Share

Bab 44

Penulis: Zidan Fadil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-23 22:59:29

Pagi berikutnya, kabut belum sepenuhnya terangkat dari lembah ketika Rakasura, Ayu, dan Tirta meninggalkan dataran Napas Pertama. Angin mengalir tenang, tak lagi berdesir seperti semalam, seolah dunia memberi ruang untuk mereka berjalan tanpa gangguan.

Mereka menuju barat—ke wilayah yang selama ini tidak disebut dalam peta maupun dongeng. Wilayah yang dijauhi oleh para pelancong, bukan karena bahaya... tapi karena dilupakan. Sebuah tanah tak bernama yang menurut Rakasura adalah tempat kehendak keempat tertanam: Tanah Yang Mengubur.

“Ini... bagian terakhir?” tanya Tirta sambil memanggul kantung bekalnya.

“Bukan,” jawab Rakasura. “Tapi ini bagian yang akan membuat kita memilih.”

Ayu mengernyit. “Memilih apa?”

“Apakah kita masih sanggup memikul semuanya, atau menyerahkannya pada orang lain.”

Perjalanan mereka memakan waktu dua hari penuh. Mereka menyeberangi sungai besar, mendaki bukit sunyi, dan menyusuri padang ilalang tinggi yang nyaris menelan tubuh. Di hari ketiga, medan berubah: ta
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Gelang Langit   Bab 82

    Langkah kaki mereka bergaung samar di sepanjang dinding batu melingkar. Undakan demi undakan membawa Rakasura, Ayu, dan Tirta turun ke dalam sumur, menyusuri spiral batu yang terasa tak berujung. Cahaya dari atas mulai lenyap, tergantikan keremangan samar yang tampaknya muncul dari ukiran-ukiran di dinding."Ini... aneh," gumam Tirta. Suaranya seperti tertelan dinding.Ayu menatap sisi lorong, tempat simbol-simbol kuno memendar cahaya biru lembut seiring mereka melangkah. "Mereka hidup. Tapi bukan hidup seperti makhluk."Rakasura tak berkata apa pun. Ia menajamkan indra. Setiap lekuk dinding tampak seperti urat-urat di tubuh raksasa. Setiap gema langkah seperti detak jantung dari sesuatu yang jauh lebih tua dari dunia manusia.Di sebuah titik, tangga berhenti. Mereka tiba di ruang terbuka, bundar, berdinding batu hitam mengilap. Di tengahnya, ada sebuah lempeng batu datar yang mengambang di atas cekungan dangkal berisi air gelap. Di sekeliling ruangan, ad

  • Gelang Langit   Bab 81

    Langit masih kelabu ketika tiga sosok meninggalkan kota yang baru saja selamat dari kekacauan. Angin pagi membawa aroma hangus yang samar, seperti pengingat akan tragedi semalam. Rakasura berjalan paling depan, bahunya sedikit lebih tegang dari biasanya. Ayu di belakangnya, membawa tas kecil berisi ramuan dan catatan, sedangkan Tirta menenteng buntalan dari Ibu Sinta yang berisi makanan kering dan doa bertinta biru."Kita ke mana sekarang?" tanya Tirta, suaranya pelan agar tidak mengusik kesunyian pagi.Rakasura menatap jalur berbatu yang menurun ke arah lembah. "Sumur. Salah satu titik gema yang disebut dalam catatan Penjaga Teks.""Sumur yang bisa bicara?" Tirta mengangkat alis."Bukan bicara. Bertanya," jawab Ayu. "Laras bilang ini bagian dari lima suara kuno. Setelah nada sunyi, kita harus menemukan suara yang bertanya.""Kita baru saja melewati sunyi yang membuat telinga berdarah," gumam Tirta. "Sekarang suara yang bertanya? Dunia ini makin aneh."Mereka menyusuri jalan setapak y

  • Gelang Langit   Bab 80

    Langit sore dipenuhi warna jingga muram saat ketiga sosok itu berdiri di depan gerbang kota tua bernama Tanasraya. Dindingnya tinggi, dari batu-batu yang seolah pernah melihat ribuan tahun kejatuhan dan kebangkitan."Tempat ini pernah jadi pusat pengajaran suara di masa lampau," kata Ayu, suaranya pelan. "Tapi setelah Perjanjian Langit-Manusia dilupakan, kota ini... diam."Tirta menggoyangkan bahunya. "Diam bukan berarti mati, kan?"Rakasura menatap gerbang itu. Hatinya tak nyaman. Bukan karena ketakutan. Tapi karena resonansi gelangnya terasa menolak setiap batu yang menyusun dinding kota.Saat mereka memasuki Tanasraya, jalanan lebar dan kosong menyambut. Tak ada pasar. Tak ada suara tawar-menawar. Hanya bangunan tua yang berjajar, dan di antara mereka, samar, bayangan-bayangan manusia. Menatap dari balik jendela, dari celah pintu. Diam."Ini... bukan desa kosong," gumam Tirta. "Mereka hidup. Tapi seperti menahan napas."Langkah mereka ter

  • Gelang Langit   Bab 79

    Kabut masih belum sepenuhnya surut ketika Ayu terbangun. Udara pagi di perbatasan desa Gatra terasa lebih berat dari biasanya. Di kejauhan, bayangan hutan dan reruntuhan kuil kuno masih tertutup lapisan putih keperakan yang seolah tidak mau pergi.Ayu duduk perlahan, merasakan embun dingin meresap ke kulit. Di sampingnya, Rakasura masih tertidur, nafasnya teratur namun tak sedalam biasanya. Tirta, yang seharusnya berjaga semalaman, kini meringkuk di bawah pohon dengan selimut yang sudah setengah terlepas.Ia bangkit pelan, menghindari suara. Gelang di tangan Rakasura—yang kini tak lagi bersinar—tetap terasa berat oleh keberadaannya. Ayu memandanginya sebentar. Walau tidak ada cahaya, kehadirannya tetap terasa seperti suara tertahan di ujung lidah.Ia berjalan ke tepi hutan, tempat mereka sempat menyaksikan pergeseran tanah semalam. Setelah pertarungan dan gema liar yang mengguncang langit, semuanya tiba-tiba... diam. Bukan damai, tapi diam yang menek

  • Gelang Langit   Bab 78

    Senja menjingga mengalir di atas kota kecil yang dulunya ramai. Kini, bangunan-bangunan batu berlumut dan jendela-jendela pecah berdiri membisu, menyimpan kisah tentang manusia-manusia yang pernah bernyanyi di lorong-lorongnya. Di atas menara tua yang masih kokoh, bendera kusam Sekte Cahaya Terakhir berkibar pelan, seolah mengisyaratkan bahwa harapan tinggal riak samar.Namun di bawah tanah kota itu, suara lain mulai tumbuh."Apa ini tempatnya?" bisik Ayu, menyibakkan terpal tua yang menutupi lorong sempit."Ya," jawab Rakasura dari belakang. Matanya menyapu dinding batu yang dipenuhi ukiran samar. "Ini bekas tempat penyimpanan air. Tapi sekarang jadi markas mereka. Gerakan Tanpa Nama."Tirta melongokkan kepala, matanya berbinar. "Akhirnya! Kau dengar itu, Ayu? Mereka ada beneran! Bukan cuma desas-desus."Lorong itu lembap dan dingin. Suara langkah kaki mereka bergema lembut, semakin dalam seiring perjalanan mereka menuruni tangga batu yang melingk

  • Gelang Langit   Bab 77

    Hari ketiga setelah insiden di altar.Kabut pagi menyelimuti desa kecil di kaki perbukitan. Rakasura berdiri di halaman belakang rumah Pak Wira, mengenakan pakaian sederhana yang dipinjamkan Ayu. Meski tubuhnya bergerak, pikirannya masih terbelah antara kenangan yang perlahan kembali dan kehampaan yang belum bisa dijelaskan.Gelang di tangannya tidak lagi bersinar. Tapi itu bukan berarti kekuatannya lenyap. Justru sebaliknya: ia merasakan kehadiran kekuatan itu kini tersembunyi di dalam dirinya, bukan lagi berpusat di gelang. Sebuah perubahan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia masih "penjaga"... atau sudah menjadi sesuatu yang lain."Kau sudah lebih tenang hari ini," kata Ayu dari balik pintu, membawakan sepiring nasi hangat dan sayur bening.Rakasura mengangguk. "

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status