Share

Bab 94

Penulis: Zidan Fadil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-04 22:41:11

Pagi itu, lembah terasa lebih bersahabat. Kabut telah surut menjadi selimut tipis disertai udara sejuk seakan menyambut hari baru yang damai dan tentram. Matahari muncul malu-malu di balik celah batu, menyiramkan cahaya hangat ke sela-sela dedaunan berembun. Kicauan burung bersahut sahutan, bercengkrama satu sama lain bernyanyi mengiringi Rakasura dan kawan kawan yang sedang beristirahat.

Tirta menguap lebar sambil meregangkan punggung di atas selembar tikar daun, Memberikan otot-ototnya kesempatan untuk beristirahat sejenak.

"Kalau bukan karena hampir mati kemarin, ini bisa dibilang tempat piknik paling syahdu," gumamnya.

Ayu yang berada di sampingnya sedang mengikat rambutnya dengan potongan tali rami yang ia temukan semalam. "Lucunya walau hampir mati, kau masih bisa tidur nyenyak di atas akar pohon yang kerasnya kayak kepalamu"

"Hei hei hei! Aku juga pria yang punya perasaan loh nona. Lagipula aku kan ahli bertahan hidup!" Tirta menepuk dadanya bangga seakan lupa dengan sindiran y
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Gelang Langit   Bab 96

    Senja menggantung malas di langit saat mereka meninggalkan ceruk antara dua tebing. Kabut lembah sudah lama menghilang, tapi ada bekas dingin yang tertinggal di kulit, seolah tempat itu masih menyimpan napas sunyinya. Jalan yang mereka tempuh sekarang mulai mendaki pelan menuju punggungan bukit, tempat hutan kembali menebal. Tapi ini bukan hutan yang sama."Pohon-pohonnya berbeda," kata Ayu lirih. "Batangnya seperti menyala dari dalam."Tirta melirik sekeliling. Kulit pohon-pohon itu memang mengeluarkan kilau samar, seperti urat-urat bercahaya yang mengalir di balik kulit kayunya."Ini bukan cahaya matahari yang memantul. Ini... dari dalam pohon itu sendiri," katanya, setengah kagum, setengah cemas.Rakasura memperhatikan langkah-langkah mereka dengan hati-hati. Semakin dalam mereka masuk ke kawasan hutan menyala itu, semakin terasa bahwa mereka telah memasuki wilayah yang asing—bukan dunia manusia, bukan pula sepenuhnya dunia arwah."Kalian

  • Gelang Langit   Bab 95

    Setelah melewati ceruk peristirahatan dan hari yang relatif damai, ketiganya kembali melanjutkan perjalanan. Kabut sudah benar-benar sirna dari jalur utama, dan jalanan yang dahulu terasa sempit dan menyesakkan kini tampak lebih luas dan bernapas. Pohon-pohon menggeliat perlahan seperti baru terbangun dari tidur panjang, dan angin membawa aroma rerumputan basah.Namun, keheningan itu tak sepenuhnya sunyi. Ada sesuatu yang berubah. Bukan pada jalan, bukan pula pada alam, melainkan pada langkah-langkah mereka sendiri."Kita makin dekat dengan batas lembah," ucap Ayu sambil memandangi medan di depan yang mulai menanjak ringan.Rakasura berjalan tanpa suara, matanya terus mengamati horizon. Di kejauhan, mulai tampak lekukan yang menandai batas dunia sunyi ini. Gelang di pergelangannya sudah tak bercahaya lagi, tapi ia tahu bahwa gema dari nada keenam masih hidup di dalam dirinya.Tirta yang berjalan di belakang mereka tampak lebih tenang dari biasanya. Ia tak

  • Gelang Langit   Bab 94

    Pagi itu, lembah terasa lebih bersahabat. Kabut telah surut menjadi selimut tipis disertai udara sejuk seakan menyambut hari baru yang damai dan tentram. Matahari muncul malu-malu di balik celah batu, menyiramkan cahaya hangat ke sela-sela dedaunan berembun. Kicauan burung bersahut sahutan, bercengkrama satu sama lain bernyanyi mengiringi Rakasura dan kawan kawan yang sedang beristirahat.Tirta menguap lebar sambil meregangkan punggung di atas selembar tikar daun, Memberikan otot-ototnya kesempatan untuk beristirahat sejenak."Kalau bukan karena hampir mati kemarin, ini bisa dibilang tempat piknik paling syahdu," gumamnya.Ayu yang berada di sampingnya sedang mengikat rambutnya dengan potongan tali rami yang ia temukan semalam. "Lucunya walau hampir mati, kau masih bisa tidur nyenyak di atas akar pohon yang kerasnya kayak kepalamu""Hei hei hei! Aku juga pria yang punya perasaan loh nona. Lagipula aku kan ahli bertahan hidup!" Tirta menepuk dadanya bangga seakan lupa dengan sindiran y

  • Gelang Langit   Bab 93

    Lembah Sunyi ditinggalkan jauh di belakang, tetapi kesunyian yang ditinggalkannya masih melekat seperti bau dupa pada pakaian. Langkah kaki mereka menyusuri jalur batu yang mulai diselimuti lumut, menuruni sisi barat pegunungan menuju daerah yang dulunya pernah menjadi lahan subur sebelum ditinggalkan perang dan angin hitam.Ayu merapatkan jubahnya. Angin di sini berbeda. Tidak sekadar dingin—ia membawa semacam bisikan, seperti seseorang yang mencoba berbicara dari kejauhan, tetapi tertelan oleh desir dedaunan."Kau dengar itu?" tanyanya pelan.Tirta mendongak. "Apa? Angin?"Rakasura menghentikan langkah. Ia tidak menjawab, hanya memejamkan mata dan membiarkan angin menyentuh wajahnya. Ada sesuatu di sana. Nada. Bukan sekadar deru.Suara yang datang dari kejauhan bukanlah ancaman, tapi juga bukan panggilan. Ia seperti catatan yang tercecer dari lagu yang belum selesai. Sebentuk nyanyian yang ditinggalkan separuh jalan."Kita hampir sam

  • Gelang Langit   Bab 92

    Kabut telah memudar. Udara pegunungan kembali terasa, tipis namun jernih. Di balik celah batu terakhir, Rakasura, Ayu, dan Tirta melangkah keluar dari Lembah Sunyi. Mereka berdiri di pinggir tebing, menghadap hamparan hutan yang luas dengan sinar matahari senja menyapu pucuk-pucuk pohon.Angin bertiup pelan, membawa serta aroma tanah lembap dan bunyi samar burung-burung yang kembali bernyanyi. Seolah dunia sedang menghela napas lega setelah babak yang begitu sunyi dan berat."Rasanya seperti baru bangun dari mimpi panjang," gumam Ayu.Tirta mengangguk sambil memutar-mutar gelang kayunya. "Tapi mimpi yang ninggalin rasa di dada, ya. Bukan sekadar lewat."Rakasura memandangi cakrawala. Sorot matanya tak setegang biasanya. Ada semacam ketenangan baru di wajahnya, seakan gema-gema dari lembah tadi telah merapikan sesuatu yang berserakan di dalam dirinya."Kita harus lanjut ke barat laut," katanya sambil mengisyaratkan arah. "Ada dataran terbuka bernama

  • Gelang Langit   Bab 91

    Matahari sudah tinggi ketika mereka akhirnya meninggalkan lereng yang menghadap ke lembah gema. Jalan setapak yang mereka tempuh kini mulai menurun, menyusuri jalur-jalur tersembunyi di antara tebing dan akar pohon yang menjulur liar. Langit tampak jernih, namun hawa di sekitar mereka tetap mengandung bekas-bekas keheningan yang baru saja mereka tinggalkan.Tirta berjalan di belakang, sesekali menoleh, memastikan tak ada sesuatu yang mengikuti mereka. Tapi langkahnya melambat bukan karena takut, melainkan karena pikirannya masih terjebak pada suara seruling itu. Masih ada gema samar yang bergulir dalam kepalanya, seolah dunia belum sepenuhnya kembali dari mimpi."Aku masih dengar nadanya," katanya lirih, menembus keheningan.Ayu menoleh sekilas, mengangguk pelan. "Mungkin itu memang bukan nada yang bisa berhenti. Seperti kenangan, Tirta. Ia hanya mereda, tapi tak lenyap."Di depan mereka, Rakasura tidak menoleh, tapi ia mendengar. Langkahnya tetap mantap

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status