Share

02. Hari Yang Berat

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, suara detak jam dinding di ruang tamu terdengar begitu jelas menyertai suasana hening. Di atas sofa, seorang gadis duduk menghadap meja yang dipenuhi dengan buku-buku serta kertas-kertas tugas sambil berkutat di depan laptop. Mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk dan harus dikumpulkan dalam waktu dekat.

Tap... Tap... Tap...

Suara langkah kaki yang diiringi dentuman sepatu yang mengadu pada lantai teras depan membuat gadis itu seketika menoleh ke arah pintu depan. Tak lama, terdengar pula suara orang memasukkan kunci berdekatan dengan kenop pintu yang sepersekian detik kemudian diputar oleh sebuah tangan dari luar.

"Assalamu'alaikum!"

Pintu terbuka, Alsha kemudian masuk ke dalam rumahnya seraya menutup dan mengunci kembali pintu depan yang baru saja ia buka.

"W*'alaikumsalam!" Balas gadis itu, Puspa, sahabat Alsha yang tinggal serumah dengannya dan kini tampak sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah.

"Udah pulang, Sha, jam segini? Tumben!"

Alsha menjawab pertanyaan dari Puspa hanya dengan anggukkan kepala. Setelah itu, ia pun mengayunkan langkah ke arah sofa, lalu duduk di sisi kosong yang bersebelahan dengan sahabatnya.

Puspa melihat Alsha menghela napas berat, wajahnya tampak muram dan begitu lesu. "Mau gue ambilin minum gak?" Tanyanya kemudian, menawarkan untuk mengambilkan minum yang mungkin saja bisa membuat gadis itu merasa lebih baik.

Namun Alsha menggeleng, "Gak usah! Gue gak haus kok!" Jawabnya kemudian.

Puspa mengangguk saja, tak mau memaksa. Sepersekian detik kemudian, gadis itu tiba-tiba teringat sesuatu. "Oiya, Sha! Tadi sore ada PLN dateng ke sini. Katanya tagihan listrik bulan ini belum dibayar."

Alsha mengembuskan napas kasar tatkala mendengar ucapan Puspa. Bulan ini gajinya habis dipotong untuk ganti rugi beberapa piring dan gelas milik kafe yang tak sengaja ia pecahkan. Karena itu, Alsha tak bisa membayar tagihan listrik dan air bulan ini karena sisa upahnya sudah habis digunakan untuk makan.

"Iya, Pus... Gue belum sempat bayar listrik bulan ini. Uangnya kepake buat kebutuhan lain yang lebih penting."

Alsha muram. Tampak begitu frustasi dan pusing memikirkan biaya hidupnya yang belum tercukupi. Ia lalu menyadarkan tubuhnya ke sandaran sofa, duduk dengan mata terpejam sambil berusaha menenangkan diri. Sementara itu, Puspa yang duduk di sebelahnya tiba-tiba saja mengambil dompetnya dari atas meja, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam sana, seraya memberikannya pada Alsha.

"Sori, ya, Sha! Gue juga lupa belum ngasih uang patungan listrik ke elo bulan ini. Nih, jangan lupa dibayar, ya!"

Alsha membuka kedua matanya, menegakkan posisi duduk seraya menatap lembaran uang yang diberikan Puspa dengan sendu. "Pus... Bagian gue bisa lo talangin dulu gak? Soalnya gue lagi gak ada duit banget. Nanti kalo gue udah punya uang lagi, pasti gue gantiin kok!"

Puspa mengangguk, "It's okay! Santai aja kali! Gak digantiin juga gak apa-apa. Lagipula ini kan rumah eyang lo, gue cuma numpang di sini. Lagipula, dari awal lo nawarin gue untuk tinggal di sini juga gue udah bilang kan, kalau tagihan listrik biar gue aja yang bayarin. Tapi lo nya gak mau. Lo malah minta patungan setengahnya aja." Ucapnya, mengungkit masa lalu saat pertama kali dirinya ditawari untuk tinggal di rumah peninggalan eyangnya Alsha.

Alsha tersenyum tipis, "Ya, gak apa-apa! Sebagai sesama mahasiswa gue gak mau bikin lo repot! Lagipula rumah ini juga rumahnya almarhun eyang, bukan rumah gue. Jadi gak pantes lah kalo misalkan gue manfaatin lo buat bayar tagihan listrik sendirian sementara di rumah ini yang ngisi ada kita berdua." Jawabnya kemudian. "By the way, makasih banget, ya! Udah mau nalangin bayaran listrik bulan ini. Pokoknya setelah gue punya uang, gue janji bakal gantiin uang lo."

Puspa mengangguk, senyum tipisnya mengembang tatkala mendengar ucapan Alsha yang terdengar begitu tulus seperti biasa. Selama ini, gadis itu sama sekali tak pernah mau merepotkan orang lain. Bahkan, Puspa diajak tinggal di rumah eyangnya ini secara cuma-cuma tanpa harus bayar sewa. Ditambah lagi, Alsha jago masak. Jadi, pengeluaran untuk biaya makan bisa jadi lebih irit karena mereka berdua tinggal membeli bahan masakan di pasar dan mengolahnya sendiri. Karena itu, Puspa merasa begitu senang bisa kenal dengan Alsha dan tinggal bersamanya. Makanya, ia sama sekali tidak keberatan jika hanya dimintai tolong seperti itu. Hanya saja, Puspa agak bingung. Tumben sekali Alsha meminjam uang? Biasanya, se-kecil-kecilnya pendapatan bulanan Alsha, gadis itu sebelumnya tidak pernah meminjam uang.

"Oiya, Sha! Ngomong-ngomong, lo tumben banget minta ditalangin sama gue. Biasanya lo paling gak mau minjem duit sama orang karena takut ngerepotin. Lo kenapa? Lagi ada masalah?" Tanya Puspa kemudian.

Alsha mengangguk, lalu menatap Puspa dengan wajah muram, "Gue dipecat, Pus!" Ucapnya memberitahu.

Puspa agak terkejut, "Kok bisa? Bukannya selama ini kerja lo bagus, ya? Lo gak pernah telat, dateng selalu tepat waktu, ramah sama pelanggan, bahkan lo selalu siap melayani pengunjung dengan baik! Gak mungkin dong lo dipecat?!"

"Ya... Karena... Belakangan ini kerja gue emang lagi gak bagus. Gue berkali-kali bikin salah dalam waktu dua minggu. Gaji gue bahkan dipotong beberapa kali karena gak sengaja ngejatuhin piring sampai pecah hampir selusin. Terus tadi, gue juga gak sengaja numpahin jus alpukat sampai kena baju pelanggan. Ya, meskipun sebenarnya itu juga salah dia sih karena berdiri sambil grasak-grusuk. Tapi dia gak terima disalahin dan malah ngelaporin gue ke Pak Hendra. Alhasil, gue kehilangan kerjaan gue sekarang. Dan gue gak tahu mesti nyari kerja ke mana lagi supaya kebutuhan hidup gue tetap tercukupi. Sementara sekarang ini nyari kerja susah banget. Apalagi yang bisa part time dan tanpa ijazah S1 buat mahasiswi yang belum lulus kayak gue gini!"

Puspa tertegun mendengar pernyataan Alsha. Ia cukup beruntung karena masih memiliki orang tua dan biaya kuliah serta kebutuhan sehari-harinya masih ada yang bantu menanggung. Sementara Alsha, gadis itu cukup kuat bertahan hidup sendirian di tengah-tengah hiruk-pikuk ibu kota yang cukup keras tanpa keluarga dan orang tua. Alsha sudah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sejak masih SD. Ia lalu diurus oleh Eyang Putri hingga lulus SMA, sampai akhirnya ditinggal pula oleh eyangnya hampir 3 tahun yang lalu. Dan sekarang, Alsha sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Puspa yang menjadi sahabatnya. Jika dulu Alsha dan Eyang putri menggantungkan hidup pada uang pensiunan Eyang kakung. Setelah Eyang Putri tiada, meski Alsha berhasil mendapatkan jaminan beasiswa kuliah full sampai S2, tapi untuk biaya hidup sehari-hari, ia tetap harus banting tulang bekerja keras demi mencukupi kebutuhannya. Karena itu, kehilangan pekerjaan meskipun dengan gaji kecil membuat gadis itu cukup frustasi dan kebingungan.

Puspa tersenyum tipis, tangannya lantas menyentuh pundak Alsha, mengusapnya dengan hangat berusaha untuk menenangkan. "Yaudah, Sha... Lo tenang aja! Gue yakin setelah ini lo pasti bakalan dapet kerjaan yang lebih bagus dengan bayaran yang lebih tinggi dibanding jadi karyawan kafe doang! Nanti gue bantuin lo nyari lowongan juga deh! Terus, buat tagihan listrik dan air, selama lo belum dapet kerja dan gak ada uang, biar gue aja yang bayarin. Gak masalah kok! Yang penting, lo harus selalu semangat dan gak boleh putus asa!"

Ucapan Puspa tentu saja membuat Alsha seketika menyunggingkan senyum. Mana mungkin ia akan menyerah semudah itu jika orang terdekatnya saja menyemangatinya dengan penuh suka hati. Dipecat dari pekerjaan bukanlah akhir dari hidup. Seperti apa kata Puspa barusan, bisa jadi, setelah ini ia akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Syukur-syukur, hidup dan nasib yang juga berubah menjadi jauh lebih baik.

***

"Fendy....!!! Kamu dari mana aja sih jam segini baru pulang? Mama udah nunggu dari tadi sore, lho! Biasanya kamu jam 7 udah pulang. Ini udah mau jam sepuluh malem baru nyampe rumah. Ditelfon berkali-kali gak diangkat-angkat! Kamu habis ngapain?!"

Baru satu langkah Fendy berjalan dari arah pintu saat baru saja masuk ke dalam rumahnya, tapi Ibunya, Veny, seketika datang dari arah ruang tengah dan menghampirinya sambil marah-marah.

Fendy menghela napas panjang, berusaha untuk tidak emosi dan meninggikan suara meski dirinya sedang mencoba keras untuk menahan kesal. Sambil menyunggingkan senyum palsu, ia pun lantas mencium punggung tangan Ibunya dan berkata, "Iya... Maaf, ya, Ma! Tadi Fendy ada meeting sama klien. Jadi, hapenya sengaja aku silent biar gak ganggu acara rapatnya." Jelasnya, memberikan alibi yang kontan saja membuat wanita itu menatapnya sinis dan tidak percaya.

"Yang bener? Kalau tadi kamu beneran meeting, kenapa Bondan gak ikut meeting juga? Dia bahkan gak tahu kamu ada di mana sama siapa?! Kamu bohong, ya?!"

Fendy tersentak. Bergeming sejenak tatkala mendengar pertanyaan dari Ibunya yang begitu menohok. Namun meski begitu, Fendy belum kehabisan akal untuk berbohong karena ia tidak mau menceritakan perihal kisah putusnya pada sang Mama.

"Ma... Bondan itu emang belum aku kasih tahu soal klien yang barusan aku temuin. Kan aku manajernya, sementara dia cuma anak buah aku di kantor. Jadi, gak semua hal tentang proyek baru dia mesti tahu duluan juga dong! Lagipula proyeknya juga masih belum fix! Maka dari itu, aku belum berani ngasih tahu ke yang lain soal proyek yang kali ini."

"Gitu?" Veny masih agak kurang yakin dengan pernyataan putra tunggalnya barusan. Apalagi melihat keadaan Fendy yang tampak begitu berantakan membuatnya jadi berpikir macam-macam. Namun, wajah lelah yang ditampakkan putranya itu membuatnya memilih untuk percaya saja. "Yaudah, deh! Tapi lain kali, kalo misalkan kamu pulang telat lagi pas Mama lagi jadwal kunjungan ke rumah kamu, kamu jangan kayak gitu lagi, ya! Susah dihubungin! Mama kan jadi khawatir! Takut kamu kenapa-napa. Takut kamu macem-macem di luaran sana! Apalagi liat kamu pulang keadaannya berantakan setengah basah gitu. Mama jadi ngeri! Mama tuh takut kamu jadi fuckboy!"

Fendy tercengang mendengar Ibunya mengucapkan kata 'fuckboy' yang notabenenya adalah bahasa gaul anak muda jaman sekarang untuk memberikan label kepada seorang pria yang merupakan penjahat kelamin.

"Mama tahu fuckboy dari mana sih, Ma?"

"Dari... Ya, sering denger aja cewek-cewek jaman sekarang suka ngomong kayak gitu ke cowok-cowok brengsek yang suka macem-macem. Mama tuh takut kamu kayak gitu juga! Fuckboy!"

"Ya, ampun, Ma... Fendy tuh gak mungkin kayak gitu! Fendy itu udah gede, udah bisa bedain mana yang baik dan mana yang buruk. Fendy tahu batasan, dan Fendy gak mungkin jadi fuckboy!"

Bukannya merasa lebih tenang, mendengar ucapan Fendy malah membuat kecurigaan Veny makin menjadi-jadi. "Tuh, justru itu! Karena kamu udah gede, udah punya rumah sendiri dan tinggal sendiri, Mama takut kamu jadi ngerasa bebas buat macem-macem."

Raut wajah Fendy seketika berubah datar, ia benar-benar tidak habis pikir kenapa Ibunya bisa overthinking sampai sebegitunya. "Ma! Mama tuh kenapa sih curigaan banget? Bondan ngadu yang macem-macem, ya, ke Mama?"

"Jadi bener kamu suka macem-macem?" Tanya Veny dengan wajah terkejut. Dan Fendy sudah begitu kesal sekarang.

"Aduuh... Terserah Mama deh mau mikir kayak gimana! Udah, ya! Fendy mau mandi dulu. Lengket nih badan kecapean!"

Setelah itu, Fendy langsung mengayunkan langkah dengan cepat, berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Sementara itu, Veny yang masih kurang percaya kalau anaknya benar-benar jujur lantas bertanya lagi, "Tapi kamu gak pernah mabok 'kan, Fen?!" Tanyanya kemudian dengan suara keras.

Dari dalam kamar, Fendy berteriak, "Tanya aja sama Bondan kalo Mama lebih percaya dia!" Pekiknya sambil menahan emosi.

Mendengar itu membuat Veny akhirnya menghela napas panjang. Suara Fendy terdengar begitu kesal dan agak sedikit ketus, membuat wanita itu seketika dapat menyimpulkan bahwa putranya sedang merasa kesal. Mungkin, ia sudah terlalu kelewatan mencurigai anak tunggalnya sendiri. Karena itu, sepertinya ia harus menyiapkan hidangan spesial untuk memperbaiki mood putranya yang sedang tidak baik.

***

Veny meletakkan secangkir teh lemon di atas meja makan, tepat di hadapan Fendy yang kini tengah duduk sambil menikmati kue cubit coklat dan kripik pangsit asam manis buatannya. Kedua kudapan itu, adalah cemilan favorit putranya sejak kecil. Maka dari itu, di waktu kunjungannya kali ini Veny menyempatkan diri untuk membuat kedua makanan itu.

"Semenjak kamu tinggal sendiri, Mama tuh jadi sering khawatir sama kamu, Fen! Takut kamu ngelakuin yang aneh-aneh. Takut kamu macem-macem kayak anaknya Bu Nia tuh si Rendy."

"Rendy? Anaknya Bu Nia yang tetangga kita itu? Emangnya kenapa dia?" Fendy bertanya seraya menyesap teh lemonnya yang kini sudah menghangat, sementara kedua matanya menatap ke arah Ibunya yang kini tengah mencuci piring dan beberapa peralatan masak yang kotor di wastafel.

"Itu lho... Dia pergi merantau ke luar kota, tinggal sendirian, jarang pulang, sekalinya pulang malah bawa kabar abis ngehamilin anak orang!"

Fendy tersedak air teh lemon yang sedang ia minum tatkala mendengar cerita Veny tentang Rendy. Ia cukup terkejut mendengar kabar itu, dan tentunya merasa miris.

"Terus, gimana lanjutannya?"

"Terus, Mama juga denger, katanya si Rendy sempet nyuruh pacarnya buat aborsi! Itu kan kejam banget, Fen! Mama tuh gak abis pikir kenapa anak muda jaman sekarang tuh ngeri-ngeri banget kelakuannya. Tapi untungnya gak jadi sih! Karena udah terlanjur ketahuan, akhirnya mereka dinikahin aja tuh 3 hari yang lalu! Makanya itu Mama gak mau kalo kamu nasibnya sama kayak si Rendy Rendy itu! Kalo kamu sampe berani kayak gitu, Mama bisa gantung kuping kamu di monas sekalian sama badan-badannya!" Veny bercerita dengan suara yang terdengar begitu menggelegar hingga membuat Fendy bergidik ngeri saat mendengarnya. Diiringi dengan suara panci dan wajan yang mengadu di bawah kucuran air wastafel, membuat suasana terasa makin mengerikan.

Namun, Fendy tetap berusaha tenang. Meskipun ia sendiri paham bahwa Veny berbicara seperti itu karena sangat mengkhawatirkan dirinya terutama tentang pergaulannya di lingkungan kerja, tapi ia harus bisa meyakinkan Ibunya bahwa ia tidak akan mungkin melakukan hal sebodoh itu.

"Mama gak usah lebay dan overthinking kayak gitu dong! Fendy tuh gak mungkin tertarik untuk melakukan hal sebodoh itu! Lagipula, dari dulu kan Mama selalu bilang kalau sebagai laki-laki, Fendy tuh harus bertanggungjawab dan harus bisa menjaga perempuan dengan sebaik mungkin. Jadi Mama tenang aja!"

Kalimat yang diucapkan Fendy mungkin terdengar begitu bijaksana bak malaikat. Namun sebagai manusia, Veny tidak menjamin kalau perkataan sehalus itu bisa dipercaya begitu saja. Apalagi manusia itu sifatnya berubah. Belum lagi, godaan setan yang terkutuk sering kali dijadikan alasan untuk melakukan hal-hal yang buruk.

Wanita itu kemudian mematikan keran wastafel, memutar arah tubuhnya yang semula membelakangi menjadi menghadap Fendy. Lalu menatap putranya dengan serius. "Mama tuh bukannya gak percaya sama kamu, ya, Fen! Selama ini, kamu memang kelihatannya baik kalo di depan Mama. Tapi kan kalo di belakang Mama gak tahu. Si Rendy-Rendy itu juga kelihatannya aja kalem, baik, sopan. Tapi nyatanya kan bejat juga! Makanya itu, Fen! Kalo kamu emang udah punya pacar, mending secepatnya aja deh nikahin! Biar aman!"

Fendy tertohok, tenggorokannya sontak tersedak ludah sendiri sampai terbatuk-batuk. Terkejut dengan kalimat terakhir yang diucapkan Ibunya barusan.

"Ma! Nikah tuh bukan soalan gampang,  lho! Fendy belum siap kalo harus ngemban tanggungjawab lebih. Lagipula aku baru setahun diangkat jadi manajer, mau fokus karir dulu!"

Veny tersenyum kecut, tubuhnya yang semula berdiri menghadap Fendy kini kembali beralih pada cucian piring di wastafel yang belum selesai. Lanjut mengerjakan aktifitas mencuci sambil berkata, "Alesan aja kamu, Fen! Emangnya gak bisa fokus karir sambil nikah?! Bukannya nanti kalo udah punya istri jadinya bakalan lebih fokus. Kamu juga jadi gak perlu repot ngurus rumah sendiri. Mama juga jadi gak perlu khawatirin kamu lagi kan?! Lagipula, umur kamu tuh udah mateng, Fen! Kamu gak ngiri liat sepupu-sepupu kamu udah pada gendong anak?! Mama sih iri, pengen juga punya mantu biar nanti dikasih hadiah cucu!"

Fendy terdiam mendengar ucapan Veny. Apa yang dikatakan Ibunya itu memang ada benarnya. Tapi sejujurnya, Fendy bukannya tidak ingin segera menikah di umurnya yang sudah terbilang matang ini. Hanya saja, Fendy belum menemukan seseorang yang  benar-bebar cocok untuknya. Emi baru saja memutuskannya. Ingin mencari pacar baru, namun hatinya masih belum bisa melepas yang lalu. Sementara jika dirinya mengaku tidak punya pacar, ia sudah pasti akan dijodoh-jodohkan lagi dengan gadis-gadis aneh, anak dari teman-teman arisan Ibunya yang tak ia kenal.

"Jujur, ya, Fen! Semenjak kamu punya rumah sendiri dan tinggal sendiri, selain khawatir kamu macem-macem dan ngelakuin yang aneh-aneh. Mama juga sebenarnya risih liat rumah kamu selalu berantakan tiap kali Mama ke sini. Barusan juga pas Mama baru dateng, rumah kamu kayak kapal pecah. Ruang tamu berantakan, ruang tengah berantakan, kamar belum dirapihin, cucian piring numpuk, pakaian kotor dimana-mana. Pusing Mama liatnya! Makanya, kamu tuh mending nikah aja deh! Biar ada yang ngurusin! Biar rumah kamu juga ada yang ngurus!" Ucap Veny lagi. Kembali mengeluarkan kecerewetan yang lagi-lagi membuat Fendy hanya bisa tersenyum masam sambil menggaruk tengkuk.

"Eum... Kalo misalkan Fendy nge-hire pembantu aja gimana, Ma? Yang penting rumah keurus kan?"

Veny mengembuskan napas kasar, menggelengkan kepala tanda tidak menyetujui. "Enggak! Jaman sekarang nyari pembantu yang jujur tuh susah! Belum lama ini juga Tante Ela punya pembantu di rumahnya, tapi pembantunya suka rogoh-rogoh. Telor di kulkas juga sering ilang! Gak aman deh pokoknya! Makanya sekarang pembantunya dipecat."

Lagi-lagi Fendy hanya bisa menghela napas panjang mendengar ucapan Ibunya. Tak tahu mau menjawab apa, pada akhirnya Fendy kembali menyesap teh lemonnya dengan wajah bingung. Sementara itu, Veny yang barusan sibuk berkutat dengan cucian piring lantas mematikan keran air, lalu mengambil kain lap untuk mengeringkan piring-piring basah yang baru selesai ia cuci.

"Pokoknya, Mama tuh gak mau kamu main-main lagi. Kamu tuh udah dewasa, bentar lagi kepala tiga. Udah saatnya lah punya hubungan yang serius. Ya, kalaupun kamu memang belum siap nikah dalam waktu dekat ini, minimalnya kenalin dulu lah pacar kamu ke Mama. Supaya Mama bisa pastiin, kalo calon kamu itu memang yang terbaik buat kamu."

Fendy kembali diam. Tubuhnya seketika bergeming saat mendengar dua kalimat terakhir itu diucapkan oleh Veny. Kalimat yang sedang tak ingin ia dengar, kalimat yang sedang ingin ia hindari sampai sempat memutuskan untuk tidak jadi pulang ke rumah dan bertemu dengan Ibunya.

"Ma... Lusa nanti aku ada jadwal meeting di luar kota. Jadi kayaknya aku gak bisa dateng deh ke acara arisan keluarga. Gak apa-apa kan?!"

Veny yang baru selesai meletakkan kembali piring-piring dan peralatan dapur yang barusan ia cuci lantas tersenyum. Wanita itu kemudian menghampiri Fendy, menarik kursi yang ada di hadapan putranya lalu duduk dengan tenang. "Gak apa-apa! Kamu pergi aja! Lagian juga acara arisan keluarganya diundur jadi minggu depan. Jadi, kamu pastiin minggu depan harus bisa dateng, ya! Jangan lupa bawa pacarnya! Sekalian kenalin ke Mama sama saudara-saudara yang lain. Oke?!"

"Tapi...."

"Gak ada tapi-tapian! Gak usah banyak alasan deh! Kamu tuh cuma tinggal dateng sama pacar kamu, duduk manis, gak perlu repot-repot bantuin tante-tante kamu masak karena masakan kamu gak enak! Pokoknya kamu harus sempet-sempetin dateng ke acaranya karena jarang-jarang lho kita sekeluarga besar punya waktu buat ngumpul semua. Lebaran aja kadang sering kurang lengkap."

"Tapi, Ma-..."

"Udah, Fen! Mama gak mau tahu pokoknya kamu harus dateng! Titik! Udah, ya! Mama mau mandi dulu, badan Mama lengket, capek habis bebenah rumah kamu yang berantakannya naudzubillah!"

Setelah mengatakan itu, Veny langsung beranjak dari duduknya, mengayunkan langkah menuju kamar tamu dan meninggalkan Fendy yang kini tengah dihantui kebingungan. Pikirannya diisi oleh suara-suara yang bergelut hingga membuatnya makin kalut. Fendy ingin mengatakan bahwa dirinya sudah putus, tapi di sisi lain ia tak siap jika harus menerima omongan yang sering kali memojokkan apalagi perjodohan.

Setelah ini, mungkin Fendy benar-benar harus mencari cara untuk menghindari acara keluarga minggu depan tanpa mencurigakan. Dan mungkin, untuk mengurus hal semacam ini sepertinya ia harus meminta solusi dari sahabat gilanya alias Bondan.

***

"Silahkan duduk, Sha!"

Seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi kerjanya mempersilahkan Alsha untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya, saat gadis itu baru saja datang dan memasuki ruangannya dengan senyum hangat. Saat ini, wanita itu sedang membaca beberapa laporan yang kebetulan tengah menumpuk di atas mejanya.

"Iya, Bu!" Alsha menarik kursi, lalu duduk di hadapan Bu Indira seraya menghela napas panjang. Entah mengapa, setelah masuk ke dalam ruangan ini, seketika saja perasaannya jadi berubah tidak karuan.

Bu Indira menutup map laporan beasiswa yang ada di atas mejanya, lalu beralih menatap Alsha yang kini tengah duduk dengan wajah yang sedikit menunduk. "Alsha... Saya sudah baca laporan beasiswa kamu tahun ini. Dan setelah melihat daftar lampirannya, saya rasa gak ada masalah. Aktifitas dan kegiatan yang kamu ikuti semuanya bagus, positif. Tapi..." Bu Indira menjeda kalimatnya, menatap kedua mata Alsha dengan pandangan muram hingga membuat gadis itu merasa makin tak karuan. Perasaannya mendadak tak enak, dan Alsha sepertinya sudah bisa mengira bahwa Bu Indira akan menyampaikan hal yang kurang bagus.

"Alsha... Saya rasa kamu sendiri pasti tahu dan sadar kan kalau nilai kamu di semester ini agak menurun. Bahkan di beberapa mata kuliah, ada pula nilai kamu yang hampir mendekati C, dan tentunya hal itu bisa berdampak buruk untuk kelanjutan beasiswa kamu kedepannya."

Alsha tertegun, apa yang sudah ia kira beberapa saat yang lalu kini benar-benar terjadi. Apa yang disampaikan Bu Indira tentu saja membuatnya merasa begitu gusar dan khawatir. Alsha memang menyadari bahwa nilai-nilainya di semester ini agak menurun. Mungkin karena ia terlalu sibuk dengan kerjaan dan terlampau pusing memikirkan hal-hal buruk yang belakangan ini sering menimpanya. Namun meski begitu, Alsha sepertinya sampai tidak sadar bahwa beasiswanya di kampus adalah pertaruhan hidupnya.

"Saya minta maaf, Bu! Belakangan ini saya lagi banyak masalah. Jadi, saya kurang bisa konsen belajar. Makanya nilai saya gak sebagus biasanya."

Bu Indira mengembuskan napas kasar, sambil menggeleng pelan tatapannya seketika berubah datar. "Alsha... Semua orang di dunia ini punya masalah. Bahkan, semua orang di dunia ini juga punya tanggung jawab yang gak bisa diabaikan begitu aja. Tanggung jawab kamu sebagai mahasiswi di sini adalah belajar. Beasiswa yang diberikan kampus buat kamu itu bukan hasil dari metik daun, Alsha! Pihak kampus menilai bahwa kamu layak mendapatkan itu, maka dari itu kamu harus bisa memenuhi persyaratan yang sudah kamu setujui sejak awal. Di kampus ini yang pintar gak cuma kamu lho, Sha! Bahkan banyak juga dari mereka yang menginginkan beasiswa ini. Tapi bukannya sungguh-sungguh, kamu malah seenaknya kayak gini."

"Saya minta maaf, Bu! Tapi jujur saya gak pernah-..." Alsha hendak mengelak, menarasikan dengan sejujur-jujurnya bahwa ia tidak pernah sama sekali berpikir kalau dirinya menganggap enteng persyaratan beasiswa yang sudah ia setujui. Tapi sepertinya, Bu Indira tidak mau mendengar alasan itu.

"Ini peringatan pertama dan terakhir, ya, Sha! Saya gak mau setelah ini nilai kamu makin menurun. Pokoknya semester selanjutnya nilai kamu harus naik lagi, dan harus tetap stabil sampai semester akhir nanti. Tunjukkin kalau kamu memang masih pantas untuk dapat beasiswa ini! Paham?!"

Alsha mengangguk. Meskipun di situasi seperti ini dirinya merasa kurang begitu yakin, namun ia harus tetap berusaha semaksimal mungkin agar beasiswanya tidak ditarik begitu saja hanya karena kelalaiannya.

"Kalau begitu... saya permisi dulu, ya, Bu! Saya masih ada kelas habis ini."

Setelah mendapatkan anggukkan dari Bu Indira, Alsha pun lantas bergegas pergi meninggalkan ruangan dekan dan mengayunkan langkah menelusuri koridor kampus dengan perasaan tak karuan. Gelisah, takut, dan cemas. Sekaligus khawatir kebutuhan hidupnya tak akan tercukupi jika ia terlalu fokus mengurus pendidikannya demi mendapatkan prestasi terbaik di kampus. Kedengarannya egois, tapi kenyataannya situasi ini memang jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status