Langkah Aura terhenti di lorong sempit antara dapur dan ruang ganti staf. Ia bersandar di dinding dingin, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih tak beraturan. Tangannya masih hangat karena baru saja memegang gelas susu untuk Vina, namun hatinya terasa dingin, seperti diguyur hujan tanpa peringatan.Ia mendengar semuanya. Kalimat jujur dari mulut Vina, pengakuan polos yang menyakitkan. Dan tanggapan Rey yang entah kenapa, justru membuatnya semakin sesak.Rey tahu ia mungkin bukan ayah kandung anak itu. Tapi ia tetap menerima. Tanpa drama. Tanpa marah. Tanpa memaksa siapa pun percaya padanya.Aura menunduk. Ia tahu betul bahwa dirinya telah terlalu banyak menghakimi, terlalu cepat menarik kesimpulan. Ia takut. Dan dalam ketakutan itu, ia memilih menjauh.Padahal, Rey tetap tinggal. Meski dibohongi. Meski tak tahu pasti. Meski ditinggalkan.Aura menatap tangannya yang kosong. Ia merasa kehilangan, entah apa. Mungkin kehilangan rasa marah yang biasa ia pegang kuat-kuat. Atau mun
Pintu ruang istirahat setengah terbuka. Dari celahnya, Rey bisa mendengar suara Ega.“Lho, lho, lho ... itu keripik buat Om Ega kenapa lo embat semua, Detektif Vina? Perasaan tadi lo bilang udah kenyang nasi goreng tiga centong!”“Aku lagi lapar lagi,” jawab Vina polos sambil mengunyah.“Waduh! Ini namanya balita berkedok tukang demolisi dapur. Lo ini calon chef atau calon pemakan inventaris?” Ega pura-pura panik.Vina tertawa kecil. “Teddy juga lapar!”“Ya Tuhan ... bonekanya juga? Jangan-jangan dia juga nyolong sambel waktu di dapur tadi.”Vina mengangkat Teddy dan mengangguk mantap.“Fix! Kita perlu detoks sekeluarga. Teddy-nya, Vina-nya, Om Ega-nya,” gumam Ega, lalu menatap serius. “Eh ... tapi ngomong-ngomong ... kamu tadi bikin Chef Fendi hampir berubah jadi Godzilla, loh.”Vina menunduk. “Aku beneran nggak sengaja narik panci besinya, kok Om.”Ega duduk bersila di depan Vina, sambil menepuk-nepuk kepalanya sendiri. “Yah, nggak papa. Yang penting lo nggak narik kulkas. Soalnya k
Arga mengangguk. “Bisa jadi itu hanya strategi sainganmu. Atau ... dia memang benar-benar sudah putus asa.”Rey mendengus. “Kalau dia cuma mau kabur, kenapa harus menyeret namaku?”“Karena ... mungkin dia tahu nama kamu cukup kuat buat jadi perisai,” sahut Arga setelah berpikir sekian detik.Rey mengusap wajahnya. Lalu bangkit dan melangkah keluar. “Aku harus bicara dengan anak itu. Langsung.”Dapur Seventy Eight Degrees meledak dalam kesibukan. Matahari yang semakin meninggi tak mampu meredam tekanan pesanan yang datang bertubi-tubi. Waktu menunjuk pukul sembilan lewat dua puluh tujuh menit, dan dalam waktu satu jam, tamu VVIP, kelompok besar undangan dari pesta ulang tahun sebuah perusahaan penerbitan di kota itu mulai berdatangan.Aura bergerak lincah dari satu sisi ke sisi lain dapur, menata piring, mengatur plating, mengecek stok bahan yang datang terlambat, sembari sesekali mengatur napas di tengah rasa panik yang tertahan.Namun segala konsentrasinya buyar ketika suara panci ja
Setelah diam cukup lama di ambang kamar dengan tatapan kosong ke kartu nama Dini Agustin, Rey akhirnya meraih ponselnya. Dengan cepat ia mengetik sesuatu dan menekan panggilan.“Arga. Segera ke sini. Bawa laptop. Aku perlu kamu selidiki seseorang. Namanya Dini Agustin. Bukan cuma profil, aku butuh semua jejak digital dan riwayatnya. Siapa dia, apa pekerjaannya, siapa orang-orang di sekitarnya. Dan, kalau bisa, cari tahu siapa ayah dari anaknya.”Suara di ujung telepon terdengar hanya sepersekian detik memberi respons, sebelum Rey memutuskan panggilan dan menatap ke arah ruang makan. Vina masih duduk tenang. Gadis kecil itu terlihat sedang menyuapi potongan roti pada beruang lusuh yang dinamainya Teddy.Rey menarik napas panjang. Ia mendekati Vina perlahan.“Namamu siapa?” tanyanya sambil berjongkok hingga sejajar dengan mata si kecil.“Vina,” jawab gadis kecil itu ceria. “Namaku lengkapnya Lavina Aprilia.”“Lavina, ya. Nama yang cantik,” gumam Rey pelan. “Kamu umur berapa?”“Lima. Tap
Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menyusup masuk ke balik tirai jendela, namun dapur rumah besar itu sudah terasa hangat oleh aroma tumisan bawang dan roti panggang. Aura berdiri di depan kompor, mengenakan apron bergambar wortel dengan rambut dikuncir asal-asalan. Di hadapannya, meja makan mulai tertata dengan rapi: telur orak-arik, tumis sayur, roti, mentega, jus jeruk, dan segelas susu hangat.Di kursi makan, duduk seorang gadis kecil mengenakan piyama bergambar kelinci. Boneka beruang lusuh digendong erat di pangkuannya. Sesekali ia mengangguk sendiri, berceloteh pelan seolah sedang berbincang dengan sang beruang.“Jadi, Teddy, kamu mau telur satu atau dua? Tapi jangan banyak-banyak ya, nanti perut kamu meletus,” katanya sambil terkikik.Aura menoleh sebentar dari kompor, senyum kecil muncul di wajahnya. Lalu segera kembali ke wajan, membalikkan telur dengan cekatan. Pikirannya masih kacau, tapi tangannya tetap bergerak otomatis seperti tahun-tahun yang ia habiskan di dapu
Rey membuka pintu mobilnya dan melangkah masuk tanpa menunggu izin. Aura, yang setengah pasrah, terpaksa mengejarnya.Di dalam dapur restoran, suasana yang semula sibuk mendadak melambat. Ega, yang sedang mengoles mentega di roti panggang, sontak berhenti dan menatap Rey seolah baru melihat selebritas dunia memasuki dapur kelas menengah.“Waduh, Beb … itu Mas Rey?” bisiknya ke Aura. “Lo serius ngajak dia masuk? Ini dapur, bukan meet and greet bos besar, loh!”Aura hanya menunduk sambil menghela napas panjang.Chef Fendi, atasan langsung Aura, tiba-tiba berdiri tegak dengan ekspresi yang lebih gugup daripada saat menerima penilaian bintang Michelin. Ia bahkan tak sadar jika ia masih memegang talenan berisi bawang merah yang belum dikupas.“Selamat pagi, Tuan Rey,” sapa Fendi dengan suara yang sedikit bergetar. “Apakah … ada yang bisa saya bantu?”Rey hanya mengangguk pelan dan berdiri di dekat lemari pendingin, memandangi seisi dapur seolah sedang menilai performa semua orang. Beberapa