Share

06. Mempersiapkan Diri

"Hai, Sha... Pulang-pulang kok mukanya kusut begitu?!"

Puspa langsung menutup dan mengunci kembali pintu utama rumah saat Alsha sudah masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Gadis itu baru saja pulang dari acara training khusus talenta baru di agensi Girl For Rent, yang diadakan langsung oleh para manajer untuk memberikan pelatihan kepada calon pekerja mereka yang akan menjadi pacar sewaan.

Alsha meletakkan paperbag berukuran sedang di atas meja seraya menyandarkan punggung dan kepalanya pada sandaran sofa, lalu menghela napas panjang sambil lalu memejamkan kedua matanya sekilas. "Gue capek banget hari ini!"

"Emangnya di training tadi acaranya ngapain aja? Bisa sampe kehabisan tenaga begitu!" Puspa bertanya sambil berjalan ke arah meja makan, menuangkan air dari teko ke dalam gelas, lalu kembali ke ruang tamu dengan membawa gelas itu seraya memberikannya kepada Alsha.

Gadis itu kemudian meneguk air yang dibawakan Puspa hingga tersisa setengahnya. Sambil meregangkan otot kaki untuk meredam lelahnya, Alsha pun kemudian menjawab pertanyaan Puspa barusan.

"Selain perkenalan, bahas peraturan dan belajar melayani klien dengan baik. Kita juga diajarin banyak hal lain. Kita diajarin tentang etika seorang talent, cara berpakaian, mengendalikan emosi, bahkan sampai diajarin dandan segala."

"Oh, ya? Seru dong!"

"Lumayan! Bahkan gak cuma diajarin dandan. Peralatan dan keperluan dandannya juga dikasih."

"Maksudnya lo dapet paket make-up dari mereka?"

Alsha menggangguk dengan senyum tersungging, dagunya lantas mengarah pada paperbag berukuran sedang yang ia letakkan di atas meja. Matanya mencoba memberitahu Puspa bahwa isi di dalam tas kertas itu merupakan apa yang dimaksudnya.

"Buka aja!"

Mata Puspa langsung berbinar saat dirinya membuka dan melihat isi di dalam paperbag yang dibawa sahabatnya. Tak disangka, isi di dalam paperbag itu adalah satu paket make-up wajah beserta peralatannya yang cukup lengkap dan beragam meskipun kemasannya travel size semua. Mungkin agar mudah dibawa kemana-mana.

Puspa membuka sekotak eyeshadow pallete dengan wajah senang, gadis itu memang suka sekali menggunakan riasan wajah, apalagi kalau sedang pergi keluar. Ya, walaupun Puspa seringnya hanya menggunakan riasan tipis saja, tapi bukan berarti dirinya tidak bisa make-up yang lebih tebal untuk acara formal.

"Warnanya lucu-lucu banget. Cocok sama warna kulit lo. Brush-nya juga bagus. Merk mahal nih!"

"Gue kurang ngerti soal make-up. Gue tuh tahunya cuma yang standar-standar aja. Tapi tadi gue diajarin gimana caranya pakai eyeliner yang bener sesuai bentuk mata, cara menggambar alis biar gak ketebelan, cara pakai shading, pakai highlight. Pusing banget! Kayaknya lo lebih paham deh!" Alsha benar-benar kurang mengerti tentang dunia rias wajah karena ia memang jarang sekali menggunakan riasan wajah. Selain karena sibuk dengan kuliah dan pekerjaan, alasan sebenarnya juga karena Alsha tidak mampu untuk membeli alat-alatnya. Bisa beli tabir surya, bedak, dan pewarna bibir saja sudah cukup baginya. Karena masih ada keperluan lain yang lebih penting, yang harus ia prioritaskan.

"Make-up nya bagus-bagus banget sih! Bikin gemes aja!" Seru Puspa.

"Kalau mau coba pake, ya, pake aja!"

Puspa lalu mengambil sebotol foundation dengan warna natural, kedua matanya tiba-tiba menatap wajah Alsha dengan senyum lebar seperti menyiratkan sesuatu.

"Lo ngapain ngeliatin gue kayak gitu?" Alsha mengernyit bingung.

Sambil menyunggingkan senyum, Puspa pun lantas berkata, "Mau coba gue dandanin gak? Hehe..."

Alsha melotot, kepalanya secara spontan menggeleng mantap. "Gak! Gak! Gak! Ini tuh udah malem, ngapain sih pake main dandan-dandanan segala. Lagipula muka gue juga udah kucel, badan gue lengket, gue mau mandi!"

"Kalau gitu habis mandi aja!"

"GAK!"

Puspa mengerucutkan bibirnya, tampak kecewa atas penolakan Alsha yang begitu spontan. "Yaah, gak asik lo! Masa gak mau sih gue dandanin. Lo takut hasil make-up gue gagal terus muka lo jadi jelek, ya?"

Mendengar pertanyaan Puspa membuat Alsha seketika menghela napas panjang. Sahabatnya itu memang paling bisa membuatnya simpati dengan kalimat melankolis seperti itu. Tapi kali ini, Alsha tidak akan luluh. Ia tetap akan menolak karena ini sudah malam, dan ia sudah benar-benar merasa lelah.

"Bukan gitu, Pus... Gue tahu lo jago make-up dan make-up-in orang. Tapi ini tuh udah malem, gue capek mau istirahat. Kalau emang lo se-pengin itu dandanin gue pake alat-alat make-up dari agensi itu, besok pagi aja. Biar sekalian gue belajar lebih detil sama lo, terus sekalian berangkat ke kantor juga. Besok pagi gue ada pemotretan!"

"Photoshoot?" Tanya Puspa dengan mata berbinar. Dan Alsha hanya mengangguk saja.

"Iya, buat foto profil di aplikasi. Katanya fotonya harus bagus, jadi pake fotografer profesional segala."

"Wiihh... Seru dong! Berasa kayak model, ya!"

"Ya, makanya itu. Karena gue belum jago make-up, besok pagi lo make-up-in gue, ya!"

Seruan Alsha membuat Puspa seketika kembali menyunggingkan senyum. "Siap! Besok pagi gue pasti bakal make-up-in lo! Pokoknya gue mau make over lo sampai jadi secantik mungkin di hari pertama kerja. Pokoknya cantik banget!" Tukasnya kemudian dengan penuh semangat.

Alsha mengangguk saja, tersenyum paksa seraya beranjak dari tempat duduk. Ia benar-benar merasa lelah, badannya terasa lengket setelah seharian  melaksanakan pelatihan. Pengalaman yang Alsha dapatkan hari ini cukup mengesankan dan bisa juga ia terapkan untuk di kehidupan sehari-hari. Namun tatkala mengingat bahwa besok adalah hari terakhir melengkapi profil, dan lusa nanti dirinya sudah benar-benar resmi menjadi seorang pacar sewaan dan akan mulai bekerja, entah mengapa Alsha jadi khawatir.

***

Fendy mengayunkan langkah menuju kafetaria untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan karena tak sempat sarapan di rumah. Meskipun masih pagi begini, tapi suasana kafetaria sudah cukup ramai. Beberapa meja bahkan terisi penuh oleh sekumpulan karyawan kantor yang sedang menikmati makan pagi sambil mengobrol. Meskipun di beberapa meja ada juga yang lebih memilih untuk duduk sendirian sambil menikmati kopi di depan layar laptop yang menyala, namun mereka tampaknya tidak begitu peduli dengan suara berisik dari sekumpulan karyawan yang asyik bercanda dalam satu meja.

Namun, pandangan Fendy tiba-tiba saja terpaku pada seorang gadis dengan rambut panjang kecokelatan yang sedang berjalan ke arah salah satu meja yang kosong sambil membawa satu cup kopi dengan seorang pria tampan di sebelahnya. Mereka berjalan bersama sambil berbicara, lalu sesekali tertawa dan tampak bahagia sampai akhirnya mereka berdua duduk berhadapan mengisi satu meja yang sama.

"Mau pesen apa, Pak?"

Seorang pelayan pria yang baru selesai mengelap meja lantas menghampiri Fendy yang sedang berdiri di dekat stan makanan sambil mengamati gadis berambut panjang kecokelatan yang kini sedang duduk bersama pria tampan itu.  Karena terlalu fokus mengamati, Fendy jadi agak terkejut dengan kehadiran pelayan itu yang tiba-tiba, namun sedetik setelahnya ia pun menghela napas panjang dan berusaha santai.

"Nasi goreng seafood nya satu. Sama teh tawar hangat. Ada?"

Pelayan pria itu mengangguk, "Ada!" Jawabnya. Namun matanya terus menilik ke arah Fendy yang masih saja berdiri sambil terus memerhatikan ke satu arah dengan raut wajah tanpa ekspresi. "Bapak mau makan nasi gorengnya sambil berdiri di sini? Gak mau duduk aja? Meja makannya masih banyak yang kosong lho, Pak!"

"Hah?"

Fendy terkesiap, ia baru sadar bahwa sejak matanya terpaku pada gadis itu dirinya jadi hanya diam berdiri saja sampai lupa untuk mencari tempat duduk. "Oh, iya, saya duduk di sini aja!" Fendy pun lantas memilih untuk mengisi meja kosong yang ada di dekatnya, menarik kursi, lalu duduk di atasnya seraya kembali memerhatikan objek yang sejak tadi menarik perhatiannya.

Sementara itu, pelayan pria yang sedari tadi memerhatikan perilaku aneh Fendy hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengembuskan napas kasar. Ia sepertinya tidak mengerti dan tidak habis pikir kenapa seorang manajer perusahaan seperti Fendy bisa sampai lupa mengisi tempat duduk. Pria itu jadi kelihatan konyol sekali.

Namun Fendy tampaknya tidak peduli. Bahkan sampai pelayan pria itu pergi, ia masih sibuk memerhatikan gadis itu di ujung kafetaria. Tawa serta wajah cerah yang ditampakkan gadis itu dari jauh membuat Fendy sedikit gelisah. Entah mengapa ia masih merasa sedikit bersalah namun tak bisa berbuat apa-apa. Meskipun sebenarnya ia turut senang melihat gadis itu tampak bahagia, tapi tetap saja rasa tak enak hati masih belum juga menghilang.

"Emi sekarang udah punya cowok baru!"

Fendy terkejut, kedatangan Bondan yang tiba-tiba membuatnya seketika terperanjat. "Sialan! Lo ngagetin gue!" Tukasnya kemudian. Namun Bondan malah tersenyum lebar, lalu menarik kursi dan duduk di sebelah Fendy.

"Lo ngapain merhatiin dia terus dari tadi? Belum bisa move on?"

Fendy menghela napas panjang, ia sudah mengira bahwa pertanyaan itu pasti akan keluar dari mulut sialannya Bondan. Kedatangan lelaki itu benar-benar membuat suasana hatinya jadi makin kacau.

"Lo ngapain sih ke sini?"

"Kok malah nanya balik sih. Itu gimana cowok barunya si Emi? Oke gak?"

Fendy kembali menarik napas panjang, mencoba untuk bersabar di tengah rasa jengkelnya terhadap Bondan yang tingkah lakunya entah mengapa selalu menyebalkan.

"Cowoknya oke. Dia lumayan ganteng! Dan kelihatannya mereka bahagia banget!"

Bondan manggut-manggut, "Lo bener, dia ganteng! Tapi kalo soal bahagia, gak tahu deh. Itu kan cuma kelihatannya aja mereka asyik ngobrol sambil ketawa-ketawa, bisa aja di dalam hati isinya beda."

Yah, setiap orang memang pasti memiliki perasaan duka yang sengaja disembunyikan. Fendy tahu itu, dan ia juga sangat mengerti bahwa tidak semua yang kelihatannya menyenangkan benar-benar membahagiakan. Tapi entah mengapa yang ia lihat kali ini berbeda. Emi memang kelihatannya sangat nyaman dan berseri, ia bisa melihat itu dari pancaran sorot matanya yang tampak begitu cerah dan penuh binar. Sebelumnya, saat mereka masih pacaran gadis itu sepertinya tidak pernah tertawa selepas itu.

"Tapi gue seneng sih, ngeliat dia se-hepi itu sekarang. Setidaknya, keputusan kita untuk pisah udah berhasil merubah keadaannya jadi jauh lebih baik." Fendy berujar dengan nada yang terdengar tulus, dengan tatapan yang masih tak bisa lepas dari Emi yang kini sedang tertawa lepas di hadapan seorang laki-laki pengganti dirinya. Meskipun sebenarnya Fendy masih menyimpan perasaan bersalah dan tak enak hati, tapi ia turut senang bisa melihat Emi bahagia sekarang.

"Tapi, Fen! Sebenernya gue sendiri juga gak tahu sih mereka udah pacaran atau belum. Tapi emang sih, akhir-akhir ini gue sering liat mereka berduaan terus. Meskipun kayaknya mereka belum resmi jadian."

Mendengar pernyataan itu tentu saja membuat raut wajah Fendy yang semula tenang mendadak berubah datar, ekor matanya bahkan menatap Bondan dengan dingin dan menusuk. "Anjir! Tadi katanya lo bilang itu cowok barunya."

"Ya, deket sama cowok baru bukan berarti pacaran kan?! Lo aja pacaran sama Emi setahun tapi gak ada perasaan!"

"Anjir, kenapa lo malah bahas masalah gue lagi?! Jadi makin merasa bersalah kan gue jadinya!"

"Kenapa mesti ngerasa bersalah? Kan kalian putusnya baik-baik."

Fendy hendak membalas pertanyaan Bondan, namun niat itu ia urungkan karena urusannya nanti malah akan jadi panjang. "Pokoknya susah deh dijelasinnya. Lo gak bakal ngerti!"

"Oke! Gue paham kok!" Seru Bondan, berusaha untuk mengerti perasaan Fendy dari raut wajahnya yang tampak sulit untuk dijelaskan. "Tapi, kok bisa, ya, si Emi bisa langsung dapet cowok baru? Padahal kan kalian putusnya baru seminggu. Lo aja sampe sekarang masih uring-uringan nyari pengganti dia. Apa jangan-jangan Emi udah selingkuh sejak kalian masih pacaran?"

"Mau dia pernah selingkuh, atau ada main di belakang gue pas kita masih pacaran juga gue gak peduli. Lagian sekarang kita udah putus. Udah bukan urusan gue juga! Sekarang itu yang paling penting, gue harus nyiapin mental untuk menghadapi keluarga besar gue hari minggu nanti." Fendy mengembuskan napas kasar, ia sebenarnya tidak begitu peduli dengan siapa Emi bersama sekarang. Sekadar melihatnya lebih bahagia saja sudah mampu mengurangi rasa bersalah di hati Fendy. Tapi kini, ada masalah yang lebih besar yang justru harus ia hadapi dalam waktu dekat. Dan masalah itu, mengharuskan dirinya untuk cepat-cepat menemukan pengganti Emi.

"Nah, saking keasikan ngomongin Emi gue sampe lupa tujuan utama gue nyamperin lo ke sini." Bondan mengeluarkan ponselnya dari saku celana, sementara Fendy yang semula masih menatap Emi lantas mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Emangnya ada urusan apa?"

Bondan menyerahkan ponselnya kepada Fendy, memperlihatkan beberapa profil gadis pilihan yang baru ia temukan di aplikasi Girl for Rent. "Nih, gue datang bawain pesenan lo! Gue udah pilih 3 profil cewek terbaru yang gue dapetin di aplikasi Girl for Rent. Menurut gue sih, cewek-cewek yang gue pilih ini pasti sesuai sama kriteria lo!" Serunya memberitahu.

Fendy terdiam sejenak, matanya membaca dan memerhatikan profil gadis-gadis itu, sementara jari tangannya sibuk menggulir lampiran yang menyertainya. Ia juga sesekali memperbesar foto-foto mereka, hanya untuk memastikan bahwa gadis-gadis itu memang sesuai dengan kriterianya.

"Gimana? Ada yang nyangkut gak?"

Fendy menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan dan memasang wajah tak yakin. "Tahu deh, Bon. Masih kurang sreg! Ini sih emang tipe gue. Tapi gue rasa nyokap gue belum tentu suka."

Bondan tersenyum kecut, "Yaelah, Fen... Fen... Ini yang mau nyewa pacar kan elo bukan nyokap lo! Kenapa sih apa-apa harus banget sesuai sama maunya dia?" Tukasnya kemudian.

"Tapi kan gue nyewa pacar juga karena dia. Nyokap gue yang maksa gue buat bawa calon ke acara keluarga, tanpa dia tahu kalau gue udah putus sebelum hari H. Sementara itu, dari awal gue juga udah janji duluan sama nyokap gue, dan gue gak bisa ngelanggar gitu aja. Lagipula, sejak gue minta dia untuk batalin perjodohan gue waktu itu. Gue janji sama nyokap gue kalau gue bakalan milih calon istri terbaik yang nantinya bisa jadi menantu andalan dia. Maka dari itu gue gak bisa asal-asalan meskipun ini cuma pura-pura."

Mendengar pernyataan Fendy membuat Bondan yang semula tampak kesal seketika mereda, pria itu akhirnya terdiam dengan wajah sendu dan hanya mampu menghela napas panjang. Ia mengerti bahwa menjadi seorang anak tunggal itu cukup sulit karena menjadi satu-satunya harapan bagi keluarga. Tapi Bondan tidak pernah menyangka dalam urusan memilih jalan sesuai keputusan sendiri pun rasanya susah, karena lagi-lagi harus mempertimbangkan perasaan dan kebutuhan orang lain.

Sepersekian detik kemudian, seorang pelayan pria datang membawakan pesanan Fendy barusan. Namun sebelum meletakkan sepiring nasi goreng dan segelas teh tawar hangat di atas meja, Fendy tiba-tiba saja berkata, "Makanannya anterin ke ruangan saya aja, Mas! Biar saya makannya bisa sambil kerja. Kerjaan saya lagi numpuk!" Titahnya, sambil lalu menyerahkan kembali ponsel di tangannya kepada Bondan. "Thank you banget, Bon, buat pilihannya. Gue mau ngerjain kerjaan gue dulu! Sori udah ngerepotin!"

"Santai aja!" Bondan mengucapkan kalimat itu dengan datar, tanpa melirik ke arah Fendy sama sekali. Sementara itu, Fendy yang baru saja bangkit dari duduknya lantas memerintahkan pelayan pria itu untuk mengikutinya, membawakan makanan pesanannya ke ruang kerja agar bisa dinikmati sambil mengerjakan berkas-berkas yang sudah menumpuk.

Bondan menghela napas panjang, ia tidak pernah mengira bahwa pernyataannya barusan bisa membuat situasi berubah jadi agak canggung. Sejujurnya ia sama sekali tidak merasa direpotkan. Hanya saja, setelah bertahun-tahun berteman dekat kenapa baru kali ini dirinya bisa benar-benar merasakan kepahitan yang dirasakan Fendy sebagai seorang anak tunggal. Perasaan sendu yang terlalu sering dipendam sendirian membuat Bondan merasa dirinya seperti tidak mengenal kawannya sendiri. Meskipun pada kenyataannya tidak seperti itu.

***

"Sayang? Kamu ngapain di sini?"

Puspa terkesiap dan sontak menghentikan langkah tatkala mendengar suara Andre. Gadis itu kemudian menoleh ke arah suara, lalu mendapati kekasihnya yang tampak sedang berjalan dari tempat parkir menuju ke arahnya.

"Aku mau jemput Alsha, katanya hari ini dia ada pemotretan. Kamu dari mana?"

"Aku habis beli makan di luar. Bosen sama makanan di kantin sini."

"Oh, gitu!" Puspa mengangguk saja tanpa bicara apa-apa lagi. Kantong plastik bening yang dibawa Andre dengan jelas memperlihatkan satu kotak dimsum dengan saus kacang di dalamnya. Sehingga tidak membuatnya penasaran, apalagi harus mengomel kalau-kalau pacarnya itu makan yang aneh-aneh.

"Pemotretannya baru aja selesai. Kayaknya talent-talent juga masih pada sibuk beres-beres. Kita duduk di situ dulu, yuk! Kamu nungguin Alsha nya di lobi aja, sambil temenin aku makan."

Tanpa menunggu persetujuan, Andre langsung menarik lengan Puspa dan membawanya masuk ke dalam gedung kantor, lalu mengajaknya duduk di sofa lobi sambil menunggu Alsha selesai beres-beres.

"Jajan, Ndre?!"

"Yoi!" Andre membalas sapaan salah seorang staff laki-laki yang melintasi area lobi. "Gabung sini!" Ajaknya kemudian.

Namun dengan cepat staff lelaki itu menjawab, "Makasih deh! Kerjaan gue lagi numpuk!" Serunya.

"Semangat, ya, ngupload foto-foto talent barunya!" Teriak Andre kemudian sambil terkekeh geli. Yang kemudian dijawab dengan acungan jempol.

Andre kemudian melahap satu buah dimsum ke dalam mulutnya, sementara Puspa sedari tadi tampak berpedar melihat-lihat seisi kantor.  Memerhatikan para staff yang berlalu lalang ke sana ke mari dan tampak begitu sibuk. "Staff di sini banyak juga, ya!" Seru gadis itu.

Andre mengangguk, "Lumayan! Makin banyak talent, makin banyak pengguna aplikasi kita, makin banyak juga SDM yang kita butuhin." Ujarnya.

"Terus cowok yang tadi itu, bagian apa dia?"

"Dia salah satu developer aplikasi kita. Tapi khusus di bagian updating system talent profile. Yang biasanya ngesubmit data, sama ngupload profilnya para talent."

"Oh, gitu! Keren, ya!"

"Lumayan!"

Andre kemudian mengapit satu buah dimsum menggunakan sumpit di tangannya, lalu mengarahkan makanan asal cina itu ke hadapan wajah Puspa seraya berkata, "Mau coba gak? Ini enak lho! Aaaa!"

Puspa langsung membuka mulutnya dan melahap dimsum tersebut tanpa berkomentar sama sekali. Entah mengapa suasana kantor yang terasa agak ramai dan sesak ini membuatnya agak sedikit malas untuk bersuara apalagi berbincang-bincang. Selain itu, Puspa juga agak sedikit canggung melihat mereka semua yang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing sebagai staff dan pekerja, sementara dirinya yang bukan siapa-siapa hanya duduk manis saja di sofa lobi. Rasanya jadi sungkan.

"Pus!"

Setelah menunggu selama beberapa menit, akhirnya Alsha datang dari ujung lorong menuju lantai dua bersama dengan beberapa orang talent lain yang juga baru selesai beres-beres selepas pemotretan foto profil. Gadis itu kemudian melangkah cepat menghampiri Puspa, berjalan dengan sedikit terburu-buru karena mengira sahabatnya itu sudah cukup lama menunggu.

"Udah dari tadi?" Tanya Alsha saat dirinya sudah berada tepat di hadapan Puspa dan Andre.

"Enggak kok. Baru 15 menit paling. Lagian juga gue ditemenin sama Andre."

"Yoi! Gimana photoshoot-nya? Asik?" Sambil sibuk mengunyah, Andre lantas mengajukan pertanyaan yang membuat Alsha seketika mengembuskan napas panjang. Gadis itu kemudian menjatuhkan bokongnya di atas sofa, lalu duduk di sebelah Puspa seraya menyandarkan punggungnya ke dinding.

"Ya, gitulah! Agak bosen nungguin giliran. Terus capek juga. Dari tadi rasanya gue pengin cepet-cepet pulang aja!"

Keluhan Alsha yang terdengar begitu lesu membuat Puspa dan Andre seketika tertawa kecil. Setahu mereka Alsha adalah manusia paling pekerja keras yang ada di muka bumi ini. Gadis itu bahkan rela kekurangan jam tidur dan kehilangan waktu bersantai hanya untuk bekerja menjadi pelayan restoran, pegawai kafe, atau bahkan karyawan toko buku. Tapi kenapa setelah mendapatkan pekerjaan yang menurut mereka lebih santai seperti ini gadis itu malah mengeluh? Mungkin karena pekerjaan ini memanglah bukan pekerjaan yang biasa bagi Alsha. Dan bukan juga sebuah pekerjaan yang diharap-harap apalagi jadi incaran.

"Baru photoshoot sekali doang udah ngeluh capek. Gimana nanti kalau misalkan elo jadi model beneran? Jadi artis gitu misalnya. Kayaknya lo bakalan mati karena pusing sama kebanyakan job." Ledek Puspa pada sahabatnya.

"Pastinya! Lagian siapa juga yang mau jadi model atau artis. Muka pas-pasan gini mana cocok!" Timpal Alsha membalas. Sadar diri bahwa dirinya masih memiliki banyak sekali kekurangan.

"Halah, pas-pasan apanya! Lo tuh cantik kali. Ya, emang gak secantik Pevita Pearce sih. Tapi tinggal rajin perawatan sama ditampol make up juga nanti jadinya perfect. Asal niat aja!"

"Tetep aja gak tertarik! Gue mau hidup tenang jadi manusia biasa aja."

Andre tergelak, "Hidup tenang?! Di dunia ini mana ada yang namanya hidup tenang. Setenang-tenangnya hidup, ketenangannya gak akan pernah bertahan lama. Planet bumi tuh isinya masalah semua. Apalagi kita hidup di Jakarta. Tuntutan realitanya keras, Bos!" Ujarnya sambil tertawa getir, yang kemudian membuat kedua gadis di dekatnya seketika terdiam dengan senyum kecut.

"Sekarang ini kerjain dulu aja apa yang bisa lo kerjain, Sha! Ya, meskipun gue sendiri juga tahu sih kalau kerjaan ini emang bukan kerjaan yang lo harapkan. Tapi menurut gue, lo harus tetep ngejalaninnya dengan sepenuh hati biar gak kerasa berat. Nanti lama-lama juga pasti terbiasa sendiri."

Alsha tersenyum getir mendengar kalimat yang dituturkan Andre. Tak bisa dipungkiri, meskipun Alsha sendiri yang pada akhirnya memilih pekerjaan ini, namun pilihan ini tetaplah pilihan yang berat karena bekerja menjadi seorang Pacar Sewaan yang terikat kontrak dengan Agensi besar bukanlah keinginannya. Namun tuntutan keadaan yang memaksanya untuk menjalani ini. Dan ia tidak punya pilihan lain saat ini.

"Iya, Ndre. Gue ngerti! Makasih banget buat kata motivasinya!"

"Sama-sama!" Andre kemudian lanjut makan, sibuk mengunyah dimsum ayamnya dengan lahap dan fokus.

Sementara itu, Alsha dan Puspa yang sudah mulai bosan berada di kantor Girl for Rent lantas mulai saling melirik, lalu memperlihatkan tatapan berisi pesan yang tentunya hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua.

"Sayang! Aku pulang duluan, ya! Tugas kuliah lagi numpuk nih. Lagian juga Alsha kayaknya udah capek banget mau istirahat." Puspa dan Alsha beranjak dari sofa, bangkit berdiri sambil mengemasi tas keduanya yang semula terlepas dari genggaman tangan masing-masing.

Andre menilik Puspa dengan tatapan memicing, memerhatikan raut wajah yang kurang mendukung dan tidak begitu meyakinkan. "Beneran langsung pulang ke rumah? Atau mampir ke mana-mana dulu nih?" Tanyanya kemudian

Puspa pun akhirnya tersenyum lebar, Andre memanglah manusia paling peka dan agak sulit untuk dibohongi. Kalau sudah begini, apa boleh buat. Sebaiknya ia memang harus berterus terang. Lagipula ini juga bukan hal yang harus ditutupi sampai sebegitunya.

"Kita mau belanja bulanan dulu. Terus mampir ke toko pakaian sih. Ya, kayaknya aku juga gak perlu ngasih tahu mau beli apa. Kamu juga ngerti kan?!"

Andre mengangguk, "Iya, terserah sih kalau mau mampir ke manapun. Asalkan pulangnya kamu gak jajan seblak, atau makan yang pedes-pedes, aku sih santai aja." Ucapnya tanpa nada keberatan, sambil lalu menatap ke arah Alsha. "Sha, lo jangan biarin temen lo jajan sembarangan, ya! Kalo dia masuk rumah sakit lagi kayak waktu itu kan nanti lo juga yang repot!"

Alsha mengangguk saja, dengan tatapan datar namun menusuk yang ditujukan ke arah Puspa. Tanpa perlu diingatkan pun, Alsha sudah pasti akan melarang keras sahabatnya itu untuk makan-makanan yang tidak sehat. Kebiasaan buruk yang dimiliki Puspa adalah senang dengan makanan pedas dan jajan sembarangan. Setiap kali pulang bersama, gadis itu pasti selalu mengajak Alsha untuk mampir ke warung bakso di dekat kampus untuk menyantap bakso setan dengan sambal super pedas. Tapi Alsha sering menolak dan menarik Puspa pulang, dan lebih memilih untuk memasakkannya makanan sehat agar penyakit lambung gadis itu tidak kambuh.

"Yaudah, kita pamit, ya! Daah!"

Alsha kemudian menarik Puspa untuk bergegas pergi, namu gadis itu masih sempat-sempatnya saling melempar senyum lebar sambil melambaikan tangan dengan Andre, lalu memberikan kiss bye. Melakukan kebiasaan menjengkelkan yang sering dilakukan oleh orang pacaran. Jujur saja, sebenarnya Alsha cukup geli dengan hal itu.

***

"Tadi pas photoshoot gimana? Pede gak?"

Puspa mengajukan pertanyaan saat Alsha baru saja selesai merapikan belanjaan mereka ke dalam lemari dapur. Gadis itu kemudian mengambil segelas air dari teko, lalu meneguknya sedikit sambil berjalan menghampiri sahabatnya yang sedang duduk di kursi menghadap meja makan. "Kayaknya kalau gue make up sendiri, kadar gak pede-nya bisa meningkat pesat sih. Soalnya talent-talent yang lain tuh cantik-cantik banget, terus pada jago dandan lagi. Untungnya tadi pagi elo yang make up-in gue. Jadinya, gue gak ngerasa ketinggalan jauh. Yah, meskipun sebenarnya masih minder sih!" Ujarnya kemudian.

"Yaelah, kenapa harus minder sih? Kan lo juga cantik!" Seru Puspa memberikan pujian.

Namun Alsha tiba-tiba malah membalas, "Iya, lumayan! Tapi gak secantik Pevita Pearce!" Katanya, yang kemudian membuat keduanya lantas terbahak di saat yang bersamaan.

"Iya, bener sih! Tapi gak usah dibandingin sama Pevita Pearce dong! Masa aktris papan atas dibandingin sama mantan waitress. Ya, gak sepadan dong!"

"Sialan lo!" Alsha menyipratkan sedikit air dari dalam gelasnya ke wajah Puspa sambil berusaha menahan tawa. Sementara Puspa sendiri tampaknya sudah tidak sanggup menahan untuk tidak terbahak lagi.

"Tapi emang bener 'kan?"

"Bener! Meskipun sekarang gue udah alih profesi jadi pacar sewaan."

"Cieee.... Mulai besok udah gak jomblo lagi dong?!"

Alsha tertawa sambil geleng-geleng kepala tatkala mendengar pertanyaan Puspa. Kalau dilihat dari profesinya saat ini, memang kelihatannya Alsha akan mendapatkan banyak pengalaman kencan dengan macam-macam pria. Namun sayangnya Alsha belum berpikir sampai ke arah situ.

"Gak usah ngecengin yang aneh-aneh deh! Gue belum mikir sampe kesitu. Yang harus bener-bener gue pikirin sekarang itu, gimana caranya supaya gue bisa menjalankan pekerjaan ini dengan baik. Yah... Meskipun sebenarnya gue sendiri gak yakin sih kalau diluaran sana ada cowok yang mau nyewa pacar yang modelannya kayak gue!"

"Maksudnya...? Lo gak pede gitu? Lo ngerasa gak bakalan ada gitu yang mau nyewa lo?" Alsha tidak menjawab pertanyaan Puspa, namun tanpa harus bersuara pun, raut wajah yang ditampilkan Alsha sudah memberikan jawab sejelas-jelasnya. "Ya ampun, Sha... Sha... Percaya diri itu penting tauk! Ya, meskipun terlalu pede juga gak bagus. Tapi lo harus percaya kalau lo itu keren sebagai diri lo sendiri. Gak peduli mau kita sekurang apa, atau sejelek apapun, kita tuh harus tetep punya motivasi yang tinggi supaya gak gampang jatoh! Lo harus percaya sama gue, kalau sebentar lagi, lo pasti akan dapat pelanggan pertama!"

Alsha tersenyum kecut, kedua matanya menatap Puspa dengan datar seperti meremehkan. "Ya, apa yang lo bilang tadi bener sih! Tapi gak mungkin malam ini juga gue bakalan dapet pelanggan pertama!"

Puspa mendengus, ia sebenarnya kurang menyukai sifat Alsha yang terlalu pesimis dan tidak percaya diri. Berpikir realistis itu memang perlu. Tapi bermimpi juga tidak ada salahnya 'kan?!

Ting!

Ponsel Alsha berbunyi. Menandakan ada pemberitahuan yang masuk. Gadis itu kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja makan, kemudian membuka panel notifikasi dan sontak terdiam dengan kedua mata yang membelalak.

"Kenapa lo?" Tanya Puspa tatkala melihat raut wajah Alsha yang tampak terkejut.

"Ada yang nyewa gue!"

Seruan Alsha balik membuat Puspa terbelalak, gadis itu ikut terkejut saat mendengar ucapan sahabatnya. "Serius lo?" Tanyanya kemudian, nyaris tak percaya bahwa apa yang ia katakan barusan malah jadi kenyataan.

Alsha mengangguk, "Dia nyewa gue 2 jam buat nemenin jalan-jalan besok. Ketemuan jam 9 pagi!"

Mendengar itu membuat Puspa seketika berbinar. "Nice! Akhirnya lo dapet pelanggan pertama lo!"

Lain halnya dengan Puspa yang tampak senang dengan notifikasi itu, Alsha justru hanya bisa diam dan bergeming dengan wajah bingung. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa malam ini dirinya akan mendapatkan pelanggan pertamanya. Dan saat berpikir bahwa pelanggan ini adalah pelanggan yang akan menyewa jasanya sebagai pacar sewaan, Alsha tiba-tiba jadi kikuk. Ia bingung dan nyaris tidak percaya dirinya sekarang sudah benar-benar resmi jadi seorang pacar sewaan. Dan bodohnya, ia masih bingung harus melakukan apa setelah ini.

"Lo kenapa diam aja sih? Lo udah jawab oke kan?"

"Belum! Gue masih bingung, kalau gue jawab oke. Besok gue harus ngapain? Lo kan tahu gue belum pernah pacaran sebelumnya."

"Hei... Lo kan kemarin udah di-training! Ya, lo tinggal praktekin aja apa yang diajarin sama trainer lo. Sisanya let it flow aja! Toh, cuma nemenin jalan-jalan doang kan?!"

Alsha berdecak lidah, "Omongan lo gak nolong!" Tukasnya menimpali.

Puspa menghela napas panjang, "Alsha... Gue gak tahu, ya, apa yang lagi ngeganjal pikiran lo sekarang. Tapi yang gue tahu, kalo mau ketemu pacar itu harus cantik. Jadi, sekarang kita harus maskeran! Yuk!"

Alsha nyaris terjungkal dari kursi saat Puspa secara tiba-tiba menarik lengannya, lalu membawanya ke kamar gadis itu untuk melakukan perawatan. Hal yang sangat jarang sekali dilakukan oleh Alsha karena biasanya terlalu sibuk bekerja. Tapi kali ini, ia harus melakukannya demi pekerjaannya. Meskipun sejujurnya Alsha masih sedikit kalut dan takut, tapi ia terus berharap semoga besok baik-baik saja. Dan tentunya, ia juga berharap semoga pelanggan-pelanggannya pun juga orang baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status