Part 3
“Ibunya Dinis mencuri? Pantas saja Dinis bisa beli mukena baru,” ucap Nazma, temanku yang sangat akrab dengan Mbak Fariha.
Aku segera melipat mukena dan pulang. Pintu rumah terbuka dan tidak ditutup. Segera meletakkan mukena dan menutup pintu dibantu Bude Darmi, lalu berlari menuju rumah Juragan Ratno sambil sesekali menyeka air mata.
“Ibu .... Ibu .... Ibuku tidak mungkin mencuri, Bude. Ibuku bekerja memetik cengkeh.”
“Sudah, jangan menangis! Ayo kita lihat saja.”
Halaman rumah Juragan Ratno sudah dipenuhi banyak orang. Aku mencoba membelah kerumunan. Tubuhku yang kecil sangat mudah melakukan itu.
“Perempuan miskin yang tidak tahu diri! Jual diri saja, lebih terhormat daripada mencuri,” teriak istri Juragan Ratno.
Aku melihat baju ibu sudah robek dan kelihatan baju dalam. Sambil menangis berusaha menutup tubuhnya dengan kain yang digunakan untuk menggendong Hasbi. Hasbi masih ada di gendongan.
“Sisa uangnya tidak ada di ku-tang! Coba saja kita telanjangi bagian bawah, siapa tahu disimpan di sana,” teriak Bu Tinah, istri Juragan Ratno.
“Telanjangi, telanjangi!” Warga ikut berteriak.
Hati ini jangan ditanya sakitnya seperti apa. Wanita luar biasa ku, kini duduk bersimpuh sambil menggendong Hasbi menjadi tersangka pencurian uang.
Bu Tinah siap untuk menarik rok yang dipakai ibu, aku tidak kuat dan berlari. “Jangan telanjangi ibuku, aku mohon ....”
Tangan kecil ini berusaha memeluk ibu.
“Ini anaknya maling, dia kemarin disini juga, jangan-jangan ikut mencuri,” kata Bu Tinah.
“Aku tidak mencuri. Ibuku tidak mencuri.”
Bu Tinah berusaha menyingkirkan tubuhku. Hendak menelanjangi ibu. Warga berteriak riuh. Sementara aku menangis sampai suara habis.
“Berhenti! Jangan main hakim sendiri sebelum mengetahui kebenarannya.” Suara Pak Ustadz yang lantang membuat riuh warga perlahan reda.
Hasbi menangis sambil mencengkram sisa baju ibu yang masih menempel. Aku berusaha mengambil tubuh kecilnya, tetapi tidak bisa. Ibu malah ikut merangkulku ke dalam pelukannya. Kami menangis bersama.
“Seret dia masuk,” perintah Bu Tinah pada anak buahnya.
Ibu, aku sangat sakit hati. Ibu, hatiku begitu tercabik-cabik, melihatmu dibawa masuk oleh mereka dengan masih menggendong Hasbi. Aku tidak tahu, apakah ini benar atau tidak, tetapi ibuku, tetaplah orang yang kusayang.
Tidak ada satupun orang yang membela, termasuk Bude Darmi. Entah kemana perginya tadi. Ia tidak ikut mendampingiku menolong ibu. Saudara-saudara ibu yang lain? Kemana mereka? Kami di sini sendiri.
Bapak, kau ada dimana saat ini? Apa bapak akan menolong ibu jika melihat ini terjadi? Bapak, pulanglah, tolonglah ibu ....
Aku menjerit dalam hati yang percuma saja tidak akan ada yang mendengar. Dengan langkah tertatih sambil mengusap air mata, aku mengikuti tubuh ibu yang sudah dibawa lebih dulu masuk. Ada orang Juragan Ratno yang menghalangi di pintu, sehingga hanya bisa berdiri di luar, menatap wanita yang sangat kucintai dari balik kaca jendela.
Sungguh tidak manusiawi. Ibu duduk di bawah, sedangkan keluarga Juragan Ratno dan Pak Ustadz duduk di kursi. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak paham.
Di dalam sana, anak Juragan Ratno yang satu kelas denganku sesekali mengintip. Entah dunia seperti apa yang akan kuhadapi esok hari. Kabar ini pasti sudah menyebar luas di seluruh penjuru desa. Hati mendadak menyesal dan mengutuk diri karena sudah memaksa ibu membelikan mukena.
Apakah uang yang digunakan untuk membeli mukena itu adalah hasil dari mencuri, Bu? Akan tetapi, bukankah Ibu bekerja juga? Kenapa ini terjadi?
Tubuh kecilku lunglai terduduk di lantai yang dingin sambil memeluk lutut. Entah berapa lama, sampai akhirnya ibu keluar, berdiri di hadapanku dengan memakai kain gendong Hasbi untuk menutupi bagian dada.
“Dinis, bawa adikmu pulang. Jaga dia baik-baik. Masih ada cincin di lemari, kamu titip jual sama Bude Darmi buat biaya hidup ya! Masih ada beras, kamu sudah tahu caranya menanak nasi, ‘kan?” Ibu berkata demikian sambil menangis.
“Ibu mau kemana?” tanyaku tersedu.
“Ibu mau dibawa ke kantor polisi.”
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis.
“Berhentilah menangis, Dinis! Jadilah kuat agar tidak ada yang bisa menindasmu!” kata ibu sambil menyerahkan Hasbi. “Pulanglah sama warga dan tutup telingamu rapat-rapat! Diamlah di rumah, kamu tidak perlu sekolah sampai masalah ini selesai.”
“Ibu, apa ibu benar-benar mencuri untuk membeli mukenaku?” Penasaran, aku bertanya demikian.
“Sudah, cepat, masuk!” teriak orang Juragan Ratno membentak ibu.
Aku menggendong Hasbi yang umurnya empat tahun. Aku pasti kuat menggendongnya tanpa kain. Aku harus kuat seperti yang ibu bilang.
Ibuku diseret sambil sesekali dicambuk oleh Bu Ratna. Ya Allah, aku sangat sakit.
Warga yang berkerumun pulang setelah ibu dibawa menggunakan mobil Juragan Ratno ke kantor polisi.
Bude Darmi masih berbaik hati menggendong Hasbi, tetapi tentu saja sambil terus memarahiku sepanjang jalan.
“Makanya Dinis, jangan banyak nuntut. Kalau kamu tidak meminta mukena, Resmi tidak akan nekat mencuri.”
“Lhah mau belikan barang buat ibadah anak kok mencuri.”
Bude Darmi berkata yang disahut oleh orang lain. Aku meremas celana yang kupakai sambil mengingat kata-kata terakhir ibu.
Tutup telinga!
Sampai rumah, aku membawa Hasbi masuk. Menolak ajakan Bude Darmi untuk menginap di rumahnya, karena Mbak Fariha akan memperlakukanku dengan tidak baik. Aku harus kuat, akan ku urus Hasbi sendirian.
Memeluk wajah yang kini terlelap sambil mengamati kamar berukuran tiga kali tiga yang belum sempat dicat membuat hati merindukan ibu.
“Ibu, semoga ibu cepat pulang dan berkumpul bersama kami,” lirihku seraya mendekap erat Hasbi.
Part 49Suasana kota Surabaya sangat ramai malam hari. Harun sudah berganti kostum memakai celana dan kaos yang berbeda, tetapi tetap terlihat menawan di mata Resmi.“Besok kamu pagi-pagi aku antar ke salon, ya? Aku akan mengajak kamu ke undangan pernikahan anak temanku. Kamu jangan kaget, karena tamu yang hadir memang dari kalangan atas.”“Memangnya teman Pak Harun yang punya hajat, bekerja sebagai apa?”“Dia kapolresta. Istrinya seorang dokter.”Resmi menunduk dan memainkan jari-jarinya. Merasa sangat rendah dan semakin penasaran dengan sosok Harun sebenarnya.“Dulu aku punya bisnis di bidang properti. Aku dan temanku membangun bisnis bersama. Usaha yang kami kelola di bidang pembangunan perumahan. Aku dan temanku membeli lahan milik warga yang tidak produktif, lalu kami memasarkannya. Jika ada yang berminat, baru kami membangun rumah sesuai model yang diinginkan orang itu. Sebelum ini, aku sudah sampai di Surabaya juga. Kalau di Surabaya, yang kami bangun rumah kontrakan, lalu menye
Part 48Resmi telah kembali pada rutinitas sebelumnya. Namun, ada yang berbeda, karena ia akan menjadi nyonya di rumah itu, maka sekarang urusan rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Seperti menyediakan bahan makanan, membayar pembantu, listrik dan lain-lain. Di awal kepergian saja, Harun langsung memberikan uang nafkah padanya. Benar-benar Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella.Dua minggu setelah kepergian Harun, Resmi akhirnya mendapatkan akta cerai yang dikirim melalui pos. Hatinya sangat lega dan bahagia. Ia pun langsung memberitahukan hal ini pada Normi.“Ya sudah, berarti sembilan puluh hari dari hari ini, kamu akan menikah dengan Harun. Tidak usah menghitung bulan dan hari baik. Karena semua hari itu baik untuk menikah. Nanti Ibu yang akan memberitahu Harun.” Normi sangat bahagia mendengar kabar ini. “Ah, lihat akta cerai kamu dulu. Kapan itu tanggalnya? Maksudnya tanggal kamu benar-benar sudah bercerai dari lelaki itu.”“Ini keluarnya sepuluh hari yang lalu, Bu,”“Berarti k
Part 47“Aku sudah merindukan kamarku,” kata Dinis sambil meregangkan kedua tangan di depan rumah.Resmi tersenyum melihat tingkah anaknya yang menganggap rumah majikannya sebagai rumah sendiri. Meskipun sudah ada kesepakatan hubungan dengan Harun, tak lantas membuat wanita itu percaya diri.“Bapak punya sesuatu yang spesial untuk kalian,” kata Harun membuat langkah Dinis berhenti.Gadis kecil itu berbalik dan menatap pria yang berdiri di samping pintu mobil. “Apa?” tanyanya.“Berhenti dulu,” kata Harun. “Tutup mata kamu, sini Bapak bantu,” lanjutnya.Satu telapak tangan saja sudah bisa menutup wajah mungil Dinis. Hasbi yang tertidur lelap diangkat oleh sang ibu.“Apa sih, aku penasaran,” seru Dinis.Resmi yang tidak tahu apa-apa memilih diam dan mengikuti keduanya dari belakang. Ia kaget saat Harun membawa anak sulungnya menuju kamar utama di rumah itu. ruangan pribadi yang ia pikir itu dipersiapkan untuk anak Harun yang sudah lama meninggalkan rumah. Sesekali ia masuk hanya untuk me
Part 46Harun seakan memiliki semangat yang seribu kali lipat untuk melanjutkan hidup. Setelah kepulangan Normi dengan membawa kabar buruk, lelaki itu mulai pergi menemui kolega yang telah lama tidak dijumpainya. Ia mencari peluang bisnis baru yang sedang ramai saat ini.Lelaki itu juga mulai menata rumah. Dua kamar yang kosong dicat kembali serta dibelikan kasur dan lemari yang baru. Warna pink dipilihnya untuk satu kamar yang paling besar ukurannya dibandingkan kamar lain.“Gordennya juga harus warna pink, Harun, Itu pantas untuk kamar cewek,” sahut Normi saat melihat dalam kamar. “Kalau kamar Hasbi, harus warna biru, yang teduh.“Ah, iya, Bu. Kamar ini juga harus ada AC, biar Dinis nyaman saat tidur,” sambung Harun.“Tapi sepertinya mereka akan lama di desa,” ucap Normi.“Yang penting mereka kembali ke rumah ini, Bu. Ah iya, Bu, aku besok mau pergi ke Surabaya. Mau menemui teman. Rencananya aku akan membuka dealer motor bekas untuk sementara ini. Sambil melihat peluang bisnis yang
Part 45“Siapa yang datang, Resmi?” Normi bertanya sambil mengusap mata, pandangannya sering mengabur jika malam hari.“Aku suaminya Resmi. Anda siapa di rumahku?” Harno balik bertanya.“Apa kamu bilang? Ini rumahmu? Ini rumahku,” bentak Resmi.“Oh, jadi kamu suami tidak bertanggung jawab yang membelikan mukena anak saja tidak bisa? Sampai istri harus masuk penjara, memangnya kamu kemana? Kenapa sekarang pulang?” Normi yang geram langsung memberondong Harno dengan pertanyaan menyudutkan.“Jaga ucapan, Anda! Jangan macam-macam di rumah orang. Resmi, siapa wanita tua ini?”“Harno, ayo ikut aku,” ajak Resmi sambil menarik lengan pria yang masih menjadi suaminya sebelum terjadi perdebatan panjang. “Bu, jaga anak-anak di dalam!”“Bu? Berlagak sekali kamu, resmi panggil orang ini Bu?”“Ikuti aku, atau kami akan ramai-ramai memukul kamu, Harno?” ancam Resmi.Harno mengekor, mengikuti langkah Resmi menuju samping rumah.“Mau apa kamu kesini?” tanya Resmi lagi.“Jelas mau pulang lah, aku kange
bu dan anak itu pulang dengan perasaan yang kecewa.“Uang bapakmu sudah habis untuk pesta pernikahan Imah, Harno. Untuk biaya tujuh bulanan dan juga lahiran, kamu coba cari. Belum lagi Siti yang terancam jadi janda. Harno, apa kamu tidak bisa berbuat apapun?”Semakin hari, Harno semakin dibuat tidak nyaman dengan segala permasalahan yang terjadi. Ia memilih pergi beberapa hari, menginap di berbagai rumah orang di kecamatan Resmi. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar jika Resmi sudah mengajukan gugatan cerai.“Jadi dia sudah pulang?” tanya Harno.“Iya, Resmi sudah berubah menjadi cantik sekarang.”Harno langsung berdiri dan meminta salah satu orang yang membawa motor untuk mengantar.“Mau kemana kamu, Harno?”“Pulang ...,” teriaknya dari atas motor yang sudah berjalan.‘Gak bisa, Resmi tidak boleh meminta cerai dari aku disaat keadaanku seperti ini. Murni sudah pergi menjauh dan aku tidak punya uang untuk menemui. Imah sedang hamil dan butuh biaya banyak. Mbak Siti juga terancam jadi j
Part 44“Resmi ....” Normi kembali memanggil sosok yang diam di hadapannya.“Bu, saya belum pernah merasakan kasih sayang sosok seorang ibu. Kenal dengan Bu Normi, saya memang sedikit merasakan bagaimana memiliki tempat untuk bersandar, sekalipun Bu Normi statusnya adalah majikan dan saya hanya seorang pembantu. Saya sebenarnya takut suatu ketika akan dicampakkan lagi jika memutuskan untuk menikah kembali. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya sudah bisa merasakan bahwa kalian tulus menyayangi dan menampung kami. Saya tidak tahu bila harus berpisah dengan kalian. Permintaan Bu Normi membuat saya sangat terharu. Tetapi kenapa Bu Normi yang meminta ini padaku? Bukan Pak Harun langsung?” Dengan suara lirih, Resmi menjawab.“Harun yang memintaku untuk mengatakan ini. Harun tidak berani karena kondisinya dia bukan pria yang sempurna,” sahut Normi dengan binar bahagia karena merasa lamarannya disambut oleh Resmi. “Jadi, Resmi, kamu ‘kan intinya? Menerima permintaanku untuk menjadi menantu
Dimana ada gula, maka disanalah semut akan berkerumun. Perumpamaan seperti itu pantas bagi kondisi Dinis saat ini. Ia yang sudah menjelma bak seorang putri di kalangan anak kampungnya, mendadak jadi idola. Idola anak seusianya.Satu per satu teman datang untuk mengajaknya bermain. Mengaku sebagai teman, mengingatkan pada kenangan-kenangan yang telah dilalui bersama, tetapi mereka lupa pernah memperlakukan Dinis dengan tidak baik.“Kamu dulu ingat gak, suka ambil mangga yang jatuh di pinggir jalan.”“Ramai ya, waktu itu? Seru. Kamu mau ambil mangga kesana lagi gak? Sekarang lagi musim mau matang lho ....”“Iya, Dinis, kita kesana lagi yuk ....”Dinis sampai bingung harus mendengarkan siapa, karena semua seakan berebut untuk berbicara.“Mau Dinis?”Dinis menggeleng. “Aku sudah bosan makan mangga. Eyang sering membelikan,” jawabnya.“Terus kamu pengen main apa?”“Main bola kasti?”Dinis menggeleng.“Main masak-masakan?”Dinis menggeleng lagi.“Kamu pengen main apa, Dinis? Bilang saja. Na
Part 43Resmi kembali menjadi buah bibir, tetapi kali ini bukan karena keburukannya. Melainkan nasib baik yang menghampiri.Dinis yang kebetulan keluar rumah, langsung diwawancarai oleh ibu-ibu komplek dengan beragam pertanyaan. Kebetulan ada Darmi di sana.“Jadi kamu tidak dijual Dinis?” Mulut-mulut kotor masih saja bertanya demikian.“Tidak. Aku di sana sama Ibu di rumah Eyang Nyonya.”“Eyang Nyonya itu wanita tua tadi ya? Siapa sih dia?”“Eyang Nyonya itu majikan kami. Ibu dulu jadi pembantu, tapi sekarang sudah tidak. Karena Ibu pintar, sekarang Ibu jadi, jadi apa ya? Jadi pengurus tokonya Eyang. Terus, Eyang cari pembantu lagi buat bersih-bersih rumah. Ibu juga gak pernah nyuci baju lagi sekarang. Semuanya dikerjakan Mbok Jum.”“Kamu di sana sekolah tidak, Dinis?” darmi yang sedari tadi diam, kali ini ikut bertanya.“Sekolah. Aku malah sekolah di sekolahan yang paling bagus. Kata Eyang karena aku pintar. Kemarin aku dapat piala, juara satu.”“Kamu betah? Gak pengin pindah lagi ke