Home / Rumah Tangga / Garis Dua dari Rahim Si Mandul / Bab 8. Saatnya Memulai Pembalasan

Share

Bab 8. Saatnya Memulai Pembalasan

Author: Andara Blythe
last update Last Updated: 2023-09-25 13:26:10

"Jikalau kau katakan, bila darah lebih kental daripada air. Maka, tak semua hubungan sedarah itu, bisa mengalahkan tali ikatan tanpa darah yang sama sekalipun."

===***===

Adalah Mbok Napsiah. Seorang wanita yang telah berumur jauh lebih matang. Yang telah menjalani seluruh hari tuanya bersama Amy. Bersumpah akan selalu setia dimanapun wanita malang itu berada. Mengemas semua yang bisa ia bawa melalui tangan tuanya.

Memohon maaf dan berpamitan pada Hamam. Mengucapkan beribu terimakasih untuk semua kebaikan hati tuannya selama ini. Hamam tak ambil peduli. Toh, baginya, Mbok Napsiah hanyalah seorang wanita renta, jongos miskin yang bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Ia tak penting, hanya aksesoris tambahan yang bisa segera ia carikan penggantinya.

Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki tampan dan gagah itu pergi ke luar. Meninggalkan tubuh Amy yang tak sadarkan diri di pojok teras rumah. Seperti biasa, Mbok Napsiah dan tukang kebunnya yang akan membereskan segalanya. Ia berlalu bersama mobilnya keluar halaman.

Tetapi, kali ini berbeda. Tak seperti sangkaannya. Keadaan tak akan kembali sama. Wanita tua itu telah bertekad, menyelamatkan Amy dari tangan kejam tuannya. Bagaimanapun caranya. Dengan rasa sedih dan pilu yang telah melampaui akal sehat, Mbok Napsiah memeluk dan mencium wajah Amy yang tak sadarkan diri. Tergolek bersandar. Dengan tubuh miring hampir menyentuh lantai.

Dengan masgyul ia memeluk tubuh kecil itu. Mengusap rambut dan kepalanya dengan kasih sayang seorang ibu. Tak habis pikir, mengapa wanita penyayang ini bisa mengalami kemalangan terus-menerus. Mbok Napsiah berteriak memanggil Kang Dirman, si tukang kebun. Laki-laki itu terbelalak, menyaksikan Mbok Napsiah bersimpuh memeluk tubuh Nyonya rumah. Yang babak belur tak sadarkan diri. Laki-laki tua itu mengurut dada sambil menghampiri mereka.

"Tuan, Kang .... Akhirnya, Tuan mengusir Nyonya ...," ucapnya sambil terisak.

Kang Dirman tercenung. Bingung hendak mengambil langkah apa.

"Jadi, gimana ini, Nyi? Nyonya mau tinggal di mana? Nyonya kan sebatang kara. Neng Poppy tinggalnya jauh dari sini," ucapnya lirih.

"Tolong antar kami ke kontrakan anakku saja, Kang. Biar sementara, Nyonya tinggal di sana dulu," jawab wanita tua itu sambil mengusap air mata yang jatuh di pipi keriputnya. Lalu memandang wajah Nyonya rumah yang kembali tak berbentuk.

"Sebelum Nyonya keburu mati di sini," isaknya lagi.

***

Di sinilah ia.

Berakhir di sebuah kamar kontrakan kecil berukuran 4 x 5 meter. Pengap. Milik seorang tetangga kontrakan yang ditinggali anak Mbok Napsiah. Tetapi, setidaknya, kamar mandi berada di dalam rumah. Hingga ia tak perlu bersusah-payah keluar rumah untuk mandi. Lebih aman.

Mbok Napsiah dengan diantarkan Kang Dirman memakai motor butut miliknya, membawa Amy ke sebuah kontrakan sederhana dalam sebuah gang sempit di dekat kontrakan anaknya. Wanita tua itu menyerahkan sedikit uang hasil jerih payahnya membabu untuk panjar uang kontrakan.

Kang Dirman kemudian bolak-balik ke rumah dan kontrakan beberapa kali. Mengambil barang-barang seadanya yang dilemparkan oleh Hamam di teras rumah. Tak berani mengambil lebih. Takut Tuan rumah yang pemarah itu melabraknya kemudian.

Yang penting, Nyonya selamat dulu. Hal itu yang terpikir olehnya.

Mbok Napsiah merawat Amy dengan baik dan penuh kasih sayang. Tulus. Karena sikap baik dan penyayang yang dulu selalu Amy tunjukkan padanya. Ada harga yang tak ternilai dalam arti sebuah kesetiaan. Dari seorang pembantu kepada majikan. Yang tak akan bisa kau dapatkan dengan mudah, bila kau tak menukarnya dengan sebuah kerendahan dan kedermawaan hati yang tulus padanya.

Jikalau kau katakan, bila darah lebih kental daripada air. Maka, tak semua hubungan sedarah itu, bisa mengalahkan tali ikatan tanpa darah yang sama sekalipun. Yang terbentuk bertahun-tahun dalam derita dan nestapa. Kemudian dituai dalam tingkah dan laku yang arif serta bijaksana.

Itulah yang sekarang dilakukan Mbok Napsiah.

Membalas budi baik Amy selama enam tahun ikut bekerja dengannya. Tanpa bertanya dan menyela. Tak pernah sekalipun dalam kebersamaan mereka, majikannya kasar kepada wanita tua itu. Amy memperlakukannya begitu baik dan lembut, layaknya seorang ibu.

"Nya, dimakan buburnya. Nyonya belum makan seharian ini," lirih Mbok Napsiah mengangsurkan semangkuk bubur ayam. Tetapi, kali ini tak seenak seperti yang dimasaknya di rumah Hamam. Amy diam. Bergeming. Terus menatap ke dalam kaca hias buram di meja rias kusam punya pemilik kontrakan. Ada bayang wanita menyedihkan terpantul di sana.

Mbok Napsiah berdiri dengan gelisah. Tak berani meninggalkan majikannya seorang diri. Ia takut, jika Amy memilih mengakhiri hidupnya. Sudah berjam-jam Amy duduk tak bergerak seperti itu. Hanya memandang pantulan wajahnya di cermin. Sibuk berpikir, mengulang-ngulang dan memilah kenangan-kenangan menyakitkan yang terjadi selama ini. Dua hari sudah ia terusir dari rumahnya sendiri. Sembilu yang mengiris-ngiri hatinya telah menebarkan racun hinga menginfeksi keseluruhan dirinya.

Hancur tak bersisa.

Tiba-tiba ia tersentak. Seolah-olah baru menyadari sesuatu yang penting. Bagaikan selamat dari bencana tenggelam dan baru bisa menarik napas sebanyak-banyaknya. Terengah-engah ia berputar, berusaha berdiri tetapi kembali limbung. Mbok Napsiah menjerit tertahan. Lalu cepat-cepat memapah tubuh majikannya ke tempat tidur.

"Mbok, aku mau pergi sebentar," ujarnya terengah. Lalu berhenti. Sesaat.

Perubahan drastis tampak di wajahnya. Mimik mukanya yang sendu menderita perlahan berubah menjadi dingin dan datar. Bengkak dan memar masih menghiasi wajah cantik itu.

"Tidak. Aku harus pergi," ucapnya penuh tekad.

***

Dokter tua itu memandanya penuh tanya. Wajahnya berkerenyit. Mimik wajahnya berubah-rubah. Dari terkejut, heran kemudian berubah berempati. Hal yang sama juga terjadi pada diri asistennya yang setia menunggu di sampingnya.

Dokter obgyn tua itu mematung. Matanya terpaku pada seraut wajah bengkak dan penuh lebam di hadapannya. Rasa kemanusiaan membuat dirinya membayangkan raut wajah pria kejam yang tega memukuli seorang perempuan yang nyata-nyata tidak bersalah. Dokter itu tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang manusia tega berbuat seperti ini pada manusia lainnya? Orang seperti apa Hamam Prasetyo itu sebenarnya? Yang mandul adalah sang suami, bukan sang istri! Namun, seperti yang sering terjadi di dunia fana ini, sang istrilah yang menanggung akibatnya.

"Dokter, andaikan uangku tak cukup, seperti Hamam membungkam semua yang ada di sini ...." Suaranya tercekat. Seolah ada duri yang mengganjal di tenggorokannya. Ia memasang wajah menyedihkan. Berusaha agar dokter obgyn itu jatuh iba kepadanya. Berusaha meluluhkan hati dokter di hadapannya.

"Tolong, biarkan rasa kemanusiaan dokter menolong saya lepas dari penderitaan ini," sambungnya pelan tetapi tegas. Tidak dihiraukannya saat dokter Pandu dan asisten saling melempar pandang. Seolah-olah berusaha saling mengingatkan akan sesuatu.

"Saya ingin tahu yang sebenarnya," ucap Amy penuh tekad.

Dokter obgyn itu diam. berusaha mengobservasi hal-hal yang telah terjadi pada Amy. Lalu dengan sangat lembut dokter itu balik bertanya pada Amy : "Apakah suami ibu belum memberitahukan hasil pemeriksaan yang telah saya berikan minggu yang lalu?"

Amy seketika terdiam. Berusaha mencerna kata-kata sang dokter dengan cermat. Lalu raut wajahnya berubah dari yang semula memelas, terkejut kemudian berangsur-angsur diliputi kemarahan. Namun, dia berusaha tegar. Baginya semua sudah jelas. Dunia harus tahu kebobrokan dan kekejaman yang telah dilakukan oleh suaminya.

Wajahnya yang bengkak parah, hingga netranya sulit melihat ke sekitar, mengacung tegak. Amy berusaha mengumpulkan keberaniannya sendiri. Sehingga dirinya sendiri-pun terkejut ketika mendengar keberanian dan keteguhan yang tersirat di dalam suaranya.

"Saya ingin tahu, hasil tes kesuburan pasangan yang telah kami lakukan sebelumnya," ucapnya dengan tenang, datar dan penuh dendam.

Seketika, dokter di hadapannya terkejut. "I--itu...."

Bersambung ....

Andara Blythe

Holaaa, terimakasih sudah baca novel aku ya. yuk, follow terus ceritanya

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Garis Dua dari Rahim Si Mandul   Bab 61. Berita Tragis

    “Jadi?” tanya Lily Fazo sambil duduk bersandar di kursi belakang rumah. Tangannya menyanggah kepalanya di satu sisi dan matanya memandang ke arah semak-semak pohon mawar liar yang bergerombol di pagar halaman. Amy memandang ke arah wanita itu dengan pandangan bertanya. “Jadi, bagaimana?” tanya Amy heran. Ia duduk menyandar lalu tersenyum. Cahaya matahari sore memantul dari kaca jendela dan mengenai rambutnya. Ia tampak begitu cantik dan bahagia. Lily Fazo memandanginya lama. Merasa ikut bahagia bersama ibu hamil itu. “Aku bersyukur kau lepas dari Hamam. Sebuah pernikahan yang tidak sehat, hanya akan membawa luka bagi semua. Terutama anak-anak. Mereka tidak akan mudah untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya, seperti halnya Bella,” ucap Lily Fazo dalam. Matanya yang cokelat gelap memandang Amy dengan sayang. “Namun, kau harus memaafkan, Amy. Saat itu akan datang. Dan kau akan berhadapan dengan itu semua.” Lily Fazo memandang Amy lembut. Sesuatu berdesir di dalam hati wani

  • Garis Dua dari Rahim Si Mandul   Bab 61. Ali Cemburu

    Reinaldi pulang dengan membawa sejuta perasaan. Campur aduk di dalam dirinya. Dan saat melihat Amy duduk di bangku kayu di samping rumah, ia merasakan ketenangan dan kedamaian seketika menyelimutinya. Wanita itu tampak sedang merenung. Gurat kesedihan menghiasi wajah cantiknya. Reinaldi duduk di samping istrinya, merengkuh pundak Amy hingga perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Assalammualaikum,” ucap suami dari Amy tersebut. Amy segera menoleh. Matanya yang sendu menatap Reinaldi dengan penuh kerinduan. Betapa tidak, tepat seminggu mereka tidak bertemu. “Ada apa, Kekasihku?” tanya Reinaldi lembut. Tangannya mengelus perut besar istrinya. Amy menghembuskan nafas. Sebenarnya, dia sangat ingin menceritakan ihwal pertemuan dan perkelahiannya dengan Angelique beberapa hari lalu. Namun, pengertiannya akan sifat Reinaldi membuatnya berusaha menahan lidahnya.Reinaldi tentu akan langsung terbang kembali dan menemui Angelique. Amy bisa memastikan permasalahan ini akan lebih panjang jik

  • Garis Dua dari Rahim Si Mandul   Bab 60. Kemarahan Poppy

    “J*laaang!! Apa yang kau lakukan pada adikku!!” Teriakan menggelegar terdengar dari arah belakang, diiringi dengan sentakan pada rambut Agelique yang ditarik dengan kuat. Sementara lengannya dicekal dan dipiting ke belakang. Tubuh perempuan itu seketika jatuh dengan punggung menghantam lantai duluan. Angelique meringis lalu membuka mata dan seketika terkejut ketika melihat tubuh besar Poppy telah berdiri di hadapannya. Berkacak pinggang dengan wajah memerah murka. Sebelah tangan perempuan itu sudah memegang sesuatu. Sebuah bantal yang besar sekali sedangkan sebelahnya lagi sibuk menggenggam payung kecil yang kembali dipukulkannya pada tubuh Angelique yang sebagian sangat terbuka sehingga membuat beberapa pengunjung lelaki yang lewat mengambil kesempatan untuk menyaksikan pertarungan tak imbang itu sambil melotot.Sementara, Mbok Napsiah, pembantu yang setia itu segera saja cepat-cepat menangkap tubuh Amy yang limbung dan menariknya menjauh dari tiang selasar. Hatinya berdegup kencan

  • Garis Dua dari Rahim Si Mandul   Bab 59. Mantan Istri VS Pelakor

    Perempuan cantik bergaun merah itu sedang menunggu saudari sepupunya, di depan pintu sebuah butik terkenal, yang menjual perlengkapan bayi. Amy berdiri dalam balutan gaun hamil midi buatan perancang Indonesia yang terkenal. Rambutnya yang hitam bergelombang di ikat dengan model putri Perancis, menambah kesan wanita cantik nan elegan. Bibirnya terus-menerus menyunggingkan senyum penuh kebahagiaan dan keharuan, mensyukuri segala nikmat dan bahagia yang telah diraihnya sekarang. Gawainya berdering. Ia menatap layar dan tertawa kecil. Belum sampai sepuluh menit yang lalu, Ali, suaminya yang luar biasa tampan itu meneleponnya.“Assalamuaikum, Cinta. Belum genap sepuluh menit yang lalu, engkau menekan tombol end,” sapa Amy geli. Suara tawa renyah yang dalam dan berat menyambutnya di sana.“Tidak. Aku hanya ingin memastikan, apakah kau baik-baik saja di sana, Kekasihku,” jawab suara bariton itu lembut.“Aku dan anak kita, baik-baik saja, Cinta. Tenang-tenanglah di kantor sana. Aku tak mau m

  • Garis Dua dari Rahim Si Mandul   Bab 58. Tak Mau Bercerai

    “Mamih, bantulah aku, Mamih. Aku tak mau berpisah dengan Hamam. Aku hanya mau Hamam dalam hidupku,” ujar Angelique terus menghiba pada ibu mertuanya. “Kami telah mengenal sedari kecil. Kami selalu bersama, Mamih. Semenjak dulu. Bahkan, aku rela melepas keperawananku dulu hanya untuk Hamam, Mamih. Pada malam pesta perpisahan sekolah SMU dulu, Mamih, kami ...,”“Cukup, Angelique. Cukup. Tak perlu kau jabarkan perihal masa lalu kalian yang sudah sama-sama rusak itu,” tukas Bu Sonia risih. Angelique terdiam. Berusaha menahan kegelisahan hati yang tak bisa disembunyikannya. Ibu mertuanya memandang risau. Mempertanyakan semua kesalahan yang telah dilakukannya.“Aku mencintainya, Mamih ...,” gugunya. Sesenggukan menangis di sudut sofa ruang keluarga Bu Sonia. Ia datang tanpa memperdulikan larangan ayahnya. Keluarga besarnya menentang keras keinginannya untuk rujuk dengan Hamam. Setelah peristiwa KDRT itu. Ah, cinta memang seaneh ini.“Tetapi, mengapa kau menyia-nyiakan semua kesempatan yang

  • Garis Dua dari Rahim Si Mandul   Bab 57. Rahasia Pelakor dan Pebinor

    Tanpa diminta, Angelique duduk di hadapan lelaki itu."Halo, Reinaldi," sapa perempuan itu ramah. Senyumnya yang paling manis terkembang begitu saja.Laki-laki itu tampak kurang senang ketika harus berhadapan dengan Angelique."Kursi itu sudah ada yang punya," ujarnya masam. "Aku tidak pernah mengundangmu untuk duduk di situ."Kebiasaan lelaki ini yang apa adanya membuat Angelique tertawa renyah. Deretan giginya tampak berkilau ditimpa cahaya sore musim dingin kota Vienna."Oww, belum ada yang punya," ejek perempuan itu sambil menyentuh jemari manis Reinaldi yang masih kosong.Lelaki itu secara spontan menarik tangannya menjauhi Angelique."Apa maumu, Angel?" desis Reinaldi waspada. Angel tapi kelakuan melebihi devil.Angelique kembali tertawa. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling kafe, dan melihat beberapa pria memandang balik ke arahnya. Dia memang semenarik itu dengan blouse sutera sepadan dengan pantalon rajut yang semakin menampakkan keindahan tubuhnya yang jenjang. Seuntai ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status