MasukDirga tiba di restoran mewah itu, lampu kota berkelap-kelip seperti bintang jatuh. Tapi di hatinya, hanya ada dingin dan gelap. Prisil sudah menunggunya, tersenyum manis. Topeng yang menjijikkan.
Dirga duduk di hadapannya tanpa basa-basi, tatapannya tajam dan menusuk. "Kau memintaku datang ke sini, Prisil. Katakan apa yang sebenarnya ingin kau katakan," ucap Dirga dengan nada dingin, seperti bongkahan es yang membeku. Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.
Prisil menghela napas dramatis. "Dirga, aku sangat khawatir padamu semalam. Kau menghilang tiba-tiba setelah minum koctail yang kubuatkan. Aku mencarimu ke mana-mana, takut kau diculik atau terjadi sesuatu yang buruk padamu."
Dirga menatap Prisil dengan tatapan menyelidik. "Kau mencariku? Tapi mengapa aku tidak melihatmu? Kau tahu betul aku tidak suka dibohongi, Prisil." Kau pikir aku bodoh?
"Aku sudah mencarimu di seluruh pesta, bahkan sampai ke toilet dan taman," jawab Prisil dengan nada meyakinkan, tapi matanya tidak berani menerima tatapan Dirga. "Aku benar-benar panik, Dirga. Aku tidak tahu apa yang harus kulakuan. Aku bahkan hampir menelepon polisi. Untung asistenmu mengatakan kau sudah pulang karena tidak enak badan."
Dirga terdiam. Ia mencoba mencerna kata-kata Prisil, tapi ada sesuatu yang terasa janggal. Ia merasa ada yang disembunyikan oleh Prisil, seperti ada kebohongan yang terselubung di balik kata-katanya yang manis. Mungkinkah Prisil lebih terlibat dari yang ia kira? Dia pasti tahu sesuatu.
"Aku ingin percaya padamu, Prisil," ucap Dirga akhirnya, tapi nadanya tidak meyakinkan. "Tapi aku ingin kau jujur padaku. Apa kau melihat sesuatu yang mencurigakan semalam? Seseorang yang mungkin sengaja mencampurkan sesuatu ke dalam minumanku?"
Prisil berpikir sejenak, seolah sedang mengingat-ingat sesuatu. "Aku ingat melihat seorang pria menyenggolmu saat kau mengambil minuman. Tapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Aku pikir itu hanya kecelakaan biasa."
"Pria itu seperti apa?" tanya Dirga dengan nada tertarik, tapi ia sudah menduga bahwa Prisil tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan. Dia pasti berbohong.
"Aku tidak terlalu ingat. Dia memakai jas hitam dan topi," jawab Prisil, tapi suaranya bergetar, seolah sedang menyembunyikan sesuatu. "Maaf, Dirga. Aku tidak bisa memberikan informasi yang lebih detail. Aku benar-benar tidak ingat."
Dirga menghela napas. Informasi yang diberikan Prisil tidak terlalu membantu, bahkan cenderung mencurigakan. Ia merasa seolah sedang dipermainkan oleh Prisil, seolah ia sedang mencoba mengulur waktu atau menyembunyikan sesuatu yang penting. Aku akan mencari tahu kebenarannya, Prisil. Dan kau akan menyesal telah berbohong padaku.
Dirga berdiri dari kursinya, membuat Prisil terkejut. "Aku tidak punya waktu untuk permainanmu, Prisil," ucap Dirga dengan nada dingin. "Aku pergi."
"Dirga, tunggu!" seru Prisil, berusaha menghentikannya. "Apa maksudmu? Kau tidak percaya padaku?"
Dirga berhenti sejenak dan menatap Prisil dengan tatapan kekecewaan. "Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya, Prisil. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak bisa membuang waktuku bersamamu. Kau hanya membuang waktuku."
Dirga berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Prisil yang терцenung di mejanya. Ia merasa telah membuang waktu berharganya untuk bertemu dengan wanita yang penuh dengan kepalsuan itu. Dia akan membayar mahal atas kebohongannya.
Saat Dirga berjalan keluar dari restoran, ia merasa jika ada mata yang mengawasinya dari kejauhan. Ia menoleh ke belakang, tapi tidak melihat siapa pun yang mencurigakan. Ia merasa seolah sedang diawasi, seakan ada bahaya yang mengintai di sekitarnya. Aku harus berhati-hati. Seseorang sedang mengawasiku.
Sementara itu, di apartemennya yang sederhana, Delisa sedang merasakan keterpurukan yang mendalam. Dinding-dinding apartemen seolah semakin mendekat, membuatnya merasa terperangkap dan sesak. Ia tidak bisa tidur nyenyak semalam, bayangan tentang kejadian memalukan itu terus menghantuinya, seolah hantu yang tak bisa diusir. Ia merasa seolah seluruh tubuhnya kotor dan ternoda, seperti ia telah melakukan sesuatu yang sangat buruk dan tidak bisa dimaafkan. Aku telah menghancurkan diriku sendiri.
Ia mencoba mencari pekerjaan baru, berharap bisa melupakan kejadian itu dan memulai hidupnya dari awal. Tapi setiap kali ia mengirimkan lamaran, ia selalu ditolak. Ia tahu bahwa reputasinya telah hancur setelah dipecat dari pekerjaannya. Mantan kekasihnya telah berhasil menghancurkan hidupnya, merenggut segala yang berharga baginya. Aku akan membalas dendam pada mereka, gumamnya.
Tiba-tiba, teleponnya berdering, memecah kesunyian apartemen. Sebuah pesan masuk dari grup WA tempat ia pernah bekerja, grup yang seharusnya menjadi tempat berbagi informasi dan dukungan, tapi kini menjadi sumber rasa sakit dan malu. Delisa ragu-ragu untuk membukanya, seperti akan membuka kotak Pandora yang penuh dengan kejahatan. Tapi rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya, mendorongnya untuk menghadapi kenyataan yang pahit. Aku harus menghadapi mereka.
Ia membuka pesan itu dengan tangan gemetar, dan terkejut melihat foto dirinya yang diambil secara diam-diam saat keluar dari hotel. Foto itu diambil dari kejauhan, tapi cukup jelas untuk menunjukkan wajahnya yang pucat dan pakaiannya yang berantakan. Foto itu seolah bukti tak terbantahkan tentang apa yang telah terjadi, bukti yang akan menghantuinya selamanya. Mereka telah menghancurkan harga diriku.
Di bawah foto itu, ada berbagai macam komentar pedas dan menghina, seperti pisau yang menusuk-nusuk hatinya.
Santi: "Lihatlah Delisa, keluar dari hotel dengan wajah kusut dan pakaian acak-acakan. Habis ngapain ya semalam? 🤭"
Budi: "Pantesan dipecat, ternyata kelakuannya menjijikkan. Pantas saja Andre selingkuh."
Mira: "Kasihan sih, tapi ya…"
Apartemen Delisa terasa seperti penjara yang semakin sempit. Foto dirinya yang beredar di grup WA seperti membakar harga dirinya menjadi abu. Ia tidak bisa lagi hanya diam dan meratapi nasib. Ia harus melakukan sesuatu. Aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-injakku.
Setelah membaca semua komentar menjijikkan itu, amarah Delisa memuncak. Ia tidak menyangka teman-teman kerjanya, yang dulu selalu tertawa bersamanya, kini tega menusuknya dari belakang. Tapi ada satu nama yang paling membuatnya geram: Andre, mantan kekasihnya yang telah menghancurkan hidupnya. Dia akan membayar mahal atas perbuatannya.
Delisa mengepalkan tangannya erat-erat. Ia tidak akan membiarkan Andre terus menginjak-injaknya. Ia akan membalas semua perbuatan jahatnya. Aku akan menghancurkannya.
Delisa melangkah dengan penuh semangat ke kantor Jaya Sentosa. Panggilan wawancara ini bagaikan setitik cahaya di tengah kegelapan yang melandanya. Ia berharap, pekerjaan ini akan menjadi jembatan menuju kesuksesan, membuktikan bahwa ia mampu bangkit dari keterpurukan dan meraih impiannya.Semalam, ia sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Ia mempelajari profil perusahaan, berlatih menjawab pertanyaan wawancara, dan memilih pakaian yang profesional namun tetap menunjukkan karakternya. Ia yakin, dengan kemampuan dan pengalamannya, ia bisa meyakinkan pihak HRD bahwa ia adalah kandidat yang tepat untuk posisi manajer yang ia lamar.Namun, senyumnya memudar saat berhadapan dengan Bapak Handoko. Kabar mengejutkan."Delisa, kami terkesan dengan kemampuanmu. Namun, kami menawarkan posisi sekretaris CEO," ujar Bapak Handoko, menyesal.Delisa tertegun. Sekretaris? Bukan manajer? Ia merasa seperti disambar petir di siang bolong. Semua persiapan dan harapan yang ia bangun selama ini runtuh dal
Namun, sebelum membalas dendam pada Andre, ia harus menghadapi dulu teman-teman kerjanya yang telah menyebarkan aibnya. Ia membuka kembali grup WA dan mulai mengetik pesan. Saatnya menunjukkan pada mereka siapa aku sebenarnya.Delisa:"Kalian semua puas sekarang? Sudah puas menghina dan merendahkan aku?"Beberapa saat kemudian, Santi membalas pesannya.Santi:"Lho, kenapa marah-marah? Kan kenyataannya begitu. Lagian siapa suruh keluar hotelNamun, sebelum membalas dendam pada Andre, ia akan menunjukkan dulu kepada teman-teman kerjanya siapa Andre sebenarnya. Ia membuka kembali grup WA dan mulai mengetik pesan.Delisa:"Kalian semua sibuk menghina aku? Kalian tahu apa yang sebenarnya terjadi? Kalian tahu siapa yang sebenarnya menjijikkan di sini?"Santi langsung membalas dengan sinis.Santi:"Oh, mau cuci tangan sekarang? Telat, Sayang. Bukti sudah tersebar di mana-mana."Delisa tersenyum sinis. Justru itu yang ia inginkan.Delisa:"Bukti? Kalian mau bukti? Oke, aku kasih bukti."Delisa kem
Dirga tiba di restoran mewah itu, lampu kota berkelap-kelip seperti bintang jatuh. Tapi di hatinya, hanya ada dingin dan gelap. Prisil sudah menunggunya, tersenyum manis. Topeng yang menjijikkan.Dirga duduk di hadapannya tanpa basa-basi, tatapannya tajam dan menusuk. "Kau memintaku datang ke sini, Prisil. Katakan apa yang sebenarnya ingin kau katakan," ucap Dirga dengan nada dingin, seperti bongkahan es yang membeku. Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.Prisil menghela napas dramatis. "Dirga, aku sangat khawatir padamu semalam. Kau menghilang tiba-tiba setelah minum koctail yang kubuatkan. Aku mencarimu ke mana-mana, takut kau diculik atau terjadi sesuatu yang buruk padamu."Dirga menatap Prisil dengan tatapan menyelidik. "Kau mencariku? Tapi mengapa aku tidak melihatmu? Kau tahu betul aku tidak suka dibohongi, Prisil." Kau pikir aku bodoh?"Aku sudah mencarimu di seluruh pesta, bahkan sampai ke toilet dan taman," jawab Prisil dengan nada meyakinkan, tapi matanya tidak berani men
Dirga kembali ke kantor pagi itu dengan perasaan lega sekaligus bingung. Efek obat perangsang sudah hilang, menyisakan rasa lelah dan sedikit mual. Tapi yang lebih mengganggunya adalah bayangan wanita di kamar hotel itu. Ia mencoba melupakannya, menganggapnya sebagai kesalahan satu malam yang tidak perlu dipikirkan lebih lanjut. Tapi bayangan tanda lahir berbentuk bulan sabit di punggung wanita itu terus menghantuinya, muncul setiap kali ia mencoba memejamkan mata. Mengapa tanda itu terasa begitu familiar?Salahnya memang yang langsung menarik wanita itu saat berdiri di depan kamarnya. Efek obat perangsang mengalir deras dalam darahnya, mengalahkan logika dan akal sehatnya. Ia tidak memberi wanita itu kesempatan untuk berbicara, tidak bertanya siapa namanya, tidak peduli siapa dia sebenarnya. Ia hanya tahu bahwa ia membutuhkan penawar, dan wanita itu ada di sana, siap untuk dijadikan pelampiasan."Pak Dirga?" suara Rio membuyarkan lamunannya. "Anda baik-baik saja? Anda tampak linglung
Delisa menggeliat, berusaha melepaskan diri dari mimpi buruk yang mencengkeramnya. Kepalanya berdenyut, ribuan jarum menusuk otaknya. Ia membuka mata, terkejut. Kamar asing. Bukan apartemennya yang sederhana, bukan pula kamar kos sahabatnya. Mewah, antik, lukisan mahal. Tapi kemewahan itu justru membuatnya merasa semakin asing dan takut.Ia mencoba mengingat. Bayangan itu datang sedikit demi sedikit, seperti kepingan puzzle. Bir beberapa gelas di bar hotel, berusaha melupakan pengkhianatan mantan kekasih dan sahabatnya. Memesan kamar hotel. Resepsionis memberinya kunci kamar 272. Berjalan menyusuri koridor, langkah sempoyongan.Tiba-tiba, ia tersentak. Bukan 272. Melainkan 222. Ia salah kamar!Jantungnya berhenti berdetak. Air mata mengalir deras. Bukan hanya sakit dan kehilangan, tapi juga malu dan penyesalan. Ia telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Menyerahkan keperawanannya pada orang asing, bukan karena paksaan, melainkan karena kelalaiannya sendiri.Sakit menusuk di ant
Sinar mentari pagi, alih-alih menghangatkan, justru terasa seperti pisau yang menusuk mata Dirga. Ia menggeliat di ranjang yang berantakan, denyutan di kepalanya berpacu dengan detak jantungnya yang semakin cepat. Bukan hanya karena alkohol. Ada sesuatu yang salah. Kamar ini bukan miliknya. Terlalu klasik, terlalu... asing. Semalam adalah kekacauan, kabur oleh pengaruh obat perangsang.Di sampingnya, seorang wanita meringkuk di bawah selimut. Wajahnya tersembunyi, namun Dirga merasakan aura yang aneh. Bukan aura wanita bayaran. Melainkan... kepolosan? Kerentanan? Kontras yang mengganggu.Dirga menghela napas tajam, menggeleng. Ia bangkit, berusaha tidak membangunkannya. Kakinya menapak lantai dingin. Ia melihat bercak darah di seprai. Alisnya berkerut tajam. Mustahil. Wanita penghibur perawan? Itu dongeng. Ini pasti jebakan. Tapi jebakan yang dirancang untuk apa?Ia tidak mau ambil pusing. Rio salah pesan. Kesalahan identitas. Atau wanita itu penipu ulung. Ia terlalu sibuk untuk sandi







