Share

04. Menentukan Keputusan

Hujan sedang turun dengan lebat, suara percikan air yang menetes dari atas plafon kamar Alsha membuat area lantai menjadi basah. Gadis itu menghela napas panjang, lalu menarik sebuah baskom yang sudah diisi dengan kain dari kolong ranjang seraya meletakkannya tepat di bawah plafon yang bocor.

Sudah beberapa hari ini setiap sore hujan selalu turun dengan begitu deras, dan selama itu pula atap kamarnya yang bocor terus-menerus melembab karena tak henti-henti meneteskan air. Alsha khawatir balokan-balokan kayu dari atap rumah Eyangnya yang sudah lapuk menjadi makin rusak karena terus-menerus kebocoran. Ingin memanggil tukang untuk memperbaiki, tapi tak ada uang karena sampai saat ini Alsha masih belum mendapat pekerjaan lagi.

Tok... Tok... Tok...

Seseorang mengetuk pintu kamar Alsha dari luar. Gadis itu kemudian menghela napas panjang, "Masuk!" Ucapnya.

Pintu terbuka, Puspa menyembulkan kepalanya sambil menyunggingkan senyum, agak ragu untuk melangkah masuk tatkala melihat serakan kertas dan buku yang menumpuk di atas tempat tidur gadis itu. "Lagi ngapain?" Tanyanya pada Alsha.

Alsha menutup laptopnya, "Baru beres ngerjain tugas." Jawabnya seraya merapikan kertas-kertas dan buku-buku sambil lalu meletakkan laptopnya ke atas nakas. "Masuk aja, Pus! Tumben banget sok jaim! Biasanya juga main nyelonong aja."

Puspa terkekeh, ia pun kemudian melangkah menghampiri Alsha, lalu duduk di sisi ranjang menghadap gadis itu. "Kenapa? Mau ngajakin gue nonton drama kayak biasa?" Tanya Alsha.

Puspa menggeleng, "Enggak! Gue mau nanyain soal lowongan kerja yang gue tawarin ke elo. Gimana? Udah berubah pikiran belum?" Ia bertanya balik.

Alsha seketika terdiam, sambil menghela napas panjang senyum simpulnya perlahan ikut meluntur. Kemarin, Puspa menawarkan pekerjaan padanya untuk menjadi seorang pacar sewaan dari aplikasi Girl for Rent tempat Andre magang. Tapi, Alsha menolak karena merasa tak cocok dengan pekerjaan itu. Lagipula, menjadi gadis sewaan untuk dijadikan pacar rental benar-benar terdengar konyol di mata Alsha. Ia merasa hal seperti itu tidak mungkin akan ia lakukan.

"Pus... Lo tuh kalo nawarin lowongan kerja bisa yang normal dikit gak sih? Masa iya gue jadi pacar sewaan. Gue ngerasa gak cocok sama kerjaan itu. Ntar gue dikira ayam kampus lagi!"

Puspa mendengus, tersenyum kecut sambil menepuk keningnya. "Ya ampun, Sha... Udah berapa kali sih gue jelasin kalau jadi pacar sewaan tuh gak sama kayak PSK. Lo cuma disewa buat dijadiin pacar, dibayar buat nemenin jalan, jadi temen kondangan, atau bahkan sekedar temen ngobrol. Bahkan Andre sendiri bilang, kalau orang-orang yang ngerental pacar sewaan di Girl for Rent itu kebanyakan cuma butuh temen aja buat refreshing." Jelasnya lagi, mengulang jawaban yang sama setiap kali Alsha memberikan penolakan dengan alasan yang klise.

Alsha kembali diam, tak tahu harus bicara apa lagi. Sejujurnya ia agak tertarik untuk mengambil pekerjaan ini, namun sisi batinnya yang lain seolah berkata bahwa ia akan dapat pekerjaan yang lebih jelas dan masuk akal dibandingkan menjadi seorang pacar sewaan. Alsha bukannya tidak percaya dengan Andre apalagi Puspa. Tapi menurutnya, menjadi seorang gadis rentalan masihlah hal tabu apalagi di lingkungannya yang seperti ini. Belum lagi, Alsha bukan tipikal orang yang mudah percaya dengan orang asing. Ia takut, jika suatu saat dirinya benar-benar mengambil pekerjaan ini dan disewa oleh pria yang brengsek, ia akan kena masalah. Meskipun Andre bilang bahwa keselamatan talent Girl for Rent ditanggung agensi, tapi yang namanya musibah tidak ada yang tahu akan terjadi seperti apa.

"Lo mikirin apalagi sih, Sha?! Gue tahu, kerjaan ini tuh masih tabu banget di lingkungan kita. Dan meskipun kedengerannya agak ekstrim, tapi udah terbukti aman kok. Bahkan Andre bilang, kalau cewek-cewek di kampus kita, anak-anak jurusan seni teater dari kampus-kampus lain juga banyak kok yang join kerjaan ini. Katanya sih buat ngelatih skill akting mereka. Lagian juga, lo kan dulu pernah cerita sama gue, kalau waktu SMA lo pernah ikutan klub drama teater. Berarti lo ada bakat dong buat jadi pacar pura-pura?"

Alsha mengangguk dengan senyum kecut, "Iya, sih! Dulu waktu SMA gue pernah gabung sama klub drama teater. Tapi kan sebagai penulis naskah bukan sebagai aktor! Jadi jangan mikir gue bisa akting!" Ucapnya dengan penuh penekanan di kalimat terakhir.

Puspa mengerucutkan bibirnya, ia sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membujuk Alsha agar mau mengambil pekerjaan ini. Menurutnya, menjadi pacar sewaan itu tidak terdengar buruk. Hanya tinggal kencan seperti biasa saja, tapi bayarannya perjam.

"Tapi, Sha.... Menurut gue kerjaan ini tuh yang paling enak tauk buat lo! Lo cuma tinggal dating aja sama pelanggan lo, jalan-jalan, makan di restoran, jadi sambil kerja bisa sekalian sambil refreshing. Sesimpel itu!"

"Sesimpel itu menurut lo?! Kalo misalkan pelanggan yang nyewa gue udah bapak-bapak, nanti gue dikira sugar baby lagi jalan sama Om-om! Reputasi gue bisa ancur kalo ketahuan pihak kampus. Nanti bisa-bisa beasiswa gue dicabut lagi cuma gara-gara kerjaan ini. Gak mau ah!"

Alsha benar-benar sangat hati-hati dalam menjaga reputasinya sebagai mahasiswi terbaik di kampus. Puspa mengerti bahwa Alsha pastinya tidak ingin jika beasiswanya dicabut oleh pihak kampus apalagi kalau cuma gara-gara jadi pacar sewaan. Maka dari itu, ia punya cara yang aman untuk membuat Alsha terbebas dari kemungkinan itu.

"Sha, gue ngerti banget lo khawatir sama catatan reputasi lo. Tapi kerjaan ini tuh gak akan mungkin bisa bikin beasiswa lo dicabut. Kalaupun misalnya lo takut ketahuan sama orang-orang di kampus, lo bisa filter pelanggan lo sesuai zona. Lo bahkan bisa juga nge-filter pelanggan lo sesuai profil dan umur mereka kalau emang lo gak mau disewa sama cowok yang umurnya beda jauh sama lo. Semuanya bisa diatur kalau misalkan lo emang maunya begitu."

Alsha menghela napas panjang, kembali bergeming selepas mendengarkan penjelasan Puspa yang terus bertambah. Niat sahabatnya itu mungkin baik, Puspa ingin membantu dirinya mendapatkan pekerjaan yang enak dan tak perlu menyita banyak waktu namun gajinya lumayan. Tapi disamping itu, Alsha justru bingung kenapa Puspa bisa memaksanya sampai sebegitunya?!

"Pus... Kalau boleh gue tahu, lo kenapa sih pengen banget gue ngambil kerjaan ini?"

Puspa bergeming selama beberapa saat, kedua matanya menatap wajah Alsha dengan teduh seraya menyunggingkan senyum tipis. "Jujur, gue sebenarnya cuma mau bantuin kalian berdua. Gue mau bantuin Andre untuk dapetin 3 talent baru, karena itu tugas dari manajer di kantornya. Dan tentunya, itu juga bisa nambah dan memperbagus laporan hasil magangnya nanti buat bahan skripsi. Tapi selain itu, gue juga pengen banget elo yang dapetin kesempatan ini. Karena jujur, Sha... Gue gak enak hati ngeliat lo kerja jadi pelayan restoran, karyawan toko buku, pegawai kafe, capek-capek ngabisin waktu sampe kurang istirahat tapi gajinya gak seberapa. Gue numpang tinggal di sini, tapi lo selalu ngelarang gue untuk bayar uang sewa kamar selayaknya indekos pada umumnya. Padahal, gue cuma pengen bantuin lo untuk modalin ngerawat rumah ini." Puspa mengembuskan napas panjang, menjeda kalimatnya sejenak untuk meredam perubahan pada nada bicaranya. "Gue pengen banget, Sha, bisa bantuin lo! Dan gue pikir, kerjaan ini bisa bantu lo untuk menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Supaya lo gak perlu lagi capek-capek ngerjain kerjaan berat."

Alsha terenyuh dengan pernyataan Puspa yang terdengar begitu tulus dan tenang. Gadis itu tampak begitu ingin dirinya memilih untuk mengambil pekerjaan ini. Namun meskipun sudah hampir luluh, tapi Alsha masih belum yakin bahwa pekerjaan ini akan cocok untuknya. Ia juga tidak yakin kalau dirinya akan nyaman menjadi seorang pacar sewaan. Maka dari itu, Alsha masih perlu waktu untuk memikirkan hal ini.

"Pus... Gue tahu niat lo baik. Dan gue juga bukannya gak pengen sih nerima bantuan dari lo. Tapi... Gue masih ragu, Pus! Ini tuh bukan kerjaan biasa. Jadi kayaknya, gue masih butuh waktu buat mikir-mikir. Lo ngerti kan?!"

Puspa tersenyum tipis, lalu mengangguk seraya menghela napas panjang. Ia mengerti bahwa Alsha memang belum begitu berani mengambil tindakan yang beresiko. Karena meskipun menjadi pacar sewaan dari agensi yang sudah jelas memberikan jaminan keamanan, siapapun masih belum bisa menjamin bahwa hal-hal buruk tidak mungkin terjadi. Dan Puspa berusaha untuk memahami resiko itu.

"Yaudah, kalo gitu, gue balik ke kamar, ya!"

Puspa beranjak dari duduknya, menyunggingkan senyum ke arah Alsha seraya membalikkan arah tubuh menuju pintu kamar. Namun saat baru saja mengayunkan langkah, tiba-tiba saja Alsha memanggil, "Pus!" Seru gadis itu.

Puspa menoleh, "Kenapa?" Tanyanya.

"Kamar lo ada bocor gak?"

Puspa menggeleng, "Gak ada! Tapi di plafon depan pintu kamar gue dari dua hari lalu bocor. Tapi lo tenang aja! Udah gue tadangin kok pake ember!" Jawabnya kemudian.

Alsha tersenyum simpul, "Thanks, ya!" Ucapnya.

Puspa hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian lanjut mengayunkan langkah keluar kamar Alsha seraya menutup pintunya rapat-rapat. Alsha melirik tetesan air yang jatuh dari atas plafon, lalu menatap baskom dengan kain yang sudah basah di lantai kamarnya selama beberapa saat. Gadis itu kemudian menarik napas panjang, berusaha untuk tetap tenang meskipun keadaannya sedang tak baik-baik saja. Lowongan menjadi pacar sewaan biar menjadi opsi terakhir saja. Saat ini, Alsha masih yakin bahwa dirinya akan mendapatkan pekerjaan lain yang lebih masuk akal.

***

"Morning, Bestie!"

Fendy terkejut, baru selangkah kakinya memasuki ruang kerjanya, namun di detik itu pula dirinya sudah disambut oleh suara Bondan yang terdengar begitu memekakkan telinga. Fendy mengembuskan napas kasar, lalu menutup pintu ruangannya dengan kasar seraya menatap Bondan dengan wajah datar. "Ngapain sih lo pagi-pagi udah nongkrong aja di ruangan gue?!" Tanyanya kemudian.

Bondan yang sejak tadi duduk bersantai di atas sofa ruang kerja Fendy lantas menjawab, "Gue mau ngasih laporan yang lo minta kemarin, sekalian nyerahin berkas-berkas pemasaran, sama contoh desain terbaru dari tim kreatif. Tuh, udah gue simpan di atas meja lo semuanya!" Ucapnya, membalas dengan tenang tanpa wajah berdosa.

Fendy melirik ke arah mejanya, lalu melangkah menghampiri meja kerjanya sambil menghela napas panjang. "Banyak banget, ya, kerjaan gue hari ini!" Serunya seraya meletakkan tas dan duduk di kursi.

Bondan mengangguk. "Ya, seperti biasa lah! Sebagai manajer, tanggung jawab lo tentunya lebih besar dan lebih banyak dari gue yang masih staff biasa. Selain itu, gaji lo juga jauh lebih gede. Berhubung besok kita gajian, gimana kalo misalkan besok malam lo traktir gue makan?!" Bondan menyunggingkan senyum lebar, menatap wajah Fendy sambil menaik-turunkan alis.

"Traktir! Traktir! Cewek rentalan buat gue gimana tuh?! Udah dapet belum?"

Tangan Fendy meraih map kuning di atas mejanya, membuka, lalu melihat desain logo terbaru yang tertera dengan fokus tanpa melirik Bondan sama sekali.

"Belum!"

"Kok belum sih?!"

"Ya, belum lah! Lo pikir nyari cewek yang sesuai dan cocok sama lo itu gampang?! Kemarin gue udah ngirimin lo 5 profil cewek yang menurut gue paling cocok buat lo. Tapi semuanya lo tolak."

"Ya, gimana gak gue tolak?! Abisnya profil cewek-cewek yang lo kirim ke gue penampilannya high class semua. Nyokap gue gak bakalan suka sama cewek yang glamor kayak begitu. Lagipula, gue juga kurang suka." Jawab Fendy sambil masih fokus menatap logo design yang ada di depan matanya.

"Terus lo maunya cewek yang kayak gimana?"

"Gue sih gak butuh yang cantik-cantik amat! Yang penting tuh baik, ramah, sopan, pengertian, mandiri, dewasa, gak manja, gak banyak gaya, gak lebih tinggi dari gue, rambutnya hitam alami, gak warna-warni kayak gulali, pinter, mudah bersosialisasi, jago masak, jago beres-beres rumah, rajin menabung, gak boros, gak matre, gak pernah skip ibadah dan yang terpenting bisa akrab sama nyokap gue dan bisa menerima gue apa adanya. Gampang kan?!"

"Taik! Nyusahin gue banget sih lo! Cewek yang speknya kayak nabi begitu mana ada yang jadi pacar rentalan! Gilak!" Bondan mendengus, ia benar-benar tidak habis pikir dengan kriteria perempuan idaman yang disebutkan Fendy barusan. "Lo tuh kalo mau nyewa pacar bisa yang lebih manusiawi gak sih tipenya?! Biar gak susah gue nyarinya!"

Fendy menggeleng,"Nope! Itu udah yang paling manusiawi menurut gue!" Balasnya menegaskan.

Bondan mendengus, "Yaudah kalo gitu lo nyari sendiri aja deh!" Ucapnya, sudah malas dan jengkel sendiri.

Fendy menggeleng, matanya yang semula sibuk dan terpaku pada berkas-berkas di atas mejanya lantas beralih pada Bondan. "Gak bisa! Gue sibuk! Lagipula nyokap gue tiap hari udah ngomong terus, nelfon sehari tiga kali udah kayak minum obat. Masa lo tega sih, Bon, sama gue!"

"Lo juga tega sama gue, Nyet! Gue gak sanggup kalo harus nyari cewek yang speknya kayak nabi begitu!"

Fendy menghela napas panjang, ia sangat membutuhkan bantuan Bondan tapi di saat yang sama ia juga sadar bahwa ia tidak bisa membuat teman karibnya itu kerepotan. "Yaudah deh, kalo misalkan yang kayak gitu gak ada. Cari aja yang mendekati. Minimalnya, itu cewek sopan dan ramah, terus enak diajak ngobrol. Sisanya terserah lo deh. Yang penting jangan yang terlalu imut. Gue kurang suka sama cewek sok' cute apalagi yang kekanak-kanakan." Pada akhirnya, Fendy memilih untuk berserah saja pada pilihan Bondan. Karena sebenarnya ia sendiri percaya, bahwa temannya itu pasti sangat mengerti perempuan seperti apa yang ia butuhkan.

"Oke! Kalo gitu gue bakal nyariin cewek yang sekiranya sesuai dengan keinginan lo. Tapi sebelum itu, lo bayarin sewa pacar gue, ya, di Girl for Rent! Besok gue mau jalan-jalan ke dufan. Gue butuh temen gandengan biar gak keliatan ngenes-ngenes amat!"

"Yaudah, santai! Nanti gue transfer!"

"Yes! 8 juta, ya!"

Fendy melotot, "Mahal banget nyewa buat pacaran doang!?! Emang harga sewanya berapa?!" Tanyanya dengan wajah kaget.

"Delapan ratus ribu perjam!" Seru Bondan memberitahu.

"Terus lo mau nyewa itu cewek selama 10 jam!?! Lama banget, buat apaan?!"

"Ya, buat seru-seruan di Dufan lah! Masa dateng ke tempat rekreasi cuma sejam. Di jalannya aja macet, Fen! Tahu sendiri Jakarta!" Jelas Bondan. "Lagipula, delapan ratus ribu tuh harga buat cewek kelas pemula. Kalo misalkan lo nyewa cewek yang kelasnya udah profesional, harganya lebih mahal lagi. Bisa dua setengah sampe 4 juta perjamnya." Tambahnya lagi.

"Serius?!" Fendy sedikit tidak percaya. Ia tidak menyangka kalau bisnis pacar sewaan semacam ini bisa semenguntungkan itu. "Tapi berarti, kalo keseringan nyewa lama-lama bisa bangkrut dong!"

Bondan tergelak, "Ya, gak usah sering-sering lah! Kalo pas pertama jalan udah ngerasa cocok, pacarin aja beneran. Jadi gak usah repot-repot nyewa." Ucapnya.

"Taik lo!"

Bondan terbahak melihat ekspresi wajah Fendy. Sedetik setelahnya, pria itu pun lantas ikut tertawa. Menjadikan pacar sewaan sebagai pacar sungguhan itu bukannya tidak mungkin. Bahkan lebih dari itu pun mungkin saja bisa terjadi. Tapi tetap, Fendy sepertinya tidak akan mungkin melakukan hal itu.

"Yaudah, kerja sana! Kali aja besok-besok lo naik pangkat!" Fendy menatap Bondan sambil tersenyum manis.

Bondan menyunggingkan senyum simpul, "Ngehe lo, Fen! Kayak gak tahu track record gue aja. Tapi it's okay, Bestie. Gue aminin. Thanks, ya!" Balasnya kemudian.

Fendy mengangguk. Sesaat setelah itu, Bondan pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan ruangan Fendy dengan wajah cerah berseri seperti biasanya. Tak lama setelah pria itu hilang dari pandangan, seketika itu pula Fendy tiba-tiba saja tertawa kecil. Di usia mereka yang sudah tak lagi remaja ini, Fendy kadang kala bingung mengapa pertemanannya dengan Bondan makin lama malah makin konyol.

***

Suasana kantin kampus sudah mulai sepi sejak beberapa menit yang lalu, para mahasiswa yang mengikuti kelas reguler pagi rata-rata sudah pergi meninggalkan kampus, tapi Alsha masih duduk di kursi kantin sambil sibuk berkutat dengan laptopnya di atas meja makan.

Ting!

Denting notifikasi berbunyi. Alsha membuka sebuah surel yang masuk ke alamat surelnya dengan penuh harap. Jari tangannya lalu menekan kursor, membuka surel yang dikirim oleh seorang HRD dari perusahaan yang tempo hari ia kirimkan lamaran.

Sepersekian detik berlalu, namun di detik pertama Alsha mengarahkan matanya pada kalimat pembuka yang tertera di surel tersebut, ia sudah bisa mengira bahwa akhirnya ia tak lolos lagi. Selama beberapa hari terakhir ini, Alsha memang banyak mengirimkan lamaran ke beberapa tempat. Dan untuk kesekian kalinya, lamarannya kembali ditolak oleh beberapa HRD yang ia kirimkan surat lamaran. Dan sisanya, digantung tanpa kepastian seperti biasa.

Alsha menghela napas berat, tangannya lantas meraih botol minumnya yang ada di samping laptop, kemudian membuka tutupnya seraya meneguknya. Namun, Alsha baru sadar bahwa tidak ada air yang mengalir saat botol minum itu ia angkat. Gadis itu kemudian melirik isi botolnya dari samping. Benar saja, air minumnya sudah tinggal sisa bulir-bulir.

Alsha kembali meletakkan botolnya, kemudian melihat ke arah showcase di samping meja Ibu kantin. Namun saat membuka dompet dan mendapati isinya yang sudah tinggal lembaran nominal kecil, Alsha seketika mengurungkan niatnya untuk membeli minum. Gadis itu kemudian menutup laptopnya, memasukkan botol minumnya ke dalam tas, lalu memilih untuk meninggalkan area kampus dan pulang saja.

Gadis itu berjalan melintasi koridor kampus menuju gerbang depan, tapi saat sedang mengayunkan langkah menuju tempat itu, tiba-tiba saja dari belakang terdengar suara seseorang yang memanggilnya.

"Alsha!"

Alsha menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah suara dan mendapati Andre yang kemudian berjalan mendekat ke arahnya.

"Beneran elo ternyata!" Seru Andre.

Alsha mengerutkan kening sambil tersenyum miring, "Emang lo kira siapa?!" Tanyanya kemudian.

"Dari awal gue ngiranya elo sih. Tapi karena dari belakang takutnya salah orang."

"Oh, gitu! Abis kelas, Ndre?" Tanya Alsha.

Andre menggeleng, "Enggak! Gue abis dari sekretariat. Ada urusan dikit. Tapi udah selesai sih. Sekarang gue mau berangkat lagi ke kantor." Jawabnya, yang kemudian membuat Alsha seketika teringat sesuatu.

"Oiya, lo kan lagi magang, ya! Gue lupa! Sori!"

Andre tersenyum, lalu mengangguk dan mengiakan permintaan maaf Alsha. "It's okay! By the way, Gimana? Puspa udah ngomong kan sama lo?"

Alsha mendadak diam sejenak, lalu menghela napas panjang seraya menyunggingkan senyum. "Iya, udah kok! Soal lowongan kerja itu kan?! Udah, Puspa udah ngejelasin semuanya ke gue." Jawabnya.

"Oke... Terus gimana? Lo mau?"

Alsha kembali bergeming, senyum masamnya membuat Andre yang semula tersenyum mendadak merubah raut wajah. "Lo gak tertarik, ya?" Tanya lelaki itu kemudian.

Pertanyaan Andre membuat Alsha tergemap. Sambil berusaha menyunggingkan senyum tulus, ia pun lantas menjawab, "Tertarik kok! Tapi sori, ya... Gue masih butuh waktu buat mikir-mikir. Soalnya, gue gak bisa sembarangan ngambil kerjaan, Ndre!" Ucapnya.

Andre mengerti, "Iya, gak apa-apa kok, Sha! Gue ngerti banget apa yang ada di pikiran lo saat ini. Gue juga ngerti, kalau lo pasti takut kalau kerjaan ini bisa bikin reputasi lo tercoreng. Tapi lo tenang aja, ini gak seburuk yang lo bayangin kok! Dan kalo misalkan lo emang bener-bener butuh waktu buat mikir, yaudah. Gak apa-apa! Gue tunggu sampai lo ngasih jawaban pasti." Jelasnya.

"Thanks!" Alsha tersenyum simpul, sedikit terlihat getir namun ia berusaha menutupi itu dengan lebih menarik kedua sudut bibirnya.

Andre balas tersenyum manis. Kelihatannya bahkan jauh lebih tulus dan jujur.

"Kalo gitu, gue duluan, ya! Kalo misalkan lo udah mutusin, kabarin gue aja! Atau Puspa. Bebas deh terserah lo. Bye!"

Alsha mengangguk, "Iya, makasih, ya!" Balasnya seraya menghela napas panjang saat lelaki itu sudah berbalik arah dan mengayunkan langkah. Andre tampak begitu tulus menawarkan pekerjaan ini padanya, sama seperti Puspa yang secara terang-terangan bilang bahwa pekerjaan ini adalah opsi terbaik yang ia punya sekarang. Tapi entah mengapa, Alsha masih sedikit ragu. Ia masih takut, reputasinya sebagai mahasiswi terbaik akan dipandang buruk jika orang-orang tahu bahwa dirinya menjadi gadis rentalan. Karena itu, Alsha jadi makin kalut.

***

Dari balik kaca jendela yang berembun, hujan turun tampak begitu deras. Alsha meletakkan baskom berisi kain di bawah plafon yang bocor, menadangi air yang jatuh agar tidak membasahi lantai dan membuatnya licin. Gadis itu kemudian duduk di sisi ranjangnya, lalu menghela napas panjang seraya menatap ke arah kaca jendela.

Matanya memandang ke arah pagar rumah dan pintu gerbang yang sudah berkarat. Cat hitam yang sudah terkelupas membuat tangan siapapun yang menyentuh gerbang itu pasti akan kotor. Jari tangan Alsha kemudian menyentuh kusen jendela yang ada di hadapannya. Telunjuknya yang sedikit memberi tekanan membuat kulit kayu itu seketika terkoyak dan mengeluarkan bubuk kayu yang sudah lapuk.

Alsha menghela napas panjang. Memerhatikan kondisi tempat tinggalnya yang sudah sangat tua ini membuatnya sangat ingin merenovasi rumah. Biar kata sudah tua, rumah ini sangat bersejarah. Maka dari itu, Alsha tidak pernah sedikitpun memiliki niatan untuk menjual rumah ini meskipun hak waris sudah diserahkan kepadanya. Namun, Alsha juga tidak bisa mewujudkan keinginan itu sekarang. Karena ia masih belum juga mendapatkan pekerjaan, Alsha jadi bingung harus berbuat apa lagi?! Ia sudah berusaha keras mencari pekerjaan ke sana ke mari, tapi tak kunjung dapat. Sementara dirinya tidak mungkin diam saja saat perutnya keroncongan, tagihan listrik jatuh tempo, bayaran air menunggak, apalagi saat melihat keadaan rumah yang sudah seperti mau roboh. Alsha jadi bingung harus berbuat apa. Tiba-tiba saja, ia jadi terpikir untuk mengambil tawaran dari Andre dan menjadi pacar sewaan. Namun, Alsha masih belum begitu yakin.

Alsha beranjak dari tempat tidurnya, lalu pergi keluar kamar dan mendapati Puspa yang sedang menyapu kepingan plafon yang sepertinya baru saja runtuh lagi. "Kayaknya makin hari makin melebar kemana-mana, ya, Pus! Gentengnya jadi makin keliatan!" Ujarnya, selepas melirik ke atas plafon yang sudah mulai lapuk dan setiap hari terus meruntuh hingga membuat balokan kayu di bawah atap jadi terlihat jelas.

Puspa tersenyum tipis, "Ya, terus mau gimana? Lo juga pasti gak sudi kan kalau misalkan gue yang bayar tukang buat benerin genteng bocor sama betulin plafon rumah ini." Ucapnya, sembari memasukkan kepingan plafon yang runtuh ke dalam pengki.

Alsha mengangguk, "Iyalah! Nanti lo gue usir!" Serunya datar, namun malah membuat Puspa seketika terbahak.

"Jadi orang tuh jangan terlalu gak enakan! Nanti kalau misalkan orang lain ngerebut apa yang seharusnya jadi milik lo, ujung-ujungnya elo juga yang bakal sakit!" Puspa berujar sambil terus menyapu, lalu berjalan menuju dapur membuang kepingan plafon pada pengki di tangannya ke dalam tempat sampah. "Gengsi boleh, tapi jangan lebay!"

Kalimat demi kalimat yang baru saja keluar dari mulut Puspa membuat Alsha mengerutkan kening. Alsha sadar bahwa dirinya memang tak enakan dan cenderung gengsian. Tapi apa yang dikatakan sahabatnya itu benar-benar membuatnya bingung. "Maksud lo apaan sih, Pus?"

Puspa tersenyum lagi. Sambil meletakkan sapu ke pojokan dinding ia pun lantas berkata, "Talang air di belakang jebol tuh. Airnya jadi rembes kena tembok! Plafon di dalam kamar gue juga semalam ada yang runtuh. Terus ini..." Puspa berjalan menghampiri pintu kamar mandi, kemudian mengetuk pelan kusennya yang sudah keropos. "Ini udah keropos banget! Engselnya kayaknya bentar lagi juga lepas. Kayaknya kita harus mulai hati-hati kalau masuk kamar mandi. Takut ketiban pintu!"

Puspa pun kemudian membuka pintu kamar mandi secara perlahan, lalu masuk ke dalam dan menutupnya kembali rapat-rapat. Seruan Puspa barusan yang diucapkan dengan senyum lebar justru membuat Alsha tiba-tiba tak enak hati. Gadis itu mendadak tersenyum getir, lalu memilih untuk duduk diam di kursi meja makan sambil menghela napas panjang. Tanpa perlu di perjelas seperti tadi, Alsha juga sebenarnya sudah tahu kalau kondisi rumah eyangnya yang sudah cukup parah begini seharusnya segera diperbaiki. Namun apa daya, jika tidak ada uang, keinginan itu sampai kapanpun tidak akan terpenuhi.

Bruukkk....

Suara benda jatuh yang terdengar begitu keras membuat Alsha sontak menoleh. Gadis itu seketika terkejut, dan lantas kontan berlari menghampiri Puspa yang baru saja tertiban pintu kamar mandi dari dalam.

"Awww....!!! Sakit!" Puspa meringis, keningnya terbentur daun pintu yang terlepas dari kusen koyak saat dirinya hendak keluar dari kamar mandi selepas buang air kecil. Dengan sigap, Alsha pun langsung mengangkat daun pintu tersebut, kemudian menyandarkannya pada dinding di tempat yang aman, lalu membantu Puspa berdiri.

"Gak apa-apa, Pus?" Tanya Alsha kemudian, sambil memapah Puspa menuju kamar gadis itu.

"Pintunya kayu, lho, Sha! Berat lagi! Jidat gue pasti benjol kan?!"

Alsha melirik jidat Puspa sekilas, lalu tersenyum miris. "Belum bengkak sih kayaknya! Masih biru doang!" Serunya memberitahu. Dan tentu saja, mendengar itu membuat Puspa sontak mendengus.

"Udah-udah! Gak usah dipapah! Gue bisa sendiri."

Alsha kemudian melepas rangkulannya pada bahu Puspa, membiarkan gadis itu berjalan sendiri menuju kamarnya sambil mengerutkan mata menahan nyeri. Namun, saat hendak memasuki kamarnya, sebelum tiba di ambang pintu tiba-tiba saja Puspa terpeleset.

Bruukk...

Puspa meringis, Alsha terkejut dan sontak langsung menghampiri Puspa yang kini mengaduh kesakitan sambil berusaha mengangkat bokongnya.

"Anjiir.... Gue lupa tadi belum ngepel bekas bocor depan kamar gue!"

"Yaudah gak apa-apa, nanti biar gue aja yang beresin!" Sahut Alsha sambil membantu Puspa berdiri seraya membaringkan tubuh gadis itu di atas tempat tidur.

"Aww... Shhh..."

Puspa terus meringis, merasakan nyeri pada dahi dan bokongnya yang baru saja terbentur lantai akibat terpeleset. Sementara itu, Alsha yang kini sedang duduk di sisi ranjang gadis itu seketika jadi merasa bersalah melihat sahabatnya celaka karena keadaan rumah yang seharusnya sudah tidak bisa dibiarkan lagi.

"Duh, Pus... Sori banget, ya! Gara-gara gue belum ada uang buat bayar tukang buat benerin bocor sama pintu, lo jadi begini. Gue ambilin air es, ya! Biar memar lo gue kompres!"

"Hmm... Gak usah, Sha! Ini didiemin doang juga pasti nanti sembuh sendiri kok!"

"Jangan gitu lah! Biar gue kompres, ya!"

Tanpa peduli akan penolakan Puspa lagi, Alsha pun kemudian bergegas mengayunkan langkah menuju dapur. Puspa yang melihat Alsha berjalan terburu-buru sontak berkata, "Sha, hati-hat..."

Sreett....

Alsha nyaris tergelincir, namun tangannya sudah lebih dahulu berpegangan pada pintu kamar Puspa sebelum terpeleset. "Telat lo, ngucapinnya!" Ujar Alsha kemudian, dan Puspa kontan tergelak.

Gadis itu kemudian berusaha menyeimbangkan diri untuk berdiri, lalu berjalan pelan menuju dapur agar tidak terjatuh lagi, mengingat hujan yang sedang turun masih cukup deras dan membuat bagian lantai di bawah atap yang bocor menjadi basah dan lembab.

***

Puspa tertidur selepas Alsha mengompres memar di dahinya dan memberikan obat ibuprofen sebagai pereda nyeri. Kecelakaan yang menerpa gadis itu mungkin hanya menimbulkan luka kecil dan tidak begitu parah, namun cukup membuat Alsha merasa bersalah karena belum bisa memperbaiki segala masalah di rumah.

Alsha berdiri menghadap wastafel, membuang air dari dalam baskom bekas mengompres memar Puspa seraya memerat handuk kecil di tangannya. Deru napasnya berkali-kali berembus dengan kasar bersamaan dengan isi pikirannya yang tiba-tiba berkecamuk.

Setelah mencuci baskom dan memasukkan handuk kecil yang sudah dibilas ke dalam keranjang baju kotor, Alsha pun bergegas mengambil kain pel, lalu mengeringkan air dari bocoran plafon yang membasahi lantai. Sambil mengepel, entah mengapa tiba-tiba saja Alsha kembali terpikir soal tawaran yang diberikan Andre tempo hari.

Alsha sebenarnya agak sedikit takut untuk mengambil keputusan ini. Namun melihat keadaan rumah yang semakin parah serta penghasilan yang semakin menipis membuatnya seolah-olah tidak punya pilihan lain. Dengan begini, apakah dirinya benar-benar harus menerima tawaran pekerjaan dari Andre  dan menjadi seorang pacar sewaan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status