"Nona bangun, makanlah sarapan ini sedikit, tinggalkan piringnya di kamar. Sebentar lagi, tuan Enrico akan makan pagi."
Serra masuk kedalam kamar Francesca dan membangunkan gadis itu. Pelayan yang masih muda itu, meletakan sepiring makan pagi di nakas.Francesca langsung bangun dan memakan sepiring sarapan pagi yang telah dibawakan oleh Serra. Dia sangat lapar dan harus memanfaatkan kesempatan ini, mengisi tenaga. "Aku harus bertahan dan kuat. Aku yakin, masih ada jalan keluar," gumam Francesca menyemangati dirinya sendiri.Dengan kaki terseok dia bergegas membersihkan diri. Francesca tak lama kemudian sudah siap di meja makan. Berdiri tegak dan menanti Enrico. Francesca sangat bersyukur, di dalam rumah ini, dia masih memiliki teman, Serra."Rumayan juga dirimu sudah siap sepagi ini," sindir Enrico. Francesca tidak menanggapi. Dia segera mengambil sepiring sarapan yang sudah disiapkan oleh pelayan dapur. FrancesFrancesca memendekan badannya dengan satu tangan yang berusaha menarik kaos untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Dia merasa risih dengan cara tatap Enrico yang tampak aneh. Pria itu membeku untuk sesaat."Tuan ...," Francesca menarik tangannya dari genggaman Enrico. Dengan segera pula, Enrico tersadar dengan sikapnya."Dasar gadis liar tidak tahu malu! Cepat kenakan pakaianmu!" Enrico membalikan tubuhnya."I____iya, Tuan."Dengan dibantu oleh Maria, Francesca mengenakan celana panjangnya kembali."Saya sudah siap, Tuan."Francesca menyadari, jika hari sudah siang. Saat ini, tuan Enrico pasti sedang lapar. Dan pria itu mencarinya ke gudang, tentu dikarenakan waktu untuk kembali ke Castle sudah lewat."Tuan Enrico, nona ini sedang sakit. Terlalu jauh jika harus berjalan hingga ke Castle. Sebaiknya anda membawanya berkuda atau jika tidak, biarkan dia tinggal bersama saya selama
"Komputer? Internet?" batin Francesca penuh harap. Matanya berkilat penuh harapan. Kebebasan ada di depan mata jika saja dia bisa menjangkau benda itu. Tak disangka, kunci kebebasannya ada dalam rumah utama ini.Francesca melangkah perlahan menuju ke arah tangga. Ruangan lantai atas yang besarnya hanya separuh dari lantai bawah, disana tampak kilasan sebuah komputer dari balik pagar pembatas yang terbuat dari kaca.Pandangannya tak dapat beralih dari lantai atas, hingga tanpa sadar langkah kakinya tersendat, ketika dia menabrak sosok tubuh kokoh."Tu______an." Francesca terkejut melihat Enrico sudah berdiri di depannya. Tubuh pria itu menghalangi langkahnya menuju kebebasan."Mau apa kau?" tanya Enrico dingin. Kedua tangan Enrico terselip di dalam saku celana dan tatapan dinginnya menghujam ke arah gadis itu."Sa____ya, sa____ya, saya hendak membantu Seera membersihkan ruangan ini," jawab francesca
Kebagahagian terpancar dari wajah Francesca. Harapan kembali muncul. Kini ada dua kesempatan untuk bisa keluar dari pulau itu. Kesempatan pertama adalah mengunakan komuputer dikamar Enrico untuk menghubungi keluarganya. Dan jika gagal, dia bisa menyelinap ketika kapal barang muncul.Hari ini pertama kalinya ~~setelah hampir dua bulan terkurung di pulau tersebut~~ Francesca dapat bersikap normal layaknya seorang anak gadis. Menikmati keindahan pantai pulau Olive ini sambil bermain biola ditemani gadis sebaya dirinya. Beberapa jam terlepas dari monster bermata biru itu.Dengan penuh harap, Francesca menggesek biolanya, menciptakan nada yang ceria. Sementara Seera asyik bermain air, sambil menari mengikuti gesekan nada biola."Lihat budak itu, dia pasti sangat rindu kembali ke kota, " bisik Eva pada seorang wanita yang lebih dewasa."Apa enaknya di kota. Hidup disini lebih menyenangkan, " sahut w
"Tuan, makanan anda ...."Francesca mengetuk pintu dan memanggil Enrico. Hanya sedetik saja, pintu sudah terbuka membuat Francesca keheranan.Wajah Enrico datar dengan mata yang menatap sekilas pada gadis itu. Francecsa langsung masuk dengan membawa baki berisi makanan, begitu Enrico memberinya jalan.Gadis itu hendak meletakan baki berisi makanan di meja, tetapi Enrico meminta hal lain."Letakan di balcony."Deg! Jantung Francesca berdetak kencang.Balcony ... lantai dua kamar ini ... berarti kesempatan untuk memastikan penglihatannya. Jalan keluar yang dia harapkan. Signal untuk memberitahu keberadaan dirinya pada keluarganya.Francesca dengan penuh harap dan cemas, naik ke lantai dua. Tubuhnya menegang karena gejolak keingintahuan.Benar saja, sampai di lantai dua, mata gadis itu berkilat gembira dengan senyuman kecil tersungging di sudut bibir. &nbs
Francesca berdiri merapat pada pintu. Monster itu semakin mendekat. Kembali gadis itu menunduk menatap pada gagang pintu, berusaha menarik, menggoyangkan, segala cara dia lakukan agar pintu itu terbuka.Tapi terlambat! Saat dia menengadahkan wajahnya, monster itu sudah berdiri tegak dengan mengurung dirinya. Kedua tangan Enrico melekat di sisi kanan dan kiri gadis tersebut.Francesca menatap mata Enrico yang tajam dengan mata ketakutan. Bibirnya mengucapkan kata tuan tanpa bersuara. Tubuhnya sontak merasa lunglai bagai tak bertulang.Gadis cantik itu memalingkan wajahnya ke samping, sembari memejamkan kedua matanya dengan rapat-rapat dan dahi yang berkerut.Dia mengigit bibir bawahnya, sementara kedua tangan meremas gaun yang ia kenakan. Gadis malang itu bersiap menerima perlakuan kasar Enrico.Francesca dengan pasrah menanti serangan dari pria berwajah dingin tersebut. Mungkin cacian, mungkin s
FrrancescaEnrico mengambil lagi sebotol bir dari lemari pendingin. Pria itu menegak bir dengan mata tersenyum melihat wajah bingung Francesca yang masih mencari keberadaan kunci pintu kamar.Setiap pojokan kamar sudah ditelusuri kecuali lemari pakaian yang cukup besar. Kamar besar ini memang tidak memilili closet pakaian, karena Enrico merasa tidak terlalu memerlukannya. Apalagi pulau kecil ini, jauh dari kehidupan sosialita.Pria beramata biru dengan rahang kokoh persegi itu, memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana. Di dalam saku celana tersebut, jari jemarinya memainkan benda pipih, berbentuk logam dan terasa dingin.Enrico menyeringai licik. Gadis itu tidak akan menemukan dimanapun benda yang dia cari. Karena saat ini benda pipih yang dia inginkan berada dalam jepitan jemarinya.Enrico memandang Francesca yang terdiam di sudut ruangan dengan frustasi. Gadis itu kembali berulang- ulang mengigit bi
Dengan satu tangan Francesca menahan baki menempel pada tubuhnya, sementara tangan kanan dia gunakan untuk mengetuk pintu kamar tersebut.Penuh harap, Francesca berdoa dalam hati agar monster itu tidak muncul. Biarkan saja pria itu tertidur pulas dan tidak muncul lagi di hadapannya.Tapi, keinginannya menjadi sirna ketika mendengar suara serak dan berat dari dalam kamar, "Masuklah Serra."Dengan tangan yang gemetaran, Francesca membuka pintu kamar. Dia melirik ke balik pintu, memastikan kunci masih tetap menempel pada tempatnya.Francesca melangkah masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba dia merasakan kakinya tertusuk sesuatu yang tajam. Sandal tipis yang dia kenakan menginjak pecahan botol yang menembus hingga ke jempol kaki.Francesca mengigit bibir, meringis menahan sakit. Dia melihat pecahan botol yang hancur di lantai granit berwarna gelap. Dengan menahan sakit, Frances mema
Francesca tidak pernah menyangka jika Enrico akan kembali dengan membawa baki berisi makanan. Pria itu meletakan makanan tersebut di meja, membuat Francesca merasa heran dengan dua porsi makanan yang sudah tersedia.Pria dingin bermata biru itu duduk di sampingnya dalam diam. Dia memakan sarapan paginya dengan perlahan. Francesca menelan ludah melihat bagaimana pria itu menikmati makanannya .Gadis itu memalingkan wajah, enggan menyaksikan pemandangan yang membuatnya semakin kelaparan. Sudah cukup tersiksa dengan aroma makanan tersebut."Makan, Bodoh!" perintah Enrico.Francesca menoleh, menatap Enrico dengan heran."Saya, Tuan?" tanyanya dengan heran."Tentu saja Kau, Bodoh! Apa ada orang lain lagi di sini?""Benar ini untuk saya?" tanya Francesca tak percaya. Pagi ini, Enrico terasa berbeda bagi Francesca."Apa ada orang lain se