Se connecter“Arby satu minggu ini bakal nginep di rumah Aurora sama Luke,” ucap Isandro siang itu, suaranya tenang namun jelas, saat ia memasuki kamar. Yessa yang tengah menepuk-nepuk punggung Yessy di atas ranjang langsung menoleh. “Jadi, tadi habis jemput Arby, kamu langsung anter dia ke rumah Mbak Aurora, Mas?” tanya Yessa pelan. Ia bergeser sedikit, memberi ruang ketika Isandro ikut naik ke ranjang dan berbaring di sisi putri kecil mereka. Yessy yang hampir terlelap menggumam kecil, dan Isandro otomatis mengusap perut bayi itu dengan gerakan pelan menenangkan. “Iya,” jawab Isandro sambil menatap Yessa. “Katanya mau main sama Arsy selama ada di sana, gantian sama adek Eci-nya. Aurora juga bilang dia gak keberatan jagain.” Yessa mengangguk, tersenyum tipis meski sedikit cemas. “Mudah-mudahan dia gak rewel di sana. Dan Mamanya gak buat masalah lagi.” “Arby gak akan rewel, tergantung gimana sikap Mamanya selama dia ada di sana nanti,” Isandro meraih tangan Yessa, mengecup punggungnya lembu
Pagi itu matahari masih lembut, hangatnya seperti selimut tipis yang memeluk bumi. Di halaman belakang, Aurora duduk di bangku taman dengan rambut diikat seadanya, sementara Luke mendorong stroller kecil berisi Arsy yang sudah bangun sejak pagi buta. “Arsy udah siap jemur, ya?” Aurora mengusap pipi chubby putrinya yang menyembulkan ekspresi penasaran melihat burung-burung kecil berkicau di pohon. Luke mendekat, membawa mangkuk bubur hangat yang uapnya masih mengepul tipis. “Kita jemur sambil makan, ya. Biar tambah sehat.” Aurora tertawa kecil. “Coba kita lihat, dia semangat atau enggak.” Begitu sendok pertama mendekat ke bibirnya, Arsy langsung membuka mulut lebar—seolah dunia akan runtuh kalau dia tidak segera mendapat suapan itu. Namun tak sampai dua detik setelah bubur itu masuk, Arsy menatap kedua orang tuanya lekat-lekat, lalu tertawa tanpa alasan jelas. “Kenapa dia ketawa, Ra?” Luke mengerutkan dahi, tapi ikut tersenyum. “Entah. Kayaknya dia bahagia banget hidup,” jawab
Dinding kamar mandi di belakang Yessa dingin. Tapi tubuh Isandro di belakangnya jauh lebih panas. Terlalu panas, sampai napas Yessa tercekat ketika tubuh itu menempel rapat ke punggungnya—mendorong, dan menghimpit tanpa jeda. Lalu dalam satu hentakan, tubuh mereka menyatu. Yessa nyaris terjatuh kalau bukan karena tangan Isandro yang menahan perutnya—menjaganya tetap berdiri, tetap terbuka, tetap menerima. “Ah—M-Mas ....” lenguh Yessa dengan napas berat. “Hm? Apa, sayang?” gumam Isandro, napasnya membakar leher Yessa. Satu tangannya terulur, menyusuri paha belakang Yessa, mendorong lebih dalam dalam setiap hentakan—membuat tubuh sang istri terdesak ke tembok. Gerakan pinggul Isandro datang seperti ombak—cepat, kuat, dan penuh kendali. Dinding bergetar setiap kali tubuh Yessa didorong ke depan. “Mhh ... Mas,” desisan tertahan terdengar dari mulutnya. Tapi Isandro tak melambat, gerakannya semakin intens dan dominan. Saat akhirnya mereka mencapai puncak—napas saling terse
“Tante Fika?” seru Arby kaget, namun mata polos itu berbinar antusias. “Yeay ... tante Fika datang,” ia berjingkrak heboh di teras rumah. Fika tersenyum lebar melihat tingkah Arby, lalu beralih pada Yessy di gendongan Isandro. “Saya datang ke sini karena kangen banget sama Yessy, Mas. Tapi, sepertinya lagi tidur, ya?” ucap Fika pada Isandro, seolah tak ada Yessa di sana—bahkan tak menyapa sedikitpun. “Iya, karena Yessy sedang tidak bisa ditemui ... alangkah baiknya kamu datang lain kali saja. Lagipula malam sudah larut, dan waktunya untuk istirahat,” balas Isandro, suaranya dingin. Fika menelan ludahnya berat, berusaha tersenyum meski sebenarnya dadanya sedang berkecamuk. Akhirnya dia menatap Yessa. “Yess, apa aku bisa nginep di sini malam ini? Udah larut, gak enak pulang sendirian,” ucap Fika dengan nada lembut—terlalu lembut, bahkan. Berharap bisa menarik empati Yessa. Yessa membuka mulut hendak menjawab, namun suara bariton Isandro terdengar lebih dulu, tegas dan dingin.
“Yessa,” seru Ana selaku pengantin hari ini, ketika dia melihat temannya datang bersama seniornya di rumah sakit—Isandro. Tak lupa juga dengan kedua anak mereka. “Ana ....” Yessa segera berlabuh pada temannya, memeluk Ana dengan sangat erat. Keduanya sama-sama terharu karena sudah cukup lama tidak bertemu, sudah satu tahun lamanya. “Gimana kabar kamu, Yes? Kalau sekarang sih baik pasti, maksudku dulu? Kamu ke mana? Kenapa kamu hilang kabar, Yes? Aku sama Laras khawatir sama keadaan kamu, tahu?” Ana terus menghujani Yessa dengan banyak pertanyaan begitu pelukan mereka terlepas. Satu tetes air mata mengalir membasahi pipinya. “Ih, jangan nangis, Na,” Yessa mengulurkan tangannya, mengusap pipi Ana agar tidak merusak riasannya. "Aku baik-baik aja, kok. Kamu jangan khawatir. Lihat, aku ada di depan kamu sekarang.” Ia tersenyum lebar, meyakinkan Ana. “Kamu bener-bener bikin aku khawatir tahu. Laras udah lahiran, ayo kita jenguk dia kapan-kapan,” seru Ana dengan bibir mencebik kesal.
“Gimana selama ini perasaan Arby punya Mama baru? Seneng?” tanya Shofia sambil memegangi cucu perempuannya yang duduk di pangkuannya. Arby mendongak, menatap sang nenek dengan mata polosnya. “Seneng Oma, seneng banget.” “Alasan kamu seneng apa?” “Banyak, Oma. Mama Yessa itu baik, tiap pagi bangunin Arby buat mandi, sarapan, sama dianter jemput ke sekolah. Ditemenin tidur, sama suka ajak jalan-jalan dan main.” Shofia mengangguk paham. “Gitu, ya? Memangnya Mama Aurora gak gitu sama Arby?” Seketika Arby langsung diam, tak tahu harus menjawab apa. Jika dia orang dewasa, dia pasti memendamnya sendiri—tapi siapa sangka, saat ini dia pun melakukannya. Dan Shofia tak bertanya lagi. Diamnya sang cucu, sudah menjadi jawaban bagi Shofia. “Kalau misalkan nanti Oma ajak Arby jalan-jalan sama adek, Arby mau?” tawar Shofia sambil mengayun pelan tubuh kecil Yessy di gendongannya. Arby mencebik, wajahnya serius seperti sedang mengambil keputusan besar untuk sebuah negosiasi internasiona







