Share

03. Menentukan Keputusan

Suara spatula yang beradu bersama penggorengan di atas api kompor meramaikan suasana dapur malam ini. Irisan bumbu nasi goreng yang sudah Alsha masukkan beberapa saat lalu kini sudah setengah masak dan menghasilkan aroma yang cukup menggugah. Gadis itu kemudian memasukkan sepiring nasi dengan porsi yang lebih banyak, lalu mencampurnya dengan bumbu hingga merata sebelum akhirnya menuangkan beberapa sendok kecap manis dan menaburkan sedikit garam saat sudah hampir matang.

Sementara itu, di belakang Alsha yang tengah sibuk berkutat di depan kompor, Puspa duduk menghadap meja makan sambil menatap layar laptop, membuka dan membaca beberapa lowongan kerja yang tertera di laman pencarian sambil sesekali memeriksa nama perusahaan yang tercantum di sana.

Alsha mematikan kompor. Nasi goreng buatannya sudah matang dan ia pun bergegas mengambil piring untuk menghidangkan nasi gorengnya. Sesaat setelah itu, Alsha mengambil sendok dan garpu, lalu membawa sepiring nasi goreng tersebut ke meja makan dan meletakkannya di hadapan Puspa.

"Udah nemu lowongan kerja yang cocok buat gue?"

Pertanyaan yang dilontarkan Alsha membuat Puspa meliriknya. Gadis itu lalu tersenyum dan menggelengkan kepala tanda tak dapat. "Tapi lo tenang aja! Gue akan bantu nyariin lo lowongan kerja yang terbaik sampe dapet!" Puspa tak ingin menyerah, ia baru 2 jam menelusuri laman pencarian lowongan pekerjaan hingga ke halaman paling bawah. Dan ia belum bisa berhenti jika belum mendapatkan apa yang ia cari.

Alsha tersenyum, geleng-geleng kepala melihat kelakuan Puspa yang terlalu sungguh-sungguh ingin membantu mencarikan pekerjaan untuknya. "Udahan dulu kali browsing-browsing jobstreet-nya! Gue udah masakin nasi goreng kesukaan lo tuh!" Alsha tidak ingin Puspa sampai lupa makan dan berujung sakit karena terlalu sibuk membantunya mencari pekerjaan. Lagipula, Alsha juga tidak begitu ingin bisa kerja di perkantoran dengan gaji tetap. Bisa jadi pelayan restoran juga ia sudah senang yang penting kebutuhan pokoknya tercukupi.

Puspa melirik sepiring nasi goreng yang sudah Alsha letakkan di hadapannya sejak beberapa saat yang lalu, aromanya tercium begitu sedap sampai-sampai membuatnya seketika jadi makin lapar. "Baunya enak banget, Sha!" Puspa lalu meraih sendok, kemudian melahap satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya dengan penuh semangat.

"Gimana? Enak?" Tanya Alsha kemudian.

"Selalu! Masakan lo emang gak pernah gagal!" Puspa tampak begitu menikmati nasi goreng buatan Alsha. Baginya, apapun yang dimasak gadis itu pasti rasanya selalu enak dan adiktif. Mampu membuat siapapun ketagihan, dan terus terngiang-ngiang akan rasanya yang khas. "Sumpah, ya, Sha! Nasi goreng bikinan lo itu rasanya khas banget! Beda dan jauh lebih enak kalo dibandingin sama yang dijual abang-abang ataupun yang di restoran. Nagih banget! Kayaknya kalo misalkan kita udah merdeka dari kemiskinan ini, kita bisa deh buka restoran. Nanti lo yang masak. Gimana?"

Alsha mengangguk sambil tersenyum lebar, "Ide bagus! Tapi nanti aja, ya, halu nya! Sekarang yang penting kita makan dulu, supaya gak tifus! Supaya bisa nyari duit yang banyak buat buka restoran!" Ucapnya kemudian, seraya beranjak dari meja makan dan berjalan menuju rak piring untuk mengambil satu porsi nasi goreng untuknya sendiri.

Puspa seketika tertawa renyah, "Hm... Gimana, ya, Sha?! Kalo misalkan lo kerjanya cuma jadi pelayan restoran doang mah sampe kiamat juga gak bakal kaya-kaya. Mending lo cari suami yang sultan aja, biar tinggal tumpang kaki terus gak usah capek-capek lagi." Serunya sedikit menggoda.

"Iya, nanti gue cari, ya! Sekarang gue mau fokus kuliah dulu karena gue belum kepikiran buat nikah! Tapi kalo misalkan lo mau duluan, ya, silahkan! Kan lo udah ada cowok."

Tatkala mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Alsha, Puspa seketika tersenyum kecut. "Ya, kalo misalkan dalam waktu dekat ini si Andre tiba-tiba jadi sultan sih, gue mau nikah muda sama dia. Tapi kayaknya masih lama deh, Sha! Sekarang aja dia baru keterima magang. Jadi kayaknya, kita harus sama-sama kerja keras dulu biar sama-sama enak!" Ucapnya.

Alsha tertawa, sambil meletakkan piringnya di atas meja dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Puspa ia pun lantas berkata, "Jawabnya serius amat, Bu! Perasaan tadi lo duluan yang ngajakin gue bercanda." Katanya.

Puspa tersenyum lebar. Sebenarnya, ia paling tidak bisa diajak bercanda kalau sudah menyangkut hubungannya dengan Andre, laki-laki yang sudah menjadi pacarnya selama hampir 6 bulan ini.

"Tapi, ya, Pus... Kalo misalkan nanti lo beneran nikah duluan sama Andre. Lo jangan lupa sama gue, ya!"

Puspa tertegun mendengar ucapan Alsha, diam sejenak sambil berusaha meresapi kata-kata sahabatnya yang agaknya terdengar berlebihan. "Lo mikirnya kejauhan gak sih?! Emangnya lo yakin kalo gue sama Andre bakal nikah duluan? Ya, meskipun sekarang lo masih jomblo dan lo harus selesain beasiswa kuliah lo sampe S2. Tapi bisa aja kan tiba-tiba lo yang nikah duluan? Haha..."

"Jangan ngomong kayak gitu dong, Pus! Gue tuh mau selesain kuliah gue dulu sampai nanti S2 di Belanda. Lagipula, salah satu persyaratan beasiswa gue itu, gak boleh nikah dulu sebelum lulus S2. Jadi, jangan mikir gue bakal nikah duluan. Karena nunggu sampe gue lulus S2 pun masih lumayan lama. Ya... 3-4 tahun lagi lah!"

Puspa manggut-manggut, "Okeey... Kayaknya lo emang se-ambis itu, ya, buat ke Belanda! Tapi gak apa-apa, apapun jalan yang lo pilih, selama itu bagus dan baik buat lo, pasti gue dukung!" Ucapnya sembari tersenyum manis.

Alsha menyunggingkan senyum lebar, "Thank you, Mpuss! Gue sayang deh sama lo! Lo jangan buru-buru nikah dulu, ya! Gue masih pengin tinggal bareng sama lo di sini. Ngabisin waktu bareng, nugas bareng, sampe lulus pokoknya bareng-bareng!" Seru Alsha. Dan Puspa hanya bisa manggut-manggut sambil senyum.

"Oke, kalo gitu kita lanjut cari lowongan kerja lagi, ya! Capek otak gue kalo pembahasannya udah soal masa depan!"

Puspa pun lantas kembali melirik ke arah laptopnya. Sambil memakan nasi goreng yang sudah sisa sedikit di piring, jari-jemari tangannya sesekali berpindah pada mouse dan keyboard laptop untuk menggulir laman yang menampilkan beberapa lowongan kerja.

Sementara itu, Alsha yang baru saja mulai melahap makanannya seketika terdiam. Ia tiba-tiba saja jadi berpikir jika suatu saat nanti benar-benar berpisah dengan Puspa, apakah hidupnya akan berubah menjadi sepi dan membosankan?

***

Fendy menutup pintu kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Lelaki itu kemudian mengayunkan langkah menghampiri cermin besarnya yang ada di samping lemari, kemudian mengambil botol parfum di rak yang ada di sebelah seraya menyemprotkannya ke area leher dan urat nadi di pergelangan tangan.

Hari ini adalah hari libur, dan Fendy ingin merasakan nikmatnya liburan tanpa kehadiran siapapun agar bisa bersantai di rumah dengan tenang, sambil menjernihkan pikiran. Lelaki itu kemudian berjalan menuju pintu kamar yang tertutup, ia pun lantas menekan kenop pintu, membukanya dengan santai seraya melangkah menuju area tangga dan turun ke lantai bawah.

"Morniiinggg.... Bos...!!!"

Fendy terkejut. Belum sampai kakinya di anak tangga terakhir, tapi langkahnya seketika terhenti tatkala dirinya mendapati Bondan yang kini sedang duduk di sofa ruang tengah sambil nonton tv dan makan cemilan.

"Si Anjing!!! Masuk lewat mana lo bisa ada di rumah gue pagi-pagi begini?!"

"Lewat pintu samping lah! Abisnya gue nge-bel berkali-kali gak dibuka-bukain. Gue kira lo mati. Ternyata lagi mandi!"

"Pintu samping?"

Bondan mengangguk. Fendy terdiam sejenak, ia baru ingat kalau pintu samping yang menuju ke taman shubuh tadi memang sengaja ia buka agar ada angin segar masuk ke dalam rumah.

"Lo manjat pagar rumah gue?"

Bondan tersenyum lebar, menatap wajah Fendy dengan cerah sambil melahap kacang bumbu tanpa merasa berdosa. "Makanya, kalo lagi di dalem kamar tuh mendingan semua pintu lo kunci aja. Masih untung gue yang masuk, coba kalo maling?! Bisa abis perabotan rumah lo!"

Fendy mendengus, wajahnya berubah makin datar tatkala mendengar ucapan Bondan. Lelaki itu kemudian berjalan menghampiri teman karibnya, lalu merenggut stoples kacang yang ada di pangkuan Bondan. "Lo juga maling cemilan gue!" Tukasnya kemudian, namun Bondan malah tergelak mendengarnya.

"Idih, jutek amat?! Gak biasanya muka lo asem begitu!"

Fendy diam, lelaki itu malah mengambil tutup stoples di atas meja, dan menutup stoples kacang yang ada di tangannya seraya meletakkannya kembali di samping jajaran stoples yang ada di atas meja. Fendy lalu duduk di sofa sebelah Bondan, tangannya bergerak mengambil remote seraya mengganti siaran tv dengan film serial aksi yang minggu ini baru mengeluarkan episode baru.

Sementara itu, Bondan yang sejak tadi melihat Fendy tampak begitu muram lantas hanya bisa mengerutkan kening. Ia benar-benar bingung dan tidak bisa menebak kenapa teman karibnya ini kelihatan sangat muram. Auranya gelap dan tidak secerah biasanya. Padahal setahu Bondan meskipun memiliki wajah yang jutek dan kadang menyebalkan karena tidak terlalu bisa di ajak bercanda, tapi Fendy tidak pernah bisa menolak untuk diajak ngobrol. Dan tentu saja, melihatnya diam seperti ini pastinya agak aneh.

"Lo kenapa, Bro?"

Fendy diam. Bondan makin bingung.

"Asli! Muka lo kayak orang lagi stres, Fen! Kenapa sih? Oh, jangan-jangan... Emi hamil? Iya, kan?"

Bugh!

Fendy melempar bantal sofa ke wajah Bondan, "Bacot! Bisa diem gak sih lo?! Lo tuh bikin mood gue makin rusak! Ngapain sih lo ke rumah gue hari ini? Pagi-pagi banget pula! Ganggu orang healing aja!" Tukasnya kemudian, dengan wajah kesal penuh emosi.

Bondan tersenyum kecut, "Ya, maap, Fen! Tapi kan gue ke sini atas permintaan lo juga. Kan elo yang ngajak ketemuan sama gue 2 hari yang lalu. Lupa?" Tanyanya.

"Ya, tapi kan gak hari ini juga, Bon-bon! Gue kan minta ketemunya besok! Hari ini gue mau menjernihkan pikiran gue dulu. Udah semingguan ini otak gue rasanya kayak mau meledak. Butuh rileks! Tapi lo malah bikin gue emosi!"

"Ya, sori! Lagian kalo besok tuh gue gak bisa, soalnya udah ada janji. Btw, lo tuh kenapa sih? Lagi ada masalah apa?"

Fendy menghela napas panjang. Ia sebenarnya sedang tidak ingin membahas hal ini, karena sejujurnya ia sedang butuh waktu untuk memenangkan pikiran agar bisa lebih santai dalam menceritakan masalah ini. Namun, karena Bondan sudah terlanjur ada di hadapannya, dan ia sudah tidak mau mendengar si manusia absurd itu mengeluarkan lelucon konyol yang menyebalkan lagi, maka dari itu sepertinya ia memang harus menceritakannya sekarang.

"Gue... Putus sama Emi!"

Bondan terkejut, "Kok bisa? Lo yang mutusin? Karena dia hamil?" Tanyanya dengan mata membulat.

"Dia gak hamil!" Tukas Fendy menegaskan.

"Oh, gitu?! Syukur deh!" Bondan mengembuskan napas lega.

Fendy mendengus, ia benar-benar tidak habis pikir kenapa sahabat karibnya ini bisa berpikir sampai sejauh itu. "Lo gila! Lo pikir gue bego bakal ngelakuin hal sebodoh itu?! Lagian juga gue sama Emi gak pernah ngapa-ngapain kali! Gak usah konyol!" Tukasnya kemudian.

Bondan mengangguk, "Ya, bener juga sih! Agak aneh juga kalo misalkan itu beneran kejadian. Lo itu kan cowok baik-baik yang hidupnya lurus-lurus aja. Jangankan macem-macem sama cewek, diajak ke klub aja mesennya air putih! Gak asik!" Serunya kemudian.

Setelah hampir 12 tahun berkawan, Bondan memang bisa dibilang satu-satunya teman akrab yang paling mengenal Fendy luar dan dalam. Ia tahu, bahwa Fendy adalah pria baik-baik dari keluarga baik-baik yang benar-benar terhormat.

"Terus, lo kenapa bisa tiba-tiba putus sama Emi? Bukannya selama ini kalian adem ayem aja, ya?! Kalaupun ribut paling cuma soal hal-hal receh."

Fendy menghela napas panjang, masih bingung harus bersikap seperti apa dalam menghadapi masalah ini.

"Yah, gimana, ya, Bon?! Lo sendiri kan tahu, kalau dari awal kita deket sampai akhirnya resmi pacaran itu semua Emi yang mulai. Dia yang deketin gue duluan, bahkan dia juga yang minta gue untuk jadi pacarnya. Ya, walaupun sebenernya gue masih belum bisa sepenuh hati ngejalanin hubungan itu sama dia, tapi gue tetep enjoy ngabisin waktu yang asik bareng dia. Tapi kayaknya... Emi tuh sadar kalau selama ini gue belum bener-bener bisa sepenuh hati sama dia. Katanya dia capek ngejalanin hubungan yang berat sebelah, dia juga udah capek nungguin gue untuk bisa bener-bener sayang sama dia. Makanya dia mutusin gue!"

Fendy mengakhiri ceritanya dengan wajah muram. Sementara Bondan seketika geleng-geleng kepala mendengar cerita itu. "Gue kira lo udah bisa move on dari dedek gemes lo itu! Tapi ternyata masih belum, ya?! Gue jadi kasian sama si Emi, berbulan-bulan pacaran sama lo tapi cuma dapet statusnya doang. Miris! Dan menurut gue, keputusan dia untuk mutusin lo itu adalah keputusan yang tepat!"

Fendy terkejut mendengar ucapan Bondan yang malah jadi mendukung keputusan Emi. Fendy tahu niat awalnya memang salah karena sudah memanfaatkan Emi untuk dijadikan pelampiasan agar bisa move on dari mantannya. Tapi berpikir untuk putus dan berpisah sama sekali tak ada di dalam daftar rencananya.

"Kok lo jadi ngedukung dia sih? Terus nasib gue gimana?" Tanya Fendy kemudian.

"Nasib apa sih?! Fen... Lo sendiri sadar kan kalo lo gak cinta sama si Emi. Tapi kenapa sekarang lo malah keliatan galau sedih merana gitu?! Bukannya harusnya biasa aja, ya?!"

Fendy menghela napas panjang, "Ya... Kalau soal diputusinnya sih, gue biasa aja. Cuma waktunya itu lho, Bon, yang kurang tepat!" Ucapnya.

Bondan mengerutkan kening, "Maksud lo?" Tanyanya dengan bingung.

Fendy agak ragu untuk mengatakan hal ini kepada Bondan. Ia sudah bisa menebak reaksi teman karibnya itu jika dirinya mengatakan yang sejujurnya. Tapi, berhubung ia dan Emi juga sudah terlanjur putus, Fendy pun akhirnya memutuskan untuk bicara apa adanya saja.

"Jadi... Minggu depan itu gue ada acara keluarga. Dan gue udah janji mau ngenalin pacar gue ke nyokap sama ke saudara-saudara gue. Tapi karena gue udah terlanjur putus sama Emi sebelum hari H, sekarang gue bingung mesti gimana. Nyokap gue udah gak ngerti pengen gue dateng, sementara gue sendiri gak mungkin bilang sama nyokap kalau gue udah putus. Bisa-bisa, perjodohan antara gue sama anaknya Tante Meli yang narsis itu bakalan dilanjutin. Dan gue gak mau!"

Bugh!

Fendy mengaduh, Bondan baru saja melemparkan bantal sofa ke arah wajahnya sembari geleng-geleng kepala. Lelaki itu mengembuskan napas kasar sambil menatap wajah Fendy dengan datar. "Jadi lo gak mau putus sama Emi cuma gara-gara itu?! Astaga... Fen... Fen... Kurang ajar lo!" Bondan benar-benar tidak habis pikir dengan Fendy.

"Bisa-bisanya lo macarin anak orang cuma buat manfaatin status doang. Inget umur, Fen! Lo udah bukan anak SMA lagi sekarang!"

"Iya, Bon... Gue ngerti! Gue juga gak pernah ada niat mutusin dia kok! Gue bahkan masih berharap suatu saat gue bisa beneran sayang sama dia."

"Iya, paham! Tapi masalahnya 'suatu saatnya' lo itu kelamaan! Orang super sabar juga pasti bingung buat ngira-ngira waktunya. Keburu capek!" Bondan berucap dengan penuh penekanan, membalas pembelaan Fendy yang terdengar basi dan membosankan. "Ditambah lagi, selain ngejadiin dia pelampiasan buat move on, lo juga manfaatin dia kan buat dijadiin tameng di depan nyokap lo tanpa ada niat buat serius. Cewek mana yang tahan ada di posisi kayak gitu kelamaan?! Gue juga kalo jadi cewek pasti gak mau sih digituin. Gue gak sudi pacaran sama cowok kayak lo. Ya, meskipun lo ganteng gue tetep ogah! Abisnya lo kurang ajar sih! Mentingin diri sendiri doang!"

Fendy tersenyum kecut. Bukannya mendapatkan support dan solusi, ia justru malah mendapatkan ceramahan dari Bondan. Teman karibnya itu memang sangat cerewet dan banyak omong, tapi jujur ini pertama kalinya Fendy mendengar Bondan mengatakan hal yang begitu serius dan bijaksana. Ya, walaupun kalimat-kalimat yang barusan keluar dari mulut pria itu adalah kalimat yang amat sangat memojokkannya. Tapi ia mengakui, bahwa apa yang dikatakan Bondan memang benar adanya.

"Kayaknya predikat 'anak baik-baik' lo mesti dicopot deh! Diganti aja jadi 'cowok kurang ajar'. Masih heran aja gue kenapa lo bisa se-egois itu!"

"Iya, Bon... Gue akui apa yang gue lakuin emang egois. Gue juga sadar banget kalo Emi juga butuh kepastian hati, bukan cuma kepastian status. Tapi kan lo tahu sendiri posisi gue sekarang kayak gimana!" Fendy mengembuskan napas kasar, ia tetap membela diri meskipun sadar bahwa apa yang dilakukannya memang salah. Tapi mau bagaimana pun juga, Fendy sendiri sedang kesulitan untuk melepaskan dirinya dari jeratan masa lalu, dan tuntutan dari orang tua serta keluarganya yang ingin sekali Fendy cepat-cepat punya pasangan hidup.

Bondan diam sejenak, menghela napas panjang, berusaha untuk memahami perasaan Fendy juga. "Gue ngerti, Fen! Gue ngerti banget lo lagi berusaha untuk move on. Manusiawi juga kalau misalkan lo susah buat ngontrol hati lo. Tapi tetap, mempertahankan hubungan yang udah jelas-jelas salah satunya gak punya perasaan yang sama itu gak adil. Dan keputusan yang diambil sama Emi itu udah keputusan yang paling baik buat kalian."

Fendy sudah pasrah. Apa yang dikatakan Bondan adalah kebenaran dan ia sudah tak bisa menyangkalnya. Fendy tersenyum miring, menatap wajah teman karibnya yang kini tengah bergeming sambil menatap ke arah televisi. Kalau sedang membahas hal yang serius, Bondan bisa tiba-tiba berubah jadi jauh lebih dewasa dan bijaksana dibandingkan dengan dirinya. Tapi kalau sudah bercanda, pria itu bisa jauh lebih konyol ketimbang badut.

"Terus sekarang masalah gue gimana? Gue gak mau ingkar janji sama nyokap gue sendiri."

Bondan menghela napas panjang, pikirannya berkelana mencari jalan keluar sementara tangannya bergerak mengambil stoples keripik dari atas meja. Pria itu kemudian melahap satu buah keripik singkong ke dalam mulutnya, hingga sepersekian detik kemudian, wajahnya yang semula tampak serius seketika berubah cerah.

Bondan melirik Fendy, "Lo pernah main Tinder gak?!" Tanyanya kemudian.

Fendy menggeleng, "Gue gak pernah pake gituan!" Jawabnya.

"Iya, juga sih! Orang ganteng yang diantriin banyak cewek kayak lo mana mungkin pake aplikasi cari jodoh kayak gitu."

Fendy tersenyum masam. Manggut saja disebut ganteng oleh Bondan meskipun kenyataannya Fendy tidak pernah merasa setampan itu.

"Tapi, lo tahu gak kalau sekarang itu ada aplikasi baru yang mirip-mirip namanya 'Girl for Rent'?" Pertanyaan yang diajukan Bondan membuat Fendy mengerutkan kening. Pria itu lalu menggelengkan kepala karena tidak pernah mendengar nama aplikasi itu sama sekali.

Bondan mendengus sebal, "Ck! Selain susah move on, lo tuh ternyata kudetnya akut, ya! Pantesan aja hidup lo stuck di situ-situ aja." Serunya sambil geleng-geleng.

"Ya, emang kenapa?! Aplikasi kayak gitu kan cuma buat orang-orang gabut yang kesepian dan butuh temen kencan. Gue kan gak butuh!"

Bondan mengangguk, "Iya, dulu lo emang gak butuh! Tapi sekarang lo butuh!" Ucapnya.

"Maksudnya?"

Bondan menarik napas panjang, tangan kanannya yang semula sibuk mengambil keripik dari dalam stoples lantas beralih mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. "Lo butuh pacar buat dikenalin ke keluarga lo kan' minggu depan?" Bondan bertanya tanpa melirik Fendy sama sekali, sementara mata dam jari tangannya sibuk berkutat dengan layar ponsel. "Lo tenang aja! Biar gue yang ngurus!"

"Gimana caranya?" Fendy bingung.

"Gue bakal nyariin lo pacar sewaan!"

Ujaran Bondan tentu saja membuat Fendy terkejut sekaligus heran dan bingung. "Pacar sewaan? Maksudnya?" Tanyanya kemudian.

"Ya, pacar sewaan! Ngerental pacar buat sementara waktu."

"Rental pacar? Emang ada?" Fendy makin heran.

"Ya, ada lah! Jaman sekarang ini apa sih yang gak ada?! Jangankan yang ngerental pacar, yang ngerental iPhone juga banyak kalau emang lo mau tahu!"

"Serius?" Fendy makin tak percaya. Matanya membulat mendengar fakta mencengangkan itu.

Bondan mengangguk, "Ya, Serius lah! Pokoknya lo tenang aja. Gue bakalan nyariin lo pacar sewaan yang menurut gue cantik dan paling cocok buat lo!" Ucapnya kemudian.

Fendy seketika bergeming, ia tahu Bondan memang pandai dalam membantunya menyelesaikan masalah. Tapi untuk yang kali ini, entah mengapa ia agak sedikit ragu.

"Tapi, Bon... Kok gue gak yakin, ya, ini bakalan berhasil?! Lagipula, kalau cuma pacar sewaan kedepannya bakalan ribet. Apalagi kalau nyokap gue tiba-tiba pengen ketemu lagi sama tuh cewek."

"Ya, bener juga sih..." Bondan manggut-manggut, ia setuju dengan pendapat Fendy. Tapi tetap, meskipun apa yang dibilang oleh temannya itu memang ada benarnya, tapi di waktu yang singkat seperti ini menyewa gadis dari rental pacar adalah jalan terbaik menurutnya. "Tapi, Fen... Lo tuh udah gak mungkin bisa dapetin pacar beneran dalam waktu kurang dari seminggu. Meskipun tampang lo ganteng, tapi lo itu bukan tipe cowok playboy yang gampang jadian sama cewek manapun, kapanpun, dan dimanapun. Jadi, ngerental pacar sewaan adalah jalan terbaik yang bisa lo pilih saat ini!"

"Ya... Iya, sih! Tapi-"

"Lo mau bawa pacar sewaan tapi setelah itu hidup lo tenang. Atau bilang ke nyokap lo kalau lo udah putus, tapi abis itu rumah lo bakalan di datengin sama anaknya Tante Meli setiap hari kayak waktu itu?!"

"Oke... Oke...! Gue pilih ngerental cewek aja!" Fendy mengembuskan napas kasar, sudah pasrah dan memilih untuk setuju saja dengan usulan Bondan.

Bondan tersenyum, "Gitu dong! Nanti gue cariin cewek yang cocok sama lo dan sesuai dengan kriteria menantu idaman nyokap lo, ya!" Ucapnya kemudian.

Fendy mengernyit, "Emangnya lo tahu kriteria menantu idaman nyokap gue kayak gimana?" Tanyanya.

"Enggak sih! Kalau gitu, apa mau lo aja yang milih sendiri? Sini hape lo, biar sekalian gue pasangin aplikasi Girl for Rent!"

Fendy menggeleng, "Enggak, enggak! Gue gak mau hape gue dipasang aplikasi begituan! Lo aja deh yang nyari! Gue gak mau pusing!" Ujarnya.

Bondan tersenyum, "Oke! Kalau begitu nanti lo kirim nomor kartu debit lo, ya! Lo tinggal request aja, mau nyewa berapa jam. Nanti biar gue yang pesenin. Gue pastiin, minggu depan semuanya akan berjalan lancar!" Serunya seraya membuka aplikasi Girl for Rent di ponselnya.

Fendy manggut saja, tersenyum kecut dengan wajah pasrah sambil berkata, "Hm, iya, deh! Serah lo! Urus aja sesuka hati lo!" Katanya, sambil lalu beranjak dari sofa dan pergi meninggalkan Bondan menuju dapur.

Bondan tersenyum lebar sambil memilih profil gadis-gadis cantik yang tertera di laman aplikasi Girl for Rent pada layar ponselnya. Sebenarnya, selain Fendy, Bondan juga sedang ingin menyewa gadis imut di aplikasi Girl for Rent untuk dijadikan sekadar teman jalan. Lagipula, pria itu tidak tahu bahwa dengan mengundang teman, Bondan jadi bisa dapat diskon 50% untuk harga 5 jam.

***

"Hai, lagi ngerjain apa?"

Puspa terkesiap, pandangannya yang semula fokus pada layar laptop seketika baralih menatap wajah Andre yang kini tengah tersenyum padanya. Lelaki itu tiba-tiba saja datang menghampirinya ke kantin kampus, padahal sebelumnya Puspa belum memberitahu Andre kalau dirinya sedang ada di kantin.

"Lagi ngerjain makalah. Tinggal penutup sama daftar pustaka sih. Bentar lagi juga kelar."

Andre tersenyum, lelaki itu kemudian duduk di kursi sebelah Puspa seraya meletakkan ranselnya di atas meja. "Udah makan belum? Aku mau pesen kwetiau nih, biar sekalian." Tanya Andre.

Puspa menggeleng, "Belum! Mau bakso dong, pake sambel yang banyak, ya! Sekalian sama es teh manisnya satu." Ucapnya kemudian.

Andre mengangguk, "Oke!" Jawabnya, sambil lalu memanggil Ibu Kantin dan memesankan pesanannya sekaligus pesanan Puspa kepada wanita itu. Beberapa saat setelah itu, Andre pun lantas kembali memerhatikan Puspa yang masih tampak sibuk berkutat dengan laptop. Mengerjakan makalah yang katanya sudah tinggal penutup.

"Masih banyak ngetiknya? Mau dibantuin gak?" Tanya Andre kemudian. Namun, dengan cepat Puspa pun langsung menggeleng.

"Gak usah! Ini udah mau beres dikit lagi!" Puspa mengetik kalimat terakhir dengan cepat, menyimpan berkas makalahnya yang sudah selesai, kemudian menutup laptopnya seraya menghela napas lega. "Hhh... Akhirnya beres juga! Capek banget dari semalem nugas terus!"

"Santai... UAS udah tinggal beberapa minggu lagi. Habis itu kamu bisa say goodbye deh sama semester lima." Seru Andre.

Puspa tersenyum miring, "Hm, iya juga! Ternyata kalau dijalanin dengan santai tuh, semester yang katanya maut ini gak serem-serem amat, ya! Yah, walaupun nilai aku banyak yang C, tapi bodoamat lah!" Ujarnya kemudian. "Oiya, ngomong-ngomong, gimana magang?"

"So far, so good lah! Orang-orang di kantor seru-seru. Cuma sekarang ini, aku lagi dikasih tugas sama Pak Manajer nih buat nyari talent baru untuk direkrut masuk agensi."

"Talent baru?"

Andre mengangguk.

Puspa terdiam sejenak, mengingat cerita Andre beberapa bulan lalu tentang kantor perusahaan yang sekarang menjadi tempat lelaki itu magang. Andre pernah bilang, bahwa kantornya itu merupakan agensi digital yang berfokus pada produksi aplikasi pencarian sosial yang memfasilitasi komunikasi kepada para penggunanya untuk menemukan teman baru. Namun, baru-baru ini agensi digital tempat Andre magang juga baru saja meluncurkan aplikasi layanan kencan daring yang katanya menawarkan gadis-gadis sebagai pacar sewaan kepada para penggunanya.

"Talent yang lagi kamu cari ini buat aplikasi dating baru itu, ya? Apa namanya? Girl for Rent?"

Andre mengangguk, "Iya! Agensi lagi nyari cewek yang mau kerja bareng sama kita untuk jadi pacar sewaan." Ucapnya.

"Terus gimana, udah dapet?"

"Udah sih, tapi baru dapet 2! Sementara Pak Manajer tuh nyuruh aku untuk bawa minimal tiga kandidat. Masih kurang satu lagi." Jelas Andre memaparkan. Ia sudah berhari-hari berkeliling menawarkan pekerjaan ini ke teman-temen perempuannya. Tapi satu pun tidak ada yang tertarik. Mungkin mereka mengira bahwa menjadi pacar sewaan sama seperti menjadi pelacur atau PSK. Padahal, menjadi pacar sewaan di agensi Girl for Rent tidak seperti itu. "By the way, kamu ada kenalan cewek gak, yang lagi butuh kerjaan?"

Puspa mengangguk, "Ada sih! Tapi sebelum itu, aku mau nanya dulu. Jadi pacar sewaan di Girl for Rent itu, sama kayak...." Puspa agak ragu untuk menyebutkan kata 'PSK' yang menurutnya agak kurang sopan. Namun meskipun belum terucap, Andre sepertinya sudah mengerti arah pertanyaan Puspa akan kemana.

"Enggak lah!" Jawab Andre kemudian.

"Seriusan enggak sama kayak cewek-cewek sewaan di agen yang lain?"

"Enggak dong! Semua perempuan di agensi kita itu dijaga ketat sama perusahaan. Orang yang mau nyewa pacar sementara dari aplikasi kita mesti mematuhi beberapa peraturan seperti dilarang melakukan sentuhan fisik selain pegangan tangan, dibawa ke tempat-tempat yang sekiranya membahayakan, dan lain-lain. Maka dari itu, orang yang mau nyewa perempuan dari agen kita itu harus ngisi profil dan formulir dengan lengkap dan sejelas-jelasnya. Mulai dari jam rentalnya, mau dibawa pergi ke mana, diajak melakukan kegiatan apa, pokoknya mesti jelas. Dan kalau misalkan ada pelanggan yang melanggar aturan, pacar sewaan wajib melapor sama agensi supaya kita bisa ngasih tindak lanjut dan mengajukan tuntutan." Andre menjelaskan dengan begitu detil dan lugas, membuat Puspa yang semula agak meragukan seketika jadi tersenyum penuh arti.

"Berarti jadi Pacar Sewaan di agensi kamu aman dong, ya?!"

"Ya, sejauh ini sih belum pernah ada kendala atau skandal apapun. Paling-paling cuma pelanggan yang keenakan nge-date sampe lupa kalau jam rentalnya udah habis. Jadi mesti bayar denda."

"Terus, gajinya berapa?"

"Ya... Sedikit di atas UMR lah!"

Puspa makin berbinar, "Waah, berarti lumayan banget dong!" Serunya.

Andre mengerutkan kening melihat ekspresi Puspa yang tampak bersemangat. "Iya, lumayan! Tapi... Kamu ngapain pake segala nanya-nanya gaji? Tertarik jadi pacar sewaan?" Tanyanya kemudian.

Puspa menggelengkan kepala. Sambil tersenyum ia pun lantas berkata, "Alsha kayaknya tertarik!".

"Alsha? Bukannya dia udah ada kerjaan?"

Puspa menggeleng lagi, "Enggak ada! Dia baru habis dipecat." Ujarnya memberitahu.

Andre agak terkejut. Namun sepersekian detik kemudian, matanya yang beradu pandang dengan kedua mata Puspa seketika menampakkan secercah harapan. Keduanya lantas tersenyum lebar. Sepertinya, mereka sudah tahu harus menunjukkan jalan ini kepada siapa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status