Wahyu mendongak, matanya yang kabur berusaha mengenali sosok itu. Perlahan, siluet itu melangkah maju, menembus cahaya remang, dan wajah Valdi pun terlihat jelas. Senyum tipis, menyebalkan, terukir di bibirnya. Auranya begitu kuat, memenuhi setiap sudut ruangan, membuat udara terasa lebih berat. Udin Gondrong yang barusan garang, mendadak berubah. Tubuhnya membungkuk hormat, senyumnya langsung mengembang, nyaris menjilat.
Farah menatap Valdi, matanya sedikit membelalak. Ia tahu apa yang Valdi maksud. Pria itu menyeringai, senyum kecilnya terlihat begitu menggoda sekaligus menuntut. Tubuh Farah sudah basah kuyup oleh keringat dan cairan mereka, namun jantungnya berdebar bukan karena kelelahan, melainkan antisipasi mendebarkan.Dengan gerakan halus namun pasti, Valdi menarik salah satu kaki Farah lebih tinggi, hingga lututnya hampir menyentuh dada. Tubuh Farah kini teregang sepenuhnya, bagian belakangnya terangkat dan terbuka lebar, mengundang. Valdi berlutut di antara kedua kaki Farah, tangannya bergerak cepat meraih tas kecil di sampingnya. Dari sana, ia mengeluarkan sebotol kecil gel pelumas transparan dan mengoleskannya ke seluruh kejantanannya yang masih berdiri kokoh dan memerah, serta ke ujung jari telunjuknya.Farah menatap Valdi dengan napas tertahan. Ada sesuatu di tatapan pria itu yang membuatnya merinding, perpaduan antara gairah buas dan senyum kemenangan. Ia tahu, Valdi akan melakukan sesua
“Ah… Tuan…” gumam Farah, suaranya tercekat. Ia ingin lebih, seluruh tubuhnya meronta meminta sentuhan Valdi yang lebih dalam. Mata mereka bertemu. Mata Valdi memancarkan hasrat yang membara, memenjarakan Farah dalam tatapannya. Tanpa ragu, Valdi menundukkan kepalanya, mencium bibir Farah.Ciuman itu dimulai lembut, perlahan, memabukkan. Valdi menyesap bibir bawah Farah, mengulumnya, lalu lidahnya mulai menjelajahi setiap sudut rongga mulut Farah. Lidah mereka menari, beradu, menciptakan suara kecapan basah yang memanaskan suasana. Farah merespons dengan tak kalah liarnya. Tangannya naik, mencengkeram erat rambut belakang Valdi, menariknya mendekat, seolah ingin menyatu dengan pria itu.Sementara bibir mereka beradu dalam tarian gila, tangan Valdi tak tinggal diam. Jari-jarinya yang tadi bermain di biji Farah kini bergerak lebih berani. Ia menyelipkan satu jari, lalu dua jari, masuk ke dalam gua Farah yang sudah basah kuyup dan hangat. Farah terkesiap, lenguhan keras lolos dari bibirny
Pintu Alphard yang lapang itu tertutup pelan di belakang mereka, meredam hiruk pikuk jalanan ibu kota. Valdi menuntun Farah masuk, mendudukkannya di kursi belakang yang empuk, kemudian ikut bergabung di sebelahnya. Farah masih gemetar, pelukannya di pinggang Valdi belum lepas. Air mata mengalir deras dari matanya, membasahi kemeja pria itu. Bukan hanya air mata kesedihan, tapi juga kemarahan, kekesalan, dan rasa jijik yang campur aduk terhadap Wahyu. Ia benci pada suaminya itu, benci pada Udin Gondrong, dan benci pada seluruh situasi yang membuat harga dirinya diinjak-injak seperti barang murahan. Valdi membiarkan Farah menangis sebentar di bahunya, tangannya mengusap lembut punggung wanita itu, sesekali meremas sensual lekuk pinggangnya. Aroma kulit mewah di interior mobil bercampur wangi parfum Valdi yang maskulin, entah kenapa, semakin menenangkan sekaligus menggelorakan isi hati Farah. “Dia… dia jahat, Tuan… saya benci dia!” bisik Farah di antara isak tangisnya. Suaranya serak,
Wahyu mendongak, matanya yang kabur berusaha mengenali sosok itu. Perlahan, siluet itu melangkah maju, menembus cahaya remang, dan wajah Valdi pun terlihat jelas. Senyum tipis, menyebalkan, terukir di bibirnya. Auranya begitu kuat, memenuhi setiap sudut ruangan, membuat udara terasa lebih berat. Udin Gondrong yang barusan garang, mendadak berubah. Tubuhnya membungkuk hormat, senyumnya langsung mengembang, nyaris menjilat.
Dan kartu itu… adalah kartu mati. Angka enam keriting. Jauh dari apa yang Wahyu butuhkan. Jauh dari angka kemenangan yang bisa menyelamatkan Farah. Seketika, seluruh dunia Wahyu runtuh. Tubuhnya terasa hampa, kosong, seolah jiwanya dihisap keluar dari raga. Satu miliar, uang terakhirnya, lenyap dalam sekejap mata.Seluruh ruko yang tad
“Wah, Mas Wahyu… mainnya ganas banget malam ini, Mas?” Sebuah suara lembut, mendayu, menyapa dari belakang. Wahyu menoleh. Seorang wanita berbalut dress ketat merah menyala, belahan dadanya nyaris tumpah, bibirnya merah menyala, dan matanya menggoda. Rambutnya dicat pirang terang, mengombak indah. Dia duduk di samping Wahyu, menempelkan pinggulnya.