Bab 5
Satu bogem berhasil mendarat ke wajah Farhan hingga sudut bibirnya berdarah. Lelaki itu meringis.
"Kau melukai aset berhargaku, Bro?" Farhan menyapu pelan bagian bibirnya yang terluka. "Jika begini, para wanitaku akan menjauh!" protesnya tidak terima, memicu amukan dari Zaki.
Zaki menyeringai, gelegarnya merambat hingga menusuk pori-pori.
"Bahkan menjauhnya seribu wanitamu tidak akan sama dengan nyawa istriku, bodoh!" hardiknya bertambah berang.
Berulang kali Zaki menyerang. Pemuda itu meringis pasrah saat dirinya ditinju keras oleh tangan amarah tersebut, tanpa ingin membalasnya.
"Argh!"
Akhirnya Zaki sendiri yang menyudahi perbuatannya lalu memilih pergi dari sana dengan sisa gemuruh di dada yang belum tuntas.
"Awas, kalau sampai berbuat onar lagi!" Zaki tidak main-main dengan ancamannya dan Farhan tahu itu.
Pria lima tahun di bawahnya itu mulai terbahak getir.
"Ya! Aku mengerti sekarang!" pekiknya lantang mengikuti arah punggung Zaki. Dengan kelakar dia kembali berujar, "Lalu bagaimana denganmu yang menyangkal kebenaran ini?!"
Zaki terus saja berjalan sambil mengangkat jari tangannya memberi kode, "Keluar dari rumahku sekarang!"
Baginya meladeni ucapan lelaki narsis itu sama saja dengan mengundang amarahnya membabi buta.
"Shit!" umpatnya mencoba meredam amarah yang masih menukik.
Sementara di kamar, Cinta baru selesai berganti baju dikagetkan dengan kehadiran Zaki yang terlihat uring-uringan.
"Beraninya mempermainkanku?!" Masih terdengar celetukan amarah saat tubuh kekar itu menghempas ke kasur tanpa mengindahkan kebingungan di wajah Cinta.
"Kau mau apa?" Pemilik kamar justru merasa terganggu dan langsung bertanya ketus.
Zaki menghela napas berat, "Tidur. Pusing!" Dua tangannya naik menopang kepala menggantikan posisi bantal. Wajahnya jelas sangat kesal.
Cinta melirik jam dinding, waktu menunjukkan hari menjelang siang. Sepertinya dia harus melakukan sesuatu demi mengusir pria ini.
"Harusnya jam begini kau sudah di kantor. Jadi pergilah mandi, aku akan ke kamarmu untuk menyiapkan semua keperluan yang kau butuhkan."
Pancingannya berhasil sebab Zaki tersulut.
"Dilarang memerintah sembarangan, Cinta.” tegasnya cukup datar di pendengaran, mengalahkan datarnya tanah lapang.
"Aku yang berkuasa di sini," ujarnya lagi penuh intimidasi.
Cinta mengedikkan bahu. Merasa bukan saatnya untuk takut kepada pria yang berbaring lengkap dengan sepatu di kakinya.
"Jangan lupa Zaki, kau telah memberiku hak sebagai istri di sini." Sebuah peringatan melayang dari mulut Cinta seiring mata elang tersebut menghujamnya begitu tajam.
"Kau salah paham, Cinta. Aku memboyongmu kemari hanya untuk menjadi tawanan pelunas hutang ayahmu!" tekannya sinis.
“Jadi tidak perlu berharap lebih.”
Zaki mengertakkan rahang maskulinnya, membawa bibir dan dagu runcingnya ikut tertarik.
Cinta mendengkus. Tatapannya terlihat sama, sinis.
"Tak payah berlagak amnesia, Zaki! Kau sudah membuat pernyataan ke publik, dan para pemburu berita itu percaya kalau aku – "
"Diam!" Zaki melompat dan langsung berdiri menghadang Cinta.
Meski sudah memberi peringatan, wanita keras kepala itu masih tetap melanjutkan ucapannya.
"Kenapa? Kau takut kalau ternyata pengakuan tentang istri sah yang paling kau cintai dan tidak tergantikan itu adalah kebenaran yang kau sembunyikan?!" ejeknya lagi tak mau kalah.
Sementara Zaki yang temperamen sudah mencapai batas kesabaran.
"Cinta!" teriaknya menggelegar.
Dua tangannya beralih mencakak pinggang. Sedang netra ala predator itu melotot tajam. Namun, Cinta justru menyeringai jahat.
"Zaki!" balasnya sengit.
Tak ingin terlihat mundur, Cinta ikut memeragakan pergerakan yang sama dengan Zaki. Jika nanti dikuliti, pun dia sudah tidak takut lagi.
Pria matang itu lantas meninju angin.
"Baik, jika itu maumu," tutur menahan napas.
Tatap elangnya kini semakin dalam dan berbahaya. Menyerupai bayangan gerhana yang menyelimuti planet bumi.
"Akan aku ajarkan bagaimana menjadi istri seorang Zaki yang sesungguhnya." Lalu dengan cepat menyentak pinggang moleknya dan meramas kuat.
Dalam sekejap dia berhasil mengikis jarak di antara mereka. Sungguh gerakan yang cukup membuat pemilik tubuh indah ini terkejut.
“Akh!”
Tanpa aba-aba, Zaki menggerakkan bibir sensual menggerayangi telinga dan leher jenjang Cinta hingga memicu lenguhan yang tidak biasa.
"Kau harus siap,” bisiknya lagi, lirih dan bernapsu.
Wanita itu terperangah, antara gugup dan takut. Pikiran kotornya menjalar membuat wajah yang tadinya terlihat pucat mendadak merona.
"A-apa yang kau lakukan?" Dadanya bergejolak membawa sekujur tubuh ikut meremang.
"Membuatmu paham," jawab Zaki enteng.
Semua terjadi begitu cepat, tanpa sadar napas keduanya memburu dan saling menuntut, memaksa beberapa titik area vital mereka sama-sama berkedut.
Cinta serentak mengelak dengan napas tersengal. Sedang Zaki yang tadinya memulai, kini mengumpat.
"Damn!"
Dengan cepat Zaki mendorong tubuh indah tersebut hingga terhenyak ke lantai. Sementara yang didorong langsung protes kesakitan.
"Kau curang!" Cinta memberengut, meringis sambil bangkit memegang pinggulnya.
Zaki memijit pelipis.
"Kau yang menguji pertahananku, Cinta!" kilahnya tak mau kalah membuat Cinta semakin gila.
"Pergi! Dan jangan kembali lagi," usir Cinta galak mengundang tatapan sengit dari pria tegap bermata perak tersebut.
Zaki mundur dan langsung bergerak menuju pintu. Membukanya, lalu keluar.
"Bersikaplah lebih sopan, Cinta! Atau kau akan melihat sisi burukku sekarang juga!" Masih terdengar peringatan lantangnya saat daun pintu berhasil dibanting dengan keras.
Cinta mengacak rambut kesal.
Seminggu setelah kejadian di kamar, Cinta masih saja merasa gundah. Terlebih mengingat Zaki tidak pernah lagi menyapanya.
"Bisa-bisanya dia berbuat begitu?"
Bahkan sejak kejadian itu, Zaki menghilang entah ke mana.
"Lalu untuk apa dia membawaku kemari?" gumamnya bermonolog.
Beberapa jam lalu, asisten pribadi Zaki mengirim pesan singkat berisikan perintah dari tuannya agar Cinta bersiap diri untuk pergi bersama ke sebuah pesta milik kolega bisnis.
"Kalaupun tidak sempat pulang ke rumah, kenapa bukan dia sendiri yang menghubungiku? Memangnya aku salah apa?"
Pemilik raga indah ini mendadak marah-marah hingga Zaki yang diprotes akhirnya muncul. Tanpa banyak kata, Cinta langsung masuk ke mobil mengambil posisi duduk di samping kemudi lalu membanting keras pintunya.
"Bisa lebih sopan, kan?" Zaki berucap dingin, tetapi Cinta terlanjur berani.
"Apa maksudnya diam-diam menyuruh asisten pribadimu menghubungiku untuk acara sepenting ini?" serbunya tanpa peduli pada karakter suami yang mudah tersulut.
"Itu wajar bagi pekerja tak kenal waktu sepertiku, bukan begitu?" jawab pria itu enteng.
Rupanya Cinta belum puas untuk jawaban Zaki, kini dia mengubah pertanyaan.
"Memangnya wajib buat aku ikut ke sana?" ketusnya sambil menoleh menatap lekat wajah pria yang fokus kemudi.
Dengan tetap memandang jalanan kota Mahardika yang ramai lancar, Zaki menjawab tegas, "Tentu saja karena ada kewajiban yang harus kau penuhi malam ini sebagai konsekuensi dari pernyataanku ke publik waktu itu."
Cinta semakin tersulut.
"Soal aku satu-satunya istri yang kau cintai dan tidak tergantikan? Lalu kenapa bukan kau sendiri yang menghubungiku? Setinggi itukah status seorang asisten pribadi sampai harus mencampuri privasi rumah tanggamu?"
Zaki mengangkat salah satu sudut bibirnya lalu berdalih.
"Ini berkaitan dengan tanggung jawab dan loyalitas kerja seorang asisten pribadi. Dia membawa pesanku, dan pesanku adalah suaraku. Jelas, kan?"
Wajah maskulinnya ikut menegang.
"Lagi pula kau tidak perlu baper dalam hal ini. Sama seperti asisten pribadiku, kau hanya perlu menjalani tugasmu dengan benar. Cukup ikut di belakangku untuk memuluskan tujuanku."
Cinta terlihat berpikir keras. Otaknya gagal mencerna.
"Tunggu! Ini mencurigakan."
"Lepaskan dia! Cinta tidak bersalah!"Zaki berteriak lantang. Hatinya tercabik mendapati bagian tubuh Cinta yang terbuka mulai disakiti oleh beberapa lelaki yang jelalatan memandangnya. Wanita itu terlihat masih meronta walau dalam keadaan tidak berdaya."Dia harus membayar lunas semua kesalahanmu, Zaki! Farahdina istriku, tetapi kau menidurinya seenak napsu bejatmu. Maka istrimu yang polos ini juga harus menerima akibat dari perbuatan burukmu!"Antonio bergerak mendekati Cinta. Zaki tahu betul karakter bajingan nekad itu. Tak dapat dibayangkan jika lelaki itu sampai menyakiti istrinya, sedang dia sendiri tidak mampu menyelamatkan wanita yang sering dia sakiti itu. Mengingatnya, hati Zaki tiba-tiba mencelos."Tidak! Jangan sakiti dia! Aku tidak akan memaafkan kalian, Biadap!"Dadanya bergemuruh, kini amarahnya mulai meledak seperti gunung aktif yang memuntahkan material batu dan lahar panas. Zaki sigap memainkan dua kaki dan berhasil mengelabui dua bodyguard yang mencekal tubuhnya. Hi
"Kalau bukan Dion, lalu bangsat mana yang mencoba bermain-main denganku?!" Tiba-tiba Zaki teringat sesuatu dan lekas berbalik ke kamar untuk berganti seragam kerja dengan jeans dan long sleeve. Dengan cepat dia meraih kunci mobil dan beberapa perlengkapan jalan lainnya, lalu berlari keluar menuju garasi. Buru-buru mencapai mobil, menghidupkan mesin, lalu sigap melaju ke rumah sakit tempat Ari dirawat."Semoga ada petunjuk di sana."Sesuai petunjuk dari Alfian, Zaki tiba di rumah sakit lewat jalan tikus dan gegas mendatangi Ari di ruang rawat inap. Namun, yang dicari justru tidak terlihat batang hidungnya."Ke mana dia?" Zaki bercelinguk kanan dan kiri saat tidak menemukan siapa-siapa, baik di ruang utama maupun toilet."Apa Ari hanya pura-pura terluka, lalu sengaja mengelabui Cinta? Atau dia memang telah dibawa kabur oleh seseorang dari sini?"Zaki meneliti brankar yang kosong, mencoba mencari petunjuk dari sana. Dan benar, ada secarik kertas yang terselip di bawah bantal. Zaki mera
"Tolong!" teriak Cinta sebelum mulutnya benar-benar tersekap dan semua pandangan seketika menjadi gelap."Putri Agus Dikara."Terdengar suara sangar seseorang bertopeng yang tampak sudah menyekap jalur pernapasan Cinta hingga tak sadarkan diri. "Akhirnya kita bertemu lagi," desisnya kemudian dalam suasana sekitar yang gelap dan sepi, lalu diam-diam menyeret tubuh lemah itu pergi dari sana. Pergerakan cepat tersebut tidak membuahkan curiga bagi siapapun yang melewati tempat itu. *Tengah malamnya, Zaki tampak masih berkutat dengan laptop di kursi teras lantai dua sebab suhu ruangan di dalam rumahnya mendadak panas membakar. Barangkali pemicunya dari perasaan yang tiba-tiba tidak tenang, tetapi dia memaksakan diri untuk tetap memantau perkembangan bisnis properti yang dia geluti. "Huh!" Zaki mendengkus sambil menutup kasar layar laptop lalu memilih bangkit bersandar di dinding teras demi menatap langit malam tanpa bintang. Satu jam yang lalu, dia pulang dan mendapati Cinta tidak b
Cinta segera beranjak kembali ke kamar. Dia masih terpuruk dengan keterangan yang baru saja didapatkan dari Ari. Lelaki tua berfisik sehat dan kuat itu seolah membuka sisi lain dari ayah dan ibunya yang selama ini tidak dia ketahui. "Padahal ibu tidak pernah bercerita hal buruk mengenai hubungannya dengan ayah."Hal paling mendasar yang dipegangnya saat itu, sang ibu cukup bahagia di ujung kepergiannya. Wanita renta tersebut pergi dengan menitipkan pesan terakhirnya agar dia dan Zaki saling melindungi."Keluarga Arsyandi Buana yang lain telah mengorbankan nyawa kakakmu Gita demi membayar kematian saudara kandung Zaki. Ibu juga tak punya pilihan untuk tidak menyerahkanmu kepada keluarga itu, Nak. Sebab cuma Zaki yang bisa melindungimu dari orang-orang jahat itu."Cinta masih mencerna maksud dari perkataan mendiang sang ibu."Orang-orang itu? Siapa mereka? Apa ibu diancam oleh banyak pihak?"Di sela memikirkan cara untuk mencari kebenaran, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara berisik di
"Ah, barangkali cuma terbawa cerita Helena saja," pikirnya.Tidak ingin berpikiran buruk tentang hal ini, Cinta terus saja memasuki rumah mendiang sang ayah sambil bersenandung kecil. Senandung yang biasa didengungkan oleh mendiang ayah, ibu dan juga sang kakak."Nona Cinta, apa kamu ingin menikmati sesuatu untuk minum petang ini?" tanya Ari saat dirinya hendak memasuki kamar di lantai atas. Lagi, panggilan Ari berhasil membuatnya nyaris terperanjat. Diam-diam Cinta istighfar dalam hati. Ada apa dengan dirinya saat ini? Kenapa berhadapan dengan Ari saja rasanya seperti menghadapi seorang penjahat yang sedang mengancam?"Apa saja, boleh. Asal Paman yang bikin." Cinta membalas sambil melempar senyum manis seperti biasa. Meski hatinya cukup berkecamuk, namun dia tetap menunjukkan sikap biasa saja di depan pria tua yang masih awet itu."Oh, ya. Sediakan seperlunya saja, biar nanti aku yang buatkan kopi petang untuk kita berdua. Paman pasti penasaran dengan air tanganku juga, kan?"Cinta
Zaki diam-diam pulang lebih dulu karena tidak ingin berdebat panjang dengan Cinta sebab pikirannya sedang kacau. Kini, dia sedang berada di ruang kerjanya dan tidak ingin diganggu oleh siapapun. Dalam setiap detiknya, dia masih saja mengeluh sambil terus memantau kamera."Bahkan dia merusak agenda pekerjaanku."Zaki menyesalkan pertemuan tiba-tiba dengan Cinta saat sedikit lagi dia akan mengetahui dalang di balik gagalnya proyek Edelweis. Diyakininya bahwa Nyonya Leny Tang selaku mitra kala menyimpan bukti mengenai hal tersebut."Tapi kenapa?"Sayangnya, pertemuan itu harus terhenti di longue. Sementara agenda selanjutnya ke Taman Moana harus gagal sebab belum apa-apa, acaranya sudah dikacau oleh Cinta."Ada apa dengan dia? Dia pergi ke longue itu untuk bertemu dengan karib ayahnya?"Zaki menghela napas berat. "Siapa lagi karib ayahnya selain aku? Mana mungkin dia sengaja mengikutiku."Rencana Zaki untuk menuntaskan masalah proyek Edelweis, malah berbuntut kepada penudingan terhadap