudian tak membalas pesan itu. Di tempat lain, Niken tengah menangis tersedu di pinggir sebuah jembatan, yang di bawahnya terdapat aliran sungai, yang sangat deras, sambil memandangi foto-foto dirinya, saat masih bersama dengan Bimo dulu."Kenapa kamu tega Mas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status