Share

Bab 08

Author: kodav
last update Last Updated: 2025-07-03 00:42:07

Aku buru-buru menarik napas, berusaha menenangkan debaran jantungku. Langkah kaki itu semakin dekat, terdengar jelas di lorong luar ruangan kantorku.

“Imron, sialan,” bisikku pelan, mencoba menahan kekesalan yang bercampur panik.

“Imron? Security?” Fiona berbisik dengan nada setengah khawatir, matanya membulat.

Aku mengangguk cepat. “Iya, dia sering patroli malam buat ngecek keadaan.”

Tanpa membuang waktu, aku segera merapikan celanaku, menyelipkan kembali kemejaku ke dalam. Fiona, meskipun wajahnya masih memerah, bergerak cepat mengancingkan kembali blousenya dan merapikan rok yang kusut. Tangan-tangan kami bergetar karena adrenalin yang masih menguasai tubuh, namun kami tetap berusaha bergerak senyap.

Langkah kaki itu semakin dekat, lalu berhenti tepat di depan pintu. Suasana di dalam ruangan langsung berubah mencekam. Napas Fiona terdengar memburu di sebelahku, tubuhnya sedikit gemetar.

“Tok… tok… tok…”

Suara ketukan pintu menggema di ruangan yang kini terasa begitu sunyi. Aku menahan napas, tubuhku menegang. Fiona melirikku dengan wajah penuh kecemasan, tetapi dia tetap diam di tempat.

“Pak Kai? Ini saya, Imron.” Suara itu terdengar berat, khas suaranya yang selalu tenang.

Aku menarik napas pelan, mencoba menguasai diri. “Ya, ada apa, Ron?” jawabku, mencoba membuat suaraku terdengar biasa saja.

Aku berjalan ke arah pintu, membuka pintu namun tidak sepenuhnya, dan melihat Imron berdiri di sana. Wajahnya tampak sedikit bingung, seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

“Maaf mengganggu, Pak Kai,” katanya sambil menundukkan kepala dengan sopan. “Saya cuma ingin memastikan keadaan, karena yang masih lembur malam ini hanya dua orang—Bapak dan Ibu Fiona. Tapi tadi, waktu saya cek ke ruangan Ibu Fiona, beliau tidak ada.”

Aku tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana dan menyembunyikan kegugupanku. “Oh, iya. Fiona memang baru saja ke sini. Kami sedang diskusi soal laporan. Sebentar lagi juga selesai, kok.”

Imron mengangguk perlahan, meskipun raut wajahnya masih terlihat agak bingung. “Baik, Pak. Kalau begitu, saya lanjut patroli. Mohon maaf kalau tadi mengganggu.”

“Nggak apa-apa, Ron. Terima kasih ya,” jawabku sambil tersenyum, menutup pintu dengan perlahan.

Begitu aku memastikan langkah kaki Imron menjauh, aku menghela napas panjang, mencoba melepaskan ketegangan. Aku berbalik, melihat Fiona yang sudah duduk menghadap laptopnya lagi, berusaha terlihat tenang. 

Aku berjalan mendekati Fiona yang masih duduk di depan laptop, tubuhnya terlihat berusaha rileks meskipun aku tahu dia masih memikirkan kejadian barusan. Aku berdiri di sampingnya, lalu menggiring rambutnya yang sedikit menutupi wajah. Fiona mendongak, menatapku sambil tersenyum kecil, helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang masih merah karena ciuman tadi.

Tanganku bergerak perlahan ke wajahnya, menangkup pipinya dengan lembut. Jempolku mengusap garis wajahnya, membelai pipinya dengan penuh kehangatan. Fiona menutup matanya sejenak, lalu menekan wajahnya ke telapak tanganku, seolah mencari kenyamanan.

Dia meraih tubuhku, memeluk bagian bawah tubuhku dengan manja. “Ahhh… kenapa tadi ada yang ganggu?” gumamnya pelan, nadanya penuh rasa kesal yang menggemaskan.

Aku terkekeh kecil, tanganku mengusap rambutnya, membelai lembut puncak kepalanya. Tapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kejantananku yang masih keras di balik celana kini terhimpit pipi Fiona. Dia juga menyadarinya.

“Kamu belum keluar ya, Kai?” tanya Fiona, suara manjanya berubah menjadi bisikan yang lebih perhatian.

Aku menurunkan tubuhku, menyetarakan posisi kami memastikan wajahku sejajar dengannya. Wajah kami hanya beberapa sentimeter berjarak, dan aku mengecup bibirnya singkat. Ciuman kami hanya berlangsung sebentar, tapi cukup untuk menghidupkan kembali percikan yang tadi sempat terhenti.

“Kalau kamu mau,” kataku sambil tersenyum, menatap matanya yang penuh gairah. “Masih banyak waktu, kok. Aku masih bisa nahan.”

Fiona langsung memelukku erat, tubuhnya melekat padaku, detak jantungnya terasa cepat dan tak beraturan, seperti kejantananku. Suara napasnya yang berat terdengar di telingaku.

“Aku masih pengen, Kai,” bisiknya pelan tapi penuh intensitas.

Aku menutup mataku sejenak, mencoba mengendalikan diri. “Memangnya kamu nggak akan dicari Nanta?” tanyaku, mencoba mengembalikan logika ke percakapan ini, meskipun aku pun tidak ingin berhenti.

Fiona melepaskan pelukannya sedikit, tapi tangannya masih melingkar di leherku. Dia menatapku dengan senyuman tipis, hampir seperti ejekan. “Dia nggak peduli aku pulang jam berapapun juga,” jawabnya dengan nada datar.

Aku terdiam sejenak, membaca raut wajahnya. Ada sesuatu di balik kata-katanya—sesuatu yang menyerupai kelelahan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan suasana yang kembali memanas.

“Kalau gitu, kita makan dulu, Fi. Aku masih lapar,” kataku akhirnya, mencoba mengalihkan perhatian ke sesuatu yang lebih ringan.

Fiona meregangkan pelukannya, lalu mengecup bibirku sekali lagi. Ciuman itu singkat, tapi penuh kehangatan. Dia menatapku dengan senyuman mesra dan mengangguk.

“Oke,” katanya, suaranya terdengar lebih ringan sekarang. “Street food aja ya,” lanjutnya sambil tersenyum kecil.

Aku mengangguk setuju. Kami mulai membereskan barang-barang kami—laptop, dokumen, dan tas—lalu berjalan bersama keluar dari kantor. Langkah kami beriringan menyusuri koridor yang sepi, hanya terdengar suara langkah kaki kami yang bergema di lantai marmer.

“Kamu udah lihat laporanku?” tanya Fiona, memecah keheningan.

Aku menoleh padanya sambil terkekeh kecil. “Alasan,” sindirku, menatapnya tajam dengan nada bercanda.

Fiona tertawa kecil, suara tawanya terdengar ringan. Dia menyenggol lenganku dengan tubuhnya, sengaja menggoda. “Ya ampun, Kai. Beneran kok, itu laporan serius. Kamu emang nggak percaya aku, ya?”

Aku hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, memilih tidak membalas.

“Eh, kamu bawa mobil?” tanyaku saat kami hampir sampai di pintu keluar.

“Enggak, udah beberapa bulan ini aku naik MRT. Lebih enak, nggak macet,” jawabnya santai.

“Oh, oke,” balasku singkat, sambil melirik ke arahnya.

Saat kami keluar dari area perkantoran, aku melihat Imron berdiri di pos keamanan dekat pintu keluar. Seketika aku merasa sedikit kikuk, tapi segera merogoh dompetku, mengeluarkan uang seratus ribu dan melipatnya kecil-kecil di telapak tanganku.

“Sudah mau pulang, Pak Kai? Bu Fiona?” sapa Imron sopan, menganggukkan kepala ke arah kami.

“Iya, Ron, udah. Yang lain kemana?” tanyaku sambil mendekatinya.

“Seperti biasa, keliling di beberapa titik, Pak,” jawab Imron.

Aku mengangguk sambil menyodorkan uang seratus ribu yang kulipat tadi, menyelipkannya ke telapak tangan Imron. “Ini buat beli kopi sama rokok, STMJ juga kalau perlu. Biar nggak masuk angin malam-malam begini.”

Imron terkejut, buru-buru menolak. “Ah, Pak Kai, nggak usah repot-repot. Saya—”

“Sudah, Ron. Santai aja. Udah lama saya nggak traktir kalian. Kapan-kapan kita ngobrol lagi,” kataku sambil tersenyum kecil, lalu menepuk pundaknya.

“Siap, Pak. Wah, terima kasih banyak!” Imron tampak lega dan senang. “Hati-hati di jalan, Pak. Bu Fiona juga, hati-hati di MRT-nya ya.”

Fiona hanya mengangguk kecil sambil sibuk dengan ponselnya. Dia memang tidak terlalu ramah ke semua orang, sesuatu yang sudah kukenal darinya.

Kami berjalan menuju basement, langkah kami lebih santai sekarang. Aku membuka pintu mobil Pajero Sportku, dan Fiona langsung masuk ke kursi penumpang.

“Jadi, mau makan apa?” tanyaku sambil memasukkan kunci ke dalam kontak.

“Hmmm…” Fiona berpikir sejenak, menatap ke depan dengan senyum kecil. “Nggak mau yang berat-berat, deh. Kayaknya jagung bakar enak,” jawabnya akhirnya.

“Jagung bakar? Oke, aku tahu tempat yang bagus,” balasku sambil menyalakan mesin mobil.

Aku melajukan mobil perlahan keluar dari basement gedung. Lampu-lampu kota mulai menyala di sepanjang jalan, menciptakan suasana malam yang hangat. Kami melewati beberapa perempatan, berbicara ringan soal kerjaan dan obrolan santai lainnya.

Namun, ketika akan berhenti di salah satu perempatan, aku melihat sesuatu yang membuatku terdiam sesaat. Dari kejauhan, sebuah mobil sedan hitam mendekat, dan aku mengenali mobil itu. Itu mirip sekali dengan mobil Nanta.

“Fi, nopol mobil kamu berapa?” tanyaku tiba-tiba, nada suaraku berubah serius.

Fiona menoleh padaku, terlihat bingung. “Hmmm, 5269 DHU. Kenapa?”

Aku menunjuk ke depan dengan dagu. “Itu mobil Nanta, deh. Kayaknya betul nggak?”

Fiona menoleh ke arah yang kutunjukkan, dan wajahnya langsung berubah tegang. Dia tersentak, lalu tanpa banyak bicara langsung merebahkan kepalanya ke pangkuanku, tubuhnya sedikit  gemetar.

“Fi! Kamu ngapain?” tanyaku panik sambil tetap mencoba fokus ke jalan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 139

    “Aku memanggil kalian ke sini,” lanjut Tanika, “bukan untuk meminta maaf atau meminta belas kasihan. Aku memanggil kalian ke sini untuk memberikan restuku.”Dia memberi isyarat pada Serenity untuk mendekat. Serenity, yang biasanya begitu liar dan percaya diri, melangkah maju dengan ragu, seperti anak kecil yang dipanggil oleh kepala sekolah. Dia berlutut di samping kursi roda Tanika.“Serenity,” kata Tanika lembut. “Kau adalah apinya. Gairah yang murni dan tak terkendali. Di dalam dirimu, tumbuh seorang pejuang. Jangan biarkan dunia memadamkan api itu. Ajari dia untuk menjadi kuat dan berani.”Tanika meletakkan tangannya yang kurus di atas perut Serenity. Serenity terkesiap, lalu menangis tersedu-sedu, membenamkan wajahnya di pangkuan Tanika.

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 138

    Matahari terbit di Maladewa terasa berbeda hari ini. Bukan lagi janji akan hari yang baru dan penuh harapan, melainkan pengingat yang kejam akan senja yang semakin dekat. Setiap kilau keemasan yang menari di permukaan laut yang tenang adalah sebutir pasir yang jatuh dari jam waktu Tanika, jam waktu kami.Aku terbangun sebelum dia. Aku tidak tidur semalaman. Aku hanya memandangnya, mencoba menghafal setiap detail wajahnya yang damai dalam tidurnya. Lekuk bibirnya, bulu matanya yang lentik, helai rambut yang jatuh di pipinya. Aku membelainya dengan ujung jariku, begitu lembut, takut sentuhanku akan membangunkannya, takut kehilangan satu detik pun dari kedamaian ini.Penolakannya atas pengorbananku tadi malam bukanlah sebuah akhir dari perdebatan. Itu adalah sebuah pernyataan. D

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 137

    Maladewa, hari ketujuh. Sebuah lukisan melankolis yang diwarnai awan kelabu tipis, seolah langit itu sendiri ikut merasakan beban waktu kami yang hampir habis. Kami, kuas yang gemetar, sedang menggoreskan perpisahan di kanvas senja. Kami menghabiskan sepanjang hari di dalam vila, seolah ingin menghentikan waktu dengan menolak untuk keluar, terperangkap dalam gelembung keindahan yang rapuh.Tidak ada lagi gairah yang liar dan eksplosif seperti di awal minggu. Yang ada hanyalah keintiman yang lambat, putus asa, dan begitu dalam, setiap sentuhan adalah sebuah usaha untuk menunda ketiadaan. Kami bercinta seolah-olah itu adalah napas terakhir kami, setiap desahan adalah sebuah doa untuk waktu yang tak akan pernah kembali. Aku akan menatap mata Tanika selama berjam-jam, mencoba menghafal setiap binar, setiap helai bulu matanya yang lentik, seolah ingin memahatnya ke dalam ingatanku agar tak pernah pudar. Tangank

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 136

    Dia menarikku ke lantai dansa yang ramai, di mana tubuh-tubuh berdesakan dan lampu-lampu strobo berkedip-kedip, menciptakan ilusi gerakan yang terputus-putus. Dia menekan tubuhnya ke tubuhku, pinggulnya yang lentur bergerak melingkar, menggesek selangkanganku dengan ritme musik yang menghentak. Panas tubuhnya menembus pakaian kami, dan aku bisa merasakan gesekan bokongnya yang montok di kejantananku yang masih menegang.“Semua orang melihat kita,” bisikku di telinganya, napasku memburu, tanganku melingkari pinggangnya erat.“Aku tahu,” balasnya, napasnya sama memburunya. Dia mendongak, matanya menatap mataku, penuh gairah yang membakar. “Aku ingin mereka melihatmu. Aku ingin mereka melihat bagaimana kau menginginkanku. Bagaimana aku menginginkanmu.”Di tengah kerumunan yang berden

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 135

    Setelah malam pengakuan yang menguras jiwa aku pikir hari-hari kami di surga ini akan diisi dengan keheningan yang nyaman dan keintiman yang lembut. Aku salah. Aku telah membebaskan Tanika dari penjaranya, penjara yang ia bangun sendiri dari rasa takut dan ekspektasi. Tapi aku lupa, seekor burung yang terlalu lama dikurung, saat akhirnya terbang, tidak akan terbang dengan tenang. Dia akan terbang dengan liar, dengan sayap mengepak gila-gilaan, ingin merasakan setiap embusan angin yang selama ini terlarang.Pagi harinya, setelah sesi bercinta yang lambat dan penuh perasaan, yang membuat kami berdua terengah-engah dan berkeringat, Tanika menyandarkan kepalanya di dadaku. Jemarinya yang lentik memainkan bulu-bulu tipis di dadaku, sementara napasnya yang hangat meniup di kulitku. Setelah beberapa saat keheningan yang nyaman, dia mendongak, menatapku dengan mata berbinar, sebuah kilatan nakal yang belum pernah

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 134

    Aku menatap payudaranya yang indah, membusung sempurna, dengan puting yang sudah menegang dan merona merah muda. Dengan napas tertahan, aku menghisap putingnya yang keras dengan rakus, lidahku memutar dan menariknya lembut, membuat Tanika mendesah namaku berulang kali, suaranya tercekat di tenggorokan. Jari-jariku memijat payudara sebelahnya, meremasnya lembut, memutar putingnya yang lain, memastikan sensasi yang sama mengalir di seluruh tubuhnya.Dia mengerang, punggungnya sedikit melengkung, pinggulnya terangkat dari daybed, mencari kontak yang lebih dalam. Tanganku bergerak turun, menjelajahi perutnya yang rata dan kencang. Aku mengecup pusarnya, merasakan panas dari sana, lalu semakin rendah, ke bawah pusar, mengelus bulu-bulu tipis di sana.Aku menatapnya, memastikan dia siap. Mata Tanika berkabut gairah, tatapannya memohon dan penuh kepercayaan. Aku memis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status