 Masuk
Masuk


Denzel mondar-mandir di ruang kerjanya yang luas, langkah kakinya yang berat memantul di lantai marmer. Udara di ruangan itu terasa lebih dingin, dipenuhi amarah dan kecemasan yang mendalam. Ponsel Denzel tergeletak di meja, menampilkan riwayat panggilan tak terjawab ke nomor Audrey."Aksa! Kenapa dia tidak menjawab?! Cepat cek CCTV di lobi dan lacak ponselnya lagi!" perintah Denzel, suaranya seakan menggema dalam ruangan. Ia tidak bisa menahan rasa frustrasi dan cemasnya. Audrey sudah menghilang lebih dari satu jam tanpa kabar.Aksa berdiri tegak di samping meja. "Aku sudah mencoba melacak, Denzel. Ponsel Audrey sempat terdeteksi di area belakang kantor, dekat restoran lama yang tersembunyi. Tapi sekarang, sinyalnya mati.""Mati?!" Denzel menggerutu, rahangnya mengeras. "Dia tahu aku benci diabaikan! Dia tahu ada Aiden yang mengincarnya! Kenapa dia berani mematikan ponselnya?!"Denzel tiba-tiba teringat Aiden mengikut Audrey di mall, dan Aksa memberitahu kalau Aiden melihatnya be
lAudrey akhirnya menuruti permintaan Aiden untuk bertemu. Mereka memilih sebuah restoran tempat mereka dulu sering bertemu saat masih pacaran. Letaknya tidak jauh dari perusahaan tapi cukup tersembunyi, jauh dari keramaian pusat kota karena masuk ke lokasi perkampungan di belakang gedung.Suasana di antara mereka terasa dingin dan tegang, seperti ada dinding es balok di antara mereka.Aiden duduk berhadapan dengan Audrey. Wajahnya keras, matanya memancarkan campuran amarah dan rasa sakit yang dalam. Dia tidak memesan apa pun, hanya meletakkan ponselnya di atas meja."Aku tidak akan membuang waktumu, Audrey," kata Aiden, suaranya tajam. "Aku ingin penjelasan dari mu."Aiden menggeser ponselnya ke depan Audrey. Di layar ponsel itu, terlihat sebuah foto yang buram namun masih tampak begitu jelas. Foto itu menunjukkan Audrey di lobi mal, tubuhnya dipeluk posesif oleh seorang pria tinggi yang punggungnya tampak familiar, bagi Aiden.Audrey merasakan tenggorokannya tercekat. Meskipun f
Stella memperhatikan reaksi Aiden yang terdiam. Rasa sakit di hatinya bagitu terasa. "Kenapa diam, Aiden?" desak Stella, ia mendekat, mencium lembut bibir Aiden. "Aku mencintaimu, Aiden. Dan aku tahu kamu membutuhkan aku. Kita sudah tidur bersama berkali-kali. Bukankah ini yang kita inginkan? Menikah, dan mengambil alih proyek itu bersama?"Aiden memalingkan wajahnya. Mencium Stella lagi hanya akan memperpanjang kegilaan ini. "Aku.. Aku tidak tahu, Stella. Aku butuh waktu.""Waktu untuk apa, Aiden?!" Stella menarik dagu Aiden, memaksanya menatapnya. "Waktu untuk kembali mengejar Audrey? Setelah dia tidur dengan Papamu?! Sadarlah, Aiden! Audrey sudah tidak menghargaimu! Aku di sini, menunggumu, mencintaimu!"Kata-kata Stella menusuk. Meskipun kejam, itu adalah kebenaran yang pahit. Audrey sudah tidur dengan Papanya. Kenyataan itu membakar harga diri Aiden."Aku akan bicara dengan Papaku," kata Aiden, suaranya penuh tekad. "Aku akan memberitahunya bahwa aku setuju menikah denganmu
Denzel sedang berbaring, memeluk Audrey setelah malam panjang penuh gairah dan pengakuan yang mereka lewati berdua di penthouse itu. Keheningan subuh terasa damai, sebuah kontras nyata dari kekacauan emosional yang terjadi. Denzel menikmati kehangatan dan berat tubuh Audrey yang meringkuk dalam pelukannya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja samping ranjang. Denzel beranjak dengan hati-hati, memastikan gerakannya tidak mengganggu tidur pulas Audrey. Meskipun sangat posesif, ia menghargai kelelahan wanita itu.Denzel duduk di kepala ranjang, mengambil ponselnya. Layar menunjukkan pesan dari Aksa. Ia membaca isinya, dan senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum itu dingin, penuh perhitungan, dan sedikit mencibir.“Dasar Aiden! Disuruh nikah gak mau tapi gak tahan dengan godaan wanita itu!” gumamnya lirih. Ia merasa menang, Aiden telah jatuh tepat ke dalam perangkap yang sengaja ia ciptakan.[Denzel : Bagus, makasih.. Sekarang kamu pulang aja, kita bicara lagi besok..]Setelah memb
Aiden mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membawa Stella menjauh dari mal. Di dalam mobil mewah yang gelap itu, udara terasa tegang dan penuh listrik. Keputusan untuk mengantar Stella pulang adalah pelarian dari rasa sakit yang ditinggalkan Audrey dan Papanya, dan kini, Aiden siap menuntut kompensasi.Stella bersandar manja di kursi penumpang. Meskipun pura-pura terkilir, ia tahu betul permainan yang sedang ia mainkan. Gaun merahnya yang mencolok sudah melakukan tugasnya memprovokasi."Aduh, pergelangan kakiku sakit sekali, Aiden," rintih Stella, suaranya dibuat semerdu mungkin."Diamlah, aku sedang mengemudi," gerutu Aiden, namun matanya sesekali melirik ke arah paha Stella yang terekspos. Ia marah, tapi ia juga butuh pelepasan.Stella tersenyum kecil. Ia tahu Aiden sudah berada dalam genggamannya. Tanpa ragu, tangan Stella bergerak perlahan. Jemarinya yang ramping menyentuh dan mengusap dada bidang Aiden, tepat di balik kemejanya."Aku kasihan padamu, Aiden. Setelah
Denzel terdiam sesaat. Keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar napas berat mereka berdua yang masih saling menghimpit di sudut dinding. Audrey menahan napas, menunggu jawaban Denzel. Tubuhnya masih bergetar karena gairah, tetapi pikirannya kini tertuju sepenuhnya pada pengakuan yang akan datang.Tidak lama kemudian akhirnya Denzel menghela napas, panjang dan berat, sebelum menjawab.“Dia Giselle. Mantan tunangan ku.”Audrey terkejut. Bukan istri, apalagi Mama Aiden. Dia merasa sedikit lega mendengarnya, tapi masalah tentu tidak berhenti disana. “Mantan tunangan?” tanya Audrey penasaran, ia ingin memastikan.Denzel mengangguk, sorot matanya berubah muram. Ia membelai lembut pipi Audrey, seolah sentuhannya bisa menghapus kenangan pahit itu.“Dulu aku pernah mengalami kecelakaan hebat. Bisnis ku mendapat sedikit masalah besar, hingga fungsi vital ku sempat tidak berfungsi… karena kecelakaa








