Deg!
Suara bariton itu membuat Ana terlonjak kaget. Tubuhnya secara reflek mengikuti perintah.
Ana berjalan mendekat dengan tubuh yang gemetar hebat. Berpikir keras bagaimana cara minta maaf agar dirinya tidak dilaporkan ke polisi karna sedikitpun dia tidak ikut menikmati uang korupsi, salahnya hanya tidak melaporkan perbuatan Pak Rudy.
Mengenai apakah dirinya akan disebut kaki tangan, Ana tidak pernah terpikir sama sekali. Pikirannya yang berkecamuk dan penuh itu membuatnya tidak memperhatikan sekeliling.
Tanpa tahu jika laki-laki di depannya sudah melepas satu persatu kancing kemeja yang melekat di tubuhnya.
Ana yang masih setia menunduk. Tidak berani menatap atasan dari atasanya itu. Air mata menjadi saksi bisu betapa takut dirinya saat ini. Buliran itu juga masih mengalir deras dengan sesekali Ana menghapus menggunakan punggung tangan.
Tiba-tiba Ana menjatuhkan diri, berlutut di hadapan Jeffreyan.
"Tuan jangan laporkan saya, sa-saya minta maaf."
Sebelah alis Jeffreyan naik mendengar pengakuan gadis tersebut.
Kesalahan?
"Apa kesalahanmu?"
Ana menghentikan tangis yang kini menyisakan isakan. "Sa-saya tidak melaporkan perbuatan curang atasan saya."
Jeffreyan menatap gadis itu dengan pandangan dingin. "Siapa atasanmu?"
“Pak Rudy, Tuan.” Jawab Ana dengan terbata-bata. "Tolong maafkan saya, Tuan. Jangan laporkan saya ke polisi."
Ana tidak punya pilihan selain mengakui kecurangan Pak Rudy. Dirinya sangat membutuhkan pekerjaan ini demi biaya pengobatan sang ayah.
Sambil merendahkan diri dia mengatupkan tangan di depan dadanya, berlutut di hadapan Jeffreyan. Bagaimanapun Ana tidak boleh dipecat. Ana butuh uang untuk membayar pengobatan ayahnya.
Alih-alih memukul atau memaki Ana, justru Jeffreyan terkekeh pelan.
“Saya tidak akan melakukan itu.” Pria itu berucap kemudian. Wajah pria itu tampak puas, seakan-akan baru saja menemukan undian berhadiah yang sangat menguntungkannya.
“Terima kasih, Pak–”
“Namun, kamu harus bersedia menjadi penghangat ranjang saya malam ini.”
Ana mendongak, sepasang matanya tampak terkejut saat melihat atasannya sudah bertelanjang dada.
“P-Pak?”
“Atau kamu lebih rela menghabiskan waktumu di penjara?”
Ana langsung menggeleng, yang langsung dilihat Jeffreyan bahwa gadis itu memilih opsi memuaskan dirinya.
Belum sempat Ana mengatakan apa pun, tubuh atletis itu sudah mengungkung tubuhnya. Sebelah tangannya menekan tengkuk Ana, memangut bibirnya dengan rakus dan kasar.
"Pak–mmph!"
Ana berontak dengan memalingkan wajahnya namun tekanan pada tengkuknya semakin kuat, pagutan pada bibirnya semakin dalam.
Ia menghirup rakus udara ketika Jeffreyan melepas pagutan mereka. Hanya sebentar karena tidak lama kemudian, Jeffreyan kembali menekan tengkuk dan mempertemukan bibir mereka. Kali ini Jeffrey mencecap dengan lebih rakus bibir mungil Ana.
Ana meringgis ketika bibirnya digigit Jeffreyan. Mulut yang membuka itu seolah memberi akses masuk, kesempatan itu diambil Jeffreyan untuk memperdalam pagutan mereka dan mengeksplore apa saja yang bisa lidahnya jangkau dari mulut wanita sialan itu.
"Rasamu manis." Racau Jeffreyan di sela pagutan nya yang liar. Tidak cukup hanya mulutnya, Jeffreyan pindah ke rahang dan mengecupi seluruh wajah Ana tak luput juga bagian ceruk leher. Disana Jeffreyan tinggalkan jejak-jejak kepemilikan.
Srekk! Suara robekan kemeja terdengar.
Setelah melemparkan bra hitam yang menutupi aset Ana, kini tangan kiri Jeffreyan mulai bermain di atas bongkahan yang ternyata begitu pas dalam genggaman. Tangan lainnya dia gunakan menahan kedua tangan Ana. Bibirnya tidak berhenti, kembali ia meninggalkan banyak tanda di sekitar leher jenjang Ana yang menguar aroma wangi dan membuatnya candu mengendus di sana.
Hanya setelah Jeffreyan mendapatkan pelepasan. Jeffreyan menjatuhkan tubuh disamping tubuh Ana. Matanya perlahan terpejam setelah puas bermain.
Sementara Ana masih terisak, pedih dan perih dibawah sana tidak sebanding dengan sakit dihatinya.
Tidak pernah dia bayangkan bahwa atasan yang selalu dia hormati akan melakukan perbuatan gila pada dirinya.
Saat dirinya ingin menjauh, tangan Jeffreyan justru menariknya mendekat. Lalu melingkar di perutnya, mendekapnya dengan posesif sambil mengecupi bahu telanjangnya.
Entah sampai berapa lama sang atasan melakukannya, Ana tidak tahu karena kesadarannya sudah hilang.
***
"Enghh.." lenguhani kecil itu keluar dari bibir Ana.
Kelopak matanya terasa berat untuk membuka ketika silau cahaya masuk menembus celah tirai yang sedikit terbuka.
Ana meringis menyentuh kepalanya yang pening seolah dihantam baru besar. Belum lagi badannya yang terasa remuk dan sulit untuk dia gerakkan.
Tenggorokannya juga terasa kering. Namun, yang paling mengganggunya adalah sebuah tangan yang melingkar erat di perutnya.
Deg!
Ingatan tentang malam panas semalam kembali menghantam kepalanya, membuat Ana ketakutan dan dengan reflek dia melepaskan diri dari pelukan Jeffreyan. Untung saja, gerakan spontan itu tidak mengganggu tidur lelap Jeffreyan apalagi sampai membuat atasan-nya itu terbangun.
Dengan cepat Ana bergegas bangkit. Dia tidak punya waktu untuk meratapi nasib. Takut Jika Jeffreyan bangun dan kembali mengulang perlakuan menyakitkan semalam.
"Akhh.. " Ana meringis pelan. Ia ggigit bibirnya kuat menahan ringisan itu agar tidak keluar..
Ana memaksa bangun walau bagian intinya sangat perih. Perlahan ia turun dari ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi. Walau di percobaan pertama dia jatuh karena lutut nya lemas dan inti tubuhnya sangat perih.
"Tuhan bantu akuu. Jangan sampai Pak Jeffreyan terbangun. Aku takut." Batinnya. Dan dia berhasil bangkit walau tertatih-tatih.
Pelan-pelan Ana memungut kembali semua pakaian yang berserak dilantai. Kemejanya sudah tidak bisa digunakan. Dengan terpaksa dia ambil kemeja yang tergeletak tak jauh dari sofa lalu memakai kemeja navi milik Jeffreyan yang terlihat kebesaran pada tubuh mungilnya. Ana tidak peduli penampilannya yang acak acakan, yang terpenting adalah pergi jauh dari tempat ini.
Akhirnya, dirinya bisa mengenakan pakainya walaupun tidak lengkap setidaknya blazer bisa menutup tubuh polosnya saat keluar dari sini. Masih dengan langkah tertatih Ana berjalan meninggalkan Jeffreyan yang masih tertidur lelap.
Setelah melewati tatapan aneh beberapa petugas kebersihan yang tidak sengaja berpapasan, Ana berjalan lumayan jauh dari tempat itu. Ana yang sedari tadi memaksa diri untuk melangkah sembari menahan perih di antara pahanya terduduk sambil terisak-isak.
"Anaaaa!"
Teriak seseorang menyadarkan Ana dari tangisnya.
"Ya Tuhan! Ana, dari mana saja? Ayahmu drop lagi. Dari semalam ibumu menghubungiku menanyakan keberadaan mu. Tapi kamu tidak bisa dihubungi. "
Selamat membaca! Pagi ini Ana memutuskan tetap pergi ke kantor seperti biasa. Meski dirinya masih trauma, kebutuhan rumah dari gajinya untuk lain- lainnya tidak bisa menunggu. Hatinya yang rapuh itu harus dipaksa kuat. Dirinya juga tidak mungkin bisa bertemu dengan Jeffreyan, nyaris mustahil. Posisinya dikantor hanya karyawan biasa sedangkan Jeffreyan adalah pimpinan sekaligus pewaris perusahaan raksasa Wicaksana. Toh selama ini mereka bahkan tidak pernah bersinggungan kecuali dengan Pak Tama, sang sekretaris dan itupun sangat jarang terjadi. Semangat Ana! Demi ayah. Lupakan semuanya. Tekadnya sebelum memasuki gedung tinggi 20 lantai kantor utama Wicaksana Group. Bibir bisa berdusta tapi hati tidak. Begitu menginjak lobby perusahaan, tekad Ana mulai goyah. Kakinya mendadak lemas nyaris tidak mampu menopang tubuh jika tidak berpegangan dengan pilar-pilar megah disebelahnya. Jantung Ana seperti diremas kuat-kuat, sakit sekali. Belum lagi tubuhnya yang mendadak gemetar. Didepa
Selamat membaca! "Perempuan murahan! ""Maksud kamu apa, Vita? Aku nggak seperti itu."Suara Ana tercekat. Oh,Tidak! Apa Vita tahu dia tidur dengan atasan mereka, Pak Jeffreyan? Tapi dirinya korban bukan perempuan murahan yang sengaja menjual diri. Dia di perk*sa.Bibir Vita menyunggingkan senyum mengejek, sambil berdecih, "Pikir aja sendiri!"Tatapan meremehkan itu masi bisa ditangkap Ana sebelum Vita meninggalkan nya dengan ribuan kekhawatiran yang melanda.Dirinya korban tapi dirinya yang di cap sebagai perempuan murahan. Padahal tidak. Tapi benarkah Vita tahu sesuatu?Ana berjalan dengan gontai menuju rumah. Peluh yang di kening nya sesekali dia basuh dengan tangan.Kaki nya sakit tapi hatinya puluhan kali lebih sakit. Terhina. Ingin menyerah tapi nasib keluarga masih jadi tanggungan nya.Air mata itu merembes begitu saja. Rasa marah sedih dan takut itu bersatu seolah meremas hatinya. Mengadu pun dirinya belum tentu akan didengar.Apa ada yang percaya bahwa dirinya di pwrkosa ata
Revan meracau frustasi. Juga lega, akhirnya menemukan Ana. Dia terkejut saat mendekat dan melihat penampilan Ana cukup berantakan dengan mata sembab rambut tergerai asal dan ada luka dibibirnya. Namun belum sempat ia bertanya, suara panik Ana sudah memasuki pendengarannya. Memaksanya untuk mengesampingkan segala pertanyaan dikepala."Ayah … ayah? Aku harus kerumah sakit..""Ana? Kamu nggak papa?"Ana tidak lagi mendengar pertanyaan Revan. Kepalanya penuh dengan kekhawatiran akan ayahnya."Revan, bisa antar aku ke rumah sakit?" Pintanya dengan suara memohon.Revan menyentuh pundak Ana, mencoba menenangkan nya. "ayahmu sudah dirumah, semalam dia drop tapi tidak sampai dirawat," Ibu tiri mu bahkan tidak membiarkan ayahmu dirawat, Ana.Revan tidak tega memberi tahu Ana tentang kekejaman itu apalagi penampilan gadis itu terlihat sangat berantakan.Revan mendesah pelan. "Mari aku antar pulang. ayahmu pasti sudah menunggu mu, Ana. "Ana mengganguk pelan.Saat berniat naik ke boncengan, Ana m
Deg!Suara bariton itu membuat Ana terlonjak kaget. Tubuhnya secara reflek mengikuti perintah.Ana berjalan mendekat dengan tubuh yang gemetar hebat. Berpikir keras bagaimana cara minta maaf agar dirinya tidak dilaporkan ke polisi karna sedikitpun dia tidak ikut menikmati uang korupsi, salahnya hanya tidak melaporkan perbuatan Pak Rudy.Mengenai apakah dirinya akan disebut kaki tangan, Ana tidak pernah terpikir sama sekali. Pikirannya yang berkecamuk dan penuh itu membuatnya tidak memperhatikan sekeliling.Tanpa tahu jika laki-laki di depannya sudah melepas satu persatu kancing kemeja yang melekat di tubuhnya.Ana yang masih setia menunduk. Tidak berani menatap atasan dari atasanya itu. Air mata menjadi saksi bisu betapa takut dirinya saat ini. Buliran itu juga masih mengalir deras dengan sesekali Ana menghapus menggunakan punggung tangan.Tiba-tiba Ana menjatuhkan diri, berlutut di hadapan Jeffreyan."Tuan jangan laporkan saya, sa-saya minta maaf."Sebelah alis Jeffreyan naik mendeng
Rok pensil yang ia kenakan membuat garis pinggulnya terlihat tegas, sementara blazer hitam dan kemeja putih yang terkancing rapi tersebut justru menonjolkan lekuk halus tubuh Raisa Andriana yang tengah berdiri di dekat pintu masuk.Mungkin hanya dirinya yang datang ke kelab dengan menggunakan pakaian kerjanya yang membosankan seperti ini. Alih-alih pengunjung, dirinya lebih cocok menjadi pelayan yang berdiri di tiap sudut ruangan.Suasana club dengan suara musik yang memekakkan telinga serta bau asap rokok yang pekat sesekali membuat Anna terbatuk-batuk. Dari sekian banyak tempat yang ada di dunia kenapa pesta keberhasilan proyek timnya harus diadakan di kelab? "Entah apa bagusnya tempat ini,” gumam Ana lirih. Tidak menyadari bahwa ada beberapa pasang mata yang tengah mengamatinya sejak ia tiba tadi."Wah! Ini dia primadona kita malam ini!” teriak Pak Rudy, atasan Ana, saat melihat gadis itu datang. “Selamat datang, Ana! Ayo, kemarilah. Mari kita senang-senang!”Ana tersenyum kikuk d