Share

Bab 3. Hancur Berkali-Kali

Keadaan benar-benar tidak pernah bisa aku duga. Aldo terdiam bukan karena memikirkan jawaban atas pertanyaanku, melainkan karena ada adikku berdiri di ambang pintu. 

“Kakak ketus benar, sih, sama Kak Aldo!” gerutu Vanya yang sepertinya sudah banyak mendengarkan obrolanku dengan Aldo.

“Kamu nguping, ya?” tanyaku blak-blakan.

“Iya. Aku memang menguping.”

Entah apa yang ada di pikiran Vanya kali ini. Apa iya dia mau balas dendam atas kejadian di bulan lalu? Tapi, mana mungkin? Adikku itu bukanlah tipe pendendam. Dia hanya ketus dan lebih suka blak-blakan menyindirku sejak sebulan lalu. Mungkinkah Tante Ema yang menyuruhnya?

Pertanyaan itu terbersit begitu saja di benakku. Aku curiga kepada Tante Ema. Lekas kuedarkan pandangan menuju dalam rumah, tapi tidak kujumpai sosoknya di dalam sana.

“Untuk apa kamu menguping pembicaraanku dan Aldo?” tanyaku pada adikku.

“Sengaja, buat jaga-jaga seandainya Kak Aldo jadi korban kegalakan Kak Mika.”

“Inisiatifmu atau kamu disuruh?” tanyaku lagi, memastikan bahwa bukan Tante Emalah yang menyuruh.

“Aku sendiri. Dan … itu kemarikan! Kalau kakak tidak suka dengan hadiah ini, lebih baik untukku saja!”

Vanya merebut paper bag berisi lipstik hadiah dari genggaman tanganku. Setelahnya, sikap manjanya tampak tertuju pada Aldo. Adikku itu sungguh tidak tahu malu. Bisa-bisanya dia tebar pesona dan mencari perhatian di depan Aldo.

“Vanya, masuk!” titahku pada adikku.

“Ogah!”

“Vanya!”

“Cukup! Sudah cukup bertengkarnya, ya!”

Aldo menengahi aku dan Vanya. Tapi, aku tetap tidak mau mengalah. Aku punya peran sebagai seorang kakak yang tidak ingin melihat adiknya tebar pesona di hadapan seorang pria.

“Masuk!” titahku lagi pada Vanya.

Vanya akhirnya menurut, meski sebelum langkah kakinya terayun, sempat dia tunjukkan mimik wajah memelas kepada Aldo. 

“Mika, sepertinya kamu dan adikmu sedang ada salah paham. Aku tidak tahu apa masalahnya, tapi aku harap kalian berdua tidak sampai bertengkar terlalu lama,” ungkap Aldo menunjukkan simpatinya.

“Kalau begitu, kamu perlu tahu. Aku dan adikku bertengkar karena kamu. Karena niatmu yang tidak tulus terhadapku. Tolong jawab pertanyaanku yang tadi. Kamu menyukai adikku, kan?” 

Aku sudah tidak ingin berlama-lama lagi. Fakta sudah aku kantongi, kini tinggal mendengar dari mulut Aldo sendiri.

“Oh Mika, aku ini tertarik padamu,” ungkap Aldo.

Deg!

Bukan itu jawaban yang seharusnya aku dengar. Jelas-jelas selama ini Aldo selalu bertanya tentang Vanya. Juga, salah satu rekan kerja di toko bunga yang aku kelola tanpa sengaja mengetahui fakta itu juga. Saksinya ada, buktinya pun terpampang dengan nyata. Masa iya aku salah menyimpulkan kondisi yang ada?

Sungguh, jawaban Aldo membuatku bingung. Usai mendengar ungkapan itu, setengah hatiku yang lain justru mulai melambungkan harapan. Berharap, Aldo memang tertarik padaku, bukan pada adikku.

“Benarkah itu? Kamu … tertarik padaku?” ulangku, sekaligus memastikan bahwa aku tidak sedang salah dengar.

“Iya, Mika. Aku benar-benar tertarik padamu. Tapi, maaf kalau pada akhirnya aku lebih tertarik dengan adikmu.”

Deg!

Sakit sekali hatiku mendengarnya. Cobaan apa lagi ini? Haruskah hari ini hatiku tersakiti berkali-kali? Tadi, dengan gamblang aku menyaksikan Tante Ema yang membandingkan aku dengan Vanya. Kini, Aldo pun melakukan hal yang sama.

Oh Tuhan. Haruskah aku membenci adikku yang penampilannya jauh lebih menarik dari pada aku? Haruskah aku menjadi sama dengan Vanya agar aku tidak dibanding-bandingkan lagi dengan dia?

“Maaf karena pada akhirnya aku tertarik dengan Vanya,” ulang Aldo sekaligus mempertegas segalanya.

“Oh,” sahutku dengan datar, padahal dalam hatiku bergemuruh gejolak yang tak tertahankan.

“Tadi kamu memintaku untuk jujur, kan? Sekarang aku sudah melakukannya dan aku harap kamu bisa menerimanya,” lanjut Aldo.

“Baguslah kamu mengakuinya sekarang, sehingga aku tidak akan menduga-duga lagi. Jadi … silakan saja kalau mau mendekati Vanya. Adikku itu belum punya kekasih, kok.”

Sekalian saja aku beberkan status Vanya. Sesuai pesan Tante Ema tadi, sebisa mungkin aku harus memberi ruang pada Aldo dan Vanya agar bisa bersama.

“Benarkah?” tanya Aldo dengan mimik wajah bahagia.

“Iya. Benar,” jawabku sembari ikut menunjukkan senyuman.

Tentu saja senyuman itu adalah senyuman palsu. Senyum yang sengaja aku tunjukkan di depan Aldo agar dia tidak terlalu merasa kasihan padaku.

“Em, Mika. Kamu sungguh tidak apa-apa? Aku benar-benar minta maaf tentang hal ini. Seharusnya dari awal ….”

“Tidak apa-apa,” sahutku memotong kalimat Aldo. “Tidak harus ada kata seharusnya. Mungkin, memang inilah jalan terbaik agar kamu bisa bersatu dengan Vanya.”

Sekali lagi aku suguhkan senyum tegarku di hadapan Aldo. Aku ikhlashkan semua ini terjadi agar tidak ada drama percintaan lagi.

“Kamu duduklah! Aku panggilkan Vanya dulu biar dia bisa mengobrol denganmu.”

“Mika, sekali lagi maafkan aku.”

Aku meletakkan telunjuk tangan kananku di bibirku. Isyarat bagi Aldo bahwa dia tidak perlu mengungkap maaf lagi.

Setelahnya, langkah kakiku terayun menuju dalam rumah. Tante Emalah yang menyambutku. Tanteku itu terlihat begitu bahagia atas keputusanku.

Baik. Kali ini aku yakin bahwa Tante Ema telah menguping. Entah bersembunyi di mana, aku tidak tahu. Yang aku tahu, kini Tante Ema menuju pintu kamar Vanya guna memanggilnya.

Melihat itu, aku urung menemui Vanya. Tugasku untuk memanggil adikku itu telah digantikan Tante Ema. Mau atau tidak dia menemui Aldo, aku tidak peduli lagi. Untuk saat ini, kamar tidurku menjadi satu-satunya tempat yang ingin aku tuju.

Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur empukku. Pemandangan langit-langit kamar menjadi satu-satunya yang menarik perhatianku. Tapi, tidak begitu lama karena setelahnya pandanganku memudar karena ulah air mata yang keluar.

“Kenapa aku menangis, sih? Dasar Mika!”

Aku menegur diriku sendiri. Lebih tepatnya lagi, teguran itu sebagai cambuk agar aku tidak berlarut-larut dalam sedih.

“Mungkin, dengan begini Vanya tidak akan bersikap ketus lagi. Anggap saja dia telah kembali memiliki kekasih,” ucapku sembari menghapus jejak air mata di pipi.

Lekas aku bangkit, lantas menuju ponsel yang tadi aku letakkan di atas nakas. Baru saja ada pesan masuk. Aku kira yang mengirim pesan adalah salah satu pelanggan di toko bungaku. Ternyata, sang pengirim pesan adalah Vanya.

‘Kak Mika, terima kasih telah merelakan Aldo untukku. Muah!’

Pesan dari Vanya kubaca dalam hati. Aku pun tersenyum di dalam hati, sementara ekspresi yang tergambar di wajahku adalah ekspresi sedih. Air mataku pun kembali mengalir di pipi.

“Oke, Mika. Jangan cengeng! Berhentilah menangis! Huft!”

Aku menarik nafas dalam, lantas menghembuskannya perlahan. Kulakukan berulang hingga sesak dalam dadaku berkurang.

“Ini tidak semudah yang aku bayangkan. Tapi, aku yakin sekali segala sesuatunya akan membaik setelah ini. Tidak ada drama lagi. Vanya tidak akan bersikap dingin lagi, dan Tante Ema ….”

Ucapanku terjeda. Entah sikap Tante Ema akan sama atau justru lebih menghangat usai melihat Vanya berbahagia dengan kekasih barunya. 

“Semoga Tante Ema bisa seramah mama,” doaku pada akhirnya.

Mendadak saja, aku rindu mama. Sebenarnya, mamaku masih ada di dunia, begitu pula dengan ayah. Hanya saja, mereka berdua sudah tidak lagi memedulikan keberadaanku dan Vanya. Di luar ketidakpedulian itu, sesungguhnya mama adalah sosok yang ramah, dan kini aku merindukannya.

Penampilan mama dan Tante Ema serupa. Keduanya suka dandan dan berpenampilan menarik pula. Ayahku juga berparas rupawan dan sering memperhatikan penampilan. Entah aku ini menurun kepada siapa.

“Semuanya tampak begitu memperhatikan penampilan fisik. Lalu, haruskah aku mengubah penampilanku?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja terbersit dalam pikiranku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status