Share

Bab 2

Author: Nay Azzikra
last update Last Updated: 2024-03-15 11:12:16

Part 2

“Mbak, mulai nanti setelah sekolah, Mbak jaga Hasbi ya! Ibu mau bekerja ikut Juragan Ratno metik cengkeh. Nanti kalau sudah  dapat uang, langsung buat beli mukena,” kata Ibu saat kami sedang sarapan bersama.

“Ibu ....” Aku menatap ibu dengan perasaan sedih. “Ibu tahu ‘kan, aku tidak pernah meminta apapun? Aku tidak pernah mengeluh meskipun makan hanya sama daun singkong saja, aku tidak pernah mengeluh meski tidak pernah diberi uang saku saat sekolah, aku juga tidak pernah marah sama ibu, meski sering disuruh ibu jagain Hasbi kalau ibu ke sawah. Tapi soal mukena, aku benar-benar ingin punya mukena baru ....”

“Iya, makanya, jagain Hasbi, ya! Kalau dapat bayaran, langsung ibu belikan, nitip sama pedagang yang ke pasar, supaya tidak keluar ongkos. Kamu mau warna apa?” tanya ibu dengan suara yang lembut.

“Warna apa saja aku mau, ibu. Aku tidak perlu yang mahal. Yang penting mukena baru.”

***

“Uang kita sudah cukup buat beli dua mukena,” kata ibu sebelum kami tidur.

Aku yang sudah beberapa hari memilih tidak mengaji, tentu saja langsung tersenyum senang. “Benarkah, Bu?” tanyaku girang.

“Iya, benar! Nanti kamu ibu belikan yang agak bagus ya, Nis? Ibu beli yang murahan gak papa. Yang penting kamu bisa mengaji. Setelah ini, kamu jangan bolos sekolah dan ngaji ya!”

“Tentu saja, ibu! Aku tidak akan menyia-nyiakan barang yang ibu berikan untukku. Nanti aku akan menjaga mukenaku dengan baik supaya tidak cepat kotor. Ibu, jangan belikan yang warna putih ya! Biar kalau kena noda tidak kelihatan,” celotehku senang.

 “Iya. Dinis, ngaji sama sekolah yang benar, ya! Biar kelak kalau sudah besar, Dinis jadi orang sukses. Dapat suami yang sayang sama Dinis. Dan hidup Dinis tidak menderita seperti ibu,” kata ibu sambil mengulurkan tangan mengelus pucuk kepala.

Entah kenapa mendengar ibu berkata demikian, aku ingat bapak. “Bapak kenapa sudah berbulan-bulan tidak pulang, Bu? Teman-teman yang bapaknya ke Jakarta cerita, mereka dikirimi surat sama baju. Kok bapak tidak pernah seperti itu ya?” Terlontar sebuah pertanyaan polos.

Ibu terisak, tetapi cepat menghapus air matanya. Selalu seperti itu, ibu berusaha menyembunyikan kesedihan di hadapanku.

“Ibu, kalau bapak tidak pulang, apa aku dan Hasbi akan menjadi anak yatim?”

“Tidurlah, sudah malam! Besok habis subuh, ibu akan langsung ke rumah Bude Darmi buat nitip mukena. Soalnya bude berangkatnya pagi sekali.” Entah karena alasan apa, ibu selalu seperti itu, memutus pembicaraan jika aku membahas tentang bapak.

Malam itu, aku benar-benar tidak tidur. Kesedihan karena membahas bapak sirna sudah tatkala mengingat akan dibelikan mukena baru. Tiga hari bekerja menjadi pemetik cengkeh, ibu sudah dapat uang untuk beli mukena kami berdua. Tentu saja yang harganya murah. Akan tetapi, itu tidak masalah. Yang penting aku bisa memakai mukena sendiri tanpa harus menunggu bergantian sama ibu.

***

Lepas dzuhur, Bude Darmi datang ke rumah membawakan barang titipan ibu.

“Ini, Resmi, mukenanya sudah dibeli. Ini yang buat Dinis warnanya biru, katanya gak mau warna putih. Ini yang buat kamu warna putih. Ini aku ambil ongkos buat ganti uang bensin lima ribu.” Bude Darmi, kakak tertua ibu memberikan plastik hitam. “Kamu sih, tidak mau bekerja ke Jakarta. Jadi anakmu harus kasihan tidak bisa dibelikan barang-barang seperti anak lain. Kan sudah aku bilang, pergilah ke Jakarta. Hasbi sama Dinis biar sama aku di rumah. Kamu cukup kasih uang bulanan sama aku,” lanjut Bude Darmi.

Ibu hanya diam tidak menanggapi. Bude Darmi, meski kakak kandung ibu, selalu mengucapkan kata-kata yang sering membuat ibu sedih.

“Dulu kamu mau dimadu sama pegawai KUA, tidak mau. Coba kalau mau, istri pertamanya akan kalah dan kamu yang menang. Kamu memilih nikah sama Harno karena tampan. Buktinya apa? Kamu hanya makan hati,” kata Bude Darmi lagi.

“Mbak, terima kasih ya, sudah mau dititipin mukena. Aku harus masak. Dinis belum makan,” kata ibu sambil berlalu ke dalam.

“Kamu kalau sudah besar diatur orang tua mau ya, Dinis! Itu lihat ibu kamu! Nasibnya terlunta-lunta. Kamu ikut dibawa sengsara. Kalau dapat pegawai negeri seperti aku, kamu akan bahagia. Lihat itu Mbak Fariha, senang ‘kan hidupnya?” Bude darmi memang selalu membanggakan kemewahan Mbak Fariha, anak perempuan semata wayangnya yang sekarang duduk di bangku SMP.

Meski kami sepupu, Mbak Fariha tidak mau bila bermain denganku. Dia selalu membenciku dengan alasan yang aku tidak tahu. Jika dia punya barang bagus yang kekecilan, bukannya diberikan sama aku yang masih saudara, tetapi memilih temanku yang lain yang diberi.

Aku sudah terbiasa diperlakukan berbeda oleh orang sekitar. Aku sudah kebal. Yang penting sekarang, aku punya mukena baru.

Malam itu aku berangkat ke masjid paling awal. Teman-teman melihatku memakai mukena baru. Ada yang memuji, ada juga yang sinis. Sudah biasa terjadi di kalangan kami, akan ada semacam geng dan yang terlindas tentu saja anak orang yang tidak mampu.

Kegiatan mengaji berjalan lancar. Tidak ada huru hara. Mungkin akulah penyebab semua kegaduhan. Buktinya, malam ini berangkat awal, tidak ada pembahasan apapun.

Di sela-sela kami mengaji, terdengar suara gaduh dari warga sekitar. Kami hendak bangkit, tetapi dibentak ustadz disuruh melanjutkan.

Entah kenapa perasaanku tidak enak. Ingin rasanya cepat pulang ke rumah. Suara gaduh dan teriakan warga perlahan menjauh. Hatiku terasa cemas sekali.

“Dinis, ibu kamu diseret orang suruhan Juragan Ratno. Ayo kita menyusul.” Sambil terengah, bude Darmi datang menarik tanganku. Semua mata tertuju padaku termasuk Pak ustadz.

“Dinis masih mengaji,” cegah Pak Ustadz.

“Ini urusannya gawat, Pak Ustadz. Aku harus membawa Dinis,” kata Bude Darmi.

“Emangnya ada apa?” tanya Pak Ustadz.

“Resmi katanya mencuri uang.”

Lemas terasa seluruh persendian. Ibu mencuri? Ibu mencuri uang untuk apa? Apa untuk membeli mukena ini? Kalau ibu diseret, Hasbi bagaimana? Kalau ibu mencuri, apa ibu akan dibawa ke kantor polisi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
BambangSidik
Mantap dilanjut...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • HADIAH MUKENA DARI IBU   Part 49 (TAMAT)

    Part 49Suasana kota Surabaya sangat ramai malam hari. Harun sudah berganti kostum memakai celana dan kaos yang berbeda, tetapi tetap terlihat menawan di mata Resmi.“Besok kamu pagi-pagi aku antar ke salon, ya? Aku akan mengajak kamu ke undangan pernikahan anak temanku. Kamu jangan kaget, karena tamu yang hadir memang dari kalangan atas.”“Memangnya teman Pak Harun yang punya hajat, bekerja sebagai apa?”“Dia kapolresta. Istrinya seorang dokter.”Resmi menunduk dan memainkan jari-jarinya. Merasa sangat rendah dan semakin penasaran dengan sosok Harun sebenarnya.“Dulu aku punya bisnis di bidang properti. Aku dan temanku membangun bisnis bersama. Usaha yang kami kelola di bidang pembangunan perumahan. Aku dan temanku membeli lahan milik warga yang tidak produktif, lalu kami memasarkannya. Jika ada yang berminat, baru kami membangun rumah sesuai model yang diinginkan orang itu. Sebelum ini, aku sudah sampai di Surabaya juga. Kalau di Surabaya, yang kami bangun rumah kontrakan, lalu menye

  • HADIAH MUKENA DARI IBU   Part 48

    Part 48Resmi telah kembali pada rutinitas sebelumnya. Namun, ada yang berbeda, karena ia akan menjadi nyonya di rumah itu, maka sekarang urusan rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Seperti menyediakan bahan makanan, membayar pembantu, listrik dan lain-lain. Di awal kepergian saja, Harun langsung memberikan uang nafkah padanya. Benar-benar Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella.Dua minggu setelah kepergian Harun, Resmi akhirnya mendapatkan akta cerai yang dikirim melalui pos. Hatinya sangat lega dan bahagia. Ia pun langsung memberitahukan hal ini pada Normi.“Ya sudah, berarti sembilan puluh hari dari hari ini, kamu akan menikah dengan Harun. Tidak usah menghitung bulan dan hari baik. Karena semua hari itu baik untuk menikah. Nanti Ibu yang akan memberitahu Harun.” Normi sangat bahagia mendengar kabar ini. “Ah, lihat akta cerai kamu dulu. Kapan itu tanggalnya? Maksudnya tanggal kamu benar-benar sudah bercerai dari lelaki itu.”“Ini keluarnya sepuluh hari yang lalu, Bu,”“Berarti k

  • HADIAH MUKENA DARI IBU   Part 47

    Part 47“Aku sudah merindukan kamarku,” kata Dinis sambil meregangkan kedua tangan di depan rumah.Resmi tersenyum melihat tingkah anaknya yang menganggap rumah majikannya sebagai rumah sendiri. Meskipun sudah ada kesepakatan hubungan dengan Harun, tak lantas membuat wanita itu percaya diri.“Bapak punya sesuatu yang spesial untuk kalian,” kata Harun membuat langkah Dinis berhenti.Gadis kecil itu berbalik dan menatap pria yang berdiri di samping pintu mobil. “Apa?” tanyanya.“Berhenti dulu,” kata Harun. “Tutup mata kamu, sini Bapak bantu,” lanjutnya.Satu telapak tangan saja sudah bisa menutup wajah mungil Dinis. Hasbi yang tertidur lelap diangkat oleh sang ibu.“Apa sih, aku penasaran,” seru Dinis.Resmi yang tidak tahu apa-apa memilih diam dan mengikuti keduanya dari belakang. Ia kaget saat Harun membawa anak sulungnya menuju kamar utama di rumah itu. ruangan pribadi yang ia pikir itu dipersiapkan untuk anak Harun yang sudah lama meninggalkan rumah. Sesekali ia masuk hanya untuk me

  • HADIAH MUKENA DARI IBU   Part 46

    Part 46Harun seakan memiliki semangat yang seribu kali lipat untuk melanjutkan hidup. Setelah kepulangan Normi dengan membawa kabar buruk, lelaki itu mulai pergi menemui kolega yang telah lama tidak dijumpainya. Ia mencari peluang bisnis baru yang sedang ramai saat ini.Lelaki itu juga mulai menata rumah. Dua kamar yang kosong dicat kembali serta dibelikan kasur dan lemari yang baru. Warna pink dipilihnya untuk satu kamar yang paling besar ukurannya dibandingkan kamar lain.“Gordennya juga harus warna pink, Harun, Itu pantas untuk kamar cewek,” sahut Normi saat melihat dalam kamar. “Kalau kamar Hasbi, harus warna biru, yang teduh.“Ah, iya, Bu. Kamar ini juga harus ada AC, biar Dinis nyaman saat tidur,” sambung Harun.“Tapi sepertinya mereka akan lama di desa,” ucap Normi.“Yang penting mereka kembali ke rumah ini, Bu. Ah iya, Bu, aku besok mau pergi ke Surabaya. Mau menemui teman. Rencananya aku akan membuka dealer motor bekas untuk sementara ini. Sambil melihat peluang bisnis yang

  • HADIAH MUKENA DARI IBU   Part 45

    Part 45“Siapa yang datang, Resmi?” Normi bertanya sambil mengusap mata, pandangannya sering mengabur jika malam hari.“Aku suaminya Resmi. Anda siapa di rumahku?” Harno balik bertanya.“Apa kamu bilang? Ini rumahmu? Ini rumahku,” bentak Resmi.“Oh, jadi kamu suami tidak bertanggung jawab yang membelikan mukena anak saja tidak bisa? Sampai istri harus masuk penjara, memangnya kamu kemana? Kenapa sekarang pulang?” Normi yang geram langsung memberondong Harno dengan pertanyaan menyudutkan.“Jaga ucapan, Anda! Jangan macam-macam di rumah orang. Resmi, siapa wanita tua ini?”“Harno, ayo ikut aku,” ajak Resmi sambil menarik lengan pria yang masih menjadi suaminya sebelum terjadi perdebatan panjang. “Bu, jaga anak-anak di dalam!”“Bu? Berlagak sekali kamu, resmi panggil orang ini Bu?”“Ikuti aku, atau kami akan ramai-ramai memukul kamu, Harno?” ancam Resmi.Harno mengekor, mengikuti langkah Resmi menuju samping rumah.“Mau apa kamu kesini?” tanya Resmi lagi.“Jelas mau pulang lah, aku kange

  • HADIAH MUKENA DARI IBU   Part 44 B

    bu dan anak itu pulang dengan perasaan yang kecewa.“Uang bapakmu sudah habis untuk pesta pernikahan Imah, Harno. Untuk biaya tujuh bulanan dan juga lahiran, kamu coba cari. Belum lagi Siti yang terancam jadi janda. Harno, apa kamu tidak bisa berbuat apapun?”Semakin hari, Harno semakin dibuat tidak nyaman dengan segala permasalahan yang terjadi. Ia memilih pergi beberapa hari, menginap di berbagai rumah orang di kecamatan Resmi. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar jika Resmi sudah mengajukan gugatan cerai.“Jadi dia sudah pulang?” tanya Harno.“Iya, Resmi sudah berubah menjadi cantik sekarang.”Harno langsung berdiri dan meminta salah satu orang yang membawa motor untuk mengantar.“Mau kemana kamu, Harno?”“Pulang ...,” teriaknya dari atas motor yang sudah berjalan.‘Gak bisa, Resmi tidak boleh meminta cerai dari aku disaat keadaanku seperti ini. Murni sudah pergi menjauh dan aku tidak punya uang untuk menemui. Imah sedang hamil dan butuh biaya banyak. Mbak Siti juga terancam jadi j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status