LOGINSedekah gem dong kak, biar semangat. wkwk. besok malam kulanjut ya
"Aku mau bawa dia ke apartemen barunya, Sayang,” jelas Sean pelan, mencoba meredam ketegangan. "Kondisinya gak baik kalau terus-menerus di sini. Dia butuh suasana baru."Elyssa berjalan mendekat. Langkah kakinya yang tenang justru terasa sangat mengintimidasi. "Aku sudah bilang jangan ada yang membawanya keluar sebelum aku pulang. Kenapa kamu begitu terburu-buru, Mas? Takut aku melakukan sesuatu padanya?"“Kamu ini bicara apa sih?” Sean mengusap wajahnya, tampak lelah. "Aku cuma melakukan apa yang kita bicarakan semalam. Aku mindahin dia biar kamu gak perlu lagi melihat wajahnya di rumah ini. Ini demi kenyamananmu juga, biar kamu gak cemburu dan salah paham terus."Elyssa menatap Sean dan Olivia bergantian dengan senyum sinis yang menusuk. "Demi kenyamananku? Atau demi dia? Kamu mau melindungi dia dari aku, kan, Mas?”Sean menghela napas frustrasi. "Apa lagi sekarang? Bukannya semalam kita sudah damai? Aku cuma menuruti kemauanmu untuk mencarikannya tempat yang layak. Kenapa sekarang
"Bualan macam apa lagi ini?" Tatiana berusaha tertawa sinis, meski hatinya mulai tidak tenang. "Hanya karena wajahnya mirip, bukan berarti dia darah daging putraku. Bisa saja kau memungut anak yatim dari jalanan yang kebetulan berwajah serupa demi mencari perhatianku, atau mungkin… permintaan maafku? Jangan harap, Elyssa!”"Tante, lihatlah baik-baik," sela Elyssa, tidak membiarkan Tatiana menghindar. "Bukan hanya wajahnya, tapi sorot matanya, cara dia menatap, semuanya identik dengan Mas Albert. Apa Tante benar-benar ingin membuang satu-satunya peninggalan Mas Albert hanya karena Tante membenciku?”Tatiana mulai merasa bimbang. Bayangan tatapan Bulan di halaman tadi terus berputar di kepalanya. Ada rasa rindu yang mendadak menyeruak, rasa rindu yang membuatnya merasa sesak. Ia sangat merindukan Albert, dan jika benar anak itu adalah cucunya, maka ia masih punya alasan untuk hidup. Namun, ia terlalu takut untuk berharap lalu kecewa."Jangan mencoba mempermainkan perasaanku, Elyssa!" su
Kini, Elyssa sudah duduk di ruang tamu yang megah namun terasa dingin itu, berhadapan langsung dengan Tatiana. Bulan duduk merapat di samping Elyssa. Tangan kecilnya tak berhenti menggenggam erat jemari Elyssa karena merasa takut. Sorot mata Tatiana yang tajam dan menusuk terus mengarah pada mereka, membuat suasana semakin mencekam.“Tante, kita pulang aja yuk,” bisik Bulan dengan suara gemetar. “Bulan takut. Ibu itu kelihatan galak.”Elyssa menoleh dan menatap Bulan dengan lembut, mencoba menenangkan kegelisahan bocah itu. “Bulan jangan takut, ya. Temani Tante sebentar saja di sini, Tante ada urusan penting.”Melihat ekspresi ketakutan di wajah polos Bulan, Tatiana menghela napas panjang. Ada rasa tak tega yang tiba-tiba menyeruak di hatinya saat melihat mata yang sangat mirip dengan putranya itu berkaca-kaca. Ia pun memanggil seorang pelayan.“Bawa anak itu ke ruang bermain. Beri dia camilan dan temani dia di sana,” perintah Tatiana tanpa melepaskan pandangannya dari Elyssa.“Baik,
Pagi itu, suasana di kamar tamu terasa sangat menyesakkan. Olivia masih meringkuk di bawah selimut, tubuhnya gemetar hebat. Ia menolak bicara kepada siapa pun. Setiap kali ia mencoba mengintip dari balik selimut, ia merasa melihat bayangan Albert berdiri di dekat pintu.“Bagaimana kondisinya, Mbok?” tanya Elyssa yang sudah berdiri di depan pintu.Seorang pelayan yang baru saja keluar dari kamar menyahut dengan suara rendah, “Sudah lebih tenang dibanding semalam, Non. Gak teriak-teriak lagi, tapi sampai sekarang masih diam seribu bahasa.”Elyssa hanya mengangguk pelan dengan wajah datar. Jujur saja, ia sama sekali tidak peduli pada kondisi Olivia. Dengan gerakan tanpa beban, ia membuka pintu kamar itu sedikit kasar.Brak!Bulan yang sedang duduk di tepi ranjang tersentak kaget.Melihat wajah ketakutan bocah itu, rasa bersalah seketika menyelinap di hati Elyssa. Ia sadar, meski ia membenci Olivia, ia harus tetap menjaga sikap di depan anak kecil yang tidak berdosa ini.Elyssa pun berlut
Suara napas Elyssa memburu. Nama Albert yang disebut Sean barusan bagai jangkar yang menghentikan langkahnya secara paksa. Namun, saat ia berbalik dan melihat ke arah lantai atas, amarahnya seketika luruh berganti menjadi rasa cemas.Sean terduduk di lantai lorong, wajahnya pucat pasi. Darah merah segar mengalir deras dari celah tangannya yang berusaha menekan luka di paha, membasahi lantai marmer putih yang dingin."Mas..." bisik Elyssa tercekat.Rasa penasaran dan rasa bersalah bertabrakan di dadanya. Tanpa pikir panjang, ia berlari kembali menaiki tangga. Ia mengabaikan ego dan rasa sakit hatinya saat melihat pria yang ia cintai bersimbah darah karena perbuatannya sendiri."Jangan banyak gerak!" seru Elyssa panik. Ia segera memapah lengan Sean, menyampirkan tangan pria itu di bahunya."Akhh!" Sean menjerit tertahan saat berusaha berdiri. Wajahnya meringis menahan perih yang menyengat saraf pahanya.Dengan susah payah, Elyssa membantu Sean berjalan kembali masuk ke dalam kamar.Tubu
Elyssa melangkah kembali ke kamar dengan sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ia mengira Sean masih terlelap dalam mimpi. Namun, begitu kakinya melewati ambang pintu, langkahnya langsung terhenti. Jantungnya berdegup kencang.Sean tidak sedang berbaring. Pria itu duduk tegak di tepi ranjang dalam kegelapan yang hanya diterangi sedikit cahaya lampu tidur. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Elyssa, mengintimidasi."Sudah selesai mengobrolnya?" tanya Sean. Suaranya rendah, namun bergetar oleh amarah yang tertahan.Elyssa menelan ludah, mencoba bersikap tenang."Apa maksudmu?" tanya Elyssa balik, berpura-pura tidak mengerti."Jangan berpura-pura, Elyssa. Aku tau kamu baru saja telponan dengan seseorang di luar.”Sean berdiri, melangkah perlahan mendekati Elyssa hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa sentimeter.Elyssa mundur selangkah, tangannya mendadak sedingin es. "Kamu menguntitku, Mas? Buat apa? Kamu curiga kalau aku berbuat yang macam-macam?"Sean mencengkeram l







