Happy Reading*****"Tan, bagaimana?" tanya Fardan sambil menggoyangkan tangannya di depan wajah Mutia. Perempuan beralis tebal dengan kulit kuning langsat itu kembali pada kesadarannya. Menarik garis bibirnya saat menatap si kecil. "Bukannya nggak boleh manggil Tante, Mama. Cuma, bagaimana jika nanti mama kandungmu kembali ke rumah?"Hening sejenak bahkan si sopir sampai menoleh ke belakang, memastikan bahwa tuan mudanya saat ini sedang baik-baik saja. Namun, setelah mendengar suara Fardan, si sopir kembali fokus dengan kemudi."Dia nggak akan pernah datang, Tan. Kata Eyang, sejak aku bayi Mama nggak pernah nyariin aku. Papa saja sampai lupa wajah Mama.""Heh, kok, bisa papamu lupa?"Si kecil menggerakkan kedua bahunya ke atas. "Mungkin, Mama lupa jika punya anak. Dia terlalu asyik mengejar masa depannya sendiri. Dulu, setelah Mama melahirkan aku, dia langsung menghilang. Sampai saat ini, Papa masih terus mencari keberadaan Mama."Mutia kembali terdiam, teringat kejadian semalam k
Happy Reading*****Mutia mendorong tubuh Bagas dengan keras supaya cepat berangkat ke kantor. "Katanya ada meeting penting. Sana berangkat. Nggak perlu berdebat lagi sama si kecil." Satu ciuman mendarat di pipi lelaki itu. Bagas tersenyum puas walau Mutia cuma mencium pipinya. Semua itu karena dilakukan oleh si perempuan tanpa rasa canggung dan malu di hadapan anaknya. Melangkah ke arah mobil dengan perasaan bahagia, selaki lagi lelaki itu dibuat tertegun dengan kelakuan putranya. Fardan dengan sengaja menghentikan tangan Bagas yang akan membuka pintu. Lalu, tanpa berkata apa pun si kecil mencium tangannya. Hal yang sama sekali belum pernah dilakukan Fardan sejak dulu."Hati-hati, ya, Pak," kata Mutia karena Bagas terlihat melamun setelah putranya menyalaminya."Semangat kerjanya, ya, Pa. Aku nggak bakalan nyusahin dan membuat ulah lagi," kata Fardan sebelum Bagas masuk mobil."Hmm." Cuma gumaman yang dikeluarkan lelaki itu. Entah mengapa, rasa canggung masih meliputi hati Bagas se
Happy Reading*****"Apa?" sahut Fardan dan Bagas bersamaan. Keduanya menghentikan langkah dan menoleh pada perempuan itu.Keduanya saling menatap. Mutia berinisiatif mendekati Bagas terlebih dahulu. "Pak, ijinkan saja. Sesekali Fardan butuh refreshing. Lagian, kan sekolahnya libur mulai sejak minggu lalu. Jika dia terus dikekang, takutnya malah memberontak.""Tia, dia itu anak yang merepotkan. Kamu tidak akan sanggup menjaganya barang sehari saja," jawab Bagas mengemukakan alasan penolakan putranya ikut Mutia pulang kampung. "Aku tidak menjamin dia bisa diam dan tidak berulah.""Aku nggak bakal merepotkan asal diberi kepercayaan," sahut Fardan sedikit emosi ketika Bagas meremehkannya. Rupanya, si kecil mendengar perkataan Bagas dan Mutia walau jarak mereka lumayan jauh."Kepercayaan seperti apa lagi yang harus Papa berikan? Terlalu sering kamu menyalahgunakannya," bentak Bagas. Suaranya meninggi karena sikap Fardan masih tidak berubah. Tetap ada jiwa pemberontak jika keinginannya tid
Happy Reading*****Pagi yang cerah di rumah Bagas. Ketika dia turun dan menuju meja makan untuk sarapan, pemandangan yang menyejukkan mata terlihat. Suara tawa Fardan dan Mutia menggema di seluruh ruangan tersebut. "Tan, lihat ini," pinta Fardan. Menunjukkan ponselnya pada Mutia, entah apa yang mereka bicarakan tidak begitu jelas terdengar oleh Bagas, tetapi tawa keduanya seketika menggema.Belum pernah Bagas melihat dan mendengar tawa Fardan sebahagia hari ini. Sejak Fardan berumur lima tahun, Bagas lebih sering melihat wajah arogan dan pembangkang pada anak itu. Namun, sekarang wajah itu berganti dengan senyum bahagia. Sifat kekanakannya juga muncul. "Ehem," ucap Bagas. Sengaja berdeham supaya keduanya menyadari keberadaannya di meja makan tersebut. "Eh, Bapak," sapa Mutia. Melirik Fardan dengan kode tertentu. "Mau sarapan apa?" tawarnya. Tadi, Mutia sudah memasak sesuai keinginan Fardan. Sayur bayam dengan ayam goreng tepung dan sambal matah. Katanya, sudah sangat lama si keci
Happy Reading*****Bagas menatap wajah Mutia yang terlelap setelah pertarungan panas mereka. Masih terngiang kalimat yang dilontarkan perempuan itu ketika mereka sedang memadu kasih. "Pak, apakah bagaimana hubungan kita jika ibunya Fardan muncul?""Apakah Anda begitu mencintai perempuan yang telah melahirkan Fardan? Di mana perempuan itu sekarang?" tanya Mutia di saat puncak pendakian penyatuan mereka hampir mencapai puncaknya.Kalimat itu terus saja terngiang di telinga Bagas. Entah mengapa, dia belum bisa mengenyahkan sepenuhnya perempuan tersebut padahal jelas-jelas mereka tidak pernah bertemu lagi setelah kejadian panas malam itu. Bagas mungkin tidak pernah benar-benar mencintai seseorang, tetapi kehadiran perempuan yang melahirkan Fardan itu sangat membekas bahkan mungkin dialah satu-satunya perempuan yang selalu diingat Bagasa selama sepuluh tahun ini. Parahnya, saat lelaki itu sedang bercinta dengan Mutia tadi, tiba-tiba ingatannya tentang perempuan tersebut muncul. Bagas me
Happy Reading*****Mutia mengusap lembut puncak kepala si kecil. Cerita Fardan seperti yang pernah dia alami ketika masih bersekolah dulu. Selalu di hina miskin dan yatim piatu karena tidak memiliki orang tua. Bukannya Mutia tidak memiliki orang tua, tetapi takdir kematian telah memisahkan dia dengan kedua orang tuanya."Pembelaanmu nggak salah, tapi tindakanmu itu melanggar hukum. Wajar jika papamu kemudian marah dan nggak mau membukakan pintu rumah," kata Mutia menjawab pertanyaan si kecil sebelumnya."Jadi, menurut Tante tindakanku memang salah?" tanya Fardan disertai isakan, Biasanya, dia tidak pernah menangis di depan orang lain. Fardan kecil selalu berusaha kuat dan tegar, tetapi di hadapan Mutia entah mengapa sikap kuat itu menguap entah kemana.Anak itu seperti menemukan sosok ibu dalam diri Mutia sejak percakapan mereka beberapa hari lalu."Salah, Nak. Kamu nggak seharusnya memukul dia karena membalas perkataan jahatnya nggak harus menggunakan otot.""Jadi, apa yang seharusn