Share

05. Pekerjaan Baru

Andre meletakkan kantong belanjaannya di samping Puspa yang kini tengah duduk bersila di atas tempat tidur. Lelaki itu kemudian duduk di sisi ranjang menghadap gadis itu, menatap dengan perasaan khawatir seraya bertanya, "Gimana? Udah mendingan?" Tanyanya.

"Udah gak apa-apa kok! Sakitnya udah ilang, tinggal bekasnya aja masih agak biru. Tapi nanti juga lama-kelamaan pasti hilang sendiri. Gak usah khawatir!" Puspa berseru dengan begitu santai. Ia sudah merasa jauh lebih baik dan sama sekali tidak sakit meskipun bekas memar di dahinya masih sedikit biru. Bahkan, bagian bokongnya yang semula agak nyeri saat dipakai berjalan pun kini sudah sangat membaik. "Oiya, kamu bawain aku apa?!"

"Cemilan. Buat nemenin nonton drama."

Puspa meraih kantong belanja yang diletakkan Andre di atas nakas, lalu membuka dan membongkar isinya dengan wajah cerah sambil tersenyum senang.

"Wiih... Ada keripik pisang cokelat!"

Andre mengangguk, "Iya, semua varian favorit kamu aku beli tuh." Ucapnya.

"Ciee... Yang abis gajian! Makasih, ya! Jarang-jarang lho kamu borong jajanan begini. Biasanya punya duit lebih dikit dipake beli sepatu. Atau enggak, beli barang-barang gak penting yang sebenarnya tanpa kamu beli pun dunia gak bakal kiamat. Kayak action figure lah, mouse wireless edisi Avengers, flash sale elektronik, diskonan kaos distro sampe aksesoris PC. Gak penting!"

Andre tertawa kecil mendengar celotehan Puspa. Apa yang dikatakan oleh pacarnya itu memang ada benarnya. Namun, apa yang dikira tidak penting menurut gadis itu bukan berarti tidak penting juga baginya.

"Heh, menurut aku itu semua penting, ya! Kalau koleksi action figure-ku gak lengkap aku gak akan bisa menyandang gelar kolektor action figure secara resmi. Dan kalau misalkan menurut kamu aksesoris PC itu gak penting, menurutku itu semua penting karena kenyamanan mata saat menatap PC yang indah dan warna-warni itu worth-it banget!"

Puspa mencebik, ekspresi wajahnya tampak meledek dan begitu menyebalkan hingga membuat Andre dengan gemas ingin menjitaknya. Puspa memang sangat bawel dan hobi menceramahinya untuk tetap menabung meskipun hanya punya penghasilan sedikit. Tapi walaupun ia sendiri sebenarnya tahu bahwa Puspa kurang menyukai hobinya mengoleksi action figure, namun gadis itu tidak pernah keberatan membantunya untuk mengelola pemasukan dan menyisihkan sedikit bagian untuk dirinya membeli apapun yang ia mau selain kebutuhan pokok. Hidupnya jadi lebih tertata semenjak bersama dengan Puspa, dan ia sangat senang akan hal itu.

"Misi... Lagi ngomongin apaan sih? Seru banget kayaknya."

Setelah beberapa menit menghilang dari pandangan selepas izin pergi ke dapur, akhirnya Alsha kembali sambil membawa dua mangkuk bubur kacang hijau dengan roti tawar buatannya. "Nih, gue habis bikin bubur kacang. Cobain, ya! Mumpung masih anget!" Gadis itu kemudian meletakkan nampan berisi dua mangkuk bubur kacang hijau tersebut di atas meja belajar Puspa, lalu meraih satu dari dua mangkuk bubur tersebut seraya memberikannya kepada Puspa.

"Wiih... Makasih, Sha...." Seru Puspa sambil lalu meraih semangkuk bubur kacang hijau yang diberikan Alsha dengan penuh semangat. Gadis itu sudah tidak sabar ingin melahap masakan sahabatnya yang sudah pasti akan selalu enak dan nyaris tidak pernah gagal.

Alsha pun seketika tersenyum, lalu memberikan semangkuk bubur lagi kepada Andre. "Nih, buat lo!"

"Waahh... Enak nih kayaknya!"

"Ya, kali masakan seorang Alsha gak enak! Resepnya mana pernah ada yang gagal!" Seruan Puspa membuat Alsha sontak tersenyum kecil. Sementara itu, Andre yang baru saja meraih mangkuknya dari tangan Alsha tampak tak sabar untuk segera menyicipi.

Mereka berdua lalu secara bersamaan bergerak melahap satu sendok bubur kacang hijau buatan Alsha. Dan tak perlu menunggu waktu lama untuk menentukan reaksi dari keduanya, karena dalam beberapa detik setelah mencoba, Andre dan Puspa langsung menampilkan wajah sumringah dan senyum cerah.

"Gilaaa... Ini sih enak banget! Semuanya pas!" Ujar Andre sembari melanjutkan makan.

Puspa mengangguk, kedua matanya lalu beralih menatap Alsha dengan dalam seraya berkata, "Tuh, apa gue bilang! Masakan lo tuh gak pernah gagal. Entah itu karena tangan lo yang magis, atau emang resep Eyang lo yang super, gue gak tahu, ya! Tapi yang jelas, suatu saat nanti pokoknya lo harus buka restoran!"

Alsha tergelak. Ucapan Puspa terdengar seperti perintah yang seolah-olah wajib untuk dilaksanakan. Padahal, meskipun tahu dan sadar bahwa dirinya cukup pandai dalam hal memasak, tapi Alsha tidak pernah berpikir untuk membuka rumah makan apalagi restoran. Baginya bisa menghidangkan masakan yang enak untuk orang-orang terdekat dan melihat mereka senang saja sudah cukup. Apalagi dengan kondisinya yang serba kekurangan saat ini, membuatnya seketika juga sadar diri bahwa mimpi itu mungkin tidak akan pernah terealisasikan.

"Ya elah, Pus... Pus... Boro-boro mikirin buat bikin restoran. Gue mikirin gimana caranya bisa ngerenovasi ini rumah aja udah pusing. Kemarin elo yang ketiban pintu, bisa jadi besok-besok gue yang ketimpa plafon kamar. Maka dari itu, gue harus dan mesti fokus mikirin rumah ini dulu. Jadi lo gak usah kebanyakan halu!"

Puspa tersenyum kecut, "Mikirin renovasi rumah terus, tapi gak mikirin gimana caranya dapet duit yang cepet lebih halu kali!" Tukasnya sedikit menekan.

Tatapan Alsha mendadak berubah datar, sementara itu, Andre justru tertawa selepas mendengar penukasan Puspa.

Apa yang dikatakan Puspa sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, Alsha benar-benar sudah buntu dan nyaris tidak yakin kalau dirinya bisa dapat pekerjaan bergaji besar. Baginya itu sedikit mustahil.

"Terserah lo deh! Gue mau cuci piring!"

Pada akhirnya Alsha lebih memilih untuk menghindari percakapan ini lebih jauh. Lalu beranjak dari duduk dan bergegas pergi menuju dapur.

"Baperan ih! Kebiasaan!" Ucap Puspa kemudian.

Dengan tubuh yang sudah tak terlihat lagi dari ambang pintu, Alsha pun lantas menyahut, "Bodoamat!" Balasnya.

Namun sedetik setelah itu, suara tawa dari mulut keduanya terdengar begitu menggelitik. Sampai-sampai membuat Andre yang menyaksikan hanya bisa diam dan tersenyum tipis. Sejujurnya, ia tidak mengerti akan bercandaan mereka berdua. Apalagi hal-hal tidak jelas yang sering kali mereka jadian candaan. Andre belum begitu mengenal persahabatan Puspa dan Alsha.

***

Alsha meletakkan piring-piring dan beberapa gelas yang baru selesai ia cuci ke dalam baskom besar tempatnya biasa menumpuk piring-piring yang masih basah sebelum dimasukkan ke dalam rak. Tak lupa, setelahnya ia pun mengambil kain lap dan mengeringkan meja dapur yang terkena air bekas cucian piring dari wastafel. Sambil bekerja, Alsha termenung. Kepalanya tiba-tiba saja kembali dipenuhi oleh pemikiran pasrah akan nasibnya saat ini. Setelah dipecat, entah mengapa Alsha sangat amat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan lagi. Padahal ia sedang sangat membutuhkannya. Tapi di saat yang bersamaan, ada tawaran pekerjaan dengan gaji bagus, namun kurang sesuai dengan idealismenya.

Seketika Alsha jadi kalut. Ia benar-benar butuh uang, ia perlu pemasukan untuk menunjang kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ia juga tidak mungkin terus mengandalkan Puspa yang uang bulanannya saja masih minta orang tua. Apalagi, Alsha paling tidak mau punya hutang kecuali sedang benar-benar mendesak. Maka dari itu, sekarang ini dirinya benar-benar kehilangan akal.

Kedua matanya beralih menatap dinding di area dapur yang sudah tampak begitu kusam. Ada retakan-retakan kecil yang juga menambah kesan tua serta lubang bekas pecahan dinding luar yang dengan jelas memperlihatkan tumpukan batako. Melihatnya sekilas saja sudah membuat Alsha lagi-lagi menghela napas panjang. Ia jadi makin kalut apalagi setelah memikirkan keadaan rumah yang kian hari tampaknya makin bertambah saja kerusakannya.

"Udah selesai, ya, Sha, cuci piringnya?"

Alsha menoleh ke arah suara, lalu mendapati Andre yang tengah berjalan menghampirinya sambil membawa dua mangkuk yang ditumpuk bekas makan bubur kacang hijau.

"Oh, udah selesai makannya! Sini biar gue cuci sekalian!"

Alsha hendak mengambil alih mangkuk yang ada di tangan Andre untuk mencucinya. Namun lelaki itu malah menariknya kemudian melangkah menuju wastafel seraya meletakkan benda itu di dalamnya.

"Biar gue aja yang nyuci. Yang makan gue sama Puspa, kenapa yang nyuci mesti lo juga." Andre menarik lengan kausnya hingga ke siku, lalu menyalakan air dan mulai mencuci piringnya dengan begitu hati-hati agar tidak jatuh dan pecah. Sementara itu, Alsha yang sedang merasa kalut justru hanya diam saja sambil melihat Andre mencuci piring dengan tatapan kosong. Merasa ada kejanggalan di tengah suasana ini, Andre pun akhirnya berusaha untuk memecah kecanggungan dengan pertanyaan, "Masakan lo enak! Kenapa gak jualan aja? Online gitu! Jaman sekarang kan kalo jual makanan gak perlu punya restoran. Pake kurir juga bisa. Gak tertarik?"

"Lo ngajak ngobrol gue?!"

"Emang siapa lagi? Si Puspa lagi nonton drama pake earphone. Yang bisa dengar pertanyaan gue barusan cuma lo doang."

Alsha menghela napas panjang, "Ide lo barusan menarik sih. Tapi sayang, gue gak punya modalnya." Jawabnya kemudian, dengan kedua mata yang masih tertuju pada kedua tangan Andre yang tengah sibuk mencuci mangkuk dan sendok di bawah kucuran air keran wastafel.

"Jadi lo masih belum dapet kerjaan juga?"

"Ya, begitulah! Semua lamaran gue digantung. Entah apa yang salah. Kayaknya emang nasib aja sih."

Untuk kesekian kalinya Alsha menghela napas panjang dan menampakkan wajah muram. Kebingungan dan kekhawatirannya selama beberapa hari terakhir ini sudah semakin menipis dan berganti menjadi pasrah. Alsha bahkan sudah hampir kehabisan tenaga untuk mencari lowongan lagi saking muaknya. Dan sekarang ini, yang bisa lakukan mungkin hanya diam untuk istirahat sejenak, dan menunggu petunjuk dari Tuhan.

"Kalau magang lo gimana, Ndre?"

Andre meletakkan mangkuk serta sendok yang baru selesai ia cuci ke dalam baskom tempat Alsha menyimpan perabotan yang baru selesai dicuci. Sambil menarik napas panjang, lelaki itu lalu membalikkan arah tubuhnya membelakangi wastafel, lalu menyandarkan bokongnya pada meja dapur.

"So far, so good! Gue cukup nyaman kerja di kantor gue sekarang. Orang-orangnya baik-baik, meskipun para atasan sesekali pasti marah setiap kali ada yang bikin kesalahan. Tapi demi kedisiplinan, menurut gue wajar aja sih."

Alsha tersenyum tipis, hanya melihat dari raut wajah Andre yang tampak cerah saja sudah memperjelas pernyataan bahwa lelaki itu memang begitu nyaman bekerja di tempat itu. Dan tentunya, membuat Alsha jadi semakin penasaran.

"Ngomong-ngomong, kerja lo di sana ngapain sih?"

"Karena gue anak IT. Jadi, gue masuk tim aplikasi. Update server, masukkin data-data talent, ya... Begitulah. Cukup seru! Meskipun agak ribet."

Alsha manggut-manggut, ia cukup mengerti kenapa Andre terlihat begitu nyaman. Mungkin karena pekerjaan ini memanglah pekerjaan yang benar-benar disukai oleh lelaki itu. Yah, meskipun kantornya adalah bisnis penyedia jasa pacar sewaan, tapi mendengar pernyataan Andre entah mengapa Alsha mulai tertarik untuk membahasnya lebih jauh.

"Terus, kalau boleh tahu, sistem yang dipake perusahaan lo untuk ngurus talent-talent nya itu gimana?"

"Kalau dari yang gue lihat sih, perusahaan ini tuh gak jauh beda sama manajemen agensi artis. Cuma bedanya, kalau agensi artis itu menyediakan talenta untuk bekerja di industri hiburan, entah itu sebagai aktris, penyanyi, atau presenter. Tapi di perusahaan ini, kita menyediakan talenta untuk bekerja sebagai pacar sewaan. Dan tentunya, pacar sewaan itu cuma sebutan aja sebenarnya. Jauh lebih luas dari itu, pelanggan kita biasanya ngerental talent-talent dari agensi kita cuma buat jadi teman jalan, partner kondangan, dan lain-lain."

"Kalau mirip sama Agensi artis, berarti ada manajernya juga?"

Andre mengangguk, "Ada! Kita punya beberapa manajer. Tiap manajer biasanya megang 3 sampai 7 talent. Dan si manajer ini, yang nantinya bakalan jadi penanggung jawab kalau misalkan terjadi apa-apa sama si talent. Maka dari itu, kita juga punya partner khusus untuk ngurus keamanan. Talent yang kena masalah, atau tertimpa sesuatu hal yang tidak diinginkan saat sedang bekerja atau disewa seseorang, bisa langsung kasih laporan ke Tim Keamanan lewat aplikasi khusus yang cuma dipakai oleh talent. For your information, gue salah satu developer aplikasinya!" Jelasnya dengan begitu detil, seraya mengakhiri kalimatnya dengan senyum simpul.

Entah mengapa, Alsha jadi makin tertarik. Keraguan yang akhir-akhir ini terasa menggunung secara perlahan mulai menipis dan memudarkan egonya selama ini. Sepertinya, tidak ada salahnya jika untuk sementara Alsha menerima tawaran Andre dan mengambil pekerjaan ini. Masa bodoh akan pandangan orang-orang nantinya jika saja mereka tahu bahwa dirinya bekerja sebagai pacar sewaan. Selama masih bisa menjaga rahasia, ia akan berusaha keras untuk menutupi ini. Lagipula, menjadi pacar sewaan di perusahaan agensi tempat Andre bekerja tidak sama dengan menjadi seorang PSK. Lalu apalagi yang harus diperhitungkan?

"Ngomong-ngomong, talent di agensi perusahaan lo sekarang jumlahnya ada berapa?"

Andre terdiam sejenak, tampak berpikir dan mencoba menghitung jumlah talenta perempuan yang ia tahu. "Belum begitu banyak sih. Sejauh yang gue tahu, kita baru punya sekitar 40-an talent. Berhubung pengguna aplikasi Girl for Rent juga udah mulai banyak, beberapa manajer kita juga sekarang lagi gencar buat nge-rekrut talent baru. Bahkan, gue yang cuma anak magang juga disuruh bantuin nyari."

"Kalo misalkan gue mau daftar, kira-kira lolos gak?"

Andre tergemap, raut wajahnya sontak menampakkan ekspresi terkejut tatkala mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Alsha.

"Maksud lo..."

"Kalau misalkan penawaran lo tempo hari masih berlaku... Gue masih bisa diterima gak???"

Mendengar pertanyaan itu kontan membuat kedua sudut bibir Andre tertarik. Sambil menganggukkan kepala, lelaki itu lantas berkata, "Bisa banget! Lo beneran mau ambil kerjaan ini?"

Alsha terdiam sejenak, kedua matanya yang menangkap sinar cerah dari bola Andre entah mengapa menghasilkan perasaan yakin. Meskipun belum seutuhnya, tapi Alsha berniat untuk mencoba dan menjalankan sementara.

"Yah, dicoba dulu gak ada salahnya kan?! Lagipula, gue udah gak punya pilihan lain."

Alsha tersenyum masam tatkala dirinya menyadari bahwa menjadi seorang pacar sewaan tinggalah satu-satunya pilihan yang ia punya saat ini. Meskipun sudah cukup yakin untuk memilih, namun sejujurnya ada sedikit perasaan cemas dan khawatir yang cukup membelenggu. Namun, Alsha tetap berusaha untuk melawan demi bisa bertahan hidup.

"Kalau begitu, gue minta profil lengkap lo untuk dikasih ke manajer, ya! Nanti kalau misalkan dia setuju untuk nge-rekrut lo, gue pasti bakal kabarin secepatnya." Jelas Andre.

Alsha mengangguk, "Oke! Nanti malam gue e-mail, ya!"

***

Minggu pagi yang cerah di dalam rumah minimalis yang sudah hampir sepekan berantakan bak kapal pecah. Veny berjalan mengelilingi area ruang tengah rumah Fendy sambil membersihkan lantai menggunakan penyedot debu portabel. Seperti biasa, bukan Veny namanya kalau tidak bawel dan diam saja saat sedang berdekatan dengan putra tunggalnya. Sudah pasti, wanita itu akan membicarakan hal-hal yang sangat membosankan dan memuakkan.

"Fen... Kamu masih inget kan, hari minggu nanti kita ada acara apa?"

Fendy yang tengah menikmati istirahatnya di atas sofa sambil menonton serial aksi seketika menarik napas panjang. Moodnya hilang dalam sejenak hanya karena dirinya sudah tahu arah pembicaraan ini akan kemana.

"Arisan keluarga, Ma!"

"Iya... Tapi kamu gak lupa kan sama janji kamu?"

Fendy mendengus. Ingin sekali dirinya menghilang dan pergi ke kebun bunga matahari untuk panen kuaci untuk menenangkan diri, tapi teleportasi tidak mungkin bisa ia lakukan karena ini adalah dunia sungguhan dan bukan film fantasi.

"Inget kok, Ma! Iya... Fendy usahain datang. Kalau gak sibuk!"

Mendengar kalimat itu tentu saja membuat Veny sontak tersenyum kecut, "Tuh! Kamu tuh kebiasaan deh jawabnya gak pernah pasti kayak gitu. Mama gak mau tahu, ya, Fen. Kamu tuh udah janji lho bakalan datang bawa pacar kamu. Pokoknya kalau sampai kamu ingkar, Mama gak mau lagi liat muka kamu lagi seumur hidup!"

"Ya, coba aja kalo kuat! Paling nanti kangen!"

Fendy menjawab santai, seolah tak ada beban dalam dirinya. Padahal sejujurnya jantungnya berdegup kencang. Panik karena dirinya tahu bahwa ancaman konyol itu hanya gertakan awal saja. Dalam mengambil tindakan, Veny bisa jauh lebih sadis dari itu. Saat Fendy masih SMP, wanita itu bahkan pernah tak membiarkannya masuk rumah selama 3 hari hanya karena pergi main seharian tanpa izin. Dan kenangan buruk itu tentu saja membuat Fendy jadi sangat berhati-hati pada Mamanya.

"Fendy... Kamu tuh jadi anak ngeselin banget, ya! Mama tuh udah baik lho, mau nyariin kamu jodoh yang bibit, bebet, bobotnya tuh bagus. Tapi kamunya malah gak mau. Bilangnya udah punya calon sendiri, udah punya pacar, tapi tiap kali Mama minta dikenalin kamunya menghindar terus. Kamu tuh sebenarnya beneran punya pacar atau enggak sih?!"

Sial!

Pertanyaan itu berhasil membuat Fendy mematung dan makin panik. Sejak dirinya menginjak usia 25 tahun, Fendy memang sudah dicecar untuk cepat-cepat menikah oleh keluarganya yang rata-rata menikah di usia muda. Fendy sebenarnya tidak begitu masalah dengan itu. Hanya saja, ia merasa belum menemukan perempuan yang tepat untuk ia nikahi dan ia ajak berumah tangga. Meskipun pada saat itu dirinya memang sudah dan masih berpacaran dengan Emi, tapi jujur saja Fendy masih belum yakin akan perasaannya terhadap gadis itu. Makanya, meskipun waktu itu mereka belum putus, Fendy tetap tidak bisa memperkenalkan Emi pada keluarganya. Tapi saat ini, di saat dirinya sudah melajang. Kenapa dirinya malah punya niat untuk menyewa gadis asing dan memperkenalkannya kepada keluarganya? Itu konyol. Tapi mungkin ini bisa terjadi hanya karena terdesak.

"Fen... Kalo orang tua nanya tuh dijawab dong! Jangan diem aja kayak patung begitu. Gak sopan!"

Fendy menghela napas panjang, "Iya, Ma... Aku pasti dateng sama pacarku. Tapi harus nanya dia dulu, lagi ada kerjaan atau enggak."

"Gak usah alesan deh! Hari minggu kan libur kerja. Emangnya pacarmu kerja di tempat pariwisata kalo weekend lembur?!"

"H-hah?! Enggak!"

Fendy gelagapan, bingung sendiri harus membalas apalagi karena Veny paling jago dalam urusan menimpali.

"Yaudah, kalo gitu dateng, ya! Nanti itu, keluarga Tante Reysa juga pasti bakal hadir. Dan katanya dia mau bawa anaknya yang cewek, yang paling gede, yang waktu itu dikenalin sama kamu. Mama tuh gak enak lho udah pernah nolak tawaran perjodohan kalian, soalnya kamu waktu itu bilang udah punya pacar."

Fendy agak sedikit terkejut mendengar itu, "Lho, ini bukannya acara khusus keluarga kita, ya?! Kok pake ngundang keluarganya Tante Reysa segala? Katanya arisan keluarga."

"Duh, Fen! Mama pasti lupa bilang, ya?!Sebenarnya alasan acaranya diundur jadi minggu depan itu karena sepupu kamu, si Raina, mau sekalian ngiket. Itu lho, yang peresmian sebelum resmi tunangan."

"Hah? Raina? Jadi maksudnya...."

"Iya... Raina itu ternyata udah pacaran lumayan lama sama anak sulungnya Tante Reysa yang kuliahnya di Australi itu."

"Oh... Valdo!" Fendy manggut-manggut saja tatkala mendengar berita yang cukup mengejutkan bahwa sepupunya ternyata punya hubungan spesial dengan Valdo, anak sulung Tante Reysa yang sering dibangga-banggakan keluarga mereka. Sebenarnya, ia sudah cukup mengenal keluarga Tante Reysa karena dulu ketika Papanya masih hidup, suami Tante Reysa sempat menjadi partner bisnis Papanya, sebelum akhirnya perusahaan keluarga Fendy jatuh bangkrut karena sang Papa jatuh sakit dan tidak mampu lagi menjalankan bisnis.

Karena itu, keluarga Fendy bisa dibilang sudah cukup dekat dengan keluarga Tante Reysa. Sampai-sampai, Fendy sempat digadang-gadang akan dijodohkan dengan putri tertua mereka, Vanya, yang katanya ditujukan untuk mempererat hubungan keluarga. Namun, karena Fendy tidak setuju dengan perjodohan itu, dan tidak begitu tertarik kepada Vanya meskipun wajahnya secantik tuan putri dan kepribadiannya seanggun paduka ratu. Makanya, Fendy secara terang-terangan memberitahu Veny terkait hal ini, mengatakan bahwa dirinya sudah punya gadis pilihan sendiri, dan meminta Ibunya untuk menolak perjodohan itu.

Meskipun rasanya sedikit tidak enak. Tapi mendengar berita barusan, rasa-rasanya tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh, hubungan keluarga mereka akan sama-sama dipererat jika memang nantinya Raina dan Valdo akan menikah. Jadi tidak perlu memaksakan perjodohan antara Fendy dan Vanya.

"Ya, makanya itu. Kamu usahain dateng, ya! Jangan banyak alesan terus. Ini tuh acara penting, bukan cuma arisan keluarga tapi juga penyatuan antara dua keluarga. Jadi kamu harus dateng!" Sekali lagi, Veny mengatakan kalimat yang intinya sama berulangkali. Lalu, menekankan kata yang sudah basi di telinga Fendy hingga membuat putranya makin muram. "Dan inget, ya... Pacarmu jangan lupa dibawa!"

Setelah mengatakan itu, Veny lantas beranjak menuju ruang tamu. Menarik penyedot debu yang sedang ia gunakan untuk membersihkan ruangan terdepan di rumah putranya.

Sementara itu, Fendy hanya mampu menarik napas panjang sambil memejamkan kedua matanya sekilas. Lagi-lagi, ia merutuki dirinya sendiri. Menyalahkan keadaan dan terus mengungkit pertanyaan yang sama.

Kenapa Emi harus memutuskannya di saat dirinya sedang dalam situasi genting seperti ini?!

***

Alsha duduk di kursi panjang ruang tunggu sebuah kantor yang cukup asing baginya. Ini adalah kali pertamanya ia datang ke sini, dan saat ini, ia sedang merasa gugup sekaligus khawatir. Kedua kakinya yang sedari tadi terus bergerak menggesek lantai memperlihatkan kecemasan itu dengan jelas. Puspa yang duduk di sebelah Alsha seketika langsung menggenggam kedua tangan sahabatnya saat menyadari hal itu. Lalu menyunggingkan senyum dan mencoba menenangkan perasaan yang sedikit gusar.

"Udah tenang aja... Lo pasti lolos kok! Gak usah tegang gitu!"

Alsha menggelengkan kepalanya, tak meyakini ucapan Puspa meskipun kedengarannya tidak mustahil. "Lo kenapa yakin banget? Karena ada Andre?!"

"Karena lo orangnya positive vibes banget! Lagian Andre mah cuma perantara doang. Keputusan tetap ada di manajer. Tapi lo gak usah khawatir. Gue yakin lo pasti lolos."

Alsha tak mampu lagi membalas pernyataan Puspa karena saat ini tenggorokannya seolah tercekat oleh rasa gugup. Saat ini ia sedang menunggu jawaban dari manajer agensi yang barusan sudah mewawancarai dirinya, menanyakan beberapa hal tentang kepribadiannya, juga menanyakan alasan kenapa dirinya bisa mau jadi pacar sewaan? Alsha sudah menjawab seluruh pertanyaan itu dengan sebaik mungkin, dan tentunya semampunya. Tapi meskipun begitu, ia tidak terlalu berharap bisa lolos dan diterima. Karena sejujurnya, saat ini dirinya sedang dihantui oleh perasaan bimbang. Takut dan cemas kalau-kalau pekerjaan ini tidak sesuai dengan ekspektasinya. Yah, walaupun sebenarnya Alsha sendiri akan bingung harus cari kerja kemana lagi kalau misalkan yang kali ini ditolak juga.

Clekk...

Suara pintu terbuka, membuat Alsha dan Puspa sontak melirik ke arah seorang perempuan paruh baya yang baru saja keluar dari ruangannya sambil membawa lembaran kertas.

"Alshabira Zevanya Azalia?!" Perempuan paruh baya itu menatap ke arah Alsha dengan tatapan menyelidik, sedikit memicingkan mata sambil sesekali melirik lembaran kertas biodata yang ada di tangannya.

"Iya, itu nama saya." Alsha bangkit berdiri, sedikit menundukkan pandangannya sebagai bentuk hormat. Entah mengapa, raut wajah dingin yang ditampilkan perempuan itu membuatnya semakin gugup, dan mulai khawatir akan penolakan yang sepertinya akan terjadi.

Namun, beberapa detik setelahnya yang terjadi malah sebaliknya. Senyum manis tiba-tiba saja tersungging di wajah perempuan itu, lalu dengan sorot mata cerah, ia pun lantas berkata, "Besok pagi jangan lupa datang, ya, ke sini. Kita ada training satu hari full untuk seluruh talent baru." Serunya kemudian, membuat Alsha mengernyit bingung.

"Maksud Ibu..."

"Kamu diterima!"

"Hhah?!"

"Yeeeaaaayyyyyy!!!" Puspa seketika langsung berjingkrak dan memeluk Alsha setelah mendengar pernyataan itu. Sementara Alsha sendiri masih diam mematung di tempat dengan wajah kebingungan. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa dirinya bisa diterima. Terlebih lagi, Alsha juga tidak menyangka bahwa sesaat lagi dirinya akan benar-benar resmi menjadi seorang pacar sewaan di bawah naungan Agensi.

"Tuh, kan! Apa gue bilang?! Lo pasti diterima!"

Puspa begitu kegirangan. Situasi nampak seperti terbalik tatkala melihat Alsha yang kini hanya mampu tersenyum simpul masih dengan raut wajah tidak percaya.

"Besok pagi jam 7 harus sudah ada di sini, ya! Gak boleh telat!" Seru perempuan itu menambahkan.

Namun lagi-lagi yang membalas malah Puspa, "Oke, Bu! Siap! Alsha pasti datang tepat waktu!" Katanya.

Perempuan itu tersenyum. "Baik, kalau begitu saya permisi, ya! Kalian boleh pulang!"

Alsha dan Puspa tersenyum, lalu menundukkan kepala sekilas sebagai salam hormat. Puspa kembali menatap wajah sahabatnya dengan cerah, lalu memegang dan mengguncang kedua pundak gadis itu sambil berkata, "Akhirnya, Sha... Lo dapet kerjaan bagus juga!"

Alsha tersenyum tipis, sedikit masam karena sejujurnya masih bingung harus bereaksi seperti apa.

"Hh... Iya, ya... Yaudah, pulang yuk!"

"Yuk! Tapi kita mampir ke warung bakso dulu, ya! Gue laper!"

"Makan di rumah aja. Gue yang masak!"

Alsha langsung menarik lengan Puspa untuk segera pergi meninggalkan kantor Girl for Rent dan pulang ke rumah. Entah mengapa, setelah mendengar pernyataan bahwa dirinya diterima Alsha menjadi sedikit gusar. Ada perasaan kalut dan takut kalau-kalau dirinya tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik nantinya. Maka dari itu, ia merasa harus segera menenangkan diri di kamarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status