LOGIN"Oma! Tante Elyssa yang nyuruh. Katanya, nanti panggil Ibu itu ‘Oma’!"Tanpa sadar, sudut bibir Tatiana terangkat. Sebuah senyuman tipis— senyuman tulus yang sudah lama ini tidak pernah muncul— akhirnya menghiasi wajahnya lagi."Jadi, kau mau aku yang memasak untukmu?""Iya. Soalnya… Bulan mau nyobain masakan Oma,” seru Bulan.Tatiana terkekeh pelan, namun tetap terlihat anggun. "Kau ini pintar sekali merayu, ya."Entah kenapa, hati Tatiana yang sekeras batu tiba-tiba melunak. Ia memutuskan untuk turun ke dapur sendiri. Setelah berkutat dengan penggorengan, ia menyajikan kentang itu di depan Bulan."Ini, makanlah. Jangan berharap terlalu banyak kalau rasanya tidak enak. Aku baru saja melihat resepnya di internet," ucap Tatiana gengsi.Bulan bukannya mengambil garpu, malah membuka mulutnya lebar-lebar. "Aaah."Tatiana mengerutkan kening. "Apa ini? Kau mau disuapi?""Dua tangan Bulan lagi peluk boneka. Jadi, Bulan gak bisa makan sendiri."Tatiana mendengus pelan, hampir tertawa. "Astaga
Sementara itu, di kediaman mewah keluarga Han, suasana terasa sunyi dan canggung. Setelah mengirimkan sampel DNA ke rumah sakit, Elyssa sengaja meninggalkan Bulan di sana. Alasannya ada urusan mendadak, padahal itu hanya taktik Elyssa agar Bulan dan Tatiana bisa saling mengenal dan akrab.Dan saat ini, Bulan sedang duduk tegang di ruang bermain yang luas. Tatiana berdiri tidak jauh darinya, mengawasi anak kecil itu dengan tatapan yang masih terasa tajam dan menyelidik.“Kenapa tidak dimakan cemilannya?” tanya Tatiana dingin seraya melihat puding susu di atas meja yang sama sekali belum disentuh.Bulan hanya menggeleng pelan tanpa berani menatap Tatiana. “Bulan gak lapar.”“Kalau begitu main saja,” perintah Tatiana singkat.Namun Bulan tetap diam. Ia tidak menyentuh satu pun mainan yang sudah disiapkan, padahal di sana ada banyak jenis mainan mahal.“Kenapa lagi? Kamu tidak suka main puzzle? Main lego? Katakan saja kamu mau main apa, biar aku siapkan,” ujar Tatiana mulai tidak sabar.B
Elyssa menyaksikan Olivia diseret keluar dari rumahnya. Ada rasa lega yang luar biasa menyusup ke dadanya, seolah beban berat yang selama ini menghimpitnya akhirnya terangkat. Ia menoleh ke arah Sean yang juga sedang menatap kepergian mobil itu dengan pandangan yang sulit diartikan."Lega banget rasanya semua ini sudah lewat, Mas. Tinggal tunggu kabar dari Juan aja, semoga dia bisa bikin Olivia bicara jujur," bisik Elyssa pelan.Sean tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku pada mobil Juan yang perlahan menjauh dan menghilang di balik gerbang."Mas? Kamu gak ke kantor?" tanya Elyssa mencoba mengalihkan perhatian Sean.Sean tersentak, seolah baru saja ditarik kembali dari lamunannya.Ia segera mengulas senyum tipis. "Iya, Sayang. Ini aku baru mau berangkat kerja. Oh ya, jangan lupa nanti malam kita ada janji sama Miss Whitney. Dia desainer langganan keluargaku buat urusan gaun. Kamu bebas pilih model apa pun yang kamu mau, nanti tinggal di-fitting aja."Elyssa mengangguk ceria, m
"Dengarkan aku dulu, demi Tuhan, ini bukan soal cinta!" Sean mencengkeram kedua bahu Elyssa, memaksanya untuk menatap matanya. "Aku tidak mencintainya, Elyssa. Sama sekali tidak! Aku hanya merasa bersalah karena gagal menjaganya di masa lalu hingga dia hancur seperti ini. Tapi aku sadar, caraku salah. Seharusnya aku tidak perlu peduli lagi padanya karena sekarang aku sudah punya kamu.”Elyssa memalingkan wajah, enggan menatap Sean. "Tapi kamu membelanya di depan mataku, Mas. Kamu membentakku demi dia!""Aku salah, aku minta maaf. Aku hanya takut dia nekat melakukan sesuatu di rumah ini sebelum semuanya tuntas," ucap Sean dengan nada memohon.Ia menarik tangan Elyssa dan menempelkannya ke dadanya, membiarkan wanita itu merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. "Hanya ada kamu di sini. Tolong jangan pergi. Jangan menjauh dariku."Elyssa terisak, bahunya berguncang hebat. Kemarahan dan rasa cintanya berperang di dalam dada. "Kamu tau betapa sakitnya aku melihatmu menggandeng tangann
Sean menatap Olivia yang mulai gemetar hebat. Wanita itu tampak benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Rasa iba yang selama ini ia pendam kembali menyeruak. Bagaimanapun juga, Sean merasa ikut bertanggung jawab atas nasib malang yang menimpa wanita itu di masa lalu.Refleks, Sean melangkah maju dan berdiri di depan Olivia, menghalangi Elyssa yang terus mendesak."Cukup, Elyssa! Berhenti!" bentak Sean dengan suara meninggi.Elyssa terbelalak. Ia tak percaya Sean masih melakukan ini. "Apa maksudmu, Mas? Kamu mau membela pembunuh ini? Kamu mau jadi pelindung untuk wanita yang sudah menghilangkan nyawa seseorang?”"Aku tidak membela perbuatannya, tapi lihat kondisinya!" Sean menunjuk Olivia yang kini berjongkok di lantai sambil menutup telinga dan berteriak ‘tidak’ berulang kali. "Dia sedang sakit mental! Menekannya seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Kamu hanya akan membuatnya semakin gila!""Oh, sekarang kamu mau jadi pahlawannya? Begitu?" Elyssa tertawa getir, m
"Aku mau bawa dia ke apartemen barunya, Sayang,” jelas Sean pelan, mencoba meredam ketegangan. "Kondisinya gak baik kalau terus-menerus di sini. Dia butuh suasana baru."Elyssa berjalan mendekat. Langkah kakinya yang tenang justru terasa sangat mengintimidasi. "Aku sudah bilang jangan ada yang membawanya keluar sebelum aku pulang. Kenapa kamu begitu terburu-buru, Mas? Takut aku melakukan sesuatu padanya?"“Kamu ini bicara apa sih?” Sean mengusap wajahnya, tampak lelah. "Aku cuma melakukan apa yang kita bicarakan semalam. Aku mindahin dia biar kamu gak perlu lagi melihat wajahnya di rumah ini. Ini demi kenyamananmu juga, biar kamu gak cemburu dan salah paham terus."Elyssa menatap Sean dan Olivia bergantian dengan senyum sinis yang menusuk. "Demi kenyamananku? Atau demi dia? Kamu mau melindungi dia dari aku, kan, Mas?”Sean menghela napas frustrasi. "Apa lagi sekarang? Bukannya semalam kita sudah damai? Aku cuma menuruti kemauanmu untuk mencarikannya tempat yang layak. Kenapa sekarang a







