"Ayo sarapan, Mas."
Suci masuk ke kamar, dan menghampiri Alex yang tengah sibuk mengancing kemeja di depan cermin rias. Tanpa diminta, dia dengan cekatan mengambil alih tugas itu.Kedua tangan Alex berpindah ke pinggang Suci, tinggi sang istri yang hanya sebatas dada memudahkannya untuk menjangkau seluruh wajah yang semakin cantik saja. "Queen sudah bangun?""Udah, Mas." Suci menarik simpul dasi polos tanpa corak yang sudah rapi menggantung di leher suaminya. Kemudian menepuk-nepuk pelan dada bidang itu setelah memastikan semuanya sudah sempurna.Sebagai tanda terima kasih, Alex memberi kecupan di kening Suci, lalu bertanya lagi, "Kamu … sudah siap 'kan jauhan sama Queen?"Suci mendongak, lalu mengangguk kecil, meletakkan kedua telapak tangannya di dada Alex, dan menjawab, "Seperti katamu, Mas. Aku harus siap meskipun masih agak berat.""Nanti kalau kamu mau, kita bisa tengokin dia seminggu atau dua Minggu sekali. Gimana?""Hmm … Seminggu sekali apa gak kecepetan, Mas? Mending satu bulan sekali." Suci sadar dengan kesibukan suaminya ini, karena itu dia tidak ingin terlalu merepotkan. Sebulan sekali sudah cukup baginya. Zaman sekarang juga sudah canggih."Yakin? Sebulan sekali?""Yakin, Mas. Nanti kalo aku tinggal-tinggal kasian si kembar."Alex lantas mengangguk setuju dengan keputusan Suci. "Ya sudah, kalau itu maumu."_Semua anggota keluarga telah berada di meja makan, menikmati menu sarapan yang sudah disiapkan Suci sebelumnya. Alif dan Amar memakan nasi goreng telur ceplok, sedangkan Queen hanya makan dua lembar roti yang dioles selai kacang, lalu Alex menyantap sandwich tuna serta rebusan brokoli dan kentang.Kalau Suci hanya makan buah dan minum susu rendah lemak. Oma Michelle menyantap menu yang sama dengan cucu kembarnya yaitu nasi goreng."Nanti kalau oma sudah balik ke Singapur, tidak bisa makan masakan Suci, nih?" celetuk Oma tiba-tiba, dan semua orang yang berada di sana langsung menatapnya."Oma … Jangan ngomong gitu, dong. Nanti kalau pas aku main ke sana, pasti aku masakin," ucap Suci, lalu memegang tangan oma. Kedekatannya dengan Oma tak perlu dipertanyakan lagi. Suci merasa beruntung bertemu dengan perempuan sebaik oma."Iya, Oma. Kami akan sering-sering jenguk ke sana," sambung Alex, lalu meminum air putih hangat yang belakangan ini menjadi pilihannya. Alex tengah menjalani program hidup yang lebih sehat. Mengurangi mengonsumsi minuman manis serta makanan berlemak. Sadar diri jika usianya tak lagi muda."Nanti kalo Papi sama Bunda jenguk Oma, kita-kita diajak 'kan?" Alif menyahut dengan mulut penuh mengunyah nasi goreng sosis favoritnya."Iya, Ndaa, kami diajak 'kan?" Amar tak mau kalah.Suci tersenyum, lalu menjawab, "Iya. Kalian pasti ikut. Bunda juga gak tenang ninggalin kalian di sini.""Maunya mereka itu, Ndaa. Biar bisa bolos sekolah." Queen nyeletuk sambil memicing ke arah adik kembarnya yang duduk berseberangan dengannya.Si kembar hanya menjulurkan lidah kepada kakaknya yang julid itu, dan langsung mendapat deheman dari papinya. Otomatis Alif dan Amar seketika menunduk dan melanjutkan memakan nasi gorengnya dalam diam. Jika papi mereka sudah bersuara, mereka tidak berani melanjutkan perdebatan di depan makanan. Itu peraturan yang berlaku di rumah mereka."Pagi …."Semua orang sontak menoleh ke arah sumber suara yang tidak asing itu. Niken masuk ke ruang makan dengan senyum merekah di bibir yang dipoles lipstik warna nude. Di belakangnya nampak Raka dan Samudra berjalan bersisian."Ikut sarapan sekalian sini," ajak Suci yang lekas beranjak dari duduknya, dan membalik piring kosong di sisinya. Tentu Suci tahu alasan kedatangan sahabatnya itu di pagi-pagi seperti ini."Gak usah, Ci. Kami tadi udah sarapan, kok." Niken menolak, kemudian menarik kursi di samping Suci dan mendudukinya.Raka memilih menuju ke taman belakang, memberi makan ikan-ikan peliharaan Alif dan Amar, sedangkan Samudra sudah duduk bersebelahan dengan si kembar dan menyomot irisan tomat yang tersedia di piring."Beneran sudah sarapan?" Oma yang memang menyukai Samudra, lantas menyiapkan roti yang dioles selai cokelat. "Ini buat Samudra. Harus dimakan," titah oma menyodorkan roti selai cokelat tersebut ke depan Samudra."Makasih, Oma." Samudra tentu tak bisa menolak pemberian Oma. Saat mengambil piring, tak sengaja tatapannya bertemu dengan tatapan Queen. Buru-buru Samudra memutus tatapannya lebih dulu, dan mulai menggigit rotinya.Kedatangan Samudra membuat selera makan Queen lenyap. Roti yang baru sedikit digigit itu dia lupakan, dan langsung bergegas beranjak dari tempatnya. "Aku udah kenyang, Ndaa. Aku mau ke kamar lagi, mau siap-siap."Suci mengerutkan kening, menatap putrinya yang sudah pergi dan sedang menapaki tangga. "Eh, mau ke mana, Queen? Itu rotimu masih sisa banyak, loh?""Udah kenyang, Ndaa …." sahut Queen sedikit berteriak, sambil merengut dan menghentakkan kakinya di anak tangga. Moodnya tiba-tiba rusak. Ck!"Kenyang apanya, coba? Rotinya aja masih utuh gitu?" gumam Suci, menatap piring Queen, lalu meminum susunya."Lagi diet kali?" celetuk Niken."Gak ada diet-dietan!" sergah Suci yang sejak dulu tidak pernah menyarankan anak gadisnya untuk berdiet. "Dia itu lagi masa pertumbuhan. Itu aja aku maunya dia naikin berat badannya lagi."Niken tertawa. "Queen itu udah remaja, loh, Ci. Masa kamu kayak gak ngerti aja," cicitnya sambil melirik Samudra yang kedapatan curi-curi pandang saat Queen menaiki tangga. Putranya itu terlihat berbeda.Bagi orang lain, mungkin Suci memang agak sedikit berlebihan dalam merawat anak-anaknya. Caranya mendidik juga berbeda dengan Alex yang agak sedikit tegas. "Aku tetap gak suka kalo dia terlalu ketat sama dirinya sendiri."Alex yang lebih dulu menghabiskan sarapannya, lantas beranjak. "Aku sudah selesai," ucapnya sambil melihat ke arah Samudra. "Sam, kalau sudah selesai, kamu temuin om di ruang kerja sebentar.""Iya, Om." Samudra mengangguk tanpa banyak bertanya lagi. Dia yang tidak tahu menahu apa yang hendak dibicarakan oleh Alex, hanya bersikap santai. Roti yang tersisa separuh lekas-lekas dia habiskan.Alex pergi dari ruangan makan tanpa berkata apa-apa lagi, sedangkan yang lainnya fokus pada makanan mereka. Niken terlihat tengah berpikir karena sikap Alex yang terlihat berbeda dari biasanya.***"Misi, Om …." Samudra melongokkan kepalanya di depan pintu ruangan kerja Alex.Atensi Alex sontak teralihkan dari layar laptop, menatap Samudra yang berdiri di depan pintu. "Masuk, Sam."Setelah mendapatkan izin dari pemilik ruangan, Samudra bergegas masuk dan menutup kembali pintu tersebut. Dia berjalan mendekati meja Alex dengan sungkan."Duduk, Sam." Alex sedang berupaya untuk bersikap biasa saja setelah apa yang dia lihat semalam. Dalam masalah tersebut Samudra tidaklah bersalah.Namun, sebagai orangtua, Alex tentu tidak bisa abai dan berpura-pura tidak mengetahui semuanya. Dia ingin bertanya secara langsung pada pemuda di hadapannya ini, agar merasa lebih tenang."Begini, Sam, sebenarnya ada yang mau om tanyakan sama kamu," ujar Alex, meletakkan tangannya yang saling bertautan di meja sambil menatap lamat-lamat raut Samudra yang terkesan tenang, tetapi masih terlihat sopan."Silakan, Om. Om Alex mau tanya apa sama aku," sahut Samudra, yang merasa tidak nyaman dengan tatapan Alex. Seolah-olah pria di hadapannya ini tengah menguliti dirinya. Kedua tangan Samudra berada di pegangan kursi, dengan punggung menegang."Ini soal Queen." Satu alis Alex naik, kemudian maniknya yang kehijauan meneliti perubahan reaksi Samudra."Ohh …." Sudut bibir Samudra berkedut, kelebat wajah Queen saat merengek padanya kembali terlintas. Dan sialnya, dia juga mengingat kenyalnya bibir gadis itu saat menempel di bibirnya. Ck!"Semalam …."***bersambung …"Maafin aku, Sam. Selama ini aku udah banyak bohong sama kamu," ucap Jannet, menyadari kesalahan yang sudah dia buat di belakang Samudra—pria baik yang sempat singgah di hatinya. Keserakahannya membuat hubungannya dengan Samudra berantakan. "Ya. Aku udah maafin kamu." Samudra mengusap lengan Jannet sebentar. Maniknya menatap pada perut mantan istrinya itu. "Gimana kondisi janinnya? Sehat 'kan?" Jannet mengangguk. "Dia sehat." "Justin mau tanggungjawab 'kan?" Samudra berharap kehidupan Jannet bisa lebih baik lagi setelah ini. "Mau. Minggu depan kami menikah secara siri." "Syukurlah." "Kalau kehamilan Queen, gimana?" Jannet tiba-tiba menanyakan perihal kehamilan Queen, yang sama sekali tidak diketahui oleh siapa pun kecuali orang terdekat. Tentunya Samudra terheran sekaligus terkejut. "Darimana kamu tau kalau ..." Jannet tersenyum, tak ada lagi kebencian di matanya ketika membahas Queen. "Aku sempat lihat dia di rumah sakit. Dan kebetulan, dokter yang menangani kami sama." Samu
Hari yang dinanti-nanti oleh Samudra pun akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari di mana dia akan benar-benar berpisah dengan mantan istrinya, Jannet. Setelah ini lelaki yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu sudah memiliki banyak sekali rencana. "Kamu yakin gak mau aku temenin?" Queen mencoba memastikan sekali lagi, meski dia akan mendapat jawaban yang sama dari sang suami, yang sudah siap berangkat pagi ini. Samudra mengangguk, sambil mencolek dagu sang istri. "Iya, Sayang. Kamu gak perlu ikut ke pengadilan. Capek. Lagipula ini adalah urusanku." Bibir bawah Queen mencebik, "Iya, deh. Aku juga males kalo ketemu mantan istrimu. Ngeri." Selanjutnya dia terkikik, sambil menggamit lengan Samudra. "Ayo sarapan dulu. Tadi aku udah siapin sarapan spesial buat suamiku yang ganteng ini." "Wah ... Wah ... Si kriwil udah pinter masak sekarang. Jadi gak sabar aku." "Enak aja kriwil! Ngomong-ngomong aku udah gak kriwil, ya!" sungut Queen, pura-pura kesal, padahal dalam hat
Dua pekan berlalu, semenjak kehamilan Queen diketahui oleh keluarganya, situasi perempuan itu semakin rumit. Kebebasannya seolah direnggut paksa oleh orang-orang yang menurutnya terlalu berlebihan dalam menjaganya. Dengan alibi—ingin melindunginya dan bayinya. Tak hanya itu, dia pun tak lagi bisa bebas bertemu dengan Samudra sebelum lelaki itu resmi bercerai dari istrinya. Lantas, bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Samudra? Alex selaku ayah yang mengadopsi Queen mempunyai caranya sendiri. Sama halnya seperti yang lelaki itu lakukan pada Suci dahulu kala. Alex menyarankan agar Queen dan Samudra menikah secara agama terlebih dahulu, sampai bayi yang ada di dalam kandungan lahir. Sambil menunggu status Samudra benar-benar jelas. "Kita ini udah nikah, tapi, kenapa Daddy ngelarang kita tinggal bersama? Apa menurut Bang Sam ini gak terlalu berlebihan, ya? Gak enak banget gak bisa ketemu kamu." Queen terus mengeluh sejak di tiga puluh menit pertama dia dan Samudra melakukan pan
Bagi Suci, hal paling terburuk dalam hidupnya ialah gagal menjadi orang tua. Dia merasa gagal sebab kini masa lalu kelamnya seperti terulang kembali. Ya, entah Suci akan menganggapnya sebagai apa. Yang jelas, hatinya saat ini hancur lebur. 'Queen hamil ...' Dua kalimat tersebut tak berhenti berdengung di telinga Suci. Mengakibatkan air matanya kian deras mengalir membasahi pipi. "Bunda ...." Panggilan dari sang anak yang menjadi penyebab kesedihannya menyadarkan Suci. "Queen?" Suara Suci nyaris tak terdengar, karena cekat di tenggorokan yang kian menghimpit. Sesak di dadanya makin terasa. Pandangannya sedikit mengabur. Kedua bola matanya menatap nyalang sang anak yang berdiri berdampingan dengan Samudra. Alex yang sedari tadi kebingungan serta bertanya-tanya berinisiatif menghapus jejak basah di pipi Suci. "Sayang ...." Suara khas Alex mampu mengalihkan perhatian Suci. Kini, dia bisa melihat dan merasakan—kekecewaan dari sorot manik bulat itu. "Mas ...." Kelopak m
Beberapa menit sebelumnya.... Suci menghempas punggungnya ke sandaran kursi sambil menghela panjang. "Akhirnya selesai juga. Tinggal cari bahan sama pesen payet," gumamnya, setelah berhasil menyelesaikan sketsa gaun pengantin pelanggannya. Seharian ini Suci lumayan sibuk sebab dia akan mempersiapkan koleksi-koleksi terbarunya di tahun ini. Masih banyak yang belum sempat dia selesaikan. Ditambah dengan pesanan gaun yang tak pernah berhenti. Suci cukup kewalahan. "Si Niken berangkat gak, sih hari ini? Kenapa seharian aku gak liat dia?" Saking sibuknya, Suci sampai tidak beranjak sedetik pun dari ruangannya. Sampai-sampai dia baru menyadari jika dia belum melihat Niken seharian ini. "Apa dia gak berangkat, ya?" pikir Suci, mengira jika sang sahabat tidak masuk kerja. "Coba aku cek aja, deh." Daripada penasaran, lebih baik dia memastikannya saja langsung. Tanpa menunggu lagi, Suci bergegas beranjak dari tempatnya, lalu keluar ruangan, dan menuju ruangan Niken. Ketika di
Sore-sore begini, tidak biasanya Queen baru bangun tidur. Dia bahkan terbilang jarang sekali betah berada di rumah jika sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya, Queen akan menghabiskan waktu di berbagai tempat—mencari inspirasi untuk konten-kontennya. Ah, mengenai konten. Queen sudah lama tidak mengunggah postingan di laman private-nya. Akun rahasia yang tidak ada satu orang pun yang tahu. Termasuk Samudra. Queen sangat berhati-hati untuk hal yang satu itu. "Jam berapa sekarang?" Queen bergumam sambil beranjak dari kasur ternyaman, lalu melangkah menuju kamar mandi. Dia berencana mandi, sebab dari sejak pagi rasanya sangat malas sekali untuk sekadar mencuci muka. "Astaga mukaku!" Ketika bercermin, Queen nampak syok dengan kondisi wajahnya yang sangat kucel. Rambutnya pun sangat lepek. Apalagi di beberapa bagian tubuh seperti ada yang berubah. "Kayaknya aku tambah gemuk, deh? Payudaraku kayak tambah gede," cicit Queen, meraba-raba bagian dada yang dia rasa berubah bentuk. "