Share

Bab 4 Jadi ART

Author: Biyung_Desa
last update Huling Na-update: 2024-08-17 07:02:48

Bab 4

Benni menatap ke arah Mila yang melipat kedua tangannya di perut.

Terus kamu maunya kerja apa? Di sini selain aman, kamu juga bisa dapat makan gratis. Dapat gaji, tinggal di tempat yang nyaman. Kamu kerja di sini dapat gaji, sudah. Tidak perlu banyak mikir kerjaannya haram atau halal. Uang yang buat bayar uang haram atau bukan.

, yang penting uang lancar,” tutur Benni santai.

"Dari jawabanmuku bisa menyimpulkan jika kalian itu memang benar-benar menggeluti bisnis gelap," ucap Mila.

"Biarin gelap, biar tidak kena bayar listrik tiap bulan!" balas Benni hingga membuat Dirga menahan tawa.

"Biarkan aku pergi, aku tidak mau terlibat dengan urusan kalian. Jangan khawatir, jika tertangkap aku tidak akan pernah mau menikah dengan bapakmu. Aku juga tidak akan kembali ke rumah ibuku," tegas Mila.

"Hei, anak buah bapakku itu bukan Komar dan Aseng doang. Tapi banyak sekali di luaran sana! Saat ini di pastikan kamu itu sudah jadi buronan mereka."

"Masa? Kenapa kamu beriya-iya sekali memaksaku tinggal di sini. Kamu naksir aku ya? Uhm ... tapi maaf ya, kamu bukan tipeku!" ujar Mila.

"Cih ... najis tralala ya! Narsis banget sih kamu. Ya sudah sana, pergi saja. Eneg lama-lama ngomong sama ni bocah!" usir Benni karena benar-benar merasa kesal.

Mila terdiam sejenak, memikirkan kata -kata Benni. Dia juga berpikir, mau pergi kemana dia jika keluar dari rumah ini. Saudara saja tidak punya.

"Uhm, kayaknya aku berubah pikiran deh," ucap Mila disambut senyuman manis oleh Dirga.

"Kalau boleh tau, Abang mau ngasih pekerjaan apa ke saya? Tapi tolong ya Bang, jangan yang berat-berat atau yang aneh-aneh. Saya masih kecil, lugu, dan yang pasti gadis baik-baik," tutur Mila dengan wajah dibuat semanis mungkin.

Dirga tersenyum melihat tingkah Mila, sedangkan Benni menekuk mukanya.

"Kamu lihat rumah ini, kotor kan?" tanya Benni sambil menunjuk ke seluruh ruangan.

"Ho'oh, pake banget malah," sahut Mila.

"Nah, itu pekerjaanmu!" ucap Benni sambil mengeluarkan rokok dari bungkusnya dan menempelkan di bibirnya.

"Jadi pembantu," gumam Mila lirih sambil memutar bola matanya dan berpikir.

"Aku jadi pembantu di sini?" tanya Mila lagi, meminta kejelasan.

"Ya," jawab Benni.

"Berapa gajinya?" tanya Mila dengan wajah polos.

Dirga dan Benni saling memandang satu sama lain.

"Ya, disamakan dengan gaji ART di luaran sana lah," jawab Benni.

"La iya di luaran sana itu gaji ART berapa, Bang. Harus jelas dong, jangan sampai aku capek-capek kerja eh ... bayarannya ga sesuai."

"2800, tapi full. Bersih-bersih dan masak!" ujar Benni.

"Kamu bisa masak, kan?" tanya Dirga.

Mila terdiam memikirkan tawaran dua orang asing yang baru saja bertemu dengannya.

"2800, itu maksudnya?" tanya Mila polos.

"Dua juta delapan ratus, Neng ... Oneng!" seru Benni gemas.

"Oh, oke ... cuma soal masak, aku cuma bisa bikin telur ceplok, tempe goreng  ...''

"Ya terserah kamu bisa masaknya apa, asal jangan kamu bikin rumah ini ikut termasak sampai gosong saja, sudah," sahut Benni.

"Iya, sebenarnya soal masak tidak penting. Karena kami bisa makan di rumah masing-masing. Kamu cuma perlu memasak untuk diri kamu sendiri." Dirga menimpali.

"Begitu," sahut Mila tersenyum senang, "omon-omon nih ... kalian kerjanya apa?" tanya Mila dengan bahasa alay.

"Gak usah kepo!" jawab Benni.

"Gak bisa gitu, aku kan ada di rumah kalian nih. Misal kalian kerjanya jadi pengedar atau pembvnvh bayaran gitu kan. Terus ketangkep polisi, aku gak mau dong ikut terseret cuma karena aku tinggal sama kalian!" protes Mila.

"Ya Tuhan, cerewet amat nih anak. Ah, mau balik aku! Urus nih dia, lama-lama ngomong sama dia, bisa punya darah tinggi aku!" gerutu Benni seraya bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan ruang tamu.

Dirga dan Mila saling melempar senyum saat tatapan mereka bertemu. Dirga berdehem untuk mencairkan suasana.

"Pekerjaan kami bukan seperti yang kamu sebutkan tadi," ucap Dirga menjelaskan.

"Terus apa? Kurir paket?" Mila menimpali.

"Bukan juga, kerjaan kami itu keliling pasar dan kampung."

"Oh, hansip," tebak Mila.

"Bukan," jawab Dirga.

"Kredit keliling?" tebak Mila lagi.

"Bukan juga," jawab Dirga santai.

"Terus apa? Tukang palak!" ujar Mila sedikit kesal karena salah tebak terus.

"Nah ... itu!" jawab Dirga.

Mulut Mila terbuka lebar saat mendengar jawaban dari Dirga.

"Eh, jangan bercanda Kak!" seru Mila.

"Serius kok," jawab Dirga dengan wajah datar.

"Oh, jadi kalian ini preman?” gumam Mila masih tak percaya.

"He'em."

"Berarti aku ini bakal kerja sama preman?" ucap Mila masih seperti tidak percaya.

"Yoi," timpal Dirga dengan senyuman bangga.

"Preman kampung ..." ucap Mila hingga membuat senyuman Dirga memudar.

"Terserah kamu, mau nyebut preman kampung atau preman pasar. Yang penting kamu serius kerjanya," ucap Dirga.

"Keluar dari kandang kambing malah masuk kandang garangan," celetuk Mila.

Dirga memutar bola matanya, lalu tersenyum kecil. Dia paham, mungkin gadis di hadapannya itu ragu karena harus tinggal bersama orang asing.

"Oh ya, nama kamu siapa? Dari tadi ngobrol tapi belum tahu namanya," tanya Dirga

"Mila, umur 18 lebih sebulan. Baru lulus sekolah tadi, seragam juga baru dioret-oret tadi. Masih di atas kasur belum kulipat," jawab Mila dengan wajah lelah. Dia mengeluarkan satu gorengan dari plastik yang dari tadi berada di tangannya. Dengan wajah lesu, Mila menggigit gorengan.

Dirga tersenyum melihat pemandangan di hadapannya itu," Namaku Dirga, kamu ..."

"Iya Kak Dirga, salam kenal. Boleh minta minum gak? Haus nih," potong Mila sambil mengelus lehernya tanda jika dirinya memang kehausan.

"Boleh, sebentar ya biar aku ambilkan." Dirga mengangguk lalu pergi ke dapur mengambilkan minum untuk Mila. 

Mila memperhatikan sekeliling, hatinya bergejolak antara ingin kabur atau ingin tinggal. Jika kabur, dia bingung harus pergi kemana. 

Dirga datang membawa sebotol air mineral dingin. Dia meletakan di hadapan Mila. 

“minumlah!” ujar Dirga sembari duduk.

“Terima kasih,” ucap Mila meraih botol dan meminumnya. 

“Setelah selesai, mari kuantar ke kamarmu. Kamu bisa istirahat.”

Mila menatap Dirga.”Ck, Baiklah. Ayo!” 

Mila berdiri, Dirga ikut berdiri lalu berjalan menuju ke dalam diikuti Mila.

“Rumah ini lumayan besar, ya?” celetuk Mila memperhatikan sekeliling.

“Hm, bukan lumayan tapi memang besar,” Dirga menimpali.

“Astaga, Aku pasti bakalan kelelahan kerja di sini. Semoga semua ini lekas berlalu dan selesai. Aku bisa segera bertemu seorang pangeran berkuda putih, yang bisa menolongku dari jurang penderintaan ini,” gumam Mila.

“Aamiin,” sahut Dirga.

“Hm, Kamu suka dimasakin apa, Kak?” tanya Mila spontan.

Dirga tersenyum miring. “Tadi katanya tidak bisa masak? Kenapa sekarang bertanya, aku minta dimasakin apa?” 

Mila tersenyum malu, dia lupa kalau dirinya sedang pura-pura tidak bisa masak.

“Aku nanti bisa belajar lewat yutub, Kak.”

“Aku ini pemakan segala, daging segar pun kumakan,” jawab Dirga tersenyum kecil.

“Hah, kamu kanibal?” 

“Jangan banyak nanya, ayo Aku antar Kamu ke kamar!” jawab Dirga.

Bersambung … 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gelora Asmara Preman Kampung    Bab 81

    Intan yang semula ingin masuk kios, memilih diam dan menguping di sisi pintu. Dia bisa mengerti dan memahami isi percakapan Mila dan Mbok Denok yang terdengar dari ponsel Mila. Baru setelah Mila selesai mengobrol, Intan memunculkan diri. "Kak," sapa Intan mendekati Mila. "Ya Sayang," jawab Mila tersenyum pada Intan. "Kak mila sudah makan siang?" tanya Intan. "Sudah tadi, sebelum Mbak Retno pergi. Adik Kak Mila ini sudah makan?" "Sudah. Kak, boleh gak Intan minta sesuatu sama Kak Mila?" tanya Intan. "Boleh, mau minta apa? Kalau Kak Mila bisa turutin pasti langsung diturutin." "Intan mau tinggal sama Kak Mila selamanya, boleh?" Bibir Mila terkunci, matanya menatap lekat wajah Intan. Dia curiga, jika Intan pasti sudah mendengar pembicaraannya dengan Mbok Denok. "Pasti, Kak Mila tidak pernah keberatan jika Intan tinggal sama Kakak. Karena kan, Kak Mila gak punya keluarga. Jadi, pas ada Intan jadi berasa punya keluarga. Intan itu satu-satunya adik yang Kak Mila punya. Kena

  • Gelora Asmara Preman Kampung    Bab 80

    Sesuai janjinya, Bu Fitri benar-benar membantu Mila mengadakan syukuran di rumah barunya. Bahkan Bu Fitri juga lah yang merekomendasikan catering untuk konsumsi para tamu. Mila cukup senang karena para tetangganya ramah-ramah. Pak Rt juga membantu Mila mendaftarkan Intan di sekolah yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Pak Rt dan istrinya tak mau menerima imbalan dari Mila, sehingga Mila memutuskan membeli sesuatu saja untuk mereka. Mila memutuskan pergi ke pasar dengan memesan ojek online. Selain tak ada motor juga Mila tak tahu lokasi pasar terdekat. Sesampainya di pasar, Mila langsung menuju ke kios buah. Membeli apel merah, jeruk, pir dan buah naga. Lalu melanjutkan membeli bahan makanan dan bumbu dapur. Setelah selesai, Mila langsung mencari becak motor untuk mengantarnya pulang. Baru saja Mila sampai rumah dan baru turun dari becak. Intan juga baru sampai pulang dari sekolah. "Adik kak Mila sudah pulang," ucap Mila menyambut kedatangan Intan.Inta tersenyum mendekati Mila l

  • Gelora Asmara Preman Kampung    Bab 79

    Mila sudah berada di dapur sejak subuh, membantu Mbok Denok memasak di dapur. Mak Leha, sudah sibuk mencuci pakaian kotor penghuni panti dengan mesin cuci. Mbok Denok beberapa kali terdengar membuang napas berat. Mila sesekali memperhatikan wanita yang sudah sangat baik padanya itu."Mil, kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" Mbok Denok pada akhirnya membuka suara. "Ya, Mbok. Mila sudah yakin ..." "Mbok merasa khawatir tapi tak bisa berbuat apa-apa," ucap Mbok Denok sedih."Gak pa pa, Mbok. Mila sudah biasa menjalani kehidupan yang keras," jawab Mila mencoba menenangkan perasaan Mbok Denok."Semoga saja semua baik-baik saja ya, Mil." "Aamiin, Mbok." "Kamu jaga diri baik-baik, jaga kandungan kamu. Simbok sudah menganggap calon anakmu ini seperti cucu Simbok sendiri," kata Simbok berpesan, Mila mengangguk. "Mil," Simbok dan Mila langsung terdiam saat Yuza tiba-tiba datang ke dapur."Ya, Kak?" jawab Mila mendekati Yuza."Aku sama Mama mau berangkat sekarang. Kamu baik-baik d

  • Gelora Asmara Preman Kampung    Bab 78

    Berat bagi Mila menjalani hari-hari yang selalu dalam pantauan Bu Sania dan juga Moza. Gadis kota itu terlihat ramah saat ada Bu Sania dan Yuza, selebihnya dia seperti manusua angku yang minta di keroyok dan dipukuli ramai-ramai. Sore itu, dia merasa begitu lelah setelah seharian berkerja. Intan membantu memijat kaki Mila meski Mila sudah melarangnya. "Tan, jangan lupa untuk siap-siap ya. Kita bisa aja disuruh pergi dari sini kapan saja. Jadi kita harus sudah siap," Kata Mila. "Iya, Kak. Barang-barang Intan kan cuma sedikit," balas Intan. "Iya, semoga mereka mencarikan rumah yang sesuai dan nyaman. Jadi kita bisa usaha cari uang meski tanpa keluar jauh dari rumah." "Maksudnya, kita jualan gitu ya kak?" tanya Intan."Ya gitu juga, boleh." Intan mengangguk seolah benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan. Tiga hari kemudian, Saat Mila sedang membantu Mbok Denok dan Mak Leha di dapur. Bu Sania datang menemui Mila. "Mila," panggil Bu Sania. "Ya, Bu. Bagaimana?" jawab Mila sa

  • Gelora Asmara Preman Kampung    Bab 77

    "Kenapa memangnya? anda hanya ingin menerima bayi ini tapi tidak dengan saya?" tanya Mila dengan wajah yang dibuat-buat sedih."Tidak dua-duanya!" tegas Bu Sania.Mila terbelalak pura-pura terkejut mendengar perkataan Bu Sania. "Tega sekali anda, Nyonya. Aku mungkin memang tak pantas menjadi bagian dari kalian. Tapi, bayi ini ... dia ini ... " jawab Mila dengan nada yang terdengar pilu.Di luar dapur, Mak Leha dan Mbok Denok menggaruk kepala mereka karena bingung. Karena tadi Mila bilang punya suami dan sekarang lain pengakuannya."Aku tidak peduli, bawa saja anak itu pergi denganmu!" jawab Bu Sania sinis."Ya Tuhan, tak kusangka dan tak kuduga. Orang yang kelihatannya baik, dermawan suka menolong orang. Tapi tega pada pada darah dagingnya sendiri," ucap Mila."Ck, tidak perlu banyak bicara! Pergi saja ... berapa yang kamu mau agar kamu mau pergi jauh dari kehidupan kami?" tanya Bu Sania. Mila tersenyum miring, ini yang dia tunggu dari tadi. "Aku ... hanya mau Mas Yuza. Dia bisa

  • Gelora Asmara Preman Kampung    Bab 76

    Yuza tergelak mendengar penuturan Mila. Dia mengira jika Mila cemburu pada Moza. "Sebenarnya, aku juga tidak suka pada Moza. Dia itu pilihan mamaku, dia putri sahabat baik Mama," ucap Yuza berharap agar Mila mengerti arti ucapannya."Maksudmu, kamu menyukai wanita lain?" tanya Mila. Yuza tersenyum lalu mengangguk."Lalu kenapa bilang padaku, kenapa tidak bilang saja pada orang tuamu," balas Mila membuat Yuza menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, gimana ya?" gumam Yuza."Apanya yang gimana?" tanya Mila bingung meligat tingkah Yuza."Sku bingung aja bilang ke mereka, gak punya alasan yang tepat. Ya ... alasan yang mungkin bisa diterima, misal aku bilang sudah punya tambatan hati. Sayangnya, aku gak punya." "Oh begitu ... ya sudah. Terima nasib, mungkin memang dia jodohmu," jawab Mila santai.Yuza tersenyum, jawaban Mila tak sesuai yang dia harapkan. Padahal dia mengira, jika Mila bakal mengatakan, mau di jadikan alasan untuk menolak Moza."Kembalilah ke aula!" usir Mila. Akhirny

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status