Share

Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma
Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma
Author: Lil Seven

1. Suami Komaku Yang Perkasa.

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-04-14 09:39:44

Malam pertama yang seharusnya sunyi di kamar pengantin berubah menjadi momen yang menegangkan.

Duduk di tepi ranjang, aku menatap wajah suamiku yang terbaring tak bergerak.

Rigen Ataraka, pria koma yang harusnya menjadi suami Megan, saudara tiriku.

Aku menggigit bibir, jari-jariku tanpa sadar mengusap pipinya yang tegas. "Kenapa pria ini harus setampan ini?" gumamku pelan.

Megan menolak menikah dengan Rigen Ataraka, dia bahkan sampai menangis semalaman sehingga membuat orangtuaku tak tega, sampai akhirnya akulah, anak haram keluarga Smith, yang diseret keluar menggantikannya.

Kupikir Rigen pria tua yang kurus kering dan sakit-sakitan sampai reaksi Megan se ekstrim itu saat dipilih sebagai istrinya, tapi ternyata...

"Dia tidak hanya tampan, tapi sangat sempurna dalam segala aspek," gumamku, memandang wajah tidur Rigen dengan terpesona.

Jantungku berdebar keras saat aku membungkuk, mendekatkan wajahku ke wajahnya. Entah kenapa sebuah ide gila tiba-tiba menggelitikku.

"Bagaimana rasanya mencium pria setampan ini?"

Hanya sekedar ciuman kecil, pikirku. Tidak akan apa-apa kan?

Lagipula, dia koma... dia tak akan sadar.

"Bodoh! Hal gila macam apa yang baru saja terlintas dalam pikiranku?"

Segera kupalingkan wajah, memukul kepalaku sendiri atas ide bodoh yang beberapa saat lalu terpikirkan olehku.

Aku bangkit, mencoba mengabaikan Rigen.

Namun, bagaimana bisa aku mengabaikan ketampanannya? Wajahnya begitu sempurna, seperti pangeran tidur yang menunggu ciuman untuk terbangun.

"Argghhh. Ini benar-benar tak tertahankan!"

Dengan ragu, aku kembali mendekat dan duduk di tepi ranjang, menatap wajah Rigen yang tampak begitu sempurna meskipun dalam kondisi koma.

Jemariku menyentuh pipinya yang hangat.

"Hanya sedikit saja," bisikku pada diri sendiri.

"Sedikit... saja."

Didorong rasa penasaran yang semakin memuncak, aku menunduk, mencium bibirnya dengan lembut.

Tidak ada reaksi.

Jantungku berdebar lebih cepat, gerakanku menjadi lebih berani, kini tanganku menyusuri garis rahangnya, lalu ke dadanya yang bidang. Rasa penasaran semakin menguasai diriku.

Napasku sedikit bergetar, jantungku semakin berdebar tak menentu. Aku menelan ludah, merasakan keinginan aneh untuk mengetahui lebih banyak tentang pria yang kini menjadi suamiku.

Aku ingin mengetahui kenapa wajah tampan ini bisa berbaring tak berdaya, dan diam tak bersuara? Yang aku tahu, dia koma karena dulu mengalami kecelakaan yang luar biasa.

Namun, aku tak tahu lagi cerita lanjutannya. Keluarga Ataraka tak pernah memberi tahu fakta yang sebenarnya dibalik kejadian itu.

Saat itu, seharusnya aku pergi. Namun, tidak. Aku malah mengulurkan tangan dan menyentuh kancing piyamanya.

"Aku hanya penasaran," gumamku pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri. Pria yang tengah memejamkan mata ini membuatku tak tahan.

Jemariku bekerja perlahan, satu per satu membuka kancingnya hingga dadanya yang bidang mulai terlihat.

"Ah!"

Aku terkesiap pelan saat menyentuh dadanya, kulitnya hangat, jauh berbeda dari yang kubayangkan.

Tanpa sadar, jemariku mengusap dada bidang Rigen secara perlahan, menikmati sensasi kulitnya di bawah ujung jariku.

"Ini bukan hanya indah. Ini... sempurna," bisikku terkagum-kagum.

Rigen Ataraka, bukan hanya wajahnya yang tampan rupawan, tapi bahkan bentuk tubuhnya... sangat gila!

Tanganku berjalan turun, mengusap perutnya yang sixpack dengan ekspresi terpesona.

Namun tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang aneh.

Napas Rigen terasa sedikit berbeda... lebih berat?

Jantungku mencelos.

Kutatap wajahnya dengan teliti. Tidak ada perubahan. Dia masih diam. Tapi kenapa perasaanku mengatakan sebaliknya?

Gelisah. Aku menatap wajahnya lekat-lekat.

Rigen tampak begitu tenang, terlalu tenang.

Matanya tertutup rapat, napasnya teratur, tapi entah kenapa aku merasa ada yang aneh.

Meski begitu, perhatianku segera teralihkan saat melihat bibir Rigen. Tanpa sadar aku menelan ludah, terus menatap bibirnya yang terlihat begitu sempurna.

Penuh dan tampak menggoda.

"Aku ingin menciumnya lagi," bisikku pelan, seakan memberi alasan untuk diriku sendiri.

Seperti terhipnotis, aku pun membungkuk, mendekatkan wajahku ke wajahnya.

Wajahku semakin mendekat dan napasku mulai bercampur dengan napasnya. Lalu, tanpa bisa menahan diri lagi, aku mengecup bibirnya.

Lembut.

Seperti kesurupan, aku kembali menempelkan bibirku ke bibirnya yang hangat.

Jantungku berdetak kencang saat merasakan kelembutan bibirnya. Rasa manis bibirnya membuat aku tak bisa berhenti.

Aku berniat melakukan lebih jauh, tapi tiba-tiba… aku merasakan sesuatu yang membuat tubuhku membeku.

Bibir Rigen... bergerak!

Aku membelalakkan mata, tubuhku membeku di tempat. Jantungku berdetak begitu kencang hingga aku takut dia bisa mendengarnya.

Tapi… tidak mungkin! Dia sedang koma, kan?

Menelan ludah, aku ingin mundur, tapi sebelum sempat bergerak, tangan besar Rigen tiba-tiba terangkat dan menekan tengkukku, mencegahku pergi.

Aku terkesiap. Sentuhannya begitu nyata, begitu kuat.

Mata Rigen terbuka perlahan, menatapku dengan sorot tajam dan penuh arti. Napasku tercekat, membalas tatapannya dengan ekspresi ketakutan.

Bagaimana mungkin?! Bukankah dia koma?!

Tangan Rigen bergerak cepat, mencengkeram pinggangku dan menarikku lebih dekat.

"Jadi, istriku ternyata begitu berani...."

Suaranya rendah dan dalam, membuat tubuhku bergetar.

Aku berusaha mundur, tapi genggamannya terlalu kuat.

"Ka-kamu sadar?! Sejak kapan?!"

Rigen menyeringai, jari-jarinya naik mengelus pipiku. "Sejak sebelum kau masuk kamar ini," jawabnya santai. "Aku hanya pura-pura koma."

Darahku seakan berhenti mengalir saat mendengar hal itu.

Rigen yang pura-pura koma?! Aku... aku dalam bahaya!

Rigen Ataraka bukan pria biasa.

Dia adalah raja tanpa mahkota, penguasa dalam bayang-bayang yang namanya cukup untuk membuat orang gemetar. Setiap kata yang diucapkannya bisa menjadi hukum, setiap tatapannya bisa menusuk lebih tajam dari pedang.

Selama ini, dia koma. Diam. Tak bergerak. Seolah dunia ini berhenti bersamanya. Namun, begitu dia membuka matanya, segalanya berubah.

Cahaya remang di kamar memantulkan sorot tajam matanya yang hitam pekat, seperti lautan tanpa dasar.

Tatapannya menghunjam lurus padaku—aku yang kini membeku di tempat, seakan tubuhku dikunci oleh kehadirannya yang begitu kuat.

Wajahnya sempurna, seakan diukir dengan detail terbaik oleh tangan dewa. Rahang tegasnya menegaskan kekuatannya, hidungnya lurus, dan bibirnya… bibir yang beberapa saat lalu kucium tanpa tahu bahwa dia menyadari semuanya.

Ketika dia bergerak, tubuhnya yang besar dan berotot menciptakan bayangan yang mengancam. Daya tariknya bukan hanya karena ketampanannya yang luar biasa, tetapi juga auranya—dingin, penuh wibawa, dan mematikan.

Matanya seperti pusaran badai, menarikku dalam ketakutan yang tidak bisa kugambarkan. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kemarahan atau kebangkitan dari koma. Tatapan itu penuh perhitungan.

Aku mundur satu langkah, tapi punggungku malah menabrak sisi tempat tidur. Nafasku tersengal, tubuhku gemetar, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku baru saja mencium pria ini. Baru saja menyentuhnya dengan penuh rasa ingin tahu, menganggap bahwa dia tidak akan pernah tahu.

Namun, dia tahu.

Bibirnya melengkung sedikit, tetapi bukan dalam senyuman ramah. Itu adalah senyuman milik seorang pria yang baru saja menangkap mangsanya.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Tubuhnya yang tinggi dan besar membuatku merasa kecil. Tangan besarnya bergerak, jari-jarinya sedikit menekuk, seperti hendak meraih sesuatu—atau mungkin seseorang.

"Berani sekali seseorang sepertimu menyentuhku tanpa izin?"

Suara itu rendah, dalam, dan berbahaya.

Sekujur tubuhku merinding. Aku tidak bisa menjawab. Aku bahkan hampir lupa cara bernapas.

Rigen Ataraka telah bangun.

Dan aku telah membuat kesalahan besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (10)
goodnovel comment avatar
Echa Milen
Cerita yg pendek tapi bermakna
goodnovel comment avatar
Pelita Biru
Hahhaa sampe lupa cara bernapas dia ......
goodnovel comment avatar
Lil Seven
aamiin hehehe
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   388.

    l Suasana kantor sore itu terasa berbeda. Lampu hangat menggantung rendah di ruang kerja, memantulkan cahaya lembut di lantai kayu. Cia duduk di meja samping jendela, menatap layar laptop sambil mengetik laporan. Di seberang ruangan, seorang pria baru—Nathan Alvaro, analis proyek yang baru saja bergabung—tampak mencondongkan tubuh ke arahnya, menjelaskan sesuatu dengan nada ramah dan penuh senyum. Giovanni, yang masuk tanpa banyak suara, berhenti sejenak di ambang pintu. Matanya menatap setiap gerakan Cia, dan detik itu juga, rahangnya mengeras. Nathan terlalu sopan. Terlalu ganteng. Dan terlalu cepat membuat Cia tersenyum lebar—tanpa sadar, tanpa ada Giovanni di sampingnya. Setiap tawa kecil Cia, setiap kali matanya bersinar saat Nathan menjelaskan sesuatu, menusuk Giovanni lebih dalam daripada bilah pisau panas. Ia melangkah pelan, diam-diam, mendekati meja mereka. Tanpa satu kata pun, ia berdiri di sisi Cia, cukup dekat untuk membuat udara di antara mereka panas. Cia me

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   387.

    Cia terpaku di ambang pintu ruang rapat itu. Pandangannya seolah membeku saat melihat Raisa—dengan gaya lembut dan manja—jatuh tepat ke dada Giovanni. Suara kecil, renyah dan dibuat-buat keluar dari bibir Raisa. “Maaf, aku terpeleset, Gio…” Nama itu. “Gio.” Cia nyaris tak bisa menahan ekspresi di wajahnya. Hanya dia yang tahu betapa Giovanni membenci dipanggil begitu oleh siapa pun selain orang terdekatnya—dan dulu, hanya Cia yang pernah memanggilnya begitu tanpa kena tatapan tajam. Namun kali ini, Giovanni tidak langsung menepis Raisa. Tangannya sempat menyentuh lengan wanita itu, menahannya agar tidak jatuh ke lantai. Sekilas, pemandangan itu tampak seperti pelukan—dan bagi siapa pun yang melihatnya dari luar, itu terlihat… intim. Cia menelan ludah. Dada terasa sesak, seolah udara di ruangan tiba-tiba menolak masuk ke paru-parunya. Raisa menatap Giovanni dari jarak yang terlalu dekat, matanya berkilat dengan niat yang tak tersembunyi. “Kamu selalu sigap, ya. Nggak heran s

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   386.

    Sudah tiga hari. Tiga hari sejak kejadian di ruang kerja Giovanni, dan suasana kantor berubah jadi dingin seperti kulkas. Alicia—atau Cia, seperti biasa Giovanni memanggilnya—tidak lagi duduk di luar ruangan bosnya. Ia sekarang ditempatkan sementara di divisi proyek baru, di bawah pengawasan direktur lain. Alasan resmi dari HRD: “rotasi sementara untuk efisiensi.” Tapi semua orang tahu alasannya bukan itu. Semua orang melihat bagaimana Tuan Giovanni Axel menatap setiap kali Cia lewat. Tatapan yang... bukan milik seorang bos. Tatapan orang yang kehilangan sesuatu yang berarti, tapi tidak bisa menahannya kembali. Pagi itu, Cia datang lebih pagi dari biasanya. Rambutnya diikat tinggi, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi di balik semua itu, ada rasa sakit yang belum hilang. “Alicia, rapat jam sepuluh ya. Giovanni sendiri yang mau presentasi hasil kerja sama minggu lalu,” kata Rhea, rekan satu timnya di divisi proyek. Cia mengangguk pelan. “Oke. Siap.” Tapi jantungnya langsung berdeb

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   385.

    Hari itu kantor sedang sibuk-sibuknya. Investor baru akan datang sore nanti, dan semua tim dikejar target laporan. Cia, meskipun masih dingin terhadap Giovanni, tetap profesional. Dia mengetik cepat, merapikan dokumen, dan memastikan semua agenda berjalan sempurna. Giovanni beberapa kali ingin bicara, tapi setiap kali membuka mulut, Cia selalu memberi jawaban singkat. Dingin. Formal. Seolah mereka kembali jadi bos dan sekretaris tanpa masa lalu apa pun. Tapi Raisa — tentu saja — tidak bisa diam. Sejak pagi, dia sudah berputar-putar di lantai atas, menawarkan “bantuan” ke berbagai tim. Dan entah bagaimana, jam makan siang, dia muncul di depan ruang kerja Giovanni lagi. “Gio, boleh aku masuk sebentar?” suaranya lembut tapi menusuk. Giovanni yang tengah menandatangani berkas mendongak malas. “Ada apa lagi, Raisa?” “Aku cuma mau minta tanda tangan buat proposal gabungan event kemarin,” jawabnya manis, lalu menutup pintu di belakangnya. Cia yang sedang mengetik di luar menoleh seb

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   384. Kamu Salah Paham!

    Keesokan harinya, suasana kantor terasa canggung.Cia datang lebih pagi dari biasanya, tapi langkahnya terasa berat. Ia berusaha seolah semuanya normal — mengetik laporan, menyusun agenda rapat, menyiapkan kopi Giovanni seperti biasa.Tapi tangannya sedikit gemetar saat menuang.Begitu pintu ruang kerja terbuka, Giovanni masuk dengan setelan abu tua yang membuat wajahnya tampak makin tajam.“Pagi,” katanya datar.Cia hanya mengangguk. “Pagi.”Tidak ada senyum. Tidak ada kontak mata.Dan itu lebih menyakitkan daripada pertengkaran semalam.---Sekitar pukul sepuluh, Raisa kembali datang.Tapi kali ini, bukan untuk rapat.Ia muncul dengan gaun berwarna pastel, terlalu mencolok untuk suasana kantor.Membawa kotak kecil, dan menyapa manis, “Surprise, Gio. Aku bawain sarapan.”Giovanni menatap sekilas. “Aku sudah makan.”“Ah, masa sih? Kamu kelihatan belum,” godanya sambil meletakkan kotak itu di meja.Cia yang duduk tak jauh di situ menunduk, pura-pura sibuk dengan berkas. Tapi dari pantu

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   383. Memanas!

    Suasana kantor terasa lebih dingin dari biasanya.Giovanni yang biasanya dingin tapi masih suka menyindir, kini benar-benar… dingin.Sejak pagi, dia hanya bicara seperlunya. Tidak ada komentar nyinyir. Tidak ada tatapan nakal. Tidak ada “kamu milikku” yang biasanya bikin Cia pura-pura sebal tapi deg-degan setengah mati.Semuanya terasa kaku.Dan yang lebih parah — Raisa datang lagi.Dengan alasan “ingin membahas kelanjutan kerja sama proyek”.Cia tahu itu cuma alasan, karena dari tadi Raisa tidak membuka laptop sama sekali.Dia hanya duduk di seberang Giovanni, tertawa pelan setiap kali pria itu bicara.Yang paling mengganggu, Giovanni tidak menegur.Cia mengetik cepat, berusaha fokus di mejanya. Tapi matanya—entah kenapa—terus tertarik ke arah mereka.Apalagi saat Raisa memegang lengan Giovanni sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya.Alicia refleks mengetuk pulpen terlalu keras sampai tinta muncrat ke kertas.“Ups,” gumamnya dengan nada getir.Giovanni menoleh sekilas, tapi tidak be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status