Share

Terabaikan

Author: Lyrik wish
last update Last Updated: 2025-10-15 13:40:49

Dua hari kemudian, di Rumah Mode Kinanti.

Gedung modern itu berdiri anggun di kawasan elit SCBD, dinding kaca memantulkan cahaya matahari siang yang terik.

Di lantai tiga, ruang kerja pribadi Kinanti terasa begitu rapi, elegan, namun sekaligus dingin—persis seperti pemiliknya.

Kinanti duduk di meja kerjanya, rambut hitam panjangnya tergerai ke satu sisi. Sejak tadi, pensil di tangannya hanya menari di atas kertas putih, membentuk coretan-coretan acak yang bahkan tak bisa disebut sketsa.

Tangannya bergerak, tetapi pikirannya jelas jauh melayang entah ke mana.

Wanita itu menarik napas dalam-dalam, lalu meletakkan pensil. Jemarinya menekan pelipis. Seorang fashion designer muda yang namanya sedang melambung di kalangan sosialita, selebriti, bahkan politikus ibu kota.

Dia dicari-cari untuk gaun gala, pesta pernikahan, hingga sekadar private fitting. Namun di balik semua itu, hari ini dia justru duduk bengong.

Ceklek.

Pintu ruang kerja terbuka.

"Halo, kak." Suara ceria terdengar. Dari balik pintu, muncullah seorang gadis berambut sebahu, mengenakan dress hitam sederhana.

Dialah Hana, asisten pribadi Kinanti yang sudah menemaninya sejak awal karier. Di tangannya ada sebuah buket besar berisi bunga Lily putih yang dipadukan dengan baby’s breath mungil.

"Kak... ada kiriman bunga lagi," ucap Hana dengan senyum penuh arti. Dia melangkah mendekat, lalu meletakkan buket itu di meja kerja Kinanti.

Kinanti menoleh, matanya jatuh pada bunga-bunga segar yang kini memenuhi ruang dengan aroma manis lembut. Bibirnya terangkat tipis.

"Hmmm..." sahutnya datar, meski senyum tipis itu jelas bukan senyum biasa.

Hana meraih kartu kecil yang terselip di antara bunga. Suaranya terdengar geli ketika membacakannya.

"Have a lovely day for my lovely lady... from G."

Hana menahan tawa, lalu melirik Kinanti penuh godaan.

"Siapa tuh, kak? Cieee..."

Kinanti tidak langsung menjawab. Dia hanya meraih kartu itu, mengangkatnya ke dekat hidung, lalu menghirup dalam-dalam. Aroma kayu hangat langsung menempel di inderanya. Bibirnya melengkung lebih lebar.

"Hmmm... sandalwood," gumamnya lirih, seolah berbicara pada diri sendiri.

Tatapannya penuh makna, namun hanya sejenak. Karena setelah itu, ia menegakkan punggung, menaruh kartu di atas meja, lalu bersandar sambil menghela napas panjang.

Ah... kau hanya persimpangan, Ganendra. Tak perlu se-effort ini...  batinnya, getir namun diselipi senyum kecil yang nyaris seperti tantangan.

Tepat saat itu, ponsel Kinanti yang tergeletak di samping kertas sketsanya bergetar pelan. Sebuah notifikasi masuk. Dia meraihnya, membuka layar, dan sebuah pesan singkat muncul.

Ganendra: How’s the flower?

Senyum itu kembali muncul di wajah Kinanti. Tanpa berpikir lama, ia mengetik balasan.

Kinanti: Too white... 

Balasan masuk cepat sekali.

Ganendra: Kau tidak memberitahuku, Kinan...  bunga apa yang kau sukai?

Kinanti terkekeh kecil, mengetik sambil menggigit bibir bawahnya.

Kinanti: Cari tahu sendiri, Ganendra... kau akan mendapatkan hadiah jika berhasil menebak.

Hanya beberapa detik, notifikasi kembali muncul.

Ganendra: Hmmm... challenge accepted! Tempat biasa, nanti sore?

Mata Kinanti berkilat nakal. Jemarinya menari di layar.

Kinanti: Aku harus ke rumah orang tuaku...  how about tomorrow?

Tak lama kemudian, satu pesan lagi datang.

Ganendra: Baiklah... I miss you already... 

Kinanti memandangi layar beberapa detik, lalu menutup ponsel itu perlahan.

Senyum kecil tetap bertahan di wajahnya. Ada sesuatu yang bergejolak di dadanya—antara euforia, rasa bersalah, sekaligus kenikmatan yang tak terjelaskan.

"Kak... aku jadi takut, lho," suara Hana memecah lamunannya.

"Dari tadi kakak senyum-senyum sendiri, kayak orang baru jatuh cinta pertama kali."

Kinanti menoleh tajam, tatapannya menusuk.

"Apa kau tidak punya pekerjaan lain, Hana?" suaranya tegas, namun terselip nada manja khas bos yang sudah terlalu terbiasa dengan asistennya.

Hana spontan mengangkat kedua tangan, pura-pura menyerah.

"Oke, oke. Aku pergi. Jangan marah, Kak." Dia lalu melangkah cepat ke arah pintu sambil cengengesan.

Begitu pintu tertutup, Kinanti mendesah pelan. "Dasar bocah..." gumamnya, namun senyumnya masih bertahan.

Matanya kembali jatuh pada buket bunga di atas meja. Tangannya terulur, membelai kelopak lily yang putih sempurna. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi sandalwood dari kartu ucapan.

Senyum itu, sekali lagi, muncul—kali ini lebih dalam.

•••

Malam hari, Kediaman Atmadja.

Sebuah rumah mewah berdiri anggun di kawasan elit Jakarta, namun arsitekturnya kental dengan nuansa Jawa klasik.

Pilar-pilar kayu jati menjulang kokoh, ukiran halus menghiasi pintu, dan di setiap sudut rumah tergantung lukisan leluhur keluarga Atmadja.

Namun kemegahan itu tak sanggup menutupi hawa dingin yang meresap ke dalam hati setiap penghuninya malam ini.

Di ruang makan yang luas, meja panjang dari kayu trembesi sudah dipenuhi hidangan khas Jawa modern. Tak ada tawa, tak ada canda—hanya sunyi dan suara sendok sesekali beradu dengan piring.

"Kinanti... kemana Bara? Kenapa tidak ikut makan malam?" suara lembut Nimas Asih, ibu Kinanti, memecah kesunyian. Ia menatap putrinya penuh rasa ingin tahu.

Kinanti yang sejak tadi hanya menunduk, meletakkan sendoknya perlahan. Senyumnya hambar, nyaris sarkastis.

"Ibu masih menanyakan Bara?" suaranya tenang, namun penuh luka. Ia menegakkan punggung, menatap ibunya lurus.

"Dia sedang menemani selingkuhannya, Bu."

Brakkk!

Cangkir teh porselen di tangan Raden Gibran Atmadja menghantam meja dengan kasar. Cairan hangat tumpah, namun tak seorang pun berani bergerak. Wajah Gibran mengeras, rahang menegang, sorot matanya menusuk seperti mata seorang prajurit yang baru saja dikhianati.

"Kinanti! Jaga ucapanmu!' bentaknya tajam.

Namun Kinanti tak gentar. Ia menggigit bibirnya, menahan getir yang sudah lama menumpuk, lalu bersuara lirih namun mantap.

"Kenapa ayah harus marah? Itu kenyataan. Ayah sendiri tahu, bukan? Semua orang tahu Bara berselingkuh. Tapi ayah tetap tidak membiarkanku menceraikannya."

"Kinanti!!!" suara Gibran meninggi, memantul di langit-langit tinggi ruangan itu.

Mata Kinanti berkilat, separuh basah oleh amarah.

"Bara itu lelaki, mungkin usahamu kurang membuat dia betah di rumah," suara Gibran kembali, kali ini lebih berat, penuh tekanan. "Dan jangan sekali-kali kau mengatakan cerai. Mau ditaruh di mana nama baik keluarga kita? Putri satu-satunya keluarga Atmadja bercerai? Itu aib, Kinanti."

Hening sejenak. Lalu suara lembut Nimas Asih terdengar, hampir seperti bisikan.

"Sudahlah, Ayah... jangan terlalu keras. Dia anak kita..."

Kinanti menoleh pada ibunya, menatap penuh harap. Namun tatapan itu tak berbalas, hanya bayangan pasrah yang ia temukan di mata sang ibu. Seolah Asih pun terikat oleh aturan yang sama.

Kinanti menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara pecah, namun penuh keberanian.

"Jadi, ayah lebih memilih aku hancur... daripada aku mencari kebahagiaanku sendiri?"

Tak ada jawaban. Hanya tatapan keras ayahnya, dan wajah ibunya yang menunduk tak berdaya.

Kursi di belakangnya bergeser kasar ketika Kinanti bangkit berdiri.

"Sudah cukup." Ia menatap ibunya dengan lirih.

"Aku pulang, Bu. Rasanya menyedihkan... tidak ada yang membelaku. Bahkan keluargaku sendiri."

Tanpa menoleh lagi, Kinanti melangkah keluar, langkahnya cepat, suaranya menggema di lantai marmer. Pintu besar rumah itu terbuka, lalu tertutup kembali dengan bunyi berat.

Di ruang makan, keheningan kembali jatuh. Nimas Asih menatap suaminya, matanya berkaca-kaca.

"Ayah..." lirihnya. Tapi Gibran hanya terdiam, menatap cangkir teh retak di depannya, seolah itu simbol keluarga yang sedang pecah.

•••

Di dalam mobil hitamnya, Kinanti duduk di balik kemudi. Lampu jalanan berkelebat melewati kaca depan, namun matanya kosong. Hingga tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Dengan cepat, ia meraihnya. Nama pengirim tertera jelas: Nadia. Selingkuhan suaminya.

Pesan itu hanya satu baris, namun menghantam lebih keras dari apa pun.

[Bu Kinanti... Pak Bara betah sekali sama saya. Lihat, kami bahkan tidak sabar menantikan kelahiran anak kami.]

Terlampir sebuah foto. Bara, duduk di sofa dengan tangan melingkari perut seorang wanita muda yang sudah terlihat sedikit membuncit. Senyumnya lebar, matanya berbinar bahagia—bahagia yang tak pernah ditunjukkannya pada Kinanti.

Tangan Kinanti bergetar memegang ponsel. Namun bukannya menangis, ia justru menyeringai. Senyum sinis, dingin, penuh luka.

"Kau pikir aku akan cemburu, hah? Hatiku sudah mati untuk lelaki brengsek itu..." suaranya lirih, tapi penuh racun.

Ia melempar ponselnya ke jok sebelah, lalu menginjak pedal gas. Mesin meraung, mobil melaju kencang menembus malam.

Satu tujuan terpatri jelas dalam benaknya: rumah milik Ganendra.

•••

To be continued—

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Perlawanan Kinanti

    Ponsel Kinanti bergetar lagi, nada dering yang sama berulang tanpa henti. Nama Bara terus muncul di layar, berkali-kali, seolah pria itu tak akan berhenti sampai wanita itu mengangkatnya.Namun Kinanti hanya menatap sekilas, bibirnya mengerucut jengkel. Dengan gerakan cepat, ia menekan tombol merah lalu menonaktifkan ponselnya.Tidak ada niat sama sekali untuk menjawab, apalagi berurusan dengan Bara malam ini.Gerakan kecil itu ternyata membuat Ganendra terusik. Ia sempat membuka mata yang terpejam, lalu melirik ke arah Kinanti yang tengah meraih nakas untuk meletakkan ponselnya."Ummhhh... ada apa, Kinan? Kau belum tidur?" suara beratnya terdengar serak, masih lelah setelah bercinta.Ia bergeser pelan, mengganti posisi. Kini tubuh Kinanti yang mungil justru bersandar nyaman di dadanya yang bidang, seperti menemukan sandaran yang sempurna.Kinanti menarik napas panjang sebelum bersuara."Apa kita harus memiliki tempat khusus?" tanyanya tiba-tiba, suaranya datar tapi serius."Hmmm?" al

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Jika kau selingkuh, akupun bisa selingkuh

    Basement Penthouse, Malam Itu.Blugh!Suara pintu mobil tertutup keras, menggema di parkiran bawah tanah yang sunyi. Lampu neon putih keperakan memantulkan kilau mobil sport berwarna hitam yang baru saja diparkir.Kinanti Atmadja baru saja melangkah keluar. Tumit stilettonya beradu dengan lantai marmer abu-abu, meninggalkan denting elegan di ruang yang lengang.Tubuh rampingnya bersandar di kap mobil, tangan kanan menahan tubuhnya, sementara tangan kirinya merogoh tas kulit mewah.Ia menarik ponselnya, layar menyala, menyorot wajah cantiknya yang pucat namun tetap memesona. Jemarinya mengetik cepat.Kinanti: Kau dimana?Beberapa detik kemudian, layar ponsel bergetar. Notifikasi balasan masuk—sebuah foto.Gambar itu memperlihatkan Ganendra Adipati shirtless, tubuhnya berbaring di atas ranjang king-size, dada bidangnya terbuka, otot-otot sixpack perutnya jelas, kulitnya berkilau samar tertimpa cahaya lampu kamar. Tatapannya ke kamera dalam, menggoda, penuh undangan.Ganendra: Aku di ata

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Terabaikan

    Dua hari kemudian, di Rumah Mode Kinanti.Gedung modern itu berdiri anggun di kawasan elit SCBD, dinding kaca memantulkan cahaya matahari siang yang terik.Di lantai tiga, ruang kerja pribadi Kinanti terasa begitu rapi, elegan, namun sekaligus dingin—persis seperti pemiliknya.Kinanti duduk di meja kerjanya, rambut hitam panjangnya tergerai ke satu sisi. Sejak tadi, pensil di tangannya hanya menari di atas kertas putih, membentuk coretan-coretan acak yang bahkan tak bisa disebut sketsa.Tangannya bergerak, tetapi pikirannya jelas jauh melayang entah ke mana.Wanita itu menarik napas dalam-dalam, lalu meletakkan pensil. Jemarinya menekan pelipis. Seorang fashion designer muda yang namanya sedang melambung di kalangan sosialita, selebriti, bahkan politikus ibu kota.Dia dicari-cari untuk gaun gala, pesta pernikahan, hingga sekadar private fitting. Namun di balik semua itu, hari ini dia justru duduk bengong.Ceklek.Pintu ruang kerja terbuka."Halo, kak." Suara ceria terdengar. Dari bali

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Aku harus hamil

    Satu bulan berlalu... Keringat mengalir di pelipis Kinanti, tubuhnya bergetar di bawah desahan panjang yang lolos dari bibirnya."Ngghhh... Ganendra... aku... aku sudah tidak kuat..." suaranya parau, bercampur antara kenikmatan dan kelelahan.Ganendra menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari milik Kinanti, napasnya memburu, tubuhnya menegang hingga urat di lehernya mencuat."Kinanti... aku tidak memakai pengaman..." bisiknya, nyaris seperti ancaman sekaligus pengakuan.Mata Kinanti terpejam rapat, kepalanya terhentak ke belakang."Keluarkan... di dalam saja..." ia meliuk, tubuhnya menegang dalam kepasrahan yang nikmat."Aku ingin seorang anak... ahhh..."Hembusan napas berat Ganendra terdengar di telinganya."Kinantiiii... Arrrggghhh!!"Tubuh atletis lelaki itu akhirnya terkulai, dadanya naik turun dengan cepat, sementara peluh membasahi kulitnya.Ia menindih Kinanti sejenak, merasakan detak jantung keduanya berpacu gila.Dengan sisa tenaga, Ganendra menggulingkan tubuhnya ke samping,

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Pertemuan Dengan Ganendra

    Beberapa hari kemudian, tibalah hari yang dinanti—malam reuni kampus Universitas Azzura.Kinanti berdiri di depan cermin besar di kamarnya, memandangi bayangan dirinya sendiri yang tampak begitu memukau dalam balutan gaun hitam sederhana dengan potongan elegan yang menonjolkan lekuk tubuhnyaMeski desainnya tidak berlebihan, kemewahan tetap terpancar dari setiap detailnya, terutama dari perhiasan berlian yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya. Aura anggun dan mahal benar-benar keluar dari sosoknya malam itu.Tangannya sempat bergetar sedikit saat ia merapikan anting, bukan karena gugup, melainkan karena hatinya masih menyimpan bara amarah yang belum padam. Luka batin akibat pengkhianatan Bara belum kering sepenuhnya, tapi malam ini, Kinanti bertekad tampil sempurna—untuk menunjukkan pada dunia bahwa dirinya tidak hancur.Suara langkah sepatu terdengar mendekat. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, menampakkan sosok pria dengan jas hitam rapi. Bara berdiri di ambang pintu, w

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Lelaki bernama Ganendra

    RUMAH MODE KINANTI. Kinanti Atmadja, mengenakan kemeja putih dan rok pensil hitam, berjalan melewati deretan kain satin dan manekin yang dipajang rapi di lorong utama. Tatapannya fokus, wajahnya tenang—nyaris tak menunjukkan bahwa hidup pribadinya baru saja porak-poranda.“Kak,” panggil seseorang di belakangnya.Asisten pribadinya, Hana, berlari kecil menyusul sambil membawa tablet di tangannya.“Nanti siang ada klien, Kak. Kakak tahu kan influencer yang lagi booming itu? Tarina?” ucapnya cepat sambil menyesuaikan langkah.Kinanti melirik sekilas, bibirnya membentuk senyum tipis.“Ah, yang viral karena video dia nangis itu, kan?” tanyanya datar.Ceklek.Pintu ruang kerja Kinanti terbuka. Aroma teh melati langsung menyambut begitu ia masuk. Ia meletakkan tas tangan di atas meja kerja kayu mahoni yang bersih dari berkas, hanya ada tumpukan sketsa dan laptop terbuka.“Iya, Kak, yang itu,” lanjut Hana sambil berdiri di depan meja. “Dia mau bikin pesta ulang tahun mewah minggu depan, dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status