Share

Gairah Membara sang CEO Muda
Gairah Membara sang CEO Muda
Penulis: NaLaTu

#1 Hamil

Penulis: NaLaTu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-04 14:21:08

“Selamat pagi, Nona. Kami telah memeriksa hasil tes darah dan USG-nya.”

Suara dokter perempuan itu lembut, tapi kalimat yang keluar darinya bagai guntur di kepala Naya. Naya yang baru pulang dari pabrik tekstil tempat dia bekerja segera memeriksakan diri ke klinik terdekat karena ia merasa ada sesuatu yang tak beres dengan perutnya.

“Kamu… hamil satu bulan.”

Deg.

Dunia Naya runtuh seketika. Matanya membelalak, telinganya berdenging, dan seluruh tubuhnya lemas.

“A-apa?” bibirnya gemetar, suaranya lirih. “I-Itu… nggak mungkin, Dok. Aku… aku nggak pernah…”

"Maaf, Nona. Sesuai hasil dari surat ini, semua sudah jelas. Anda memang hamil satu bulan."

Ia menutup mulutnya. Ingatannya melayang. "Lisa..."

Ingatannya tertuju pada sebuah bar. Bunyi musik yang keras. Temannya, Lisa, menariknya masuk dengan paksa.

"Cuma sebentar, Nay! Ayok ih! Biar lo nggak stres mikirin dunia terus!"

Itu kata Lisa waktu itu. Tapi entah sejak kapan Lisa menghilang, dan Naya… ia tak ingat apa pun setelah minum jus jeruk yang dikasih pelayan. Dipaksa. Ya! Naya ingat persis kapan dia sadar sebelum pelayan bar itu menyodorkan minuman itu ke Naya.

Dan sekarang… dia hamil?

“Nona, melihat kondisi Nona saat ini, sepertinya, anda bisa konsultasi lebih lanjut dengan psikiater kami,” ucap dokter itu, mengira wajah pucat Naya karena depresi berat. "Anda..."

"Dok..." Naya mengangguk cepat, mengambil surat hasil pemeriksaan, "Terimakasih, Dok!" Ia lalu keluar dari ruangan. Matanya kosong, langkahnya gontai, dan hatinya hancur.

***

Naya sampai di depan sebuah apartemen. Apartemen tempatnya tinggal adalah bangunan tua yang remuk di sana-sini, dindingnya penuh coretan, dan tetangganya adalah sekumpulan orang-orang dengan nasib serupa: tertindas, miskin, dan penuh beban hidup.

Sesampainya di unit kecil yang cuma bersekat triplek, suara batuk ibunya menyambut dari dalam.

“Uhuk...uhuk... Nay… kamu udah pulang? Sini, makan dulu… Mama udah masak nasi goreng pake telur untuk kamu,” ujar ibunya, terbaring lemas di kasur kumal.

Naya tersenyum kecil, "Iya, Bu." Setelah meletakkan tasnya di atas meja dekat lemari kayu itu, ia lalu masuk ke dapur dengan mata berkaca. Dan menyembunyikan perasaannya.

Belum sempat duduk, adiknya—Rendi—pulang sekolah dan langsung menyodorkan amplop.

“Kak..."

Naya menengok, "Ya? Kenapa Ren? Kamu udah pulang? Ada apa?"

"Kak Nay, ini... ada surat dari sekolah. Mereka bilang kalau besok harus bayar uang praktek. Katanya kalau nggak bayar, aku nggak boleh ikut.”

Naya terdiam. Tangannya gemetar memegang amplop. Hatinya makin perih.

"Kak?"

"Eh, i-iya, Kakak akan bayar!" jawab Naya cepat. "Kamu udah makan? Yuk makan bareng!"

Wajah Rendi berseri mendengar jawaban Kakaknya. Dengan sigap ia mengambil piring, "Sini, biar aku aja yang ambil lauk Kakak!"

Naya tersenyum. Namun tidak hati dan pikirannya. Pikirannya kacau saat ini. Ternyata ia baru saja dipecat dari pabrik tekstil tempatnya bekerja setelah selama dua tahun dia menghabiskan waktu dan tenaganya di sana. Bangkrut katanya. Seluruh karyawan dirumahkan. Dan sejak tadi pagi, perutnya terasa sakit dan ia mual-mual terus. Setelah memeriksanya kini dia dinyatakan hamil. Ditambah berita dari adiknya. Itu semua bergumul di dalam pikiran Naya.

Malam itu, Naya keluar rumah dan duduk di tangga depan. Ia menangis dalam diam, bahunya berguncang, suara isaknya tertahan. Tangannya menggenggam erat surat dari sekolah Rendi, juga kertas hasil pemeriksaan USG-nya. Ia bingung, sangat bingung menghadapi situasi yang tengah menimpanya saat ini.

Brak!

"KELUAR!"

Tiba-tiba suara keras terdengar dari halaman apartemen. Bunyi itu berasal dari tiga pria bertubuh besar dan berjaket kulit yang datang sambil memukul-mukul setiap pintu rumah di lorong apartemen unit satu itu.

Naya kenal orang-orang itu. Lintah darat yang selalu meneror nasabahnya. Merasa bahwa Naya adalah nasabah dari ketiga preman itu, ia segera masuk ke rumah dan menguncinya rapat-rapat. Jarak antara preman itu dan unit rumahnya agak jauh karena rumah Naya berada di unit lantai tiga. Namun Naya sungguh ketakutan dan mencoba menahan diri.

"Ada apa, Kak?" tanya Rendi yang duduk di kursi belajar. Ia kaget melihat ekspresi dan tingkah Kakaknya.

"Shuutt!" desis Naya sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Terlihat Naya begitu ketakutan dan napasnya tersengal-sengal.

Rendi mengangguk paham.

TOK-TOK-TOK!

“OI! Udah waktunya bayar utang! Mana uangnya, hah?!” terdengar suara keras dari luar unit rumah Naya. "OI!"

Tak ada jawaban dari dalam.

"Kami tau kalian ada di dalam! BUKA PINTU INI!" teriak salah satu dari mereka sambil mengetok pintu dengan keras. "BUKA!"

BRAK!

Pintu rumah itu bolong selebar 10 centimeter. Naya, Rendi dan Ibunya kaget dan tetap bersembunyi dan menahan diri.

Lalu para preman itu mencucurkan benda cair lewat bolongan itu. Dengan cepat, aliran air mengalir dari bolongan itu masuk ke dalam rumah.

Naya, Rendi dan Ibunya semakin ketakutan. Mereka berusaha menahan diri dan tidak bersuara. Jantung mereka berdetak dengan sangat kencang.

Tiba-tiba...

Sebuah api dari korek salah satu preman itu mencuri perhatian dari luar. Naya melihat api itu lewat cela pintu itu. Air matanya mengalir dengan deras namun ia mencoba menahan suara deru tangisannya.

"Lihat ini baik-baik!" ucap salah satu preman itu.

Jantung Naya semakin berdetak dengan sangat kencang. Ia begitu ketakutan kalau sampai hal yang tak dia inginkan terjadi.

Plak!

Korek dengan nyala api itu jatuh! Dan akhirnya...

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #23 Naya kembali!

    Di dalam ballroom utama Mansion HartawanAcara gala tengah berlangsung megah. Di sekeliling ruangan, berjejer meja-meja bulat dengan taplak putih dan lilin tinggi menyala, diiringi alunan musik klasik dari orkestra live. Di tengah panggung, Kakek Tohari berdiri dengan gagah, memberikan sambutan kepada keluarga besar dan tamu kehormatan.> “Malam ini bukan hanya ajang silaturahmi, tapi bentuk kepedulian kita,” ujar Kakek Tohari dengan suara mantap. “Seluruh donasi yang terkumpul akan disalurkan ke panti asuhan, rumah sakit, hingga lembaga sosial di bawah yayasan keluarga Hartawan. Karena... kekayaan yang sesungguhnya adalah bisa memberi manfaat.”Semua orang bertepuk tangan sopan.Tapi Adrian hanya duduk kaku di kursinya. Di sisi kirinya, Luna semakin agresif: tangannya mencoba meraba jari Adrian, sesekali menyenderkan tubuh. Namun Adrian berusaha tetap formal, menjaga postur tubuh dan memasang wajah dingin.> “Adrian,” bisik Luna sambil tersenyum, “malam ini indah banget ya... Kita co

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #22 Gala Hartawan

    Adrian masih berdiri di tengah lobby kosong, menatap ke arah lorong panjang dengan ekspresi yang semakin tegang.Tangannya terkepal di sisi tubuh, napasnya berat.Di saat pikirannya sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan buruk soal Naya, suara hak tinggi berdetak-detak mendekat."Tuk...tuk...tuk..."Adrian menoleh dengan refleks.Muncullah Luna, mengenakan dress bodycon hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan roknya tinggi, memperlihatkan paha putih mulus. Bibirnya merah menyala. Rambutnya ditata bergelombang sempurna.Dengan senyum genit, Luna mendekati Adrian."Hai, Adrian," sapanya manja, suaranya dibuat-buat lembut.Adrian mendengus pelan, tidak menyembunyikan ketidaksukaannya."Apa maumu, Luna?" gumamnya dingin.Luna pura-pura tersinggung, membentuk mulutnya cemberut kecil."Aku cuma... mau bilang," katanya sambil memutar rambut di jarinya, "Kalau kamu masih butuh pasangan buat gala nanti... aku siap kok nemenin kamu."Dia menyentuh lengan jas Adrian pelan, sengaja me

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #21 Naya menghilang!

    Besok paginya, suasana kantor Hartawan Group terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para staf berlalu lalang dengan kemeja rapi dan ekspresi penuh kesibukan.Adrian, seperti biasa, berjalan masuk ke dalam lobby utama dengan langkah tegap, jas hitam membalut tubuh tegapnya, wajahnya datar dan tanpa emosi.Namun, sesuatu menghentikannya.Seorang wanita cantik berdiri di tengah lobby, mengenakan dress formal biru langit yang menonjolkan kecantikannya. Wajahnya manis, rambutnya bergelombang rapi.Dia melambai dengan malu-malu ke arah Adrian.Adrian mengernyit.Matanya melirik ke sekeliling, mencari-cari sumber masalah ini — dan benar saja, dari balik pilar, Derren muncul, dengan senyum penuh harap.Adrian langsung menghela napas panjang, matanya memicing tajam ke arah sahabatnya itu.Derren berjalan cepat ke arah Adrian sambil berbisik,"Surprise, bro! Ini... calon pasangan buat gala nanti. Namanya Jessica."Adrian menatap Derren dengan tatapan membunuh."Kamu bercanda," gumam Adrian dingin.

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #20 CEO Berkuasa

    Siang itu, kantor Hartawan Group masih sibuk.Naya baru saja keluar dari pantry, membawa tumpukan dokumen yang harus dibagikan ke beberapa ruangan.Langkahnya cepat—sedikit tergesa.Saat berbelok di lorong sempit, tanpa sengaja—Brak!Naya menabrak seseorang.Dokumen bertebaran di lantai."Aduh...!" seru Naya panik, buru-buru membungkuk.Namun sosok pria itu juga membungkuk pada waktu bersamaan, membuat wajah mereka hanya beberapa sentimeter saja.Dan dalam momen itu, karena keseimbangan Naya goyah, tubuhnya terdorong maju.Ciuman kecil.Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat dunia seakan berhenti berputar.Naya membelalak.Adrian juga membeku.Suasana hening, sangat hening.Sementara di ujung lorong, seseorang menyaksikan semuanya dengan mata melebar marah—Sarah.Senyuman sinis muncul di bibirnya.**"Maaf! Maaf banget, Pak Adrian!" seru Naya gugup sambil buru-buru berdiri dan mundur beberapa langkah.Adrian sendiri tampak berusaha menguasai diri. Ia berdeham pelan, kembal

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #19 Pembelaan

    Pagi itu kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian berjalan menyusuri lorong panjang lantai eksekutif, kemeja biru gelap membalut tubuhnya. Ada bekas luka samar di pipi kirinya, dan jalannya sedikit kaku. Namun dia tetap menjaga aura wibawanya. Dari arah berlawanan, Naya datang dengan membawa nampan berisi kopi-kopi untuk ruangan meeting. Langkahnya berhenti mendadak. Mata Naya membelalak pelan saat melihat Adrian yang tampak babak belur. Ada rasa khawatir yang otomatis muncul. "Pak Adrian...?" gumamnya lirih. Mereka saling memandang sekilas. Hening. Canggung. Suasana mendadak seperti freeze. Naya panik, dia reflek mau ke kanan. Adrian—dengan gugupnya—ikut melangkah ke kanan. Naya buru-buru ke kiri. Adrian juga geser ke kiri. Mereka hampir bertubrukan. "Ah... anu... m-mohon maaf, Pak!" kata Naya panik, menunduk dalam-dalam. Adrian mengangkat tangannya, mencoba terlihat santai, walau mukanya sudah merah. "Tidak apa-apa..." Mereka akhirnya berhasil

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #18 Perasaan Pak CEO

    Cling...Setelah berjam-jam yang terasa seperti seumur hidup, pintu lift akhirnya terbuka.Naya hampir menangis lega. Ia berdiri cepat-cepat, diikuti Adrian yang tetap terlihat tenang walaupun kemejanya sudah kusut sedikit.Mereka melangkah keluar, disambut petugas teknisi dan beberapa satpam."Maafkan kami, Pak Adrian, Nona..." para teknisi membungkuk dalam-dalam.Adrian hanya mengangguk malas, satu tangannya refleks menahan punggung Naya agar tidak terinjak-injak kerumunan. Ia bahkan tidak sadar saat melakukan itu.Jam menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Kantor sudah sepi."Naya."Suara Adrian dalam. "Aku antar pulang."Naya langsung gelagapan. "T-tapi, Pak, saya biasa naik angkutan kok... nggak apa-apa, sungguh!"Adrian menatapnya dingin. "Tidak ada diskusi."Dengan berat hati, Naya akhirnya masuk ke dalam mobil hitam mewah milik Adrian. Selama perjalanan, mereka hanya diam. Sesekali Naya mencuri pandang, tak percaya ia satu mobil dengan pria paling dingin se-kantor.Mobil melaju me

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #17 Terjebak

    Sore itu, Adrian tiba di rumah mewah keluarga Hartawan. Langit mulai menggelap, dan hawa dingin menyeruak masuk bersama embusan angin dari taman. Di ruang tamu, Ibu Ratna sudah duduk di kursi empuk, mengenakan piyama sutra warna gading. Meski wajahnya masih tampak pucat, ada sorot tajam di matanya. Adrian menghampiri, membungkuk sedikit mencium tangan ibunya. "Bagaimana keadaan Mama?" tanyanya pelan. Ibu Ratna tersenyum lemah. "Sudah lebih baik... berkat kamu mau dengar Mama, Nak." Adrian hanya mengangguk kecil, duduk di seberangnya. "Ngomong-ngomong, Mama mau ketemu Luna." Nada suara Ibu Ratna mengeras sedikit. "Suruh dia datang makan malam ke rumah. Kita harus mulai perkenalan sebelum acara gala." Deg. Adrian mengerjap, tapi cepat-cepat menutupi keterkejutannya. Senyum tipis tersungging di wajahnya, penuh kepalsuan. "Luna... lagi sibuk, Ma. Dia ada meeting panjang. Nanti kalau dia senggang, aku ajak ke sini." Ibu Ratna menghela napas panjang. "Jangan lama-lama, Adrian. Ga

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #16 Cemburu

    Sepanjang hari itu, Adrian merasa pikirannya tidak fokus.Setiap kali ia mencoba menunduk memeriksa laporan di mejanya, bayangan wajah Naya kembali terlintas. Tatapan polos itu... tubuh mungil yang gemetar dalam dekapannya... aroma sabun sederhana yang tercium samar dari rambut gadis itu. Semua bercampur membanjiri otaknya, membuatnya tidak nyaman."Sialan," gumamnya pelan, mengacak rambutnya sendiri.Adrian memutuskan keluar dari ruangannya untuk sekadar menghirup udara segar. Ia berjalan melewati koridor, langkahnya panjang-panjang, tangan masih dimasukkan ke saku celana.Secara tidak sengaja, matanya menangkap sosok Naya yang sedang membungkuk di pojok ruangan, sibuk mengatur minuman dan makanan ringan untuk rapat sore.Gadis itu kelihatan berusaha cekatan, tapi tetap saja sesekali menjatuhkan sendok, lalu buru-buru memungutnya lagi.Bibir Adrian sedikit terangkat, sangat tipis, nyaris tak terlihat. Sesuatu dalam dirinya merasa... geli."Apa anak itu selalu ceroboh begini?" pikirny

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #15 Diam-diam Suka

    Mobil sport hitam itu berhenti mulus di depan gerbang rumah besar bergaya modern minimalis. Adrian menatap sekilas bangunan megah itu, lalu menghela napas panjang sebelum turun. Dengan langkah berat, ia berjalan ke pintu depan.Seorang pembantu muda berseragam hitam-putih membungkuk sopan."Selamat sore, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?""Saya mau ketemu Nona Luna," jawab Adrian dingin.Pembantu itu tersenyum kaku. "Sebentar ya, Tuan."Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Adrian menunggu di teras, merasa tidak nyaman berdiri di bawah sinar matahari sore yang hangat.Di dalam, pembantu itu berjalan ke belakang rumah, menuju area kolam renang.Di sana, Luna tengah berbaring santai di kursi berjemur, mengenakan bikini merah elegan. Dua potong timun menempel di matanya, headphone di telinganya, seolah dunia ini hanya miliknya."Nona Luna," kata pembantu itu pelan."Ada tamu—seorang pria, ingin bertemu."Luna mengangkat satu tangan malas, tanpa membuka mata. "Suruh aja masuk...

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status