"Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih
Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala
"Pergi kamu dari sini sekarang juga. Kamu sudah tak pantas lagi tinggal di sini. Jangan pernah temui anak dan cucu saya." Astri tergugu dalam keheningan malam terusir dari rumah yang sudah ditinggalinya beberapa tahun ini. "Bu, biarkan Astri menginap malam ini. Aku tak mungkin membiarkan dia terlunta di jalan. Walau bagaimanapun Astri masih berstatus istri aku." Wanita setengah baya itu masih terengah menahan emosi. "Terserah kamu Is, ibu tak mau lagi melihat muka dia besok pagi." Ibu mertua Astri meninggalkan keluarga kecil itu dengan raut wajah kecewa. Ismail membangunkan istrinya lalu memapah wanita yang telah membersamainya sepuluh tahun itu. "Aku benar-benar minta maaf, Mas, aku tak bisa menjadi istri dan ibu yang baik." "Sudahlah As, toh semuanya juga sudah terjadi. Aku sudah berusaha sebisa mungkin menutupi kesalahan kamu. Apalah dayaku, aku tak tahu kalau tante Hamidah bercerita pada ibu." "Aku tahu Mas, aku hanya tak menyangka akan se
Petir menggelegar di tengah malam disertai hujan deras. Astri terbangun dari tidurnya. Ditengoknya jam dinding berwarna hijau yang ternyata menunjukkan waktu dini hari.Kakinya menuruni ranjang menuju kamar mandi. Berwudhu lalu menunaikan shalat sunnah dua rakaat yang menjadi kebiasaannya.Tangan menengadah, kaki bersimpuh dengan berurai air mata. Teringat akan putranya yang telah lama tak ditemui. Mungkin sekarang sudah dewasa. Bukan Astri tak mau menemuinya, tapi dia tak sanggup jika Dafa membenci ibu yang telah meninggalkannya dua puluh tahun lamanya. Entah bagaimana dia sekarang. Apakah dia tumbuh menjadi lelaki yang tampan seperti ayahnya? Masihkah Dafa ingat pada Astri setelah sekian lamanya tak bertemu? Akankah nasib mempertemukan mereka kembali suatu saat nanti?"Ya
"Mi, aku berangkat kuliah dulu ya," ucap Nadia setelah selesai membantu Astri mencuci piring."Nggak mau bareng sama mami?""Emang Mami mau kemana?""Kamu gimana sih Sayang, kemarin 'kan mami udah bilang mau ke konveksi."Nadia menepuk keningnya pelan."Oh iya, aku lupa Mi, maaf ya.""Iya, nggak papa. Kamu udah selesai beres-beresnya? Lihat lagi, siapa tahu ada yang ketinggalan."Nadia membongkar kembali ranselnya dan menghitung buku dan juga tugasnya."Udah semua, Mi. Mau berangkat sekarang?""Yuk, mami udah pesen taksi."
"Nad, temenin aku dulu yuk ke toko buku," ajak Salsa."Aku mau cepet pulang Sal, udah kangen sama mami.""Dasar anak mami.""Iya lah, anak papa sama mami. Emang anak siapa lagi.""Nad, kok aku ngerasa aneh ya, sama panggilan kamu buat tante Astri.""Aneh gimana? Biasa aja kayaknya.""Ya aneh aja gitu. Kamu manggil almarhum om Adnan papa tapi kamu manggil tante Astri mami, kan biasanya tuh mama papa atau mami papi.""Kok aku nggak nyadar, ya? Namun, dari kecil emang aku panggilnya papa sama mami. Jadi kayak udah biasa aja gitu. Ntar lah aku tanyain sama mami kenapa bisa beda.""Beneran nih N
Sesosok tegap dengan bahu kekar itu berdiri membelakangi Astri. Suasana yang tenang dan damai dirasakannya walau tak mengerti ada dimana dia sekarang. Seingatnya tadi dia sedang ada di ruang rawat klinik. Bagaimana tiba-tiba dia ada di sini dan siapa pemuda di depannya itu. Sedang Astri bertanya-tanya dalam hati, pemuda itu berkata sesuatu yang membuatnya tersentak."Aku benci sama Ibu. Ibu tega mengabaikan aku selama bertahun-tahun. Ibu tega meninggalkan aku sendiri. Ibu nggak sayang sama aku."Deg. Siapa sebenarnya lelaki muda itu? Kenapa dia memanggilku ibu dan berkata kalau dia membenciku? Apa jangan-jangan dia ...Lelaki itu berbalik tapi tak bisa Astri lihat bagaimana rupanya karena posisinya membelakangi matahari."Siapa kam
"Selamat pagi, bu Astri," sapa dokter Rianti saat kunjungan pagi itu."Selamat pagi, Dok," balas Astri dan juga Nadia."Bagaimana perasaannya saat ini, Bu?""Saya masih merasa lemas, Dok.""Baik Bu, saya periksa dulu ya."Dokter Rianti menyematkan stetoskop ke kedua lubang telinganya. Kemudian menekan-nekannya ke dada Astri. Menyentuh pergelangan tangan kiri Astri sambil melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangannya."Bagaimana Dok, apa mami saya boleh pulang sekarang?"Dokter Rianti tersenyum manis."Dengan berat hati, saya menyatakan kalau bu Astri belum boleh pulang. Sebaiknya b