Mayang terkejut sebentar tapi kemudian mengangguk, merasa sulit untuk menolak permintaan Valdi.
“Boleh, Om,” jawabnya.
Mereka duduk di ruang keluarga yang bersebelahan dengan kamar mereka. Valdi menyalakan TV, memilih sebuah film yang sedang tayang. Mayang duduk di lantai, agak jauh dari sofa tempat Valdi duduk, merasa agak canggung untuk duduk di dekatnya.
Namun, Valdi segera menarik pergelangan tangan Mayang dengan lembut, membuatnya terkejut.
“Duduk di sini, Mayang. jangan di lantai,” katanya sambil menepuk sofa di sampingnya.
Mayang ragu sejenak, tapi kemudian mengikuti arahannya dan duduk di sebelah Valdi. Dia mencuri-curi pandang ke arah Valdi, menyadari bahwa pria itu memang gagah dan tampan. Wajahnya tegas, rahangnya kuat, dengan sorot mata yang tajam namun lembut.
Om Valdi seganteng ini kenapa diceraikan istrinya ya? pikir Mayang, sedikit penasaran. Aroma pheromone yang samar tapi kuat mulai tercium olehnya, membuat perasaannya sedikit bergetar. Ada sesuatu dalam aroma itu yang membuatnya merasa hangat, nyaman, dan… lebih dekat dengan Valdi.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum Valdi membuka pembicaraan.
“Mayang, kalau ada kesempatan, kamu pengen melanjutkan sekolah ke mana?” tanyanya tiba-tiba, suaranya terdengar penuh perhatian.
Mayang terdiam, merasa pertanyaan itu berat. Dia menggigit bibirnya, berpikir sejenak sebelum menjawab.
“Aku… nggak tahu, Om. Waktu SMA aja aku nggak pernah kepikiran buat lanjut sekolah. Biayanya besar,” katanya jujur, suaranya terdengar rendah.
Valdi menatapnya, mencoba memahami. “Tapi, di dalam hati kecil kamu, pasti ada keinginan, kan?” rayunya pelan, mencoba menggali lebih dalam.
Mayang tampak ragu-ragu, merasa tidak nyaman untuk langsung berbagi impiannya.
“Ya… mungkin ada, Om. Tapi… aku nggak yakin, itu cuma keinginan aja,” jawabnya dengan hati-hati, mencoba menahan dirinya agar tidak terlalu terbuka.
Valdi mendekat sedikit, membuat Mayang bisa mencium aroma lembut dari tubuhnya yang semakin memabukkan.
“Coba cerita, Mayang. Apa yang sebenarnya kamu pengen? Om ingin tahu, jangan ragu untuk cerita ke Om,” desaknya lembut sambil mengangkat alisnya, penasaran.
Mayang akhirnya menghela napas pelan, merasa ada dorongan untuk berbicara.
“Pernah kepikiran sih pengen masuk akademi keperawatan, Om,” ujarnya dengan suara nyaris berbisik, seolah takut impian itu akan hilang jika diucapkan terlalu keras.
Valdi tersenyum lebar, merasa bahwa inilah saat yang tepat.
“Mayang, kalau kamu mau, Om bisa bantu kamu masuk ke akademi keperawatan. Om yang tanggung semua biayanya,” katanya tanpa ragu.
Mayang terkejut, menatap Valdi dengan mata lebar.
“Om… itu terlalu merepotkan. Aku nggak bisa nerima bantuan sebesar itu,” jawabnya, suaranya terdengar gugup.
Valdi menghela napas, tetap tenang. “Ah, enggak kok, santai aja, mau ya?” ujarnya dengan nada perhatian.
“Tapi, Om… aku nggak bermaksud nolak kebaikan Om. Aku cuma merasa ini terlalu berat… Aku nggak mau merepotkan Om,” katanya dengan suara rendah, merasa bingung dan bimbang.
Valdi menatapnya dalam-dalam. “Mayang, Om nggak merasa direpotkan. Om ingin kamu punya keahlian tambahan. Kalau kamu tetap di sini tanpa melakukan apa-apa, itu sama saja Om menyia-nyiakan waktu kamu. Tapi kalau kamu nggak mau, lebih baik kamu pulang saja,” katanya tegas.
Mayang terdiam, merasakan dorongan yang kuat dalam hati Valdi. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang menyentuh hatinya. Ia tahu Valdi benar-benar tulus ingin membantunya, tapi menerima bantuan sebesar itu terasa berat. Kenapa Om Valdi sebaik ini?… Kenapa dia begitu peduli? Atau ada maksud lain di balik semua ini? pikirnya, merasa campur aduk.
“Om… kenapa Om baik sekali sama aku?” tanya Mayang akhirnya, dengan suara pelan dan bingung. “Aku takut kalau aku menerimanya, aku nggak bisa membalas kebaikan Om.”
Valdi tersenyum lembut, sedikit tersentuh dengan kejujuran Mayang.
“Mayang, untuk wanita secantik kamu, sayang sekali kalau cuma tamatan SMA. Lagipula, ibu kamu udah nggak ada, kan? Jadi sekarang, Om rasa ini tanggung jawab Om buat bimbing kamu,” jawabnya tulus sambil menggenggam tangan Mayang dengan lembut.
Mayang menundukkan kepalanya, pipinya merona, lalu menatap Valdi dengan malu-malu.
“Makasih ya, Om, aku coba sebaik mungkin nggak ngecewain Om,” ujarnya pelan, suaranya penuh kehangatan dan rasa terima kasih yang mendalam.
Saat itu, Valdi menyadari betapa dekatnya mereka. Jarak antara mereka hampir tidak ada lagi. Dia bisa merasakan napas Mayang yang hangat di wajahnya, dan mata mereka bertemu dalam pandangan yang intens.
“Mayang…” bisiknya, suaranya nyaris bergetar.
Mayang mengangkat matanya, mata beningnya berkilauan di bawah cahaya lampu yang redup. Jantungnya berdegup kencang, hampir tak terkontrol. Dia bisa merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.
“Iya, Om…?” jawabnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Valdi menatapnya dengan dalam, perlahan mendekat, matanya tetap terpaku pada bibir Mayang yang sedikit terbuka.
“Kamu... kamu cantik sekali, Mayang,” kata Valdi dengan suara serak, jarak di antara mereka semakin dekat, dan aroma pheromone yang semakin kuat memenuhi udara di antara mereka.
Mayang merasa tubuhnya memanas, napasnya semakin berat. Ada sesuatu dalam sorot mata Valdi yang membuatnya terpaku, tak mampu bergerak, bahkan ketika wajah pria itu semakin mendekat. Di detik terakhir sebelum bibir mereka bertemu, dia merasakan desakan yang mendebarkan di dalam dadanya, seolah-olah waktu berhenti.
Rasa gugup dan getaran di hatinya membuat Mayang tak bisa menahan kebaperannya. Dengan perlahan, dia menundukkan kepalanya, menghindari pandangan Valdi, dan tanpa sadar menyandarkan kepalanya di dada pria itu. Detak jantung Valdi yang keras terdengar jelas di telinganya, seirama dengan jantungnya yang berdetak semakin cepat.
Tanpa berkata-kata, mereka meresapi momen ini. Keheningan di antara mereka begitu dalam, hanya diiringi oleh suara napas yang saling bersahutan. Perlahan, Valdi merangkul Mayang, merasakan kehangatan tubuh gadis itu di pelukannya, tangannya yang besar menyelimuti punggung Mayang dengan lembut.
Mayang memejamkan mata, merasakan kenyamanan yang aneh namun hangat mengalir di seluruh tubuhnya. Keberadaan Valdi terasa begitu dekat, begitu nyata. Perasaannya semakin kacau, tak tahu harus bagaimana atau apa yang harus dikatakan. Tetapi, dalam pelukan ini, dia merasa aman… dan mungkin sedikit lebih dari itu.
"Perasaan apa ini...?" pikirnya dalam hati. Jantungnya berdebar begitu cepat, lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. "Kenapa rasanya aku ingin tetap, di dekatnya…?"
Mayang merasakan desiran hangat di dadanya, seperti sebuah dorongan yang tak bisa ia jelaskan.
"Apakah ini... rasa sayang? Atau cinta? Apa ini yang dirasakan orang lain saat mereka mencintai?"
Semakin lama, perasaan itu makin kuat. Dia mencoba mencari jawaban dalam hatinya, namun yang ia temukan hanyalah keinginan untuk lebih dekat… lebih lama… bersama Valdi.
Valdi menatapnya, matanya yang tajam menyapu penampilan Debby. Ia tahu persis permainan apa yang sedang dimainkan oleh sekretarisnya ini. Biasanya, ia akan menikmati permainan itu. Tapi hari ini, pikirannya terlalu penuh oleh Intan.“Tim audit eksternal,” kata Valdi langsung. “Aku ingin tahu semua tentang ketua tim mereka, Intan.”Debby tampak sedikit kecewa karena Valdi tidak menanggapi godaannya. “Nona Intan, Pak?” ulangnya. “Informasi yang saya miliki terbatas. Beliau auditor senior dari firma Kreston Advisory, sangat profesional. Sejauh ini hanya itu, Pak.”Valdi mendengus, jelas tidak puas. “Hanya itu?”“Apa Bapak ingin saya mencari informasi lebih lanjut?” tawar Debby, melihat kesempatan untuk membuat atasannya terkesan.
“Kamu milikku Lana….milikku,” bisik Valdi, tangannya memegang pinggul Lana, memompanya dengan ritme yang ia sukai.Lana membungkuk, memeluk dan mencium Valdi dengan penuh gairah, payudaranya yang mungil menekan dada bidang pria itu. Keringat membasahi tubuh mereka, menyatukan aroma mereka menjadi satu. “Aku milikmu, Mas… selamanya… Lakukan apa pun padaku…” bisiknya di sela ciuman mereka yang panas.Valdi membiarkan Lana mengendalikan permainan untuk sementara waktu, menikmati pemandangan wanita itu yang kehilangan dirinya dalam kenikmatan. Ia memompa liang Lana tanpa ampun sampai wanita itu kembali menjerit, mencapai puncak kenikmatannya yang kedua, lalu yang ketiga. Setiap orgasme terasa lebih kuat dari sebelumnya, membuat Lana menangis dan tertawa pada saat yang bersamaan, kewalahan oleh badai sensasi yang diciptakan oleh Valdi.
Fajar menyingsing, sinarnya yang lembut menyelinap masuk, menyinari pemandangan kekacauan sensual di ruang keluarga. Valdi terbangun di atas sofa yang luas, tubuhnya terasa sedikit pegal namun luar biasa puas. Di sekelilingnya, terbaring tiga tubuh telanjang yang terkulai lemas dalam tidur yang sangat pulas. Mayang meringkuk di dadanya, napasnya yang polos berembus teratur. Farah tergeletak di sisinya, salah satu lengannya masih memeluk paha Valdi. Dan Ella, di karpet bawah, bersandar di sofa dengan senyum tipis di bibirnya yang tertidur.Mereka adalah piala kemenangannya, tiga budak yang telah ia hancurkan dan bentuk ulang sesuai kehendaknya. Dengan gerakan tanpa suara, Valdi meloloskan diri dari tumpukan tubuh itu. Ia berjalan menuju jendela, menatap matahari terbit. Permainan semalam adalah penegasan. Hierarki telah ditetapkan.Ia meninggalkan ruangan itu, b
Mayang, yang matanya sudah sepenuhnya sayu dan berkabut nafsu, mengangkat kepalanya. Ia baru saja mencapai puncak dari sentuhan tangannya sendiri, tubuhnya masih bergetar hebat. Mendengar nama tuannya, ia langsung menurut, seolah sebuah tali tak terlihat menariknya. Ia merangkak turun dari meja, tubuhnya yang telanjang berkilauan oleh keringat, bergerak di atas karpet tebal menuju sofa tempat Valdi duduk. Ia tidak lagi terlihat seperti gadis polos yang memasuki ruangan ini tadi sore; ia adalah perwujudan nafsu yang murni, seekor kucing betina yang siap menuruti setiap keinginan tuannya.Valdi meraih pergelangan tangannya, menariknya dengan lembut namun tegas hingga Mayang jatuh berlutut di antara kedua kakinya. Mayang mendongak, mata basahnya bertemu pandang dengan Valdi, memohon. Valdi tersenyum, senyum yang menjanjikan kenikmatan dan kepedihan sekaligus. Ia mencengkeram dagu Mayang, mendekatkan wajahnya,
Awalnya, sentuhan mereka ragu-ragu. Mayang terisak dalam diam, jemarinya yang mungil nyaris tak berani menyentuh liangnya yang polos. Farah, dengan api pemberontakan yang masih tersisa, menggesek biji kecilnya dengan gerakan kasar dan penuh amarah. Sementara Ella, dengan kepatuhan seorang budak, menyentuh batangnya yang kecil dengan gerakan mekanis, matanya menatap kosong ke langit-langit.Valdi hanya duduk di sofanya, menyesap wiski, mengamati mereka seperti seorang seniman yang sedang menilai karyanya. “Aku tidak menyuruh kalian bermalas-malasan,” desisnya, suaranya memecah keheningan. “Aku ingin melihat gairah. Aku ingin mendengar suara kalian. Buat aku percaya bahwa kalian menikmatinya.”Perintah itu adalah cambuk. Mereka mempercepat gerakan tangan mereka. Desahan-desahan kecil yang dipaksakan mulai terdengar, bercampur dengan isak t
Ia berhenti sejenak, membiarkan kengerian itu meresap, mengendap, dan mulai menggerogoti jiwa mereka. Ketiganya hanya bisa terdiam, air mata mengalir semakin deras, napas tertahan di dada.“Dan jangan berhenti,” lanjut Valdi, suaranya menajam seperti bilah pisau. “Jangan pernah berhenti sampai aku bilang cukup. Mengerti?”Sebuah bisikan "mengerti" yang nyaris tak terdengar keluar dari bibir mereka yang gemetar. Perintah itu mengukir dirinya di relung jiwa mereka, sebuah cap kepemilikan.Dengan tangan gemetar, mereka memulai siksaan itu. Farah, dengan sifat liarnya yang tak pernah padam, memulai dengan kasar, jemarinya langsung menekan biji kecilnya yang sensitif dengan gerakan frustrasi, seolah ingin melampiaskan semua amarah dan ketidakberdayaannya. Geminjalnya terasa begitu cepat, menggosok