Share

Pembuat Besar

Bab 6

"Tunggu! Ini mencurigakan."

"Kau menyamakanku dengan asisten pribadimu, menempatkanku di belakang demi memuluskan tujuan? 

Zaki mengedikkan bahu. 

"Selama itu membuatku tenang, kenapa tidak?"

"Jadi kau membawaku malam ini bukan sebagai istri melainkan ingin menghukumku di sana?"

Lagi, Zaki melempar ekspresi serupa. Penuh kelakar.

"Mungkin." 

Balasan acuh tak acuh itu membuat Cinta mendengkus kasar. Batinnya terus saja berperang.

'Sebenarnya apa rencana ini orang?'

Pikirannya kacau, antara rasa dongkol ditinggal sendirian dan bayang-bayang tangan kekar Zaki yang menyentuh titik vital tubuhnya seminggu lalu, sangat lihai bermain di kepala membuatnya hampir gila.

'Oh! Shit.'

Membuncahkan rasa kesal di dada bagai terpaan gelombang pasang dan siap menghantam jiwa yang membatu.

"Kalau aku menolak masuk ke acara itu, gimana?"

Padahal Alfian, asisten Zaki telah memberi bocoran kalau di acara peresmian channel TV terbaru milik mitra bisnis PT. Arsyandi Buana itu bakal dihadiri oleh banyak utusan dari luar negeri.

Zaki hanya menjawab dengan kedikan bahu dan setelah itu, semuanya menjadi semakin menyebalkan sebab Zaki tidak lagi merespons apapun dan memilih benar-benar mengabaikannya di sepanjang perjalanan hingga mobil mereka berhenti tepat di parkiran basement hotel Bombastic.

"Jujur, ini lebih sakit daripada dimarah-marah sepanjang tahun!" rutuknya keras, sesaat membuat yang di samping ikut menoleh.

"Ada masalah?" tanyanya kedengaran tidak sabar membawa Cinta serentak berbalik menatapnya.

Sebuah fakta membuktikan, Cinta paling pantang didiami apalagi diabaikan. 

Hal ini membuat mood-nya semakin memburuk.

'Oh! My ghost!'

Sesekali dia hanya perlu sedikit agresif, bukan? Toh, Zaki sendiri mempertahankan agar dirinya tetap berada di sana untuk mendampinginya.

"Seminggu ini kau ke mana? Kenapa meninggalkanku sendirian di rumah setelah ...," Cinta menghentikan ucapannya. Tenggorokannya serasa tercekat, dengan cepat dia meramas erat tas selempang di tangannya sembari menahan napas lalu berkata, "setelah kau menyentuh tubuhku sembarangan!" 

Akhirnya ganjalan terbesar di dadanya terluahkan juga. Patut diakui, sentuhan Zaki seminggu yang lalu terasa begitu membekas sebab itu pertama kalinya Zaki menyentuh tanpa kekerasan.

Zaki terlihat menarik salah satu sudut bibir. Menyindir wanita yang menjadi alasan dia menyingkir dari kediamannya sendiri belakangan ini.

"Cinta, Cinta! Baru seminggu, tetapi kau sudah tak tahan dan ingin disentuh lagi? Murahan sekali." 

Zaki tak mau kalah. Dia perlu penindasan itu karena hatinya memang masih dendam.

Cinta memberengut. "Kau salah paham, Zaki. A-aku hanya tawananmu! Pelunas hutang ayahku. M-mana mungkin aku tertarik dengan sentuhan kasarmu itu? Aku bahkan telah melupakannya."

"Tapi kau baru saja membahasnya. Itu artinya kau terus menerus mengingat dan membayangkannya." 

Berulang kali Zaki menampakkan wajah ironinya membuat Cinta tersulut.

"Kenapa kau menyebalkan sekali, Zaki? Konsepnya kau menawanku di penjaramu, lalu kau pergi dan 

membiarkanku leluasa menikmati kemudahan yang ada di dalamnya. Kau pikir aku bodoh?"

"Ya, kau benar! Semua itu tidak gratis dan malam ini kau harus tuntas membayarnya."

"Hah! Sudah kuduga," sentak Cinta jengkel. Ini yang ingin dia cari tahu sejak tadi. Zaki memang berniat membalas dendam kepadanya.

'Pasti dia sudah merencanakan sesuatu di dalam sana,' gerutu batinnya kesal. Cinta tahu siapa pria itu sesungguhnya. Dia perlu berhati-hati dalam hal ini karena sesuatu di mata Zaki tidak pernah gratis.

Dengkusan kasar terdengar memecah hening seiring tangannya berpindah menarik gagang pintu agar segera keluar dari sana. Membawa langkah dengan penuh elegan. Pun pinggulnya bak gitar spanyol, meliuk indah dalam balutan gaun merah pekat kesukaannya. 

"Saatnya membual." Cinta berceletuk.

Disusul Zaki yang muncul dari pintu kemudi membawa langkahnya bertemu Cinta di moncong mobil. Sejenak mereka saling beradu tatap, lalu mulai bergandengan tangan sebelum melangkah.

"Saatnya berlakon," ucap Zaki datar.

Reflek keduanya saling menatap mendamba. Cinta turut menggerakkan dagu yang telah sedia terangkat, menampakkan ekspresi senyum terindah meski hatinya terbakar.

Zaki kembali menekan, "Ingat! Tetap bersikap baik di tengah keramaian sana. Bukan cuma keluarga dan kolega, tetapi juga para awak media yang mengintai setiap saat."

Ultimatum itu hanya ditanggapi Cinta dengan kedipan sebelah mata, terlihat nakal dan energik. Sementara Zaki sudah kembali ke mode awal, dingin. 

"Come on, baby!" Tak lama, penguasa bisnis terbesar sekota Mahardika ini ikut memasang senyum tipis yang meluluhlantakkan jiwa wanitanya. 

Cinta mengumpat sendirian.

"Sialan!"

Kini pemilik tubuh indah ini sudah bergelayut anggun di lengan pria matang miliknya, beriringan menyisir lorong menuju red carpet. Memicu riuh gemuruh seluruh peserta menyambut sang panutan yang sepak terjangnya membumi.

"Sangat serasi!" Kira-kira begitu makna keriuhan yang tercipta.

Untuk sesaat, Cinta merasa seolah sedang di alam mimpi kala mendapat perlakuan lembut Zaki dan juga tatapan hangat penuh cinta dari suaminya tersebut. 

'Ah, perasaan ini.' Hatinya tiba-tiba menghangat.

Dia seperti ikut merasakan euforia yang berlebihan. Mendadak gejolak samar yang bersemayam selama ini kembali memainkan peranan besar, mendesirkan onggokan daging rawan luka di balik dadanya, entahlah.

'Apa ini pertanda aku harus memperjuangkan Zaki?' batinnya kembali berperang di sela sapaan seseorang.

"Hei, Zaki! Akhirnya kau datang juga!" Entah dari mana awal kemunculannya, pemilik suara lembut itu tiba-tiba sudah berdiri tepat di depan meja tempat Cinta dan Zaki berada. 

Cinta ikut menoleh dan mendapati seorang wanita muda yang sangat cantik dengan penampilan memukau. Dari gestur tubuhnya, dia wanita berstandard. Ya, katakanlah bukan saingan.

"K-kau?" Zaki tertegun dan seketika melongo menatap wajah wanita modis tersebut. Sementara yang ditatap seolah masa bodoh dan dengan lihainya menyapa Cinta.

"Hai! Kamu pasti Cinta, kan? Aku Farahdina. Panggil saja Farah," ucapnya sambil mengangguk tersenyum.

Meski sempat terperanjat, tetapi Cinta harus tetap profesional, bukan? Di sini bukan cuma dirinya yang disorot, tetapi harga diri suaminya dipertaruhkan.

"Senang bertemu denganmu," balasnya ramah lalu memilih fokus pada benda pipih di tangannya sebab dari mendengar namanya saja, mood Cinta langsung memburuk.

Wanita tersebut terlihat membincangkan sesuatu dengan Zaki lalu kembali berkata kepada Cinta.

"Oh, ya. Aku pinjam suamimu sebentar, ya." Farahdina tertawa kecil. "Ada hal penting yang harus dibahas. Soal pekerjaan, sih." Dia menambahkan di sela tawa yang belum memudar.

'Oh God! Bahkan suaranya saja berhasil memikat siapa pun yang mendengarnya. Pantas saja Zaki gagal move on, orang mereka sangat cocok bagai pinang dibelah dua.'

Batin Cinta kembali gamang mengingat bagaimana suaminya, Zaki begitu tenggelam dalam pesona Farahdina selama satu tahun ini.

Cinta lalu mengangguk samar. Dia tidak tertarik dan tidak mau tahu apa yang hendak dibahas oleh orang yang tiba-tiba membuat hatinya gusar apalagi yang ingin dibahas bersama suaminya sendiri.

"Baiklah, Cinta. Terima kasih. Silakan menikmati ramah tamah pesta ini," ucap wanita itu lagi sebelum benar-benar mengambil langkah menjauh.

Tak berselang lama, Zaki ikut pamit. 

"Aku ke sana dulu." Cinta tersulut amarah.

"Kau mau ke mana?" serangnya sinis meski di bibir masih memamerkan senyum. Ya, senyuman palsu. Sedang Zaki menyeringai kecil.

"Bukan urusanmu," balasnya memancing kobaran besar di dada Cinta.

"Ingat! Kita masih di mode saling mencintai, Suamiku." Cinta mengingatkan sembari menggenggam erat telapak tangan Zaki. 

"Bagaimana jika aku tidak menginzinkanmu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status