Share

Bab 4. Kedatangan Pria Paruh Baya

Semalam, aku putuskan untuk tidak terbawa arus perasaan. Buat apa menjadi orang lain, di saat orang lain begitu ingin berada di posisiku? Pikiran itulah yang semalam berhasil membuatku lebih tenang, lantas aku pun tertidur lelap hingga pagi menjelang.

Aku adalah seorang pebisnis muda yang bisa dikatakan cukup berhasil mengelola toko bunga yang aku rintis sejak tiga tahun lalu. Saat ini aku memiliki dua orang karyawan serta mitra kerja dari beberapa kota. 

Perihal fisik, ya, aku cantik. Bukan bermaksud ke-PD-an, tapi memang itulah yang kerap orang katakan. Orang bilang, hanya satu kekuranganku, yakni jarang terlihat dandan khususnya memakai lipstik dalam keseharian.

“Kak Mika mau berangkat ke toko bunga pukul berapa?” tanya Vanya dengan senyum ceria.

Tanpa aku bertanya pun sudah dapat kutebak jawabannya. Perubahan sikap yang mendadak ramah di pagi ini terjadi lantaran Vanya telah kembali mendapat seorang kekasih.

“Seperti biasa. Pukul setengah delapan pagi. Kamu mau mencoba cari pekerjaan lagi?” Aku bertanya dengan santai seolah semalam tidak terjadi apa-apa.

“Em, gimana ya, Kak? Kak Aldo bilang, aku tidak perlu kerja. Cukup dia saja yang bekerja,” ungkap Vanya sembari menampilkan wajah yang lebih sumringah dibanding sebelumnya.

Aku maklumi karena adikku itu pastilah tengah berbunga-bunga di dalam hatinya. Tidak sepertiku yang semalam justru menumpahkan air mata.

“Sebentar, memangnya Aldo bilang akan segera menikahimu?” tanyaku penasaran karena selama berkenalan denganku, lelaki itu sama sekali tidak pernah membahas perihal pernikahan.

“Sempat, dong. Kak Aldo bilang akan segera menikahiku.”

“Kapan tepatnya?”

“Entahlah. Kak Aldo tidak bilang. Tapi, pasti segera,” ungkap Vanya dengan begitu yakin.

Keyakinan Vanya berbanding terbalik dengan keyakinanku. Entah kenapa aku justru meragukan ucapan Aldo. 

Segera, kata itu memiliki banyak definisi. Bisa seminggu, sebulan, atau bahkan setahun lagi. Aku tidak mau melihat adikku bucin berlebihan tanpa ada kepastian ikatan. Apa lagi, telah terucap sebuah larangan untuk mencari pekerjaan.

“Sambil menunggu kepastian dari Aldo, sebaiknya kamu cari kerja. Kalau mau, bantulah kakak di toko bunga,” saranku dengan lebih dulu menimbang sisi baiknya.

“Tidak mau! Aku mau menuruti kata-kata calon suamiku!” tegas Vanya yang kini justru menampilkan mimik wajah kesal seperti semalam.

Aku enggan berdebat lagi pagi ini. Cukup tadi malam saja, dan tidak ingin terulang lagi. 

“Baiklah. Terserah kamu saja. Kakak mau bersiap-siap dulu,” putusku.

“Oke, Kak. Semangat kerja, ya.”

Wajah sumringah yang kembali menghiasi wajah adikku hanya kupandang sekilas tanpa berniat kubalas. Aku bergegas menuju kamar, lalu bersiap dengan rutinitas pekerjaan.

Tepat di pukul setengah delapan pagi, aku sudah berada di depan toko bunga. Disusul tak lama setelahnya dua karyawanku datang juga. Seperti biasa, mereka mempersiapkan toko buka sementara aku menuju seberang jalan untuk membeli sarapan.

Ya, aku jarang sekali sarapan di rumah. Tante Ema pun lebih sering membeli lauk jadi daripada memasak. Sedangkan Vanya, ah, aku tidak bisa berharap banyak darinya meski sudah sering aku beri nasihat. 

“Neng Mika pesan seperti biasanya?” tanya sang penjual.

“Iya. Nasi pecel tanpa dadar jagung. Tiga bungkus ya, Bu. Tambah rempeyek kacangnya juga.”

“Oke, Neng.”

Biasanya karyawan toko bunga milikku membawa bekal untuk makan siang. Khusus untuk hari ini akan kuajak mereka sarapan. Aku ingat pesan mama dulu. Jika hati tengah dilanda kegalauan, maka obati dengan banyak bersedekah dan menebar kebaikan.

Oh, aku kembali teringat dengan mama. Aku benar-benar merindukannya. Tapi, apalah daya. Mama sudah tidak lagi memperdulikan aku dan Vanya semenjak berpisah dengan ayah enam tahun lalu.

Kutepis sejenak kerinduan pada mama ketika mendapati pesanan nasi pecelku jadi. Lekas kuayunkan langkah menuju toko bunga lagi. Akan tetapi, sarapanku harus tertunda karena ada yang datang, yakni seorang pria paruh baya yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Melihat dari ekspresi dua karyawanku, agaknya mereka belum pernah bertemu juga dengan sang pria.

Postur tubuh sang pria tinggi gagah. Tampaknya dia gemar berolahraga hingga lengan-lengannya terlihat kekar. Parasnya pun menurutku lumayan tampan.

“Selamat pagi. Saya ingin membeli buket bunga mawar putih,” pinta sang pria dengan nada bicara yang tegas. Mimik wajahnya pun terlihat tegas.

Bukan aku yang melayani, tapi salah satu dari dua karyawanku. Meski demikian, aku tetap menunda sarapan.

Sejenak mencermati obrolan yang sang pria buat dengan salah satu karyawanku, rupanya yang dipesan adalah buket sultan. Yakni, buket berukuran jumbo yang harganya bisa sampai ratusan ribu rupiah.

Rejeki di pagi hari, begitu pikirku. Lekas saja aku bantu dua karyawanku untuk menyiapkan buket bunga dengan segera. Ya, buket itu harus segera dieksekusi karena sang pemesan menunggu hingga jadi.

Mau bagaimana lagi. Pembeli adalah raja. Aku dan dua karyawanku tetap akan berusaha memberikan pelayanan terbaik perihal buket bunga yang dipesan oleh sang pria paruh baya.

Akan tetapi, suasana di sana berubah ketika aku menyadari gelagat aneh dari sang pria paruh baya. Firasatku kuat mengatakan ada yang tidak beres. Pasalnya, pria yang kini duduk di sofa tunggu itu terus memandangku sambil senyum-senyum tanpa sebab.

“Sst. Apa ada sesuatu di wajahku?” tanyaku setengah berbisik kepada salah satu karyawan.

“Tidak ada, kok, Mbak. Mbak Mika tetap cantik seperti biasanya.”

Jawaban itu sudah cukup bagiku. Lantas, apakah yang membuat pria paruh baya itu terus melihat ke arahku?

Tak butuh waktu lama hingga aku mengetahui jawabannya. Alasannya terkuak melalui obrolan keras via telepon. Aku mendengar sendiri ketika pria itu menelpon entah siapa yang ada di seberang sana. Bukan hanya aku yang mendengar, dua karyawanku pun demikian.

“Mbak Mika, ternyata pria itu duda,” celetuk salah satu karyawanku sembari memelankan suaranya.

“Duda haus cinta, Mbak. Hati-hati, ah. Dari tadi Mbak Mika dilihatin terus sama dia,” bisiknya lagi sembari memintaku berhati-hati.

Sungguh, fakta ini membuatku tidak nyaman. Apa lagi, tatapan matanya semakin intens tertuju ke arahku. Sempat kudapati pula salah satu matanya berkedip genit. 

Aku tergoda? Tentu saja tidak. Penampilan si pria paruh baya kurang lebih sama seperti ayahku. Aku yakin usianya pun tak jauh beda dengan ayah.

Lantas, di tengah pengerjaan buket bunga pesanan, datanglah Tante Ema. Sungguh, tanteku itu sangat jarang mengunjungi toko bungaku kalau tidak benar-benar ada perlu.

Aku beranjak sebentar, berniat menghampiri Tante Ema yang baru saja masuk ke dalam toko. Akan tetapi, perhatian Tante Ema tidak tertuju padaku. Langkah kaki tanteku itu justru terayun menuju pria paruh baya di sofa tunggu.

“Hai, Aldi. Apa kabar?” sapa Tante Ema.

Aku terus memperhatikan. Tapi, tunggu dulu! Aldo, Aldi. Namanya serupa, tapi tak sama. Akan tetapi, ini bukan tentang nama, tapi tentang firasatku yang tiba-tiba.

“Jangan bilang kalau Tante Ema berniat mengenalkan pria itu kepadaku!” tebakku dalam hati. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status