Aku buru-buru menarik napas, berusaha menenangkan debaran jantungku. Langkah kaki itu semakin dekat, terdengar jelas di lorong luar ruangan kantorku.
“Imron, sialan,” bisikku pelan, mencoba menahan kekesalan yang bercampur panik.
“Imron? Security?” Fiona berbisik dengan nada setengah khawatir, matanya membulat.
Aku mengangguk cepat. “Iya, dia sering patroli malam buat ngecek keadaan.”
Tanpa membuang waktu, aku segera merapikan celanaku, menyelipkan kembali kemejaku ke dalam. Fiona, meskipun wajahnya masih memerah, bergerak cepat mengancingkan kembali blousenya dan merapikan rok yang kusut. Tangan-tangan kami bergetar karena adrenalin yang masih menguasai tubuh, namun kami tetap berusaha bergerak senyap.
Langkah kaki itu semakin dekat, lalu berhenti tepat di depan pintu. Suasana di dalam ruangan langsung berubah mencekam. Napas Fiona terdengar memburu di sebelahku, tubuhnya sedikit gemetar.
“Tok… tok… tok…”
Suara ketukan pintu menggema di ruangan yang kini terasa begitu sunyi. Aku menahan napas, tubuhku menegang. Fiona melirikku dengan wajah penuh kecemasan, tetapi dia tetap diam di tempat.
“Pak Kai? Ini saya, Imron.” Suara itu terdengar berat, khas suaranya yang selalu tenang.
Aku menarik napas pelan, mencoba menguasai diri. “Ya, ada apa, Ron?” jawabku, mencoba membuat suaraku terdengar biasa saja.
Aku berjalan ke arah pintu, membuka pintu namun tidak sepenuhnya, dan melihat Imron berdiri di sana. Wajahnya tampak sedikit bingung, seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“Maaf mengganggu, Pak Kai,” katanya sambil menundukkan kepala dengan sopan. “Saya cuma ingin memastikan keadaan, karena yang masih lembur malam ini hanya dua orang—Bapak dan Ibu Fiona. Tapi tadi, waktu saya cek ke ruangan Ibu Fiona, beliau tidak ada.”
Aku tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana dan menyembunyikan kegugupanku. “Oh, iya. Fiona memang baru saja ke sini. Kami sedang diskusi soal laporan. Sebentar lagi juga selesai, kok.”
Imron mengangguk perlahan, meskipun raut wajahnya masih terlihat agak bingung. “Baik, Pak. Kalau begitu, saya lanjut patroli. Mohon maaf kalau tadi mengganggu.”
“Nggak apa-apa, Ron. Terima kasih ya,” jawabku sambil tersenyum, menutup pintu dengan perlahan.
Begitu aku memastikan langkah kaki Imron menjauh, aku menghela napas panjang, mencoba melepaskan ketegangan. Aku berbalik, melihat Fiona yang sudah duduk menghadap laptopnya lagi, berusaha terlihat tenang.
Aku berjalan mendekati Fiona yang masih duduk di depan laptop, tubuhnya terlihat berusaha rileks meskipun aku tahu dia masih memikirkan kejadian barusan. Aku berdiri di sampingnya, lalu menggiring rambutnya yang sedikit menutupi wajah. Fiona mendongak, menatapku sambil tersenyum kecil, helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang masih merah karena ciuman tadi.
Tanganku bergerak perlahan ke wajahnya, menangkup pipinya dengan lembut. Jempolku mengusap garis wajahnya, membelai pipinya dengan penuh kehangatan. Fiona menutup matanya sejenak, lalu menekan wajahnya ke telapak tanganku, seolah mencari kenyamanan.
Dia meraih tubuhku, memeluk bagian bawah tubuhku dengan manja. “Ahhh… kenapa tadi ada yang ganggu?” gumamnya pelan, nadanya penuh rasa kesal yang menggemaskan.
Aku terkekeh kecil, tanganku mengusap rambutnya, membelai lembut puncak kepalanya. Tapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kejantananku yang masih keras di balik celana kini terhimpit pipi Fiona. Dia juga menyadarinya.
“Kamu belum keluar ya, Kai?” tanya Fiona, suara manjanya berubah menjadi bisikan yang lebih perhatian.
Aku menurunkan tubuhku, menyetarakan posisi kami memastikan wajahku sejajar dengannya. Wajah kami hanya beberapa sentimeter berjarak, dan aku mengecup bibirnya singkat. Ciuman kami hanya berlangsung sebentar, tapi cukup untuk menghidupkan kembali percikan yang tadi sempat terhenti.
“Kalau kamu mau,” kataku sambil tersenyum, menatap matanya yang penuh gairah. “Masih banyak waktu, kok. Aku masih bisa nahan.”
Fiona langsung memelukku erat, tubuhnya melekat padaku, detak jantungnya terasa cepat dan tak beraturan, seperti kejantananku. Suara napasnya yang berat terdengar di telingaku.
“Aku masih pengen, Kai,” bisiknya pelan tapi penuh intensitas.
Aku menutup mataku sejenak, mencoba mengendalikan diri. “Memangnya kamu nggak akan dicari Nanta?” tanyaku, mencoba mengembalikan logika ke percakapan ini, meskipun aku pun tidak ingin berhenti.
Fiona melepaskan pelukannya sedikit, tapi tangannya masih melingkar di leherku. Dia menatapku dengan senyuman tipis, hampir seperti ejekan. “Dia nggak peduli aku pulang jam berapapun juga,” jawabnya dengan nada datar.
Aku terdiam sejenak, membaca raut wajahnya. Ada sesuatu di balik kata-katanya—sesuatu yang menyerupai kelelahan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan suasana yang kembali memanas.
“Kalau gitu, kita makan dulu, Fi. Aku masih lapar,” kataku akhirnya, mencoba mengalihkan perhatian ke sesuatu yang lebih ringan.
Fiona meregangkan pelukannya, lalu mengecup bibirku sekali lagi. Ciuman itu singkat, tapi penuh kehangatan. Dia menatapku dengan senyuman mesra dan mengangguk.
“Oke,” katanya, suaranya terdengar lebih ringan sekarang. “Street food aja ya,” lanjutnya sambil tersenyum kecil.
Aku mengangguk setuju. Kami mulai membereskan barang-barang kami—laptop, dokumen, dan tas—lalu berjalan bersama keluar dari kantor. Langkah kami beriringan menyusuri koridor yang sepi, hanya terdengar suara langkah kaki kami yang bergema di lantai marmer.
“Kamu udah lihat laporanku?” tanya Fiona, memecah keheningan.
Aku menoleh padanya sambil terkekeh kecil. “Alasan,” sindirku, menatapnya tajam dengan nada bercanda.
Fiona tertawa kecil, suara tawanya terdengar ringan. Dia menyenggol lenganku dengan tubuhnya, sengaja menggoda. “Ya ampun, Kai. Beneran kok, itu laporan serius. Kamu emang nggak percaya aku, ya?”
Aku hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, memilih tidak membalas.
“Eh, kamu bawa mobil?” tanyaku saat kami hampir sampai di pintu keluar.
“Enggak, udah beberapa bulan ini aku naik MRT. Lebih enak, nggak macet,” jawabnya santai.
“Oh, oke,” balasku singkat, sambil melirik ke arahnya.
Saat kami keluar dari area perkantoran, aku melihat Imron berdiri di pos keamanan dekat pintu keluar. Seketika aku merasa sedikit kikuk, tapi segera merogoh dompetku, mengeluarkan uang seratus ribu dan melipatnya kecil-kecil di telapak tanganku.
“Sudah mau pulang, Pak Kai? Bu Fiona?” sapa Imron sopan, menganggukkan kepala ke arah kami.
“Iya, Ron, udah. Yang lain kemana?” tanyaku sambil mendekatinya.
“Seperti biasa, keliling di beberapa titik, Pak,” jawab Imron.
Aku mengangguk sambil menyodorkan uang seratus ribu yang kulipat tadi, menyelipkannya ke telapak tangan Imron. “Ini buat beli kopi sama rokok, STMJ juga kalau perlu. Biar nggak masuk angin malam-malam begini.”
Imron terkejut, buru-buru menolak. “Ah, Pak Kai, nggak usah repot-repot. Saya—”
“Sudah, Ron. Santai aja. Udah lama saya nggak traktir kalian. Kapan-kapan kita ngobrol lagi,” kataku sambil tersenyum kecil, lalu menepuk pundaknya.
“Siap, Pak. Wah, terima kasih banyak!” Imron tampak lega dan senang. “Hati-hati di jalan, Pak. Bu Fiona juga, hati-hati di MRT-nya ya.”
Fiona hanya mengangguk kecil sambil sibuk dengan ponselnya. Dia memang tidak terlalu ramah ke semua orang, sesuatu yang sudah kukenal darinya.
Kami berjalan menuju basement, langkah kami lebih santai sekarang. Aku membuka pintu mobil Pajero Sportku, dan Fiona langsung masuk ke kursi penumpang.
“Jadi, mau makan apa?” tanyaku sambil memasukkan kunci ke dalam kontak.
“Hmmm…” Fiona berpikir sejenak, menatap ke depan dengan senyum kecil. “Nggak mau yang berat-berat, deh. Kayaknya jagung bakar enak,” jawabnya akhirnya.
“Jagung bakar? Oke, aku tahu tempat yang bagus,” balasku sambil menyalakan mesin mobil.
Aku melajukan mobil perlahan keluar dari basement gedung. Lampu-lampu kota mulai menyala di sepanjang jalan, menciptakan suasana malam yang hangat. Kami melewati beberapa perempatan, berbicara ringan soal kerjaan dan obrolan santai lainnya.
Namun, ketika akan berhenti di salah satu perempatan, aku melihat sesuatu yang membuatku terdiam sesaat. Dari kejauhan, sebuah mobil sedan hitam mendekat, dan aku mengenali mobil itu. Itu mirip sekali dengan mobil Nanta.
“Fi, nopol mobil kamu berapa?” tanyaku tiba-tiba, nada suaraku berubah serius.
Fiona menoleh padaku, terlihat bingung. “Hmmm, 5269 DHU. Kenapa?”
Aku menunjuk ke depan dengan dagu. “Itu mobil Nanta, deh. Kayaknya betul nggak?”
Fiona menoleh ke arah yang kutunjukkan, dan wajahnya langsung berubah tegang. Dia tersentak, lalu tanpa banyak bicara langsung merebahkan kepalanya ke pangkuanku, tubuhnya sedikit gemetar.
“Fi! Kamu ngapain?” tanyaku panik sambil tetap mencoba fokus ke jalan.
Rahasia itu—momen terlarang di kantorku bersama Fiona—masih menjadi kartu truf di tangannya. Tapi aku tidak mau kalah begitu saja, tidak di hadapan wanita ini. Harga diriku sebagai seorang pria memberontak. Aku menyunggingkan senyum kecil, senyum yang dipaksakan namun berusaha terlihat percaya diri. Aku mencoba membalik situasi, bermain api dengannya.“Terus terang, aku nggak takut, Mbak,” balasku dengan nada santai, meski ada sedikit rasa gugup yang kututupi dengan baik. Aku berusaha menatap matanya tanpa gentar, menantangnya secara halus. “Aku sudah pasrah, Mbak. Pasrah diapain aja sama Mbak.” Aku menatapnya dengan ekspresi setengah menggoda, setengah menantang, berharap dia terpancing dengan keberanian palsuku ini.Mulutnya terbuka sedikit, terkejut dengan respons yang mungkin tidak dia duga. Kemudian, Narnia terkekeh keci
Pak Desmond melirikku sekilas sambil tetap memainkan ponsel di tangannya. “Hmm… apa itu, Kai?” tanyanya tanpa menoleh.Aku melirik Narnia, yang kini berdiri di sudut ruangan, bersandar di meja kecil sambil melipat kedua tangannya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dan aku bisa melihat dari matanya bahwa dia sedang memperhatikan dengan seksama, meskipun dia berusaha terlihat santai.“Papa dulu apa sering ke panti asuhan tempat saya dibesarkan? Maksud saya, apakah Papa pernah terlibat sebagai donatur, atau ada kaitan lain?” tanyaku, mencoba menyusun kata sehalus mungkin.Pak Desmond seketika melirikku. Gerakannya perlahan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia kembali menunduk ke arah ponselnya, namun aku bisa melihat ekspresinya berubah sedikit. Raut wajahnya menunjukkan keraguan
Aku menghela napas pendek sebelum membalas. “Urusan kerjaan, Fi. Sebentar aku ke ruangan kamu.”
“Cukup,” ucapku, suaraku rendah namun terdengar jelas di seluruh ruangan. “Saya paham semua kekhawatiran Anda, dan saya tidak akan menyangkal bahwa kita menghadapi risiko besar. Tapi saya ingin kita semua kembali pada fakta utama di sini. Formula Omega-3 mereka sudah bocor. Kita kalah satu langkah. Jika kita tidak segera meluncurkan FA-15, kita tidak hanya kalah di pasar, tapi juga kehilangan kepercayaan konsumen.”
Aku membuka pintu ruangan meeting dengan tegas, ruangan meeting yang minimalis modern dengan sentuhan kayu di dinding dan lampu gantung yang memberikan pencahayaan hangat, kini terasa dingin oleh ketegangan yang memenuhi udara. Meja besar berbentuk persegi panjang, cukup panjang untuk menampung banyak orang, dan beberapa direksi yang hadir mendominasi ruangan meeting itu. Di ujung meja, Pak Desmond duduk di kursi CEO-nya dengan wajah serius. Tangannya bertumpu di dagu, tatapannya tajam, dan alisnya berkerut. Di sekelilingnya, delapan direksi lainnya tampak sibuk berdiskusi—atau lebih tepatnya, berdebat sengit.Begitu aku melangkah masuk, suara mereka mereda. Semua kepala menoleh ke arahku, tatapan mereka seperti tombak yang dilemparkan langsung ke dadaku.“Siang semua. Maaf saya baru bisa hadir,” kataku, mencoba menjaga nada t
Dia mengangguk cepat, matanya terpejam menikmati setiap gesekan. "Banget, Kai… jangan berhenti…"Aku mempercepat gerakanku lagi, kali ini dengan ritme yang lebih lambat tapi lebih dalam. Aku bisa merasakan setiap inci kejantananku memenuhi lubang kenikmatannya, menggesek setiap titik sensitif di dalam lubangnya. Erangan Livia kembali terdengar, kali ini lebih dalam dan lebih berat."Kai… ahhh… itu… di situ…" desahnya sambil menggerakkan pinggulnya mengikuti gerakanku.Aku tahu titik mana yang dimaksudnya. Aku fokus menyerang titik itu, memompa lebih keras dan lebih dalam di sana. Livia menjerit lagi, tubuhnya menegang, tapi kali ini bukan orgasme. Kali ini, dia hanya menahan napas, menikmati setiap tusukan yang tepat sasaran.Aku