Aku menciumnya, kali ini aku yang menyerang. Bibir kami bertabrakan, saling melumat. Aku merasakan gairah yang sama menggebu-gebu dari dirinya. Isvara membalas ciumanku dengan intens, lidahnya bermain perang dengan lidahku. Tanganku bergerak turun, membelai punggungnya yang mulus, lalu ke pinggul, dan akhirnya mencengkeram bokongnya yang kencang. Aku mendorong tubuhnya lebih dekat, merasakan kehangatan dan kelembutan kulitnya menempel di tubuhku.
Kami berguling-guling di atas ranjang, tak peduli dengan seprai yang berantakan. Isvara mendesah pelan saat aku melepaskan bra-nya, lalu membebaskan payudaranya. Aku membenamkan wajahku di sana, menghirup aroma tubuhnya yang memabukkan. Aku mengulum putingnya satu per satu, menjilat dan menghisapnya sampai mengeras. Isvara mendongak, kepalanya mendesah, tangannya mencengkeram rambutku dengan erat.
"Ah... Kai..." desaha
Ketika aku tiba di rumah, suasana hening yang pekat langsung menyambutku. Biasanya, hanya lampu teras yang menyala, tapi malam ini, cahaya hangat dari ruang tamu menembus jendela, menandakan ada kehidupan di dalamnya. Jantungku berdebar sedikit lebih kencang.Aku membuka pintu dengan perlahan. Dan di sana, di atas sofa besar kami, duduklah dia.Tanika.Dia kembali. Dia mengenakan blus sutra sederhana dan celana panjang, rambutnya tergerai lurus di bahunya. Dia tampak lelah, lebih kurus dari yang kuingat, dan ada lingkaran samar di bawah matanya. Tapi yang paling menusuk adalah tatapannya saat dia menoleh ke arahku. Dingin. Kosong. Seperti Ratu Es yang baru saja kembali ke istananya yang beku.“Tanika,” panggilku, suaraku terdengar asing di telingaku sendiri,
Aku keluar dari lift kantor dengan langkah berat, namun di dalam diriku, ada tujuan baru yang membara, memetakan kembali jejak kakiku yang tadinya tanpa arah. Pertemuanku dengan Narnia memang tidak memberiku semua jawaban yang kucari, tapi itu memberiku sesuatu yang jauh lebih berharga: sebuah kompas baru. Sebuah target. Sebuah panggung untuk pertunjukan yang akan datang. Pesta Amal Arka Science. Dalam semalam, acara itu bertransformasi di benakku, bukan lagi sekadar kumpul-kumpul bisnis yang membosankan, melainkan sebuah arena gladiator modern. Dan aku, aku akan melangkah masuk ke sana bukan sebagai tamu undangan, melainkan sebagai pemburu yang sabar.Dua hari terasa seperti sekejap mata, dan malam itu pun tiba. Aku berdiri di sudut lobi hotel bintang lima yang kemegahannya nyaris terasa menindas. Gemerlap ribuan lampu kristal di langit-langit tinggi memantul di lantai marmer yang dipoles hingga mengkilap
“Keluargaku… tidak… tidak ada hubungannya… aahh… Kai… jangan…” dia mencoba menggeleng, tapi aku memegang kepalanya, memaksanya menatapku lagi.“Bohong!” Aku menampar pipinya pelan, tapi cukup untuk membuatnya tersentak.Aku menarik tanganku dari antara kakinya, membiarkan udara dingin menyentuh inti panasnya. Narnia terkesiap, matanya terbuka, menatapku memohon. Kepuasan itu terlihat jelas, namun ada sedikit kepanikan karena aku menghentikan sensasi itu.“Tidak! Jangan berhenti… kumohon…”“Kalau begitu, katakan.” Aku membuka sabuk celanaku, menarik risleting, membiarkan kejantanan-ku menyembul keluar, tegang dan keras. Narnia menatapnya dengan mata melebar, campu
Sebuah folder berisi foto-foto lama terbuka di layar. Aku mulai menggulirnya. Foto pertama, Bimala dan Tanika berpelukan di sebuah kafe di Melbourne, tawa mereka terlihat begitu tulus. Foto kedua, mereka di sebuah pesta, Tanika menyandarkan kepalanya di bahu Bimala, matanya memancarkan cinta yang polos. Setiap gambar adalah sayatan baru di hatiku yang sudah hancur. Ini adalah Tanika yang tidak pernah kukenal, sisi dirinya yang bahagia bersama pria lain.Aku terus menggulir, dipaksa untuk menelan setiap bukti kemesraan mereka. Lalu, mataku berhenti pada sebuah foto. Sebuah pesta keluarga atau teman dekat, suasananya terlihat lebih intim. Bimala merangkul pinggang Tanika dengan posesif, sementara Tanika tertawa, kepalanya sedikit mendongak menatap Bimala. Bukan mereka yang menjadi fokusku. Melainkan latar belakangnya. Di antara kerumunan tamu yang sedikit buram, mataku menangkap sosok yang begitu kukenal.
Aku menghentak kuat-kuat, merasakan dia mengejang di sekitarku. Isvara menjerit panjang, melengkungkan punggungnya, tubuhnya kembali bergetar hebat. Puncaknya kali ini terasa lebih liar, lebih eksplosif, seolah mencerminkan kebebasan kami di atas langit Jakarta. Napasnya memburu, dan aku bisa merasakan tubuhnya lemas di pelukanku."Luar biasa," bisikku, menanamkan ciuman di bahunya."Belum selesai," gumamnya, suaranya serak tapi penuh tekad. Dia berbalik, menghadapku, matanya menyala.Dia menarik tanganku lagi, membawaku kembali ke dalam, menuju sebuah pintu lain yang mengarah ke kamar mandi. Ini bukan sekadar kamar mandi; ini adalah spa pribadi. Sebuah bak mandi marmer berukuran besar mengisi sebagian ruangan, dan di sudut ada shower dengan dinding kaca tembus pandang.
Aku menciumnya, kali ini aku yang menyerang. Bibir kami bertabrakan, saling melumat. Aku merasakan gairah yang sama menggebu-gebu dari dirinya. Isvara membalas ciumanku dengan intens, lidahnya bermain perang dengan lidahku. Tanganku bergerak turun, membelai punggungnya yang mulus, lalu ke pinggul, dan akhirnya mencengkeram bokongnya yang kencang. Aku mendorong tubuhnya lebih dekat, merasakan kehangatan dan kelembutan kulitnya menempel di tubuhku.Kami berguling-guling di atas ranjang, tak peduli dengan seprai yang berantakan. Isvara mendesah pelan saat aku melepaskan bra-nya, lalu membebaskan payudaranya. Aku membenamkan wajahku di sana, menghirup aroma tubuhnya yang memabukkan. Aku mengulum putingnya satu per satu, menjilat dan menghisapnya sampai mengeras. Isvara mendongak, kepalanya mendesah, tangannya mencengkeram rambutku dengan erat."Ah... Kai..." desaha