Karina memekik saat sadar tubuhnya jatuh di tempat yang ‘salah’. Dia mengangkat badannya, sepertinya hendak menjauh, namun justru membuat Dimas mampu melihat sepasang buah dadanya yang berayun.Tak ingin kembali tenggelam dalam bahaya yang berulang kali berujung petaka, Dimas buru-buru memejamkan mata, mengatur napas.“Maaf, Dim.” Lirih Karina yang bergegas duduk. Dimas akhirnya ikut duduk, terlalu khawatir kejutan lain kembali terjadi.Karina lalu beranjak mengambil sesuatu di atas meja: semangkuk bubur kacang ijo yang masih menguarkan uap hangat, kemudian kembali duduk di sisi kasur.“Mau nggak Dim?” Dia melirik Dimas sekilas. Sementara Dimas tak langsung menjawab, malah mengintip mangkuk dari posisinya.Tangan Karina bergerak mengaduk bubur, “Waktu beresin dapur tadi, aku lihat biji kacang ijo yang udah gosong di dalam panci, aku jadi kasihan sama Agus. Mungkin dia segitu pengennya makan bubur kacang ijo. Jadi … aku buatin bubur kacang ijo. Masih ada satu wadah besar di kulkas. Na
Dimas melihat Karina mengangguk paham begitu dia melepas tatapan tajamnya dari wajah Agus.“Tinggalin aja kami, Mbak. Kalau Mbak Karina ada kegiatan lain nggak apa-apa lanjutkan aja. Nanti Agus saya yang jagain.” Karina mengangguk. “Aku beresin dapur dulu.”Tepat ketika Karina bangkit berdiri dan menjauh, kelopak mata Agus terbuka. Dia mengernyit, berkedip-kedip.“Jangan langsung duduk dulu, Gus.” tukas Dimas saat Agus menurunkan kakinya dari pangkuan Dimas. Setelahnya, Agus tampak meraba-raba sekitar.“Mas … kacamata saya mana ya?” tanya Agus, matanya memicing seolah memusatkan fokus untuk melihat.“Lo lepas dimana?”“Lupa Mas.” Agus menggaruk kepala.“Ya udah nanti dicari lagi di dapur. Coba lo duduknya pelan-pelan, jangan langsung berdiri.”Agus tak langsung merespon, suaranya kemudian terbata-bata, seperti ragu ingin bicara. “Anu Mas, tadi samar-samar saya dengar ada suara perempuan ngobrol sama sampeyan, Mas.” Agus menoleh menatap Dimas, bukan tatapan menuduh, namun Dimas yakin,
“MAS DIMAASS!! APIII MAAS!! TOLOONG!!”Aroma hangus tercium tak lama setelah suara teriakan Agus terdengar. Gegas Dimas berlari ke area dapur. Saat berdiri di depan pintu dapur yang terbuka itu, di atas meja kompor, terlihat api membumbung tinggi pada salah satu tungku dengan sebuah panci di atasnya. Jilatan si jago merah bahkan telah melampaui tinggi panci itu sendiri.Mata Dimas seketika melebar. Kepanikan dalam sekejap menghentakkan jantungnya. Tangannya gemetar selagi pikirannya berkecamuk menemukan cara memadamkan api karena area dapur yang sempit dan hawa panas sudah terasa sampai ke luar dapur.Memberanikan diri, Dimas melangkah masuk sambil menutup hidung dengan bagian atas kaosnya. Belum apa-apa, badannya berjengit lantaran nyaris menginjak kepala Agus yang tubuhnya tergeletak di lantai.“AGUS!” Dimas berjongkok, menepuk-nepuk pipi Agus lumayan keras.Sialnya, dia tidak bereaksi.Menahan seluruh getaran ragu, Dimas menarik kedua tangan Agus, menyeretnya hingga berada di luar
“Woy.” Dimas tersentak. “Malah bengong. Dari mana lo? Keringetan banget begitu, abis dikejar setan?” Jimmy mendekat hingga kini berdiri persis di depan Dimas. Dimas berdehem kecil, mencoba mengenyahkan gugup yang mencekik, “Dari bawah, habis naik turun tangga, tadi … kunci laci gue kayaknya jatuh dari saku celana, gue panik cari-cariin.” Jimmy menatap Dimas dalam-dalam. Alisnya naik sebelah. Kenapa tatapannya seperti ini? Apa dia curiga? Atau … dia tahu sesuatu? “Eh, ada titipan es kopi tuh dari Ghina. Lo dibeliin. Gue simpan di kulkas. Udah cair toping es krimnya tapi.” Dimas terdiam sejenak. Ada rasa jengkel yang menggenapi dadanya. “Buat lo aja, Jim.” jawab Dimas, tanpa menyembunyikan nada mengkal. Namun, Jimmy seakan tak mendengar. Malah berbalik memunggungi Dimas dan berkata dengan tak acuh. “Bilang makasih lo sama Ghina. Dia yang bayarin.” ucapnya sambil lalu. Dimas hanya merespon kalimat itu dengan lirikan tajam. Kemarahannya masih mudah terpancing kapan pun na
Dimas hanya sempat mengenakan celana dalam dan celana panjangnya ketika suara Reno yang memanggil Karina terdengar dari arah dapur. Karina yang juga lekas memakai gaun malamnya langsung mendorong Dimas masuk ke dalam lemari pakaian kayu yang tingginya lebih dari tinggi tubuhnya.Wanita itu berbisik panik, “Jangan keluar sebelum aku yang buka.” Blam! Karina menutup pintu lemari.Di dalam lemari yang sempit dan gelap itu, Dimas berjongkok di antara pakaian gantung yang tak tentu panjang pendeknya. Semilir aroma pewangi pakaian bercampur dengan bau furnitur kayu yang sudah menua. Jantungnya berdegup gila-gilaan. Keringat yang membasahi badannya kini bukan lagi hanya peluh setelah bercinta, namun juga keringat karena takut tertangkap basah.Dia merasa seperti baru saja melakukan tindak pencurian dan hampir ketahuan pemiliknya. Dan sesuatu yang dia curi, adalah Karina.PLAAAKK!!Dimas terkesiap. Kedua matanya membeliak lebar. Tangannya mengepal dengan getaran amarah yang naik perlahan. S
“Biarkan aku memuaskanmu sekarang.” Bisikan itu, mengundang bara dalam diri Dimas menggelora hebat. Detik berikutnya, Karina mendaratkan ciuman dalam dan penuh hasrat hingga Dimas tak berkutik. Desahan napas yang bersahutan mengisi hening. Sekujur tubuh Dimas memanas dalam sekejap. Keringatnya mulai membulir di kulit. Dan wanita di depannya ini, bertindak seperti orang yang kehausan. Menggeliat di atas pangkuan dan membuat Dimas semakin panas dingin. Suara desahan Karina bagai mantra yang melenyapkan akal. Tak ada lagi ragu yang menyisip di kepala, tentang siapa Karina dan bahaya apa yang menentang di depannya. Dimas meluncur turun, menyusuri leher Karina dan terus bergerak ke bawah, mendaratkan kecupan, hisapan bahkan gigitan ringan di sana. Lenguhan Karina melengkapi napasnya yang memburu, memuaskan gairahnya yang semakin membara. Jarum jam di dinding terus berputar. Dalam hitungan menit, keduanya tenggelam dalam gelombang hasrat yang pasang. Semua pakaian yang mereka ke