LOGINSeketika itu Denzel menghentikan ciumannya, ia menoleh ke arah Aksa yang wajahnya tampak memerah karena terkejut dan mungkin sedikit menahan tubuhnya yang mulai bergejolak. Denzel hanya tersenyum tipis, senyum yang penuh gairah yang meluap.
“Istirahatlah lebih awal, sepertinya kamu juga perlu waktu berdua dengan Fiona,” Denzel menyindir, matanya menatap penuh makna. “Aku harap setelah itu kamu lebih fokus dan tidak iri padaku.” Pandangan Denzel kembali tertuju pada Audrey, ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, mengabaikan Aksa sepenuhnya.“Hhh.. Baiklah aku akan keluar.. Kalian lanjutkan saja!” Aksa langsung melangkah keluar tanpa menunggu jawaban Denzel, ia buru-buru menutup pintu ruang pribadi, meninggalkan suasana panas di belakangnya.Audrey tersenyum melihat ekspresi wajah Aksa yang kesal. “Kamu keterlaluan, Denzel. Aksa sibuk sejak semalam, kamu justru memancingnya.”Denzel tertawa kecil, suara tawa yang dalam. “Biar dia bisa merasakanDenzel justru semakin mengeratkan pelukannya. Ia membenamkan wajahnya di ceruk leher Audrey, menghirup aroma vanila yang menenangkan saraf-sarafnya. “Aku tidak peduli, Baby. Aku hampir gila saat membayangkan gas itu menyentuhmu tadi. Biarkan aku menyentuhmu.. Biarkan aku bisa benar-benar b merasakan kehadiran mu disini, sayang.” Denzel mengecup leher Audrey, memberikan hisapan-hisapan kecil yang meninggalkan jejak kemerahan samar, lalu naik ke rahang dan akhirnya mengunci bibir Audrey. Ciuman itu tidak lagi kasar karena amarah, melainkan dalam, lembut, dan penuh dengan kepemilikan. Audrey yang awalnya ragu, perlahan luluh. Ia melingkarkan tangannya di leher Denzel, membalas ciuman itu dengan desahan halus yang tertelan di mulut suaminya. Trustin yang menyaksikan itu hanya bisa memalingkan wajah, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ada rasa lega melihat Denzel menemukan cintanya dan dicintai sedalam itu, tapi ada juga rasa pahit karena pengkhianatan yang pernah terjadi di
Belum sempat pintu itu terbuka, ponsel Denzel tiba-tiba berdering mengejutkan mereka semua. “Shith!” geram Denzel karena terkejut, ia pun mengambil ponsel di sakunya. “Tahan! Jangan dibuka dulu! Aksa menelpon!” perintah Denzel. Pengawal itu mengangguk bersamaan, memperhatikan Denzel yang menjawab telepon dari Aksa sambil menunggu perintah selanjutnya. [Aksa, apa itu kamu yang diluar?!] suara Denzel terdengar berat, menahan gejolak dalam hati yang bercampur aduk setelah mendengarkan cerita Trustin yang belum selesai. [Ya, ini aku, Denzel!] suara Aksa terdengar pelan karena waspada. [Sialan! Kamu membuat kamu kita semua terkejut! Pastikan sekitar kamu aman sebelum pintunya dibuka!] Denzel memastikan dia tidak ingin kelolosan lagi kali ini. [Aman Denzel!] suara Aksa terdengar begitu yakin. [Hmm.. Oke!] Denzel langsung mengakhiri panggilan telepon dari Aksa dan memberi kode pada pengawalnya agar membuka pintu. Sesaat setelah pintu besi itu terbuka, tampak sosok Aksa berdi
Trustin memperhatikan pemandangan di depannya, Denzel tampak begitu protektif pada Audrey. Trustin menarik napas berat, ia paham kenapa Denzel melakukannya. Itu karena kesalahan Trustin juga di masa lalu, walaupun bukan sepenuhnya kesalahannya, tapi ia merasakan perih di dadanya bukan hanya karena peluru, tapi karena penyesalan. "Semua dimulai dari Papa, Denzel," Trustin memulai dengan suara gemetar. "Hutang judi yang ia miliki di luar negeri bukan hanya sekedar uang. Dia melakukan kesalahan fatal, tidak ada yang tau bahkan sampai mama meninggal. Aku pun tau saat tidak sengaja mendengarkan pembicaraan mereka.” “Mereka?! Siapa yang kamu maksud, Trustin?! Dan apa hubungannya dengan Mama?!” Denzel menatap Trustin semakin tajam. “Kelompok mereka.. Aku tidak sengaja bertemu mereka setelah seseorang berhasil menyelamatkan aku..” Trustin terdiam, ia menjeda ceritanya. Audrey menegang di pelukan Denzel. Ia bisa merasakan otot-otot Denzel memegang mendengar cerita Trustin. "Trustin,
Suara serak itu memecah keheningan bunker yang mencekam. Denzel dan Audrey menoleh bersamaan ke arah brankar. Kelopak mata Trustin terbuka perlahan, memperlihatkan manik mata yang identik dengan milik Denzel, namun terlihat jauh lebih lelah dan menyimpan beban trauma yang mendalam.Denzel tidak membuang waktu. Ia menarik pinggang Audrey, membawanya mendekat ke sisi ranjang seolah ingin menunjukkan pada kakaknya bahwa ia telah menemukan belahan jiwanya. Tangan Denzel yang bebas mencengkeram besi brankar, sementara matanya menatap tajam setiap pergerakan Trustin."Trustin.. Kamu bisa mendengarku?" tanya Denzel, suaranya berat, mencoba menekan gejolak emosi yang terasa ingin meledak.Trustin bergumam pelan, mencoba menstabilkan fokusnya. "Denzel... Audrey..." Suaranya terdengar pelan. Ia menatap tautan tangan Denzel dan Audrey, lalu sebuah senyum tipis yang getir muncul di bibirnya yang pucat. "Kamu terlihat jauh lebih kuat dari sebelumnya, Denzel.”"Apa kamu merasa sudah jauh lebih
Sosok itu tidak bicara, ia langsung memeluk tubuh Audrey, mendekapnya begitu erat hingga Audrey bisa merasakan panas tubuh yang masih beraroma keringat dan adrenalin.“Denzel.. Aku takut.. Aku pikir kamu—” suara Audrey gemetar. “Ssttt.. Ini aku sayang.. Maaf, aku seharusnya tidak meninggalkanmu..” kata Denzel dengan penuh penyesalan, ia mengeratkan pelukannya. Denzel tidak peduli pada tatapan para pengawal atau Fiona yang tertegun di ambang pintu. Ia menangkup wajah Audrey dengan kedua tangannya yang gemetar, matanya menatap setiap inci wajah istrinya dengan ketakutan yang mendalam."Kamu tidak apa-apa? Katakan padaku kamu tidak menghirupnya!" desis Denzel, napasnya memburu di depan bibir Audrey."Aku... Aku baik-baik saja, Denzel. Fiona memperingatkan ku lebih awal.. Dan pengawal datang membawa kami keluar tepat waktu.." lirih Audrey, air mata mulai mengalir karena rasa lega yang luar biasa.Tanpa kata-kata lagi, Denzel membungkam bibir Audrey dengan ciuman yang sangat dalam dan
Wanita berseragam perawat itu tertawa semakin keras mendengar ancaman Denzel, sebuah tawa melengking yang menggema kesunyian di atas rooftop. Matanya menatap Denzel dengan binar kegilaan yang terlihat jelas, seakan cengkeraman tangan Denzel di lehernya hanyalah sebuah belaian semata."Bunuh aku, Tuan Muda... Jatuhkan aku sekarang juga!" tantangnya dengan suara serak. "Tapi kematianku tidak akan mengubah fakta kalau gas itu sudah memenuhi paru-paru istrimu yang cantik. Tidak ada cara menghentikannya sampai tabung itu kosong. Lima menit? Oh tidak, mungkin sekarang mereka sudah mulai bermimpi indah tentang kematian.. Hahaha.."Cengkeraman Denzel semakin menguat hingga wajah wanita itu membiru. Amarahnya kini sudah berada di puncak, melampaui logika. Namun, sebuah tangan menepuk bahunya dengan tegas."Denzel! Berhenti! Jangan biarkan dia mati semudah ini!" seru Aksa. Ia mendekat dengan napas memburu. "Tim teknis sedang melacak letak tabung itu di dalam saluran ventilasi. Kita harus fok







