Viona segera menaruh pakaian sang suami ke lantai. Ia melangkah dan mengambil benda pipih yang berada di ranjang. Lekas mendaratkan bokong di sana lalu mulai menelepon Dimas.
"Ish ... kenapa gak diangkat sih," gerutu wanita itu."Aku kan butuh jawaban," lanjutnya.Baru saja hendak menelepon Dimas, adik iparnya telepon. Ia mengerutkan kening tetapi, mengangkat sambungan itu."Mbak ... kapan Mbak ke sini, besok ke sini dong. Bantuin Hana, besok kan Hana sekolah. Ibu sakit, Mbak. Gak ada yang jagain. Kesini ya, please ...," pinta perempuan tersebut.Viona mengeryitkan alis seraya memiringkan kepala."Apa Mas Dimas gak tau Ibu sakit? Bukannya tadi udah ngasih uang ke Ibu. Bahkan bukti transfer aja masih ada," batin wanita itu.Perempuan tersebut tersadar kala Hana terus memanggil."Mbak, gimana? Mau ya ... Hana kan sekolah, kalau bukan Mbak siapa lagi yang jaga Ibu," lontar Hana.Viona mengembuskan napas pelan, lalu menganggukan kepala."Ya udah. Besok pagi, Mbak bakal secepatnya ke sana. Kamu tungguin Ibu dulu, jangan berangkat sekolah dulu," seru Viona."Emang Ibu sakit apa, Han? Sejak kapan, udah dibawa berobat belum," lanjut wanita itu.Mendengar pertanyaan kakak iparnya, Hana langsung menatap sang Ibu. Mertua Viona itu dengan cepat menulis sesuatu di kertas dan memperlihatkan pada putrinya. Membaca deretan yang di tulis Milla."Eum ... sejak pagi, Mbak. Lagi pagi gak terlalu parah makanya gak bilang sama Mbak. Tapi pas aku pulang eh Ibu sakitnya parah. Belum berobat Mbak, gak ada uang soalnya. Kata Ibu, tolong bawain uang besok, soalnya Mas Dimas udah lama gak ngasih uang sama kami," tutur perempuan itu.Viona kembali menukikan alis sampai menyatu mendengar penuturan gadis itu."Apa Hana gak tau, kalau Ibunya baru aja dapet transfer dari Mas Dimas."Wanita itu kembali bergumam dalam hati, lalu dari ponsel terdengar suara Mila."Iya Vio, Ibu gak punya uang sama sekali. Ini aja tinggal buat Hana aja besok sekolah. Kalau bisa nanti ke sini sekalian bawa makanan ya," seru Mila.Dia berucap sambil sesekali batuk, mendengar hal itu Viona semakin kebingungan. Ia terus diam lalu panggilan tersebut terputus karena benda pipih miliknya baterai habis."Eh, baterainya habis. Baru aja aku mau ngomong," kata wanita itu.Viona mengedikan bahu lalu bangkit dan menarik laci. Mengambil changer untuk mengisi daya ponsel. Setelah itu memilih melangkah ke bilik mandi untuk wudhu karena azan isya telah berkumandang."Haduh, mukenanya di mana ya," kata Viona.Dia mulai mencari dimana tempat biasa menyimpan, lalu saat melihat jemuran ia langsung menepuk kening."Oh iya, yang itu kan baru aja di cuci, moga aja kering."Perempuan itu segera mengambil mukena buat sembahyang di jemuran. Lalu melangkah ke kamar untuk melakukan kewajiban sebagai umat muslim. Selesainya Viona membaringkan tubuh di kasur."Mas Dimas ditelepon kenapa gak nelepon balik sih," gerundel perempuan itu.Dia memegang benda pipihnya lalu menatap layar. Mengembuskan napas dan menjatuhkan ponsel ke samping tempat ia berbaring."Kania itu siapa sih? Tapi Mas Dimas gak ada gelagat selingkuh lho. Apa dia sepupunya Mas Dimas? Tapi kenapa Mas Dimas pake bohong segala."Wanita itu mengacak-acak rambut karena frustasi. Otak yang terus bekerja menerka-nerka membuat ia lelah, tanpa sadar lelap memasuki alam mimpi. Suara azan subuh terdengar, Viona segera melakukan kewajibannya lalu lekas memasak untuk di bawa ke rumah mertua."Bawa seadanya aja deh, gak usah yang heboh-heboh. Lagian Mas Dimas kan ngasih uang cuma segitu, aku harus hemat-hemat biar jangan terlalu hamburin uang," gumam istri Dimas.Setelah memasukan makanan yang hendak di bawa ke rantang. Wanita itu segera mengambil piring dan mulai mengisi perut."Uh ... rasanya padahal enak, tapi karna pikiranku lagi kacau. Jadi ...."Viona menaruh piring yang berisi makanan yang baru saja lima suap ia masukan ke perut. Ia menghela napas lalu memejamkan mata, suara dering ponsel terdengar. Wanita tersebut segera mengambil benda pipih dengan cepat."Kirain Mas Dimas, pokoknya setelah pulang kerja pokoknya aku harus tanya penjelasan dia. Atau enggak aku tanya Ibu aja," gumam wanita itu.Dering ponsel itu telah berhenti lalu berbunyi kembali. Viona segera mengangkat sambungan tersebut."Mbak, kenapa lama angkat teleponnya. Ayo cepet ke sini, aku kerepotan banget nih," seru Hana.Mendengar nada suara Hana yang lumayan kencang. Wanita itu menjauhkan hanpdhone dari telinga, lalu menarik napas dan mengusap dada."Iya-iya, Han. Ini Mbak mau otw, sabar dulu ya. Mbak juga kan kudu nyari ojek yang mangkal," balas Viona.Setelah mendapatkan jawaban Viona, Hana langsung berpamitan. Perempuan itu juga bilang akan segera berangkat sekolah, jadi saat sampai di rumah Mila. Dia menyuruh sang Kakak Ipar segera masuk tanpa lupa mengetuk pintu."Ya udah, kamu hati-hati berangkat sekolahnya. Jaga pergaulan kamu lho," nasihat Viona.Hana yang mendengar perkataan Viona memutarkan bola mata malas."Hm ... iya-iya, Mbak. Aku tau kok, gak usah dibilangin terus kali. Aku udah gede tau," balas perempuan itu.Setelah berkata demikian, Hana langsung mematikan sambungan telepon. Sedangkan Viona hanya mengembuskan napas lalu menaruh handphonenya."Gak sabaran banget sih, baru juga jam segini. Lagian kenapa berangkat sepagi ini, gak sekalian berangkat sekolah subuh," gerundel Viona.Perempuan itu segera bangkit dari duduknya, lalu membawa rantang yang berisi makanan. Ia tidak lupa mengambil tas di kamar dan tak lupa setelah keluar kediaman mengunci pintu."Tuh, masih belum terang banget. Huh ...."Wanita berambut sebahu dan berpakaian dengan baju sehari-hari mulai melangkah. Ia menyelempangkan tas dan menjinjing rantang. Tukang sayur yang biasa lewat sini, melihat Viona keluar dari kediaman menyapa."Eh, Mbak Vio mau ke mana? Pagi-pagi gini udah bawa tas," sapa lelaki itu.Mendengar seruan yang familiar, perempuan itu menoleh."Eh, Mang. Ini mau ke rumah mertua, dia sakit soalnya," sahut Viona.Lelaki itu tidak menjawab, karena ia mulai sibuk melayani pembeli. Sedangkan Viona memilih melangkah pergi menuju pangkalan ojek, setelah menemukan dia lekas meminta diantar. Sesampai di kediaman sang mertua, wanita berambut sebahu ini lupa tidak mengetuk pintu."Bu, kok Ibu di luar? Katanya sakit. Apa udah mendingan," seru Viona.Mendengar suara menantunya, Mila membulatkan mata. Ia langsung sangat terkejut, bukannya saat Hana menelepon wanita tersebut masih di kediaman."Eh, kamu udah sampe Vio. Ibu laper Vi, jadinya Ibu masak mie deh. Ayo sini, makannya juga belum habis. Kamu bawa makanan kan, Ibu masih laper nih," panggil wanita itu.Viona mengerutkan kening, tetapi memilih tidak ingin berpikir begitu banyak. Ia segera melangkah dan duduk di dekat Mila."Kamu ke sini kok pakaiannya gini sih, bikin malu aja," gerundel Mila.Mila mengadahkan tangan ke arah sang menantu."Oh iya, mana uangnya. Ibu minta uang," pinta wanita itu.Viona mengerutkan keningnya, ia menatap sang mertua."Minta uang? Bukannya Ibu udah di transfer sama Mas Dimas ya. Lagian uang yang dikasih Mas Dimas buat sehari-hari aja gak cukup, Bu!"Mata Mila melotot mendengar balasan menantunya. Ia langsung menunjuk Viona dengan jari. "Kamu ini kurang ajar ya! Ibu lagi sakit lho. Ibu minta uang buat berobat, lagian ... kamu tuh bohong banget. Anakku selalu ngasih uang banyak lho sama kamu, makanya Ibu cuma dikasih dikit," sungut Mila.Viona terkejut dengan perkataan Mila. Ia langsung mengeluarkan uang di tas dan menunjukan pada sang mertua. "Uang yang dikasih anakmu itu cuma segini, Bu! Besar dari mana coba, bahkan kebanyakan kurang buat aku jadi kasbon ke warung. Belum bayar kontrakan," balas Viona.Melihat uang yang ditunjukan menantunya, Mila langsung merebut. Viona terkejut dengan gerakan wanita tersebut. "Ibu apa-apaan sih! Sini uangnya. Aku gak bisa ngasih Ibu uang, itu aja gak cukup buat kebutuhan aku sama Mas Dimas," seru Viona.Mila
Viona mengerutkan kening karena bingung dengan pertanyaan tetangga kontrakannya. Ia segera bangkit dan menatap wanita itu. "Maksud kamu apa, Sin? Berita apa?" tanya Viona.Wanita itu segera mengajak Viona untuk duduk di kursi yang ada di depan kontrakan."Tahap emosimu ya, Vi. Ini lho, beritanya udah nyebar ke grup. Bahkan namamu sama sekali gak di sembunyikan," ucap perempuan itu.Viona semakin kebingungan mendengar tetangga kontrakannya. "Ini baca sendiri beritanya, lagian. Kamu kenapa gak ikut join di grup kampung ini," lontarnya.Dia segera meraih handphone wanita tersebut. Lalu segera membaca berita yang ditanyakan tetangga kontraknya, mata Viona membulat membaca deretan itu."Apa-apaan ini? Aku gak nyuri uang Ibu kok," ucap Viona spontan.Perempuan tersebut terkejut dengan kata yang keluar dari bibir Viona. Dia mengelus dada akibat masih terasa kagetnya. "Makanya aku nanya ke kamu, gak mau asal telen berita mentah-mentah," sahut Sinta.Istri Dimas itu menarik dan mengembuskan
Setelah berkata demikian Mila langsung berlalu masuk ke kediaman. Sedangkan warga yang tadi bersama istri ketua RT. Mengusap punggung wanita tersebut. "Sabar Bu, dia emang gitu."Wanita tersebut menghela napas dan menatap orang yang berbicara. Ia mengulas senyum kecil lalu mengangguk."Kasian Viona ya. Ya udah yuk gak usah ikut campur urusan orang, kita pergi aja," seru perempuan itu.Setelah berkata demikian, ia langsung menatap Nisa. "Kamu juga jangan lupa minta maaf ke Viona, kamu awal yang nyebar gosip itu," nasihatnya.Nisa menganggukan kepala, mereka langsung bubar. Sedangkan Mila yang mengintip di dalam kediaman lewat jendela. Mengepalkan tangan, amarah sangat memuncak di dada."Sial! Ini semua dalang utamanya Viona, dia harus tanggung jawab," geram perempuan itu.Perempuan paruh baya itu segera menutup gorden, ia melangkah ke ruang tamu. Karena sudah tidak tahan ingin menelepon anaknya, wanita tersebut segera menghubungi Dimas. Beberapa kali Mila terus menelepon, sampai ters
Gadis itu mengerutkan kening lalu cemberut. Ia menoleh menatap temannya memanggil karena pesanan mereka sudah matang. Dia mengangguk kepala sebagai jawaban."Nanti ya, aku habis pulang sekolah mau jalan-jalan sama pacarku," balas Hana.Mila menggeram mendengar balasan sang anak. "Gak! Pokoknya kamu bawain dulu itu pesenan Ibu ke rumah, kalau enggak uang jajan kamu distop sampe sebulan," sentak Mila.Hana segera menjauhkan handphone dari telinga saat sang Ibu berteriak. Lalu menempelkan kembali dan menghela napas. "Iya-iya, nanti pulang sekolah aku langsung beli dan anter ke rumah. Udah ya kalau gitu Hana mau makan dulu di kantin," sungut gadis tersebut. Wanita paruh baya itu berdecak kesal mendapati anaknya langsung memutuskan sambungan telepon."Huh, aku terlalu memanjakannya," gerundel perempuan itu.Mila menaruh handphonenya kembali lalu memilih melangkah ke kamar untuk beristirahat. Waktu berlaku begitu cepat, kini Hana baru saja keluar dari sekolah. "Duh ... Aku lupa bilang s
Dimas mengepalkan tangan mendengar cerita Ibunya. Sedangkan Hana menyeringai melihat hal tersebut. "Berani banget dia nyakitin Ibu!" geram Dimas.Tangan lelaki itu terkepal, urat leher sangat terlihat. Bahkan wajah pria tersebut sampai memerah. Melihat reaksi anaknya, Mila sangat ingin bersorak senang. "Iya, Dim. Masa dia malah sebarin ke grup, Ibu jadi disudutkan sama semua orang," adu wanita tersebut.pria tersebut melotot, seperti mata lelaki itu hendak keluar dari tempatnya. Dengan penuh emosi, Dimas memukul kasur karena terlampau marah. "Bener-bener, gak tau diri banget sih. Pasti dia begitu karena gak terima aku kasih uang dikit!"Mila mengerutkan kening mendengar perkataan Dimas. Tetapi ia malas bertanya, yang penting pembalasannya akan segera tersampai bukan?"Aku harus pulang sekarang! Buat beri pelajaran Viona," seru lelaki itu.Lelaki itu langsung bangkit lalu melangkah pergi. Mila dengan gerakan mata menyuruh putrinya untuk mengikuti Dimas."Ajak makan dulu, setelah i
Wanita itu memegang pipi yang di tampar. Sedangkan Dimas masih menatap sangar sang istri karena masih tidak puas. "Dasar, istri sialan!" maki pria tersebut.Viona mendongak menatap Dimas, mata perempuan itu berkaca-kaca. Tangannya memegang pipi yang baru saja ditampar sang suami. "Kamu apa-apaan sih, Mas! Harusnya aku yang marah di sini," sungut wanita itu.Mata lelaki itu melebar seperti hendak keluar dari kelopak. Pria tersebut menarik lengan Viona lalu mendorong ke arah sofa. "Apa kamu bilang! Kamu marah karna apa. Karna aku ngasih uang lima ratus ribu ke Ibu, gitu," hardik Dimas.Setelah berkata demikian, lelaki itu langsung mengambil sapu."Sebenernya pembalas ini belum setimpal dari apa yang kamu lakuin ke Ibuku!" lontar pria tersebut.Dimas langsung memukul Viona dengan batang sapu. Wanita itu memekik kesakitan. Mendengar teriakan perempuan tersebut sangat kencang. Lelaki yang berstatus suaminya, pergi ke ruangan lain. "Akh ... sakit," erang Viona.Wanita itu memegang paha
Dua hari berlalu, Dimas tidak pulang ke kontrakan. Ia sama sekali tidak merasa menyesal telah menyiksa sang istri. Langit kini telah menyemburkan semburat jingga, yang tandanya akan berganti menjadi malam. Viona memakai pakaian panjang agar tidak ada yang tau jika ia terluka."Vio, luka kamu udah sembuh belum?" tanya Sinta. Wanita itu bertanya saat ia tengah bersama beberapa perempuan yang sama penghuni kontrakan. Mendengar pertanyaan Sinta, mereka mengerutkan kening karena bingung. "Emang Viona kenapa, Sin," lontar salah satu dari mereka.Baru aja Sinta hendak menyahuti, Viona sudah menarik wanita itu. "Eh, Sin. Suamimu udah ada di dalam rumah tuh, tadi nyariin kamu lho," seru Viona.Mendengar itu mata Sinta membulat, ia langsung pamit masuk ke kontrakannya. Sedangkan teman bersama wanita itu tadi memilih pergi tidak lupa berpamitan dengan Viona."Vio ... kenapa kamu bohong?" tanya Sinta. Sinta tersadar kala pintu kontrakan masih terkunci. Biasanya sang suami tidak akan mengunci
Viona memegang pipi yang terasa panas sampai sekarang akibat tamparan sang suami."Mas ... kamu nampar aku lagi, bahkan rasa sakit akibat tamparan dua hari yang lalu aja masih membekas, Mas!" Awalnya ucapannya pelan lalu langsung meninggi. Dimas yang mendengar itu melotot, sedangkan Mila masih diam memperhatikan."Kamu masih berani mengeluarkan suara!" sentak Dimas.Dimas yang hendak menyakiti Viona langsung ditahan oleh Mila. Sedangkan wanita itu langsung menunduk dan menutup wajahnya."Jangan berlebihan, Dim. Disini tuh rumah berdempetan. Nanti kedengaran, apalagi sekarang masih sore," ucap Mila.Mila memegang lengan anaknya membuat Dimas menoleh. Lelaki itu menghela napas dengan napas memburu. Sedangkan Viona menatap tak percaya pada sang suami. "Apa kamu gak ingin mendengar penjelasanku dulu, apa yang Ibumu omongin sama kamu! Sampe kamu berani menyakitiku," seru Viona.Wajah lelaki itu memerah, bahkan urat leher sampai terlihat. Tangannya terkepal dan menunjuk wajah Viona. "Ma