Share

Orang

Aku mengangkat selimut yang menutupi badan. Di sebelah, ada Mas Bayu yang masih terlelap dengan tangan memeluk leherku. Ternyata dia masih memelukku sampai pagi. Astaga, aku jadi senyum-senyum sendiri.

Satu kecupan lembut kudaratkan di bibirnya sebelum bangkit. Andai setiap pagi aku dapat melihat wajahnya yang damai seperti ini, pasti tidak akan ada yang namanya si Citra yang kesepian. Selama ini setiap bangun hanya bisa melihat gorden yang tertutup. Hal yang membosankan.

Sengaja gorden tidak aku buka, barangkali Mas Bayu masih mengantuk. Aku langsung membersihkan tubuhku. Tanda bekas ciuman Mas Bayu masih membekas di sekitar leher. Gawat! Kalau nanti pergi harus menggunakan baju turtleneck, nih. Bisa kelihatan orang lain kalau tidak menggunakannya.

Setelah rapi, aku langsung keluar dari kamar. Hal-hal yang harus dilakukan hari ini; cuci pakaian Mas Bayu, buat sarapan untuk Mas Bayu, membangunkan Mas Bayu, mungkin aku ingin keluar dan jalan-jalan dengan Mas Bayu. Semoga hari ini indah, tidak ada yang mengganggu kami. Kalau sampai ada yang mengganggu, aku harap orang itu akan sial sepanjang tahun ini.

Pertama, aku harus membersihkan pakaian Mas Bayu. Semalaman saja sudah cukup banyak yang dia bawa pulang. Beruntung dia tidak membawa semua pakaian selama di apartemen. Bisa pegal tanganku, pasti banyak yang dia bawa pulang. Untungnya lagi, Mas Bayu memilih untuk laundry pakaiannya selama di sana.

Aku masukkan satu per satu pakaiannya. Sambil menunggu mesin berhenti, aku harus membuat sarapan untuk Mas Bayu. Dia pasti sudah jarang sarapan ketika tinggal di apartemen. Maklum saja, dia tidak bisa memasak, paling-paling makan di kantin kantornya. Itu pun kalau sudah buka. Kalau belum, mungkin dia hanya meminum segelas susu.

Habisnya, dia memang tidak bisa memasak. Bukan tidak pintar memasak, tetapi tidak bisa memasak. Bayangkan saja, dia tidak bisa menggoreng telur. Padahal banyak orang yang bisa menggoreng telur dari usia muda. Waktu itu dia pernah mencoba untuk membuat telur ketika aku sakit. Hasilnya, dia memasukkan gula pasir, bukannya garam, dan rasanya sungguh mengerikan. Sudah begitu, gosong pula telurnya.

Beruntung dia bukan saudaraku. Kalau sampai dia menjadi kakakku, bisa habis dia kena marah ibu setiap hari. Pasti bisanya hanya membuat ibu kesal karena menyusahkan. Hei, kenapa aku jadi membicarakan hal yang buruk tentang Mas Bayu?

Aku menghalau pikiran itu dan berjalan ke arah kulkas. Tidak ada sayur, tidak ada daging, dan tidak ada bawang juga. Sepertinya hari ini aku harus berbelanja kebutuhan rumah. Kebetulan Mas Bayu juga sedang di rumah. Nanti aku bisa memintanya untuk menemaniku, sekaligus jalan-jalan, sepertinya seru.

Lantas, aku harus masak apa sekarang? Apa harus membuat telur ceplok? Yah, kasihan sekali suamiku. Tidak boleh, aku harus membuat masakan yang enak untuk Mas Bayu, setidaknya jangan telur ceplok.

Aku berusaha mencari akal. Ketika berbalik, ada roti tawar yang masih terbungkus rapi di atas meja makan, belum dibuka. Ide cemerlang langsung muncul di kepala, pagi ini aku akan membuat roti isi yang dipanggang. Pasti enak, Mas Bayu pasti suka. Selama ini dia belum pernah mencoba roti panggang buatanku.

Langsung saja aku siapkan semua bahan yang diperlukan. Kemudian, aku letakkan isiannya di atas roti yang sudah dioleskan mentega, lalu aku tutup dengan roti lagi. Satu per satu roti itu aku letakkan di atas wajan yang sudah dioleskan mentega.

Wangi roti yang dipanggang mulai tercium. Pelan-pelan aku intip bagian bawahnya, takut gosong. Sudah lama juga aku tidak makan roti isi, jadi ingin mencobanya juga nanti.

Berbicara soal mengintip, aku jadi teringat Mas Bayu yang memainkan ponselnya diam-diam semalam. Untuk apa dia bersembunyi dariku saat bermain ponsel? Apa dia menyembunyikan sesuatu dariku? Kalau memang dia menyembunyikan sesuatu, hal apa yang dia sembunyikan?

Sebenarnya aku penasaran dengan ketikan itu. Habisnya dia mengetik terlalu panjang. Bukannya aku penasaran dengan isi pesannya, tetapi dengan siapa dia berbalas pesan? Membalas pesanku saja hanya beberapa kata, tidak sampai satu kalimat. Wajar saja kalau aku merasa iri, dia suamiku, mengapa perlakuannya berbeda?

Akhirnya aku memutuskan untuk mengintip dengan sebelah mata. Sialnya, aku tidak bisa mengintip dari posisi ini. Mas Bayu memainkan ponselnya dekat wajah, sedangkan aku tertidur di atas dadanya. Jangankan mengintip, aku saja hanya bisa melihat cahaya dari radiasi ponsel milik Mas Bayu.

Jadinya, hanya bisa menerka satu hal, apa Mas Bayu membalas pesan dari Leon? Hanya itu tebakanku. Soalnya tidak ada pesan lain yang masuk, atau panggilan lain. Aku, kan, bisa mendengar pemberitahuan ponsel atau dering ponselnya jika ada yang mengirim pesan atau meneleponnya.

Sudahlah, aku harus berpikir positif. Bisa jadi Mas Bayu sedang mengetik hal yang harus dia lakukan di kantor. Lagi pula, untuk apa aku cemburu dengan seorang pria? Leon itu pria, bukan? Jelas sekali itu nama untuk pria, kecuali kalau nama asli dia Leona, tetapi disimpan Leon oleh Mas bayu.

Semakin aku mencoba untuk berpikir positif, muncul juga pertanyaan aneh dari otakku. Kenapa Leon memanggil suamiku begitu? Maksudku, mereka berdua, kan, laki-laki, kenapa harus pakai aku-kamu? Apa gaya berbicara pria masa kini berubah? Sepertinya tidak, aku saja masih pakai bahasa gaul dengan Rio. Satu hal lagi, kalau rekan kerja, biasanya bahasa yang digunakan sedikit formal. Itu tidak formal sama sekali, justru lebih mirip bahasa santai.

Sedang asyik menerka, tiba-tiba ada dua buah lengan kekar yang memeluk pinggangku dengan posesif. Itu Mas Bayu, aku dapat mendengar gumanan suaranya. Dia meletakkan kepalanya di pundakku. Bibirnya terus mengecup permukaan wajah sampai rambutku.

“Kamu bangun dari jam berapa?” tanya Mas Bayu dengan suara berat. Terdengar lebih jantan kalau suara dia seperti ini. “Kenapa jam segini udah masak?”

Mas Bayu ini bagimana, sih? Aku, kan, sedang memasak. Aku masih tidak masalah, karena belum membalik rotinya. Namun, ketika roti mulai matang, aku, kan, butuh kebebasan untuk membaliknya.

“Sekarang udah jam tujuh, Mas. Emangnya mau mulai aktivitas jam berapa?” Aku melepaskan kaitan tangan Mas Bayu. Namun, dia tetap menahannya. “Mas, aku lagi masak. Nanti bisa gosong kalau kamu gangguin aku terus.”

Mas Bayu terus mengecup seluruh wajahku bagian kiri. “Biarin, aku mau main lagi pagi ini.”

Tangannya mulai masuk ke dalam kaus yang aku kenakan. Dia memilin-milin putingku sambil mengecup ceruk leherku. Mas Bayu sungguh hebat dalam memancing birahi. Namun, aku tidak boleh melakukannya sekarang.

Aku berontak dengan mendorong badannya ke belakang. Kemudian mataku membulat menatapnya. “Mas, jangan sekarang. Aku lagi buat sarapan.”

Mas Bayu berdecak. Dia pasti kecewa karena gagal bermain pagi ini. Biarkan saja, memangnya dia mau makan roti gosong? Kalau mau, aku tidak masalah. Namun, aku yang bermasalah karena makan roti pahit.

“Terus kapan?” protesnya. Dia menarik bangku, aku dapat mendengarnya. “Buruan, aku udah tegang.”

Rasakan! Suruh siapa jauh dari istri? Jadi tersiksa sendiri, kan? Kalau saja dia balik ke rumah atau setidaknya mengizinkan aku tinggal di apartemen, pasti tidak akan begini kejadiannya. Setiap dia ingin bermain, aku pasti akan melayaninya. Jangankan ketika dia mau, setiap malam pun akan aku turuti. Sayang, Mas Bayu terus saja melarangku.

Kuletakkan roti panggang yang sudah matang di atas piring. Kemudian aku tuang susu ke dalam gelas. Setelah itu, aku menatap Mas Bayu sambil tersenyum jahil. Aku gigit bibir bawah sambil mengedipkan sebelah mata.

“Nakal! Kamu harus dihukum hari ini!” Mas Bayu langsung bangkit dan memegang wajahku. Bibirnya dengan cepat melumat bibirku. Tanganku mulai menjambak rambut Mas Bayu.

Tidak! Sadar Citra! Buru-buru aku dorong badan dia agar menjauh. Raut kekesalan langsung dia tunjukkan. Rasakan pembalasanku! Hari ini tidak ada jatah untuknya, aku ingin pergi ke mana pun asal tidak di rumah.

“Kenapa lagi, sih? Apa lagi sekarang?” Mas Bayu mengerutkan dahinya. “Tadi katanya lagi masak. Sekarang udah selesai masak, malah nggak mau juga. Kamu nggak mau main sama aku lagi?”

Sembarangan saja kalau berbicara. Pastinya aku masih mau main, apalagi dia selalu membuatku klimaks berkali-kali. Tidak untuk hari ini, aku memiliki prioritas yang lain.

Aku tersenyum meremehkannya. Setelah itu aku berjalan ke arah kursi dan mendaratkan bokongku. “Makan dulu! Mainnya nanti aja, ya? Aku mau belanja hari ini, Mas. Banyak yang udah habis di kulkas.”

“Aduuuh,” rengek Mas Bayu. Dia berjalan ke arahku. “Sayang, ayo sekarang aja. Aku udah terlanjur tegang. Kamu nggak kasihan sama aku?” Mas Bayu menggenggam tanganku seolah memohon.

Aku menggeleng. “Antar aku belanja dulu, baru kita main.”

Mas Bayu memberungutkan wajahnya. Aku tertawa melihat dia yang sedang melahap roti sambil memanyunkan bibir. Sudah besar, masih saja manja.

“Mas, nanti sekalian beli kertas gambar, ya?”

Mas bayu asyik mengunyah makanannya sambil mengalihkan pandangan. Dia masih belum menjawab omonganku. Sepertinya dia sedang marah, atau bisa jadi ingin bermain-main denganku. “Oke, kalau nggak mau—”

“Iya, nanti kita beli. Kamu mau beli banyak juga nggak apa-apa,” sela Mas Bayu.

Sudah kuduga, dia pasti sedang mengancamku saja. Mas Bayu tidak mungkin menolak permintaanku yang satu itu. Dia pasti paham kalau aku membutuhkan kertas gambar untuk mengisi kekosongan di rumah.

Begitu seharusnya suami, membahagiakan istrinya. Namun, pagi ini malah aku yang sudah menjadi istri tidak baik karena menolak permintaan suami. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga Mas Bayu. Pasti dia sudah terlalu tegang, aku malah menolaknya. Biarlah, kalau dilanjutkan, bisa saja kami kelelahan dan akhirnya tidak jadi belanja.

“Kamu udah mandi?” tanya Mas Bayu. Aku jawab dengan anggukan kepala. “Kamu kapan mandinya?”

“Langsung mandi tadi habis bangun tidur. Emangnya Mas Bayu! Baru gosok gigi aja, kan?” Alisku naik-turun menggodanya. “Sana mandi! Ajak aku jalan-jalan dulu hari ini!”

Mas Bayu membelalakkan matanya. Rotinya dia letakkan lagi di atas piring. Wajahnya sudah memelas dengan alis yang bertaut. “Ih, nanti pulangnya lama kalau begitu. Kapan mainnya?” protes Mas Bayu.

“Ya, terus aku kapan keluarnya kalau nggak hari ini? Kamu, kan, besok udah kerja, Mas.”

Mas Bayu memutar bola matanya. Dia meninggalkan aku sendirian di dapur dengan cucian piring. Bagus, aku tidak perlu repot membujuknya untuk pergi. Biasanya Mas Bayu susah kalau diajak pergi. Pasti ada saja alasan yang dia berikan.

Setelah bersih, aku kembali ke kamar untuk mengganti pakaian. Tepat setelah pintu kamar aku tutup, ponsel Mas Bayu berdering kembali dan memunculkan nama Leon di layar. Si Leon ini siapa, sih? Kenapa dia senang menghubungi Mas Bayu?

Tetap saja tidak aku angkat, karena malas mencampuri urusan Mas Bayu. Biar nanti dia saja yang mengangkatnya. Agar kalau ada urusan yang mendadak, Mas Bayu yang akan menanganinya. Namun, lama-lama aku mulai penasaran juga dengan si Leon. Dia ini siapa, ya?

Aku kembali melihat layar ponsel Mas Bayu di atas nakas. Ada beberapa pesan dari Leon, dan semuanya menanyakan kapan Mas Bayu ke apartemen. Tunggu, jadi, si Leon ini menunggu Mas Bayu ke apartemen? Apa maksud dari pertanyaan dia, ya? Aku penasaran, apa selama ini Mas Bayu tinggal bersama Leon di apartemen? Lalu, Leon itu siapa? Teman? Kenapa Mas Bayu tidak pernah cerita?

Baru saja aku hendak membuka isi pesan itu, tetapi Mas Bayu sudah keluar dari kamar mandi dengan pinggang yang dibalut handuk. Nikmatnya melihat tubuh indah suami yang masih basah. Ditambah perutnya yang kotak-kotak sedikit basah. Padahal aku sudah sering melihatnya, bahkan menyentuhnya. Namun, kalau habis mandi begini, Mas Bayu terlihat lebih menggairahkan.

Segera aku urungkan niat tadi dan berbalik menatap Mas Bayu. “Ada telepon dari Leon. Dia juga kirim pesan—”

“Kamu angkat?” sanggah Mas Bayu dengan cepat. Dia berjalan ke arahku dan mengambil ponselnya. Kemudian, dia menatapku dengan mata yang membulat. “Kamu angkat, nggak?”

Aneh. Kenapa Mas Bayu terkejut? Siapa Leon sebenarnya?

“Mana berani aku angkat telepon kamu. Takutnya rekan bisnis, nanti jadi repot urusannya kalau aku lancang,” sahutku. Mas Bayu menghela napasnya seakan-akan merasa lega.

“Kenapa, Mas?” tanyaku dengan dahi mengernyit.

Mas Bayu tergagap. “Nggak ada apa-apa.” Dia langsung mengganti pakaiannya.

Aku mencoba mengabaikan tentang Leon. Namun, kenapa pertanyaan ini muncul? Kenapa Mas Bayu tetap santai saat temannya menghubungi? Bukan hanya pagi ini, bahkan Leon sudah menghubunginya sejak semalam.

“Kamu nggak coba telepon Leon? Kayaknya semalam dia juga telepon kamu, tapi aku lupa bilang.”

Mas Bayu menegang di tempatnya. Aneh sekali Mas Bayu, terlihat mencurigakan. “Kamu kenapa sih, Mas? Dari tadi aneh banget. Aku jadi curiga.”

“Oh. Curiga apa?” sahut Mas Bayu. “Ini mau aku telepon. Sebentar, ya, Sayang.”

Mas Bayu keluar kamar. Aku mulai penasaran dengan omongan mereka. Mengapa harus di luar? Apakah ini karena urusan bisnis? Kenapa dia jadi mencurigakan seperti ini, sih? Aku tidak percaya, sebaiknya aku dengar saja langsung.

Setelah berganti pakaian, aku mulai berjalan ke arah pintu. Niatnya ingin menguping dari kamar. Sayangnya kamar ini kedap suara, aku jadi tidak bisa mendengar omongan Mas Bayu. Aku sedikit membuka pintu, setidaknya bias terdengar suara mereka.

“Bisa nggak kamu teleponnya nanti aja ketika saya lagi nggak sama istri saya?” kata Mas Bayu. Dia berdiri membelakangiku.

Mas Bayu terdengar seperti orang yang marah.

“Iya, nanti saya ke apartemen. Sekarang jangan telepon saya dulu, ngerti?”

Kenapa dia jadi marah? Memangnya tidak bisa dibicarakan baik-baik? Aku jadi semakin penasaran, apa alasan Mas Bayu marah pada Leon?

“Saya sudah bilang, jadwal saya di apartemen sama kamu itu senin sampai jumat. Selebihnya saya harus sama istri saya!”

Apa maksudnya membicarakan jadwal? Apa itu jadwal Mas Bayu tidur? Jawabannya tadi mengarah ke hari Mas Bayu di apartemen dan di rumah. Namun, kenapa dia bilang jadwal tidur bersama Leon?

“Saya peringatkan sekali lagi, jangan hubungi saya!”

Akhirnya Mas Bayu menutup panggilan itu. Aku segera berjalan menghampirinya. Wajahnya kaget ketika melihatku yang tepat berada di belakangnya.

“Apa maksudnya jadwal tadi?” tanyaku penasaran.

Mas Bayu menggaruk tengkuk kepalanya. Benar, ini aneh sekali. “Jelasin sama aku, kenapa kamu bilang jadwal sama Leon dan bilang selebihnya jadwal sama aku?”

Dia berusaha memegang pundakku, tetapi sudah kutepis terlebih dahulu. “Nggak usah pegang-pegang! Jawab dulu pertanyaanku, baru kamu boleh sentuh aku!”

“Dek, Aku akan jelasin semuanya. Sekarang tenang dulu, oke?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ni perempuan apa dibesarkan di gua ya, koq dungu banget. sejauh apa sih jarak kantor dan rumah sampai harus pisah dg suami. jadi istri itu jgn terlalu percaya 100% sama suami. kayak g pernah pacaran jd gampang banget ditipu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status