Zayen pergi ke belakang untuk melihat-lihat kamar mandi. Walaupun sederhana, namun kamar mandi dan toilet di rumah tersebut tidak bergabung, melainkan berdampingan. Desain yang lumayan bagus oleh pemilik sebelumnya.Masih tanpa bicara, Aira dan Zayen kembali melangkah ke ruang tamu. Walau tanpa meja dan kursi, namun ruangan tersebut tetap terlihat nyaman. Ada sebuah ambal ukuran sedang terhampar di depan meja, di atasnya ada televisi model tabung jaman dahulu dengan layar 14 inch. Cukup untuk sekedar melihat kabar dari berbagai penjuru Indonesia. Toh, jaman now manusia lebih banyak memandang layar handphone daripada layar televisi.Aira mengarahkan pandangannya menuju sebuah pintu yang menghadap ke ruang tamu. Rupanya, rumah tersebut hanya memiliki satu buah kamar tidur. Tentu saja, Aira langsung bergegas menuju kamar. "Omegot!" Seru Aira setengah terpekik begitu tiba di depan pintu kamar. Zayen terkejut dan langsung menghampiri Aira yang masih menutup mulut."Ada apa? Kok teriak-ter
"Raaa! Sisain tempat bajuku," teriak Zayen dari depan televisi pada Aira yang sedang asyik menyusun beberapa pakaian miliknya."Iya-ya! Ga usah teriak-teriak kaya Tarzan, telingaku enggak budeg," ketus Aira sambil keluar dari kamar."Sudah tu! giliranmu," lanjutnya sambil merebut remot televisi dari tangan Zayen.Zayen melangkah masuk ke dalam kamar. Ia meraih koper dan tas miliknya lalu membuka lemari."Kok, aku cuma di sisain satu tempat, Ra?" protesnya."Itu sih, derita loe! Siapa suruh nyusun belakangan," jawab Aira dari luar sambil memindah-mindahkan chanel televisi."Enggak bisa gitu dong! Mana muat bajuku cuma satu tempat," sungut Zayen."Nih! Sementara. Ntar beli sendiri aja lemarinya," ucap Aira sambil melempar sebuah kardus bekas ke dalam kamar."Ya mendingan di koper, lah!" Zayen balas melempar kardusnya keluar."Sombong!" gerutu Aira sambil melangkah menuju dapur.Aira mulai diserang rasa lapar. Tapi lelah juga masih belum berniat pergi dari anggota tubuhnya. Aira melihat
"Sorry, kepencet," ucap Aira berbohong."Rem motormu masih beres, kan?" Selidik Zayen."Emm ... enggak terlalu cakram aja, sih," lanjut Aira berbohong. Padahal memang karena fokus memencet klakson, tangannya lupa menarik rem.Zayen berbalik masuk di iringi oleh Aira. Langkah Aira tergesa-gesa ingin mendahului Zayen."Kamu kenapa sih, Ra?""Mau pipis! Kebelet tau," jawabnya.Zayen hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya. Sesampai di dapur, Aira heran ada mangkok berisi sambel goreng hati, kentang dan buncis. Satu lagi piring berisi rendang daging. Aira meneguk liur melihat rendang sapi kesukaannya."Tapi, siapa yang masak?""Apa dia beli?""Ah, enggak mungkin. Kan kata Bu May, dia enggak doyan makanan dari luar,"Aira berpikir lalu menepis sendiri pertanyaan di kepalanya.Berbalik ke kamar mengambil handuk dan baju ganti. Melihat menu di meja makan perutnya mendadak di serang rasa lapar. Tak sabar ia ingin memindahkan isi mangkok dan piring tersebut ke dalam perut.Selesai
Malam ketiga, giliran Aira kembali tidur di kamar. Ia merebahkan dirinya sambil tersenyum. Diraihnya handphone lalu jari-jarinya mulai berselancar di aplikasi facebook dan instagram. Tangannya berhenti pada sebuah foto profil seorang lelaki yang muncul di kolom penawaran pertemanan. walaupun dengan setelan baju koko dan kopiah berwarna hitam, tak mengurangi ketampanannya. Tangannya tertarik untuk mengklik profil suaminya tersebut. Selama ini ia dan Zayen memang hanya terhubung lewat WA. Untuk sosial media yang lain Aira tidak begitu perduli.Tapi malam ini, entah mengapa ia ingin melihat-lihat beranda milik suaminya tersebut."Sial!" umpatnya.Rupanya Zayen sudah mengunci pengaturan privasi di akun milikknya. Yang bisa melihat berandanya, hanya yang berteman saja. Sedangkan dia tidak berteman. "Add enggak, ya?"Aira berbicara dengan dirinya sendiri sambil memutar-mutar hp di tangannya. "Ah, enggak usah!" sambil meletakkan kembali handphone di pembaringan.Aira merasa tenggorokanny
"Kita pulang," ucap Aira sambil menarik tangannya dari genggaman Niko yang mulai mengombang-ambingkan perasaannya.Sepanjang perjalanan pulang Aira dan Niko hanya berdiam diri. Aira tak berniat berbicara hingga mereka tiba di rumah Niko kembali. Aira keluar dari mobil dan langsung saja menuju garasi.Aira mengeluarkan sepeda motornya dan langsung saja pulang tampa pamit pada Niko yang memandangnya dengan pandangan serba salah.Sepanjang perjalanan pulang, Aira memikirkan ucapan Niko di Taman tadi. Ternyata perasaannya dulu pada Niko tak bertepuk sebelah tangan seperti yang ia pikirkan sebelumnya."Hhhhuuuhh"Aira mendengkus di dalam hati, sedikit menyesali semua yang terjadi. Tapi sekarang, dia bisa apa?Bayangan Niko dan Zayen silih berganti mengiringi Aira yang memacu sepeda motor lebih cepat dari biasanya, karena hari sudah mulai memasuki waktu magrib.***Aira tiba rumahnya setelah magrib. Ketika ingin memasuki pintu rumah, ia mendengar suara Zayen tengah berbicara dengan seseoran
Dalam kekalutan pikiran Zayen terpikir untuk menelpon Bu Indarti. Berkali-kali ia memencet tombol panggilan di handphonenya, berkali-kali pula jempolnya membatalkan. Zayen ragu dan malu jika harus meminta bantuan pada orang yang terlalu banyak membantunya. Tapi, kalau bukan Bu Indarti, siapa lagi? Akhirnya Zayen memutuskan untuk tetap menghubunginya."Asalamualaikum, Bu! Maaf menggangu, Saya ... saya ...memerlukan bantuan Ibu," ungkap Zayen terbata-bata."Ada apa, Zayen?""Bu ... Aira kecelakaan, dia belum sadar dan mengalami pendarahan di bagian kepala. Aira ....""Katakan di rumah sakit mana?" Potong Bu Indarti cepat.Setelah menyebutkan rumah sakit tempat mereka berada, Zayen menutup sambungan teleponnya. Zayen terduduk lemas dan tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan Aira. Sekitar setengah jam kemudian, Bu Indarti tiba dan menghampiri Zayen dengan terburu-buru."Bagaimana keadaan Aira?""Masih ditindak, Bu," suara Zayen terdengar parau."Kenapa bisa jadi begini? Tadi Aira p
Niko mengangkat wajah dan memandang zayen meminta penjelasan. Kedua telapak tangannya mengepal. Niko berdiri dan menarik kerah baju Zayen seperti yang dilakukan Zayen padanya di Rumah Sakit. Satu bogem mentah telak mengenai pipi Zayen."Brengsek! Kupikir kamu lelaki baik-baik! Ternyata kamu bajingan! Suami macam apa yang meninggalkan istrinya dalam keadaan sakit?"Niko kembali mengangkat tangannya siap menambah pukulan ke wajah Zayen, namun Zayen berhasil menangkap tangan Niko dan mendorongnya hingga tersungkur."Kamu salah! Aira pasti senang lepas dariku. Aira tidak pernah mencintaiku. Kami bahkan tidak pernah tidur sekamar selama hampir setahun pernikahan kami!" Ucapan Zayen membuat Niko terhenyak. Ia merasa tak percaya dengan ucapan Zayen."A-apa maksudmu, Zayen?" Zayen menceritakan tentang pernikahannya dengan Aira yang di awali dengan kebohongan sampai terjadinya musibah yang menimpa Aira, dan kondisi orang tuanya yang kritis, Ibunya terus memintanya untuk pulang dalam keadaan
Aira membuka matanya perlahan-lahan. Dinding bernuansa putih mendominasi pemandangan awal yang ia lihat. Aira mengerjap-ngerjapkan mata sejenak. Terlihat seorang perawat dengan pakaian serba putih berdiri dan tersenyum padanya."Alhamdulillah, akhirnya Mbak sudah sadar," ucapnya sambil mengusap kedua telapak tangan ke wajahnya."Dimana Aku?" Tanya Aira dengan suara lemah."Di Rumah Sakit," jawab perawat lembut."Aku sendirian?""Ada Aku," seloroh perawat tersebut."Enggak sendirian Mbak, ada suaminya yang super menjaga Mbak. Beruntung banget memiliki Dia," lanjutnya.Aira tersenyum mendengar ucapan perawat tersebut. Tiba-tiba hati kecilnya merindukan Zayen. Rasa rindu ingin bertengkar dengannya menggebu."Dimana Dia?""Tadi pamit ke Mushola. Ini kan sudah waktu zuhur. Tadi dia memintaku menjagamu," jelas perawat tersebut mengingatkan pada Aira yang tak sadarkan diri sehari semalam, tentang waktu.Aira kemudian diam. Merasakan nyeri di beberapa bagian tubuh, dan rindu di hatinya. Aira