Share

03 - Teman Pertama

Setelah bergegas mendekati Eko yang sudah berkacak pinggang melihat Ghandara si bucin ini baru datang setelah ia selesai melakukan tugas yang seharusnya dilakukan berdua, Ghandara menaikkan alisnya dengan genit dan tak lupa mengangkat dua jari di samping kepala. Eko hanya bisa menghembus nafas kasar saja dengan kerjaan Ghandara. Memang tidak membantu sama sekali dan kenapa selalu dia yang dijadikan satu tim dengan Ghandara yang pada akhirnya ia selalu bekerja sendiri.

“Ghan, bisa gak sih kalo dikasih tanggung jawab itu kamu tanggung jawab dikit?”

“Ko, bukan gitu masalahnya aku—yaudah aku traktir makan siang ntar,” ucap Ghandara menyerah karena Eko masih merajuk. “Aku ajak Siska juga, gimana?” rayunya.

Wajah Eko langsung tertarik. Matanya berbinar menatap Ghandara yang tidak lain tidak bukan adalah lelaki yang disukai oleh Siska. Meski Ghandara sudah memiliki Tasya tak sedikit yang menyatakan bahwa Siska menyukai Ghandara, ya meskipun berakhir dengan kesedihan sebab Ghandara sudah sangat mencintai Tasya.

“Kalo gitu kamu lanjutin aja jagain ini dulu, aku ijin sebentar.” Ghandara kembali berlalu tak mau bekerja sama sekali. Eko ingin menghentikan tapi ia sadar ia bukan Tasya yang bisa mengendalikan lelaki itu, jadi ia hanya menghembus nafas sekali lagi sambil berpikir ia akan makan siang gratis ditambah duduk dengan Siska nanti. Si belahan hatinya.

Sedang Eko bertugas menjaga di belakang panggung, Ghandara berkeliling, matanya menyebar ke seluruh ruangan. Memang dia sama sekali tidak berniat untuk tebar pesona kepada adik-adik kelas siswa baru, tapi mau bagaimana lagi dia terlalu menarik untuk diabaikan. Bukan hanya wajah yang tampan, tapi pakaian yang tidak seperti murid sekolah elite menjadi daya tarik dari dirinya juga rambutnya yang tidak sesuai dengan siswa pada biasanya membuat ia semakin mencolok dimanapun dia berada.

Dan tentu saja Ghandara tidak peduli dengan itu, baginya tidak ada gadis yang cantiknya melebihi Tasya, pacarnya. Meskipun Syifa Hadju yang dijadikan perbandingan ia yakin hatinya akan tetap tertuju pada Tasya.

“Itu Kak Ghandara!”

“Sumpah gak kuat ganteng banget!”

“Keren bangett duuhhh!”

Sambil berjalan dengan keren Ghandara mendengar berbagai pujian untuknya. Pujian yang sudah tak asing di telinganya. Dan seperti biasa ia hanya santai saja, pujian itu tidak akan mampu meluluhkan hatinya yang sudah seutuhnya ia berikan kepada pacarnya.

“Eh Ghan!”

Seseorang menepuk pundaknya. Ghandara berbalik dengan wajah tak santai sama sekali. Ia mengenal suara ini. Tidak asing sama sekali.

Saat berbalik Ghandara langsung melayangkan tinju ke udara. Lelaki di belakangnya yang tertawa cengengesan itu beruntung bisa mengelak dengan benar.

“Sensi banget sih! Lagi PMS ya kamu?!” ucap Lelaki dengan rambut belah tengah ini dengan santai sambil merangkul Ghandara.

“Ngapain ngadu sama Tasya kalo aku main game sampai subuh? Gila, apa sogokan aku kurang banyak?”

Sejujurnya Riki ini adalah teman sekelas Tasya sejak SMP dulu, meski dia dekat dengan Tasya tapi sama sekali tidak membuat Ghandara cemburu dengan Riki sebab ia tahu mereka berdua hanya teman. Walau dulu pada awalnya ia menekankan bahwa tidak ada hubungan pertemanan antara lelaki dan perempuan tapi Tasya menyuruh Ghandara untuk percaya padanya.

Baiklah, Ghandara cinta Tasya, jadi ia harus percaya. Dan terbukti selama setahun lamanya pacaran mereka berdua tidak pernah bertengkar gara-gara Riki.

“Trus ini kenapa gak nemenin Eko?”

“Lah bukannya kamu juga harus kerja?”

“Aku udah selesain semua tugas. Ehh engga deh, Tasya yang kerjain, haha!”

Kali ini pukulan di puncak kepada Riki tidak meleset dilakukan oleh Ghandara. “Enak banget ya! Bisa-bisanya nyuruh pacar aku ngerjain tugas kamu!”

“Bukan gitu, Kang Bucin. Dia yang nyuruh aku ngawasin kamu soalnya dia tau kamu pasti tebar pesona kayak gini.”

Wajah Ghandara langsung berubah senang saat mendengar penjelasan Riki. Tasya menyuruh Riki mengawasinya agar tidak tebar pesona, itu artinya Tasya juga merasakan cinta yang sama seperti yang ia berikan kepada Tasya selama ini.

“Kalo kamu sampe nyakitin temen aku, tau sendiri,” ancam Riki yang sudah bosan didengar oleh Ghandara.

“Lagian siapa sih yang mau nyakitin dia, kalo aku nyakitin dia mending aku langsung dibunuh aja soalnya kalo aku nyakitin dia berarti aku gila dan harus dimusnahkan.”

Riki hanya tersenyum mesem mendengar kesungguhan yang diucapkan Ghandara. Awalnya Riki sama sekali tak suka jika Tasya berhubungan dengan lelaki macam Ghandara ini, nakal, brutal dan tidak taat aturan. Tapi yang membuat perlahan Riki menerima Ghandara adalah Ghandara tau betul cara menghormati dan menjaga wanita yang ia sayang. Setidaknya itu membuat Riki yakin bahwa Tasya tak akan tersakiti oleh Ghandara.

“Kamu tau sendiri cinta aku ke Tasya itu gak main-main.” Ghandara memukul bahu Riki pelan sebelum meninggalkan Riki yang bergeming di tempat.

****

Tidak seperti yang Bulan takuti, ternyata dunia sekolah umum itu tidak semenakutkan yang ada di pikirannya. Meskipun ini adalah sekolah elite dan rata-rata yang berada di sini hanya orang-orang kalangan atas, tapi mereka sangat baik. Terbukti saat gadis berambut sebahu itu menyapa Bulan yang kebingungan. Dia menarik tangan Bulan dengan lembut dan menyuruh Bulan duduk di sebelahnya.

Mungkin mereka sudah bisa dikatakan sebagai teman.

“Oh jadi kamu dulunya sekolah nonformal di yayasan ya?”

Bulan mengangguk ramah kepada gadis yang mengenalkan diri sebagai Rara. Gadis ramah dengan mata sayu dan sendu namun menarik.

“Kalau begitu bisa dibilang aku teman pertama kamu, ya?”

Bulan sangat bahagia saat mendengar perkataan Rara barusan. Teman? Bulan bahkan tidak berharap bisa mendapat teman di hari pertama sekolah. Tapi ia sangat bersyukur atas ini.

Bulan takut, jika nanti Rara tahu bahwa ia bukan orang kaya seperti yang lainnya, apa Rara akan meninggalkan Bulan? Hal itu menjadi alasan untuk Bulan tidak mengungkapkan latar belakangnya.

Tapi saat itu suara Awan terngiang kembali di telinganya. Lebih baik dijauhi sama orang lain tapi jadi diri sendiri, daripada berbohong untuk dicintai. Jika Awan berbohong tentang keluarga Awan itu artinya Awan gak sayang keluarga Awan.

Benar kata Awan. Bulan sangat menyayangi keluarganya, jadi ia harus bangga dan memberitahukan kepada Rara bahwa dirinya adalah tulang punggung keluarga.

“Ehh … Rara, aku mau bilang sama kamu kalo—“

Belum habis kalimat Bulan, suara bel bergema di seluruh sekolah membuat mereka mau tidak mau harus bergegas untuk segera kembali ke aula dan melanjutkan kegiatan MOS di sekolah baru mereka.

“Kamu tadi mau  bilang apa?” tanya Rara disela-sela kegiatan unjuk bakat yang dilakukan oleh murid baru yang sudah mendaftarkan diri.

“Ya?” ucap Bulan kebingungan. Tiba-tiba ia kehilangan kepercayaan dirinya saat melihat tatapan Rara yang sendu. “Emm, nanti saja deh,” ucapnya ditutup dengan senyum lembut.

Saat Rara hendak kembali mengatakan sesuatu, entah beruntung atau tidak, tangan Bulan ditarik oleh seseorang yang turun dari atas panggung dengan masih membawa gitar, Bulan kebingungan dengan apa yang terjadi. Pikirannya masih belum bisa bekerja, ia menatap semua mata yang menatap kepadanya.

“Bu .. Lan? Nama kamu indah sekali, Bulan, menerangi malamku yang sepi,” ucap seseorang yang menarik Bulan tadi dengan mikropon yang ada di sana secara terpatah-patah membaca nametag Bulan. 

Gemuruh suara mencie-ciekan mereka bermunculan membuat Bulan hanya bisa tersenyum canggung dengan bibir mungilnya.

“Kamu pasti bisa nyanyi, kan? Mau duet dengan aku, gadis cantik?” tawar lelaki yang sama sekali Bulan tak kenal awalnya tapi setelah ia ditarik ke atas ia jadi mengenal lelaki dengan nametag Aldo ini.

“Gak bisa nyanyi, Kak, maaf,” ucap Bulan dengan senyum menolak permintaan tak masuk akal dari orang ini. Bulan tau dia adalah anggota OSIS, jika dia murid baru maka tidak mungkin ia seberani ini melakukan sesuatu yang tidak terduga kepada murid baru. Jadi Bulan memanggilnya dengan embel-embel “kak”

“Heii ayolah, kamu pasti bohong, dari wajah cantikmu saja sudah terlihat suara kamu bagus, ya gak?” Lelaki bernama Aldo ini meminta persetujuan dari para murid baru yang bahkan tidak tahu betapa takutnya Bulan saat ini. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini.

“Ehh anu, Kak—Saya gak bisa nyanyi,” ucap Bulan sekali lagi. Tapi ucapannya tidak di dengar, dia dicekoki mikropon dengan paksa membuat matanya membulat saat musik tiba-tiba berbunyi dan itu mengharuskan ia mau tidak mau mebuka suara, melihat mata-mata di bawah sana sangat menantikan dirinya mengeluarkan suara.

Intro sudah dimainkan, sebentar lagi ia harus mengeluarkan suara meski terpaksa, selagi dia bisa mengeluarkan suara semua akan baik-baik saja. Ayolah! Pintanya pada dirinya sendiri jauh memohon di dalam hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status